Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kini masuk jam kedua pelajaran. Bau kapur tulis bercampur dengan bau keringat bocah-bocah puber mengambang di kelas 12 IPS. Aku kewalahan menahan kantung mata di saat Bu Elmi sibuk ngedumel.
“Ibuk sebenarnya gak percaya kalau bumi itu bulat…”
“Sama buk saya juga!” Teriak salah seorang murid.
Diskusi ngalor-ngidul di tengah jam pelajaran seperti ini adalah surga dunia. Ditambah, kalau itu bersama Bu Elmi, guru muda, yang matanya selalu membinar ketika cerita tentang masa-masa kuliahnya dulu. Meski sebenarnya kami tak ada yang peduli. Tetap saja, harus pura-pura tertarik, hendak tugas-tugas laknat tidak melayang ke atas meja. Benar sudah bakat alami kami untuk pura-pura dengar; menjilat ego guru. Hingga aku bisa sedikit-sedikit mencuri tidur.
“Buk, saya gak percaya kalau beneran ada orang yang mendarat di bulan.”
“Sama, Ibuk juga gak percaya!”
Teman-teman kelasku tahu betul bagaimana cara untuk Bu Elmi tak berhenti ngedumel. Namun, dari ramainya murid kelas ini, ada satu pengkhianat. Duduk di sudut, namanya Wacana. Meski aku juga menganggap demikian, bahwa Wacana adalah pengkhianat di antara kami yang rata-rata otak sumbu karet; malas belajar. tapi Wacana tetaplah sahabatku.
Ia selalu gelisah kegilaan jikalau jam pelajaran di kelas tidak dipergunakan sebenar-benarnya untuk belajar. Iya. Memang ada makhluk-makhluk seperti ini hidup di planet bumi. Makhluk-makhluk yang menganggap belajar adalah menyenangkan. Dan satu dari makhluk-makhluk itu yang kukenal, ialah Wacana.
Meski kini rasa kantukku mulai perlahan hilang, tetap saja tugas-tugas laknat tidak akan mau aku kerjakan. Jadi sudah waktunya menjinakkan Wacana, untuk tidak banyak tingkah. Jangan sampai dia buka suara menanyakan pelajaran.
Pelan kudekati, Wacana tengah terkatung menatap buku di sudut kelas dikala Bu Elmi masih ngedumel tentang Sukarno yang hobi kawin. Kursi kosong kutarik ke sebelahnya.
“Apa itu Can?” tanyaku.
Wacana menutup bukunya, menggesekkan jari telunjuk ke judul besar di sampul buku itu. “Ini.” Buku berjudul ‘Ganja & Kapitalisme Global’ ditunjukkan Wacana kepadaku.
“Oh, kapitalis.” gumamku.
Walaupun sebenarnya juga tak begitu paham. Tapi sedikit aku tahu, intinya: Kapitalis itu brengsek. Seperti duit jajanku di sekolah yang sudah habis jika dibelikan dua bakwan ditambah teh es, adalah karena kapitalis. Atau ibuku yang memohon-mohon, berperikasihan kepada penjual bawang di pasar tradisional, adalah karena kapitalis. Ataupun bapakku yang tak ada libur, tetap masuk kerja di akhir pekan, adalah juga karena kapitalis. Benar, intinya, kapitalis itu brengsek.
“Iya, kapitalis, tapi…” sahut Wacana, telunjuknya mengetuk-ngetuk gambar daun ganja yang terpampang besar di sampul buku itu.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Ini”
“Ganja?”
“Iya. Menarik.” Tegasnya.
“Apa menariknya? Nyimeng? Haram loh. Penjara!”
“Nah kan, kau belum paham.”
Aku menggeleng menatap Wacana.
“Tau gak?” Bisik Wacana, “ganja dilarang bukan karena bahaya, tapi karena kapitalisme dan rasisme di tahun 1930-an.”
Aku bingung gila.
“Tahun 1937 itu ada namanya ‘Marihuana Tax Act.’ Yang awalnya cuma pajak lalu berubah jadi semacam fatwa. Satu tanaman dibikin jadi iblis karna kulit yang ngerokok itu bukan kulit orang Eropa.”
“Jadi Can?”
“Jadi selama ini cerita-cerita yang berseliweran tentang ganja tuh jauh dari kebenaran. Semuanya hanya propaganda belaka untuk satu kaum bisa dapat untung besar dan supaya produk-produk yang mereka buat tetap laris manis.”
“Produk ... Can?”
“Iya, produk. Kesehatan!” sahutnya, “di sini dituliskan kalau ganja tuh kayak pohon kelapa, seribu guna. Dari pangkal akar sampai ke ujung daun bisa dipake untuk obat.”
Entah karena baca buku atau memang Wacana baru habis giting. Aku bingung.
“Tapi, kan, haram?” tanyaku.
“Haram? Kata orang-orang yang seenak jidatnya menafsirkan agama?”
Oke, yang ini aku paham. Kayak imam masjid yang cabul itu. Aku mengangguk.
“Kalau penjara? Kenapa ngisap ganja dipenjara?”
“Hukum narkotika kita gak ada perubahan semenjak jamannya Pak Sukarno. Sukarno yang netapin hukumnya,” jawab Wacana, “ dan emangnya… kamu mau nurutin omongan orang yang suka kawin?”
Wacana menatapku. Aku menggeleng.
“Pengen sih nyoba…” bisiknya.
“Menarik.” jawabku.
Wacana mengangguk.
Di luar kelas bergetar suara marching band latihan untuk 17-an. Di dalam kelas kami bicara tentang ganja semacam wahyu yang baru saja turun. Lonceng istirahat pun berbunyi. Tugas laknat hari ini tidak diberikan Bu Elmi kepada kami. Mukjizat. Aku menarik Wacana ke luar untuk mengikutiku memberi salam ke warung Mbok di kaki bukit sudut sekolah. Karena di sana pasti ada Kiting. Sumber jawaban dari ini semua.
Kiting adalah temanku dari kelas sebelah. Aku akrab dengannya karena kebiasaan mulia kami; telat datang sekolah; bolos upacara; ngerokok bareng di balik pagar. Kiting juga legenda hidup sekolah ini. Semua murid tau bahwa dia masuk daftar buron, tapi hidupnya tetap aman-aman saja.
Warung Mbok tentu bukanlah warung resmi di sekolah kami. Hanya gubuk setengah roboh. Menjual apapun yang bisa digoreng, dan semua merek rokok eceran. Kadang Mbok juga nggak peduli siapa ngebeli apa, yang penting bayar. Mbok kapitalis!
Aku masuk warung, memesan menu favorit. Es Teh satu, bakwan dua, rokok tiga. Kutawarkan satu rokok ke Wacana, dia menggeleng. Di jauh pandang sana, dugaanku benar. Kiting sedang mengepul sebatang filter. Ia jongkok sendirian di belakang warung serupa burung kacer. Aku ajak Wacana perlahan mendekati mahkluk itu. Kiting, bajunya benar masih seragam, namun dasi nyelip di saku, dan kancing paling atas sudah lama cuma sebatas dekorasi.
“Api, Ting.” Sapaku.
“Udah istirahat?” Kiting menjulurkan api rokoknya.
“Udah.”
“Eh, ni orang…” tangannya menunjuk Wacana, “...tumben-tumbenan ngikut ke sini. Mau kiamat ini dunia.”
“Kemungkinan iya,” jawabku, “masih aman-aman aja hidupmu ya Ting, yang kemarin heboh-heboh itu bukannya orang yang sering duduk bareng di sini samamu ya? Kudengar kabar, si dia udah masuk sel. Kau Ting? Aman?”
“Yoi,” ucap Kiting santai. “Polisi juga manusia. Selama bapakku bisa beliin lemari baru untuk ruang kapolsek, semuanya aman.”
Aku dan Wacana bertukar pandang. Kami tak heran, emang sudah jadi pengetahuan umum juga kalau bapaknya Kiting itu juragan emas. Bahkan bukan lagi tukang emas biasa. Yang ini punya tambang! Sumbang masjid satu, tutup kasus dua. Lengkap.
Api rokok kuhidupkan. Asap mengepul di balik warung. Ikut berjongkok serupa orang berak di sebelah Kiting.
“Ting, selain yang itu... kau pernah nyimeng?” bisikku pelan.
Kiting memutar lehernya ke hadapanku. Asap dihembus.
“Lucu.” jawabnya.
“Aku serius.”
“Ya pernahlah. Kalau gak nyimeng mana aku tahan ikut upacara Hardiknas tiga jam tanpa bunuh diri?”
Wacana ikut jongkok. Tiga cowok jongkok berhadapan serupa orang pacu berak.
“Gimana rasanya?” tanya Wacana.
“Ya… enak,”
“Spesifiknya?” desak Wacana. “Euforia? Halusinasi? Stimulasi reseptor CB1 di otak? Atau disertai efek simpatis?”
“Tuh kan, ni orang udah gila,” jawab Kiting, “enak ya enak aja, gak ada istilah-istilah psikopat gitu.”
Dua orang ini umpama Babi Hutan dan pengangguran kampung yang, akan kejar-kejaran kalau lagi gabut.
“Biasanya itu kau ambil di mana, Ting?” tanyaku.
“Biasanya dari temen, yang ambil dari temennya temen, yang didapet dari temennya temen lagi. Begitu pokoknya.”
Mencerna infomasi itu otakku mau muntah.
“Tapi,” lanjut Kiting, “kalau kau penasaran, dan mau... aku masih punya sisa semalam.”
“Bener?" aku menelan ludah, "aku pengen, Ting.”
“Sepulang ini, di puncak itu,” jawab Kiting.
Aku memelototi Wacana, dia mengangguk.
“Ini si dia juga ya Ting…” mulutku memanjang nunjuk Wacana.
“Beneran mau kiamat nih dunia,” jawab Kiting, wajahnya masam dengan heran. “Nanti pulang sekolah kalian tunggu di depan gerbang.”
“Wokeh!” seruku. Aku benar sudah siap mental. Maksudku, memangnya akan seberapa buruk sih? Kita sering bolos upacara, cabut pelajaran agama, bohong ke orang tua ikut ekskul padahal cuma buat nambah duit jajan. Jadi, kalau ditambah nyimeng, ya… berarti nemu puzzle terakhir menuju kebodohan yang absolut.
Rokok habis dihisap, kami membubarkan pantat. Jam terakhir kelas kuniatkan untuk bolos ke perpustakaan, serupa yang sering dilakukan Wacana dan makhluk-makhluk tak waras lainnya. Habis, aku masih penasaran gila. Apa yang Wacana sampaikan kepadaku sebelum istirahat tadi semuanya masih menggembung tak karuan.
Kuhabiskan waktu 2 jam terakhir pelajaran di perpustakaan, tidur. Entahlah, memang bukan bakatku untuk jinak melototin buku serupa Wacana dan makhluk aneh lainnya. Pun juga, setengah mati kucari-cari buku yang membahas tentang ganja satupun tak ada di perpustakaan sekolah ini. Ada yang kutemui; brosur jeleknya BNN. Satunya lagi, buku sejarah, kubaca dan benar; Sukarno suka kawin. Bel pulang berbunyi, alam mimpiku ikut hancur. Iler yang berserak di tikar perpus kututupi buku. Lanjut merangsak keluar seolah dunia ini baik-baik saja.
Selang waktu berlalu, setelah balik ke kelas mengemas peralatan pulang. Segera aku menghadap ke pintu gerbang. Di sana, Wacana dan Kiting telah menunggu. Jongkok serupa nahan berak tak jauh dari pintu gerbang.
“Dapat yang kau cari?” sapa Wacana ketika aku mendekat.
“Iya. Sukarno suka kawin tapi dunia baik-baik aja.”
“Ayo cepat, motorku ada di balik semak itu.” tegas Kiting.
Kami motoran bertiga. Kiting nyetir. Wacana di tengah. Aku paling belakang, yang mana, kalau si Kiting salah gas dikit, nyawaku bisa hilang. Tanpa basa-basi stang motor langsung diarahkannya ke puncak bukit belakang sekolah. Mesin motor ngos-ngosan sepanjang jalan. Dan seiring nanjak juga, nyawaku hampir hilang.
Sesampainya di puncak, matahari mengeram amarah di koordinat langit. Untungnya, kami dipeluk anggun oleh rindangnya pepohonan. Sungguh adalah tanda bahwa semesta mengizinkan. Di bawah pohon ketapang kencana, menghadap langsung ke sungai, pemandangan sawah dan kebun. Kami mendaratkan badan. Kiting bilang, di sini aman; kalau ketangkep bisa langsung terjun ke jurang.
“Aman kan, Ting?”
“Aman. Paling yang lewat sini hanya kambing, itu pun karena nyasar.”
Kami jongkok serupa burung kacer nahan berak. Kiting mengeluarkan kresek hitam. Diambilnya potongan-potongan kertas, lanjut dijejerkan di atas dedaunan. Tiga baris, per kertas dibuat dua lapis. Helai-helai daun kering akhirnya menyapa. Itulah ganja katanya, tapi ini hitam, jauh berbeda dari gambar yang ada di sampul buku Wacana. Namun, ya sudah, pun ia juga bilang kalau ini sisa-sisa semalam.
Kiting mulai ngelinting, kulihat dia begitu khusuk dengan jari-jemarinya yang tekun. Meramu kertas linting serupa seniman yang ngelukis. Fokus. Hening. Sakral. Menyaksikan itu Wacana matanya berbintang, takjub, seolah ini adalah tugas Prakarya praktek lapangan.
“Nih!” Kiting mengulurkan kepadaku dan Wacana, sebatang ‘seni’ yang telah ia gulung dengan penuh cinta. “Isap, tahan, lepas,” ucapnya.
Aku dan Wacana manut; Bakar, isap, tahan, lepas.
“Biasa aja,” gumamku.
Jam berselang. Menit kian berputar. Dunia pun mengikuti hentakan detiknya. Meski bukit yang kami duduki ini tidak terlalu tinggi, tapi rasanya kami sudah berada di pucuk bumi. Awan mendekat. Langit berlari kencang. Ini adalah kehidupan yang sesungguhnya.
Aku melirik perlahan ke Wacana, ia tengah mengelus-elus rumput. Aku sedikit meraba ke Kiting, ia tengah menempelkan bibir ke ujung daun kenduduk.
Kutarik lagi, kutahan. Tiupan angin seakan menggendong ke masa kecil, kenapa dulu aku percaya kalau Spongebob itu dokumenter? Juga mikir… kenapa Indomie rasa soto nggak pernah bener-bener kayak soto?
Wacana tegak menunjuk langit, "aku nemu rumus matematika baru!” serunya tiba-tiba, “X sama dengan perasaan yang terpendam dibagi tekanan sosial!”
Kiting, di sisi lain, hanya duduk bergumam. Mengakui dia sebenarnya adalah reinkarnasi kecoa.
Sunyi, tenang, jarum jam berlalu. Kiting nangis, aku nangis, Wacana ikutan nangis. Kami lapar. Satu jam berikutnya kami terlentang badan di puncak bukit bertemankan rindang. Dipeluk sejuk dedaunan. Dan tak lama. Kami pulang.
***
Dua hari telah berselang. Kini, Kiting dan Wacana menjadi karib. Sudah bukan serupa babi hutan dan anjing penjaga kebun lagi. Setiap jam istirahat Wacana tanpa perlu diajak akan langsung pergi menjajal warung Mbok untuk menemui karibnya. Karena itu juga, aku semakin dekat dengan wacana, membersihkan namanya di kalangan teman sekelas. Bahwa Wacana bukanlah penghianat diantara kami. Wacana adalah teman seperjuangan juga!
Hari ini, sebelum bel pulang berbunyi. Sirine kepolisian menggema di sekolah. Gosip simpang siur pun disampaikan kepada kami oleh Bu Elmi yang sedang mengajar. Bahwa sekolah ini akan ada diadakan tes urin dadakan. Karena kemarin sore, ketika seorang pengangguran desa berburu babi hutan di bukit belakang, ia menemukan puntung ganja dan bekas gorengan. Yaitu gorengan bakwan yang sekeras kulit kerbau. Siapa lagi yang menjualnya kalau bukan si Mbok, dan siapa lagi yang membeli gorengan itu kalau bukan murid-murid banal sekolah ini.
Kulihat Wacana, badannya putih memucat di sudut kelas. Aku pun rasanya juga mau beserak kencing. Kami sudah tak punya jalan. Satu per satu dari kami dipanggil ke luar untuk kencing dalam botol. Aku pasrah. Wacana Pasrah. Entah apa kabar Kiting di kelas sebelah.
Setelah semua dari kami menyerakkan kencing, pengecekan tas dilakukan. Untuk detik ini aku dan Wacana aman-aman saja, meskipun bibir kami sudah habis kehilangan darah.
Pada saat pengecekan tengah berlangsung, suara teriakan cewek-cewek kelas sebelah mengaum. Ternyata karna ditemukannya kresek ganja di dalam tas Kiting. Wacana melihatku. Oh mati kami.
Kiting digotong aparat kepolisian. Dia menghentak dan teriak serupa kambing disembelih. “Bapakku kenal Kapolda, goblok!” Tapi tetap saja, Kiting, kata polisi, akan dikirim ke panti rehabilitasi. Razi pun dihentikan. Aparat-aparat beranjak pergi. Aku dan Wacana hilang arah, entah ke mana dunia ini akan berlabuh.
***
Dua hari berikutnya, aku dan Wacana diminta menghadap ke ruang BK. Kami pikir habislah hidup kami. Kiamatlah ini dunia. Tapi sesampai di sana, Bu Kepsek sibuk tersenyum lebar didampingi oleh mamang-mamang berbaju BNN. Kami disegerakan untuk duduk di hadapan mereka.
“Selamat! Ibu bangga dengan kalian.” sahut Bu Kepsek.
Aku bingung. Wacana bingung. Bumi berputar berbalik arah.
“Kalian ini inspirasi.” lanjut Bu Kepsek.
Bumi ikut bingung.
Lalu, mamang-mamang BNN menyodorkan piagam dan jaket merah bertuliskan 'Duta Anti-Narkoba Muda 2022'. Aku dan Wacana saling tatap. Tak ada yang beres. Bu Elmi datang, menghampiri kami dengan bangga. Selanjutnya, Aku, Wacana, mamang-mamang BNN, Bu Kepsek, dan Bu Elmi, foto bersama. Sesudahnya kami keluar. Bumi sedang terbalik.
Keesokan pagi, di gerbang sekolah sudah terpampang baliho besar: ‘Generasi Muda Katakan Tidak Pada Narkoba’ diselingi dengan foto bersama kami di ruang BK kemarin. Dan juga, di sudut kiri bawah, ada foto wajah Kiting yang telah diedit hitam putih dengan tulisan ‘Jangan Seperti Saya’. Murid-murid lain berkumpul di bawahnya, ada yang menangkap foto, ada yang ngakak kegilaan.
Penangkapan Kiting; ditunjuknya aku dan Wacana sebagai Duta, telah menyebar di berbagai kanal berita. Wajah senyum sumringah Bu Kepsek juga tersebar di berbagai media. Masyarakat memberi pujian penuh kepadanya, karena kami, aku dan Wacana, selaku murid sekolah ini, diangkat menjadi Duta.
Tapi Kiting. Dunia pun meludahinya. Ada yang bilang dia anak titisan setan. Tapi tetap ada juga yang membela karena katanya "ini adalah bentuk eksplorasi eksistensial remaja urban pasca-pandemi”. Bahkan komunitas baca dari pusat sana juga ikut bersuara, “Inilah pentingnya literasi kesehatan mental.” Tentu, bahasa-bahasa kaum Wacana yang aku tak paham lainnya.
Wacana, setelah tragedi penangkapan si sahabat karib, ia berubah total. Sekarang dia lebih banyak bengong daripada melototin buku. Juga sudah nggak mau lagi diajak ke kantin Mbok. Jadi aku tinggal sendirian, bolos pelajaran, jongkok, ngalong penuh pikiran. “Negara gila”.