Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku datang bukan untuk berziarah; ziarah adalah untuk mereka yang masih percaya pada doa. Aku datang karena ibu telah menjadi tanah, dan tanah ini—beserta rumah reyot yang berdiri di atasnya—kini menjadi milikku. Setidaknya, begitulah bunyi surat wasiat yang dingin dan impersonal itu. Rumah yang berdiri sendirian di ujung lidah hutan, seolah baru saja dimuntahkan olehnya. Dikelilingi pohon-pohon damar tua yang dahannya menjulur bengkok dan kurus, tumbuh seperti jari-jari keriput Tuhan yang terlalu letih untuk mencabut kutukan yang telah lama bernanah di dalam bumi.
Perjalanan kemari menjadi ritual penyiksaan bertahap. Aspal mulus jalan tol perlahan mengelupas menjadi jalan provinsi yang retak, lalu menyempit menjadi jalan desa yang ditambal sulam seadanya. Akhirnya, mobilku harus menyerah pada jalan setapak berlumpur yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Udara berubah. Aroma knalpot dan kota yang sibuk digantikan oleh kelembapan abadi, oleh bau daun busuk yang beralkimia dengan tanah basah dan sesuatu yang lain—sesuatu yang amis dan manis seperti daging yang mulai membusuk. Hutan ini tidak menyambut, ia mengawasi. Setiap gemerisik daun terdengar seperti bisikan, setiap bayangan yang bergerak di sudut mata terasa seperti tatapan.
“Jangan pernah pulang sendirian, Ninda,” begitu pesan terakhir dari Bibi Lastri lewat telepon, suaranya bergetar seperti dawai yang terlalu kencang ditarik. “Rumah itu tidak suka sepi.”
Aku mendengus pelan, menepis sarang laba-laba yang menempel di rambutku. Siapa lagi yang bisa kuajak? Bibi Lastri sendiri meninggal setahun setelah ibu sakit-sakitan. Ayah sudah lama menjadi nama di atas nisan. Semua orang yang seharusnya menjadi sauh dalam hidupku telah ditelan waktu, meninggalkan aku, Anindita Surya Putri, seorang diri pada usia tiga puluh tiga, usia yang terasa layaknya hitungan mundur.
Langkahku gemetar bukanlah akibat cuaca dingin. Getaran itu merambat dari sol sepatuku yang basah, naik ke betis, dan bersarang di rongga dadaku. Di sinilah aku berdiri, di ambang pintu depan. Kayu jatinya yang tebal terlihat bengkak oleh kelembapan, warnanya menghitam legam, dan di permukaannya terukir sulur-sulur tanaman yang tampak lebih mirip kumpulan ular daripada hiasan. Pintu ini seolah menyimpan setiap jeritan, setiap tangis, dan setiap keheningan putus asa yang pernah terjadi di baliknya.
Kunci tua dari kuningan terasa dingin dan berat di tanganku yang berkeringat. Aku memasukkannya ke lubang kunci. Terdengar bunyi klik yang keras dan kering, seakan tulang di dalam engselnya baru saja patah. Aku menarik napas, bersiap mendorong pintu yang pasti macet.
Namun, pintu itu terbuka sendiri.
Ia berderit pelan, mengayun ke dalam tanpa suara angin, mempersilakan dengan keengganan yang pekat. Dan kemudian, bau itu menyergapku. Bau yang tak sekadar bau kayu lapuk atau pengap. Bau yang merupakan kombinasi kompleks, menusuk hidung dan merayap turun ke tenggorokan. Bau abu dupa yang sudah berhari-hari mati, bercampur dengan aroma bunga melati yang terlalu matang hingga nyaris busuk, dan di bawahnya, tersembunyi aroma tanah kuburan yang baru digali. Serangan olfaktori itu terasa sama dengan tamparan pelan di tengkuk, layaknya sambutan dari sesuatu yang tak terlihat.
Aku melangkah masuk. Debu tebal di lantai menyambut jejak sepatuku, menjadi tanda bahwa akulah kehidupan pertama yang mengusik keheningan panjang di tempat ini. Perabotan kayu yang berat dan gelap diselubungi kain putih, membuatnya tampak menyerupai jajaran mayat yang menunggu diidentifikasi. Cahaya matahari yang menerobos dari jendela kotor hanya cukup untuk menerangi partikel debu yang menari-nari malas di udara. Rumah ini tidak berubah sejak terakhir kali aku mengunjunginya sebagai seorang anak, kunjungan yang meninggalkan serpihan mimpi buruk yang tak pernah bisa kujelaskan. Tapi aku tahu, bukan rumah ini yang berubah. Akulah yang berubah. Saat aku datang dengan duka, rumah ini siap meminumnya hingga kering.
Di atas meja makan yang berdebu, di bawah tudung saji yang rangkanya sudah berkarat, aku menemukan selembar amplop cokelat. Namaku tertulis di atasnya dengan tulisan tangan ibu yang gemetar, tulisan tangan seseorang yang kelihatannya sedang berpacu dengan kematian. Jantungku berdebar kencang saat aku membuka segelnya. Isinya bukanlah surat cinta atau permintaan maaf terakhir. Melainkan peringatan.
Anindita, putriku tercinta,
Maafkan Ibu karena keheningan ini. Maaf karena aku tidak pernah bicara jujur soal asal-usul kita, soal rumah ini. Ada hal-hal yang lebih baik dilupakan, namun takdir punya cara untuk menagih utang. Kau harus tahu, Nak. Rumah ini bukanlah warisan dalam bentuk harta. Jangan pernah berpikir untuk menjualnya, karena ia tak akan pernah bisa dimiliki orang lain. Rumah ini adalah wadah. Bejana kuno yang harus terus diisi.
Dan kau, darah dagingku… kau adalah pintunya.
Aku telah mencoba melindungimu dengan menjauhkanmu dari sini. Tapi kematianku memanggilmu pulang. Ini adalah siklus yang tak bisa kupatahkan. Bertahanlah. Jika kau bisa melewati tujuh malam di sini, kau akan mengerti segalanya. Atau kau akan menjadi bagian darinya. Jangan percaya pada cermin. Jangan menjawab jika ada yang memanggil namamu dari kegelapan. Dan jangan pernah, apa pun yang terjadi, mencoba meninggalkan rumah ini sebelum malam ketujuh berakhir.
Ibumu.
Aku membaca surat itu sampai tiga kali. Kata-katanya terasa gila, seperti racauan seorang wanita yang pikirannya telah diracuni oleh penyakit dan kesendirian. Wadah, pintu. Omong kosong. Tapi getaran aneh di tulang punggungku menolak untuk setuju.
Malam pertama, aku mencoba mengabaikannya. Aku membersihkan satu kamar, menggelar kasur lipat yang kubawa, dan mencoba tidur di tengah keheningan yang menekan. Sekitar tengah malam, aku terbangun. Terdengar suara dari atas loteng. Bukan derap langkah tikus yang ringan dan acak. Suaranya terdengar seperti suara langkah kaki yang berat dan diseret.
Sreet… jedug… sreet… jedug…
Seolah seseorang dengan kaki yang cacat sedang berjalan mondar-mandir tanpa tujuan. Aku memeluk lututku, meyakinkan diri bahwa itu hanya suara dahan pohon yang menggesek atap, atau rumah tua yang sedang meregangkan sendi-sendinya. Tapi suara itu terlalu ritmis, terlalu disengaja.
Malam kedua, rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku. Aku mulai menjelajahi rumah. Di kamar tidur utama, kamar ibu, aku menemukan sebuah cermin oval besar dengan bingkai perak yang menghitam. Permukaannya buram oleh debu. Aku membersihkannya dengan lengan bajuku. Untuk sesaat, aku melihat pantulanku—wajah lelah seorang wanita berusia tiga puluh tiga. Lalu, aku berkedip. Dan bayanganku di cermin tidak lagi sama.
Wajahku masih di sana, tetapi di belakangku, di dalam pantulan kamar yang remang-remang, berdiri sesosok gadis kecil. Usianya sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih sederhana. Wajahnya persis dengan wajahku di masa kecil. Dia tidak tersenyum. Matanya yang besar dan gelap menatap lurus ke arahku dengan ketakutan yang mendalam. Seolah dirinya sedang melihat monster. Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Aku kembali menatap cermin. Gadis kecil itu masih di sana. Perlahan, aku mengangkat tanganku. Di cermin, bayangan tanganku tetap diam di sisinya. Gadis kecil itu hanya menatap, bibirnya bergetar seakan ingin meneriakkan peringatan. Aku mundur selangkah, lalu dua langkah, sebelum akhirnya berbalik dan lari keluar dari kamar itu, napasku tersengal-sengal.
Malam ketiga, aku terbangun oleh rasa perih yang tajam di telapak tangan kiriku. Aku mengangkatnya di depan wajahku, di bawah cahaya bulan yang menyelinap masuk. Ada luka di sana. Luka itu berbentuk lingkaran sempurna, seolah dicap dengan besi panas, dengan retakan-retakan halus di bawahnya yang menjalar seperti akar pohon. Darah segar merembes pelan. Aku tidak ingat melukai diriku.
Kepalaku mulai berdenyut. Aku teringat pada album-album foto tua yang disimpan ibu di dalam peti kayu. Dengan tangan gemetar, aku membongkarnya. Satu per satu, foto-foto hitam putih dan sepia itu bercerita. Nenekku, buyutku, dan perempuan-perempuan sebelumnya dalam garis keturunanku. Di bawah setiap foto, ibu menuliskan nama dan tanggal lahir serta kematian mereka. Pola itu melompat ke arahku seperti seekor ular. Semuanya meninggal pada usia yang sama: tiga puluh tiga tahun.
Bulan lalu, aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ketiga puluh tiga. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah vonis dari takdir.
Aku tidak tahan lagi. Ransel kusempangkan di bahu, kunci mobil kugenggam erat. Surat ibu bisa pergi ke neraka. Aku tidak akan menjadi korban berikutnya. Aku berlari keluar dari rumah itu, tanpa menoleh ke belakang, dengan setengah berlari menyusuri jalan setapak berlumpur menuju tempat mobilku terparkir.
Mesin mobil menderu hidup. Aku merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Aku akan pergi ke desa terdekat, mencari sinyal telepon, dan menghubungi siapa saja.
Desa itu hanya berjarak beberapa kilometer. Rumah-rumah panggung kayu yang kusam berjejer di sepanjang jalan tanah. Tidak ada anak-anak yang bermain. Hanya beberapa orang tua yang duduk di beranda mereka, menatapku dengan tatapan kosong saat mobilku lewat. Tatapan mereka tidak mengandung rasa ingin tahu atau permusuhan. Tatapan mereka penuh dengan kepasrahan, tatapan seseorang yang sedang melihat hantu yang kedatangannya sudah mereka ramalkan.
Aku berhenti di satu-satunya warung yang tampak buka. Saat aku masuk, semua percakapan berhenti. Semua mata tertuju padaku. Keheningan itu lebih memekakkan telinga daripada teriakan.
Aku memesan teh hangat dengan suara yang nyaris tak terdengar. Seorang kakek dengan mata yang keruh dan suara serak, akhirnya angkat bicara.
“Kau putrinya Suryani,” katanya.
Aku mengangguk kaku.
Dia mengembuskan asap rokoknya perlahan. “Darah selalu pulang ke tanahnya.”
Seorang pria lain menimpali dengan suara rendah, tanpa menatapku. “Pintu sudah memilih penunggunya.”
Rasa mual tiba-tiba menyerangku. Aku bergegas keluar dari warung, membungkuk di tepi jalan, dan muntah hebat. Bukan hanya sisa teh dan asam lambung yang keluar. Di tengah genangan muntahanku di tanah, ada sesuatu yang gelap dan berserat. Seutas rambut panjang berwarna kelabu dan segumpal kecil tanah hitam yang berbau seperti ruang bawah tanah. Sesuatu dari rumah itu kini ada di dalam diriku.
Aku kembali ke rumah dengan perasaan kalah. Rasa takutku telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lebih gelap: kepasrahan yang mengerikan. Jika aku tidak bisa lari, maka aku memilih untuk mengerti.
Malam keempat kuhabiskan untuk membongkar kamar ibu, mencari jawaban. Di bawah papan lantai yang longgar, aku menemukan sebuah kotak kayu berukir. Di dalamnya, ada buku harian bersampul kulit yang sudah rapuh. Di dalamnya hanya ada tulisan tangan ibu.
10 Juni 1990
Anindita bertanya mengapa kita tidak pernah menginap di rumah Nenek. Aku bilang rumahnya terlalu tua dan rapuh. Aku berbohong. Aku hanya ingin melindunginya dari kebenaran: rumah ini bukanlah bangunan, ia adalah Rahim. Dan Tuhan yang bersemayam di tanah ini butuh Pintu untuk melihat dunia kita. Garis keturunan kita bukanlah keluarga, melainkan kunci yang diwariskan.
17 Agustus 1991
Lastri bilang aku gila karena masih menyimpan buku ini. Dia tidak mengerti. Ini bukan kutukan, ini adalah kehormatan yang mengerikan. Kami adalah Wadah. Kami menjaga keseimbangan. Tanpa kami, tanah akan mati, dan hutan akan menelan desa. Kami abadi, meski harus menanggalkan nama dan wajah kami setiap tiga puluh tiga tahun.
12 Mei 2024
Untukmu, Anindita, putriku. Jika kau membaca ini, berarti aku telah gagal menjauhkanmu. Kematianku adalah lonceng yang memanggilmu pulang. Jangan melawan. Jangan lari. Rumah ini akan mengisap kehidupanmu hingga kau siap. Lalu ia akan memberimu kehidupan yang baru. Maafkan aku. Terimalah takdirmu.
Aku menutup buku harian itu. Air mataku tidak lagi jatuh. Semuanya sudah jelas. Malam-malam berikutnya, aku tidak lagi hanya bermimpi. Aku melihatnya. Sosok Ibu Tua di sudut kamar, dengan lubang berdenyut di perutnya. Aku tidak lagi lari. Aku hanya menatap balik, menunggu. Aku tidak sedang menunggu kematian. Aku menunggu penobatan.
Saat senja di hari ketujuh tiba, aku sudah tidak merasakan apa-apa. Hanya kehampaan yang khusyuk. Aku duduk bersila di tengah ruang tamu.
Di luar, aku mendengar suara mereka. Orang-orang desa. Mereka datang dalam keheningan, membentuk lingkaran di luar rumah, wajah mereka terlihat dari jendela. Pintu depan terbuka. Kepala desa masuk, diikuti yang lain. Mereka membawa nampan berisi dupa dan kembang. Ritual pun dimulai.
Asap dupa yang pekat memenuhi ruangan. Mereka melantunkan kidung dalam bahasa kuno yang berat. Seorang wanita tua menggambar simbol lingkaran berakar di dahiku dengan air dingin dari guci tanah liat.
Saat simbol itu selesai digambar, aku merasakan sesuatu bergeser. Kegelapan di sudut ruangan bergolak. Ibu Tua itu muncul, melangkah maju. Dia berdiri tepat di hadapanku, dan lubang di perutnya berdenyut kencang, memancarkan kegelapan yang pekat.
Aku menutup mataku. Aku merasakan sensasi tarikan yang luar biasa, seolah jiwaku dihisap keluar dari tubuhku menuju lubang yang menganga itu. Kegelapan menelanku. Dan kemudian, segalanya terasa sunyi.
Aku tidak tahu berapa lama aku hilang. Satu detik? Seribu tahun? Aku terbangun di ranjangku yang lama. Tapi semuanya terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa sakit atau lelah. Aku merasa ringan. Aku merasa utuh.
Aku bangkit dari tempat tidur. Aku berjalan keluar dari kamar. Para penduduk desa masih di sana, di ruang tamu. Saat mereka melihatku, mereka serentak menunduk dalam-dalam, penuh hormat.
Aku tidak lagi merasa aneh atau takut. Karena sekarang, aku mengerti.
Aku berjalan mendekati cermin oval besar di kamar ibu.
Di sana, menatap balik ke arahku, bukan lagi wajah Anindita yang ketakutan. Yang ada hanyalah wajah seorang wanita yang agung dan berasal dari masa yang telah lampau. Wajah Ibu Tua. Tapi matanya tidak lagi kosong. Mata itu kini adalah mataku, bersinar dengan pengetahuan yang tak terbatas. Rahangnya tidak lagi terkulai, tetapi terkatup dengan kekuatan. Dan lubang di perutnya telah hilang.
Dia tersenyum. Dan dari bibirku sendiri, aku merasakan senyuman yang sama merekah. Kami adalah satu.
Aku sudah pulang.
Dan Tuhan sudah punya pintu yang baru.