Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku merupakan seorang mahasiswa semester 5,namaku Lara. Aku sangat terkenal oleh teman-temanku karena orang tuaku yang begitu strict. Sehingga membuat teman-temanku akan berpikir panjang untuk mengajakku pergi main dan pulang terlambat. Namun,hal itu membuatku iri terhadap teman yang lain,kenapa mereka bisa sebebas itu?padahal sudah waktunya aku untuk merasa bebas. Aku sudah dewasa,tapi bagi orang tuaku,aku masih kecil. Sehingga suatu saat aku mencoba untuk masuk organisasi. Biasanya,melalui organisasi,orang-orang akan mulai sibuk segala hal dan pastinya akan sering pulang larut malam.
Saat hendak mendaftar organisasi yang aku tuju, temanku yang bernama Mia bertanya "emangnya bakal di izinin?". Ya, aku hanya modal nekat. Masalah di izinkan atau tidak itu urusan belakang aja. Dalam waktu dekat,proses open recruitment organisasi tersebut akan dimulai,mau tidak mau aku harus membicarakan hal ini kepada ayah dan bunda.
Tapi, aku mau membicarakannya saat proses open recruitment sudah ada jadwal yang pasti. Apalagi kalau membicarakan sesuatu hal kepada ayah harus yang pasti,jelas dan terstruktur.
Pengumuman open recruitment sudah ditentukan dan akan dimulai dua hari lagi. Sebelum untuk memberitahu kepada ayah dan bunda,aku mencari informasi terkait open recruitment ini mulai dari kegiatan apa saja yang bakal dilakukan, apakah sering pulang malam dan lain sebagainya. Hal yang pasti ku dapatkan adalah perihal pulang malam. Aku ragu akan memberitahu orang tuaku atau tidak.
Aku memikirkannya berkali-kali,sehingga pada akhirnya aku memilih untuk memberitahunya. Sesuai dengan prinsipku di awal, masalah diizinkan atau tidak itu urusan belakangan.
Sampailah waktu dimana aku memberitahu segalanya kepada ayah dan bunda. Aku menyampaikan organisasi ini berkaitan dengan seni. Saat aku menyampaikan hal itu, ekspresi ayah seperti tidak mengizinkanku.
" Nak, organisasi di kampusmu masih banyak lagi kan? Kenapa harus yang berkaitan dengan seni? Banyak orang yang diluar sana terlalu dalam dengan seni bisa berakibat gila. Ayah tidak mau kamu akan menjadi seperti itu pada akhirnya. Cari organisasi yang bisa mendapat banyak manfaat ya ra." Ucap ayah kepadaku.
"Memangnya apa yang salah dengan seni yah? Kan nggak semua orang bakal seperti itu yah, jangan samain semua orang deh yah"
" Ra, apa yang di bilang ayah ada betulnya ra. Kamu dengarin apa yang ayah bilang ya nak" ucap bunda
"Memangnya kenapa sih? Apa yang salah dengan seni yah,bun? "
"Sebenarnya nggak ada yang salah ra, ayah sama bunda takut kamu akan seperti itu nantinya. Lebih baik mencegah daripada mengobati kan?" Ucap ayah.
"Tapi yah, plisss. Sekali ini aja ya. Cuma organisasi ini yang cocok denganku yah. Aku janji nggak bakal seperti itu nantinya."
"Kamu tahu kan kalau janji harus ditepati?"
"Iya yah, tahuuu. Jadi gimana yah?bun??"
"Ayah sama bunda diskusikan dulu ya"
Ayah dan bunda pergi ke dalam kamar untuk mendiskusikannya. Aku berharap hal baik akan terjadi. Dan jawaban mereka adalah mengizinkanku. Tetapi,aku tidak mau berharap terlalu berlebihan. Tak lama kemudian, ayah dan bunda keluar dari kamar dan menyampaikan hasil diskusi mereka berdua.
" Ra,kamu harus tepati janji ya nak, bunda dan ayah sudah memutuskan untuk mengizinkannya. Tapi dengan satu syarat,janji kamu harus ditepati dan jika suatu waktu ayah dan bunda mulai merasa kamu tidak cocok dengan organisasi yang kamu pilih,bunda dan ayah nggak segan-segan untuk menyuruh kamu berhenti." Ucap bunda.
"Iya bun,yah aku janji akan menepatinya. Terimakasih ya yah,bun." Ucapku sambil memeluk mereka.
Hingga tiba saatnya. Proses open recruitment dimulai, aku sudah mulai merasa betah di organisasi ini. Aku menemukan berbagai macam orang,berbagai macam karakter,berbagai macam sifat dan lain sebagainya. Hingga suatu waktu, kegiatan ini mengharuskanku untuk pulang malam.
Sontak mendengar hal itu,membuatku untuk mencoba membicarakannya kepada senior dan panitia nya. Aku berusaha untuk tenang menyampaikannya,karena aku tahu resikonya akan besar. Apalagi anggapan untuk meminta izin pulang terlebih dahulu akan minim untuk diizinkan. Yang namanya berorganisasi harus konsisten dengan apa yang kita pilih,apa yang dilakukan dan lain sebagainya.
Aku mengumpulkan segala perkataan yang baik dan masuk akal agar permintaanku di terima dengan baik oleh senior dan panitianya. Aku bertemu dengan salah satu senior yang bernama Rika. Aku segera meminta waktunya untuk berbicara sebentar denganku.
" Kak, lara mau menyampaikan sesuatu hal kak. Jadi begini kak, orang tua lara strict banget kak. Bisa nggak kak kalau lara pulang nya lebih dulu dibanding yang lain kak? Aku mohon kak,apapun resikonya nanti akan aku terima kak. Tapi aku juga bakal usaha untuk mendapat izin jika suatu waktu nanti akan ada pulang malam lagi kak,aku janji kak" ucapku kepada kak Rika.
" Aku ngerti kondisi kamu seperti ini. Tapi ini organisasi. Kalau kamu diizinkan untuk pulang terlebih dahulu,tanggapan yang lain gimana? Mereka pasti ngerasa nggak adil. Aku nggak mau terjadi perpecehan nantinya. Tapi kamu coba sampaikan hal ini ke panitianya aja. Mana tahu mereka menemukan jalan keluarnya".
"Baik kak,terimakasih ya kak". Aku pergi meninggalkan senior tersebut dengan keadaan yang cukup kesal dan sedih. Apa yang harus ku lakukan? Kalau aku coba lapor ke panitia,apakah aku akan mendapat jawaban yang sama? Atau berbeda?. Tanpa berpikir panjang aku segera menemui salah satu panitia dan menjelaskan semuanya.
Memang awalnya aku mendapat jawaban yang cukup mengecewakan. Karena jawabannya sama seperti senior yang aku temui tadi. Tapi aku tidak mau menyerah dan akan tetap berusaha semaksimal mungkin. Usaha demi usaha,akhirnya aku mendapat izin pulang terlebih dahulu. Tetapi aku harus pamit ke semua senior,panitia dan teman-teman.
Sejak kejadian ini,membuatku merasa tidak enak. Dan aku akan berusaha untuk membicarakannya kepada orang tuaku. Bahkan sepertinya tidak memungkinkan bagiku untuk izin pulang terlebih dahulu setiap hari.
Ketika waktu aku untuk menyampaikannya kepada ayah dan bunda. Aku berusaha lagi semaksimal mungkin. Akhirnya ayah dan bunda mengizinkanku dengan batas jam 09.00 malam sudah di rumah.
Hari demi hari berjalan, untuk di awal aku selalu menepati janji ayah dan bunda. Tapi ada suatu waktu yang membuatku tidak bisa menepati janjiku, hal ini membuatku pulang di atas jam 09.00 malam.
"Kamu melanggar janji ra, ayah sm bunda mau kamu berhenti ya nak. Kamu sudah cukup sering di lihat oleh tetangga nak", ucap bunda.
"Bun, tapi sekali ini aja bun. Aku bakal usaha untuk konsisten seperti di awal-awal bun."
" Katanya anak organisasi harus konsisten dari awal sampai akhir, tapi kok ini kamu melanggar? Mana jiwa-jiwa organisasi kamu? Kalau sekali ini sudah melanggar ke depannya pasti ada pelanggaran lagi."
"Tapi bun,aku mohon. Sebentar lagi aku akan menjadi anggota sah bun. Tidak mungkin hanya karena satu hal ini,membuat prosesku menjadi sia-sia bun. Tinggal selangkah lagi bun,aku mohonnn.."
"Hmm ya sudah, tapi kalau ke depannya kamu pulang lewat dari jam 9 malam, kamu minta ayah untuk menjemput ya nak. Jangan sampai kamu pulang sama lawan jenis, nanti menjadi bahan gosipan tetangga"
"Iya bun iya, tetangga lagi tetangga lagi. Tapi terimakasih ya bunn"
Proses demi proses organisasi ku nikmati,berbagai macam lika-liku yang terjadi. Namun suatu saat tidak tahu kenapa tiba-tiba ayah memintaku untuk berhenti di organisasi tersebut.
"Ra, ayah minta kamu berhenti ya. Ayah tidak tega melihat bundamu menjadi sasaran pembicaraan tetangga nak. Ayah takut nanti bundamu semakin kesal dan melampiaskan amarahnya ke kita. Kamu paham kan?"
"Yah, maaf aku nggak bisa. Aku sudah sering mengikuti mau kalian. Aku sudah besar yah. Aku ingin merasakan bebas sedikit saja yah,apa tidak bisa?! Aku tahu maksud ayah dan bunda seperti ini kepadaku. Tapi apa pernah ayah dan bunda memikirkan perasaanku yah? Aku selalu menjadi robot yang mengikuti apa perintah dari mesin. Aku ini manusia yah. Aku mohon kalin ini aku tidak bisa mengikuti apa maunya ayah. Aku minta maaf yah"
Sontak mendengar hal itu membuat ayah menamparku.
"Kurang ajar, ayah kira kamu masuk organisasi akan semakin pandai dan cerdik dalam segala hal. Taunya kamu semakin kolot. Pemikiranmu sudah diambil alih oleh organisasi yang serba seni. Itu akan membuatmu gila nantinya. Bebas katamu? Kamu akan bebas kalau kamu sudah tiada nanti. Atau kamu sudah tidak perlu peran kami sebagai orang tua?"
Mendengar keributan itu membuat bunda terbangun dan berusaha menjadi penengah. Aku segera masuk kamar dan menangisi apa yang terjadi tadi.
Kenapa ayah mempunyai anggapan seperti itu? Memangnya salah aku meminta kebebasan sedikit saja?. Nggak semua anak seni akan berakhir seperti itu,lihat saja akan kubuktikan.
Keesokan harinya aku tidak bisa menghadiri hari terakhir proses open recruitment organisasiku. Dan saat ini bunda berusaha mendamaikanku dengan ayah. Ayah dan aku mulai damai. Tetapi aku tidak mau menyerah,aku masih tetap membahas organisasi ku dan menyampaikan bahwa besok akan dilantik sebagai anggota sah.
Aku tidak mau, ada kendala lagi untuk kedepannya. Ayah dan bunda hanya diam seperti ingin melarangku tetapi mereka tidak mau terjadi konflik lagi. Akhirnya mereka hanya membiarkanku melakukan hal apa yang aku mau. Inilah yang aku tunggu sejak dulu,merasakan sedikit kebebasan.
Aku tahu kenapa ayah seperti itu,niat ayah untuk melindungi bunda yang selalu menjadi sasaran omongan tetangga. Tapi apa ayah pernah mikir yang jadi objek adalah aku bukan bunda.
Hari demi hari aku jalani layaknya manusia yang baru merasakan kebebasan. Tapi tak lama kemudian, tiba-tiba kebebasan yang aku rasakan sudah mulai berkurang. Ayah dan bunda sudah menjadi seperti dulu lagi.
Aku tahu pasti yang menjadi penyebab utamanya adalah omongan tetangga. Aku pernah mendengar omongan tetangga secara langsung,tepat saat ini aku pulang dari kampus tepat pada sore hari.
" Eh itu si Lara kan yah? Dia cewek apa sih? Pulangnya malam terus. Nggak kasihan sama orang tuanya?"
"Lara cewek yang nggak beres deh kayaknya. Masa cewek pulang di atas jam sembilan terus"
" Kalau nggak salah dia masuk organisasi yang berkaitan sama seni. Anak senin kan kebanyakan tidak benar, bisa saja si Lara terpengaruh"
"Anak seni biasanya kalau ada acara terus acaranya sampai malam,pasti sempat mabuk-mabukan"
Aku tetap berjalan dengan santai ,seolah-olah aku tidak mendengar perkataan mereka. Sebenarnya mendengar perkataan itu membuatku cukup sakit hati. Memang apa yang salah terhadap seni? Persepsi orang kenapa seperti itu?. Seharusnya aku yang merasa terpuruk bukan bunda dan ayah. Karena aku adalah objek nya.
Suatu hari tepat lara pulang malam tepat pukul sembilan. Di perjalanan memasuki komplek rumah,Lara bertemu dengan bapak-bapak yang tengah melakukan ronda malam. Namun,yang terjadi bapak-bapak melihat Lara dengan tatapan yang penuh makna. Sepertinya akan dijadikan bahan untuk digosipkan atau dijadikan bahan mengompori ayah dan bunda.
Sampai di rumah, aku melihat ayah yang juga baru sampai di rumah.
" Dari mana nak? Kenapa pulang malam lagi?", Tanya ayah kepadaku.
" Dari kampus yah, aku ada rapat organisasi yah kan ini tepat jam sembilan yah belum lewat jam sembilan".
Keesokan harinya, kebetulan jadwalku kosong. Aku bangun pagi untuk pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang sudah habis.
Saat di luar rumah, aku bertemu salah seorang tetangga dekat rumahku. Dan tetangga tersebut melihatku dari atas sampai bawah.
"Ada apa ya bu? Tanyaku
" Mau kemana pagi-pagi ini? Pakaianmu rapi banget ya, wangi juga. Mau pacaran ya?oh ya kemaren malam habis dari mana lagi? Organisasi lagi?organisasi apa sih yang sampai malam begitu?" Tanya tetanggaku.
"ah saya belum punya pacar bu,saya cuma mau pergi ke pasar. Sekalian mau nganterin buku ke rumah teman bu,organisasi seni bu, saya pamit dulu ya bu lagi buru-buru,permisi bu". aku pergi dengan keadaan terburu-buru tanpa memperdulikan omongan ibu tersebut.
Kalau semakin aku respon,bakal memakan banyak waktu. Tetangga itu layaknya wartawan,selalu bertanya sampai ke akar-akarnya. Tanpa memperdulikan bagaimana perasaan lawan bicaranya. Apalagi Ibu-ibu komplek selalu saja menatapku setiap aku keluar rumah. Tidak hanya itu,bahkan diantara mereka ada yang pura-pura bertanya,pura-pura peduli agar rasa kepo yang ada pada dirinya terjawab. Aku tidak tahu apakah hal ini terjadi di komplek yang lain atau hanya di komplek ku saja?.
Aku hanya menghadapi segala omongan tetangga dengan wajah yang senang,bukan berarti senang mendengar omongannya. Tetapi, kalau terlalu serius bakal timbul penyakit sakit hati. Begitulah cara orang ekstrovert menghadapi suatu masalah. Mungkin kelihatannya orang ekstrovert selalu memperlihatkan keceriaannya,seolah-olah tidak pernah mengalami fase jatuh saat dilanda masalah. Padahal,cara itu digunakan orang ekstrovert hanya untuk menutupi segala masalah yang ada pada dirinya.
Sampai di rumah,bunda menatapku dengan tatapan cukup tajam. Aku yakin pasti bunda sudah mendengar gosip tetangga.
" Ra, boleh nggak bunda minta satu hal ke kamu?"
"Apa bun?"
"Kurangi ya,pulang malamnya sama pakaianmu kalau mau pergi ke pasar jangan terlalu rapi, tadi bunda nggak sengaja dengar pembicaraan kamu. Jadi, Bunda mohon ya nak"
"Kenapa bun? Omongan tetangga lagi?,lagian aku pulang malam kan sudah sesuai kesepakatan awal bun, sejauh ini juga nggak lewat dari jam sembilan bun dan aku pulang malam kan nggak lakuin hal yang aneh. Kenapa pakaianku juga dipermasalahkan? Padahal aku sekalian mengembalikan buku teman aku juga bun itu udah paling santai kok pakaiannya. Ah udah lah. Tiap ngobrol sama bunda selalu bawa-bawa omongan tetangga."
Aku berlari ke ruang belajar. Dimana ruang ini tempat ternyamanku. Tempat yang akan kujadikan sebagai tempat untuk ku melampiaskan masalah.
Keesokan harinya, aku mendadak ada acara kumpul di jurusan membahas program kerja yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Dan kali ini, mau tidak mau aku pulang malam kembali,aku mulai merasa bodo amat terhadap hal apa lagi yang bakal terjadi. Yang pasti terjadi omongan tetangga.
Batas jadwal pulang malamku sudah lewat, mau tidak mau aku harus meminta izin pulang terlebih dahulu. Aku tidak mau pulang ke rumah dalam keadaan kena marah dan tegur lagi. Saat aku meminta izin untuk pamit pulang duluan, salah satu temanku yang cowok yang bernama Jordi, Jordi menawarkan dirinya untuk mengantarkanku pulang sampai rumah.
"Aku anterin pulang ke rumah ya? Udah malam soalnya, takut terjadi hal yang tidak di inginkan,apalagi juga tidak mungkin untuk kamu pulang ke rumah menggunakan kendaraan umum", ucap Jordi.
" Hmm nggak usah deh,aku bisa kok pulang sendiri. Terimakasih ya udah nawarin untuk nganterin aku pulang."
" Lho? Kok gitu ra? Ada apa?. Justru kalau kamu pulang menggunakan kendaraan umum,kita kan nggak tahu nih,bakal dianterin sampai rumah atau nggak. Bahaya ra"
" Iya sih. Hmm ya udah deh tapi anterinnya jangan sampai rumah ya.."
Aku pulang dengan jordi malam ini sudah menunjukkan pukul 10.00, ternyata selama diperjalanan terjadi kemacetan. Dan membuatku semakin panik dan gelisah. Pasti ayah dan bunda sudah marah, aku bingung harus apa.
Dering handphoneku berbunyi, aku ragu untuk mengangkatnya. Kalau aku angkat, pasti sudah diawali dengan nada marah. Kalau nggak aku angkat,mereka semakin marah dan khawatir.
"Ra,angkat deh teleponnya. Setidakya orang tuamu tahu kamu dimana sekarang." Ucap Jordi.
Tanpa ragu,aku segera mengangkat teleponnya dan menjelaskan secara perlahan. Namun benar, belum di jelasin sudah marah duluan. Aku segera menutup telepon tanpa mendengar omongan orang tuaku selesai. Aku meminta Jordi untuk melewati jalan lain saja.
Tak lama kemudian,aku sudah sampai di gang perumahanku. Aku tidak tahu apakah ada tetangga yang melihatku pulang dengan cowok. Menurutku itu hal yang mustahil jika tidak ada yang melihatnya.
Sampai di rumah, ayah dan bunda sudah dalam keadaan marah,kecewa dan khawatir. Bunda dan ayah bertanya-tanya aku pulang dengan siapa. Aku terpaksa berbohong dan menjawab pulang dengan ojek.
Keesokan harinya,sepulang kuliah. Aku mendapat telepon lagi dari ayah. Dia memintaku untuk segera pulang ke rumah dan katanya ada hal yang perlu dibicarakannya. Aku yakin,pasti ayah sudah tahu perihal aku pulang sama siapa kemarin malam.
Sampai di rumah, ayah dan bunda seolah-olah mengajakku untuk melakukan hal yang senang. Tak lama kemudian,ayah mulai membuka pembicaraannya.
"Ra,kemarin kamu pulang sama siapa? Jawab jujur ya ra" ucap ayah
" Sama ojek kok yah"
"Jangan bohong deh ra,kami sudah tahu" ucap bunda memotong pembicaraan aku dan ayah.
" Iya-iya deh,maaf yah,bun. Kemarin temanku nawarin. Aku udah nolak kok tapi ya mereka mengkhawatirkanku makanya aku nggak bisa nolak. Memangnya ayah dan bunda mau kalau aku pulang naik kendaraan umum terjadi suatu hal yang nggak diinginkan?"
" Bukan gitu ra,kamu tau apa kata tetangga ke kita nak? Bunda nggak mau kamu terus di cap jelek sama tetangga yang ada di sini." Ucap bunda
"Bun, kemarin kondisinya juga mendesak. Mungkin iya aku salah,tidak mengabari kalau aku pulang terlambat dan berbohong aku pulang sama siapa. Tapi bun,aku mohon jangan dengarin omongan tetangga terus-terusan"
" Iya bunda tahu, tapi nggak seharusnya kamu menerima tawaran itu, apa salahnya kamu menghubungi ayah dan meminta ayah untuk menjemputmu? Kamu menerima tawarab dengan gampang sama aja kamu nanti di cap sebagai wanita murahan."
"Ha?murahan? Bunda menganggapku seperti itu. Bunda lebih memilih omongan tetangga dan nama baik bunda? Bunda tega. Bunda jahat. Padahal yang menjadi objek bukan bunda,aku bun. Kenapa bunda yang berlagak menjadi korban?"
" Iya murahan, kamu kan sudah bunda ajarin bagaimana menolak. Nggak seperti ini,dengan gampang menerima tawaran. Kamu tahu betapa malunya bunda mendengar omongan tetangga yang membicarakan kamu? Kamu tahu nggak rasanya menahan malu?kamu nggak pernah mikir bagaimana rasanya menahan malu"
" Bunda malu punya anak seperti aku? Bunda pernah mikir juga nggak mental aku gimana? Aku tahu aku selalu menjadi objek pembicaraan, tapi yang di bicarakan tetangga itu nggak benar bun! Mereka nggak ngalaminnya,mereka nggak ngerasainnya dan yang ngalamin itu aku bun! Bukan mereka! Mereka hanya kompor. Kayaknya bunda lebih mementingkan nama dibanding mental anaknya sendiri". Ucapku sambil menangis tersedu-sedu. Dan segera berlari menuju kamar. Aku tidak mau emosi aku dan bunda akan semakin memuncak.
Aku nggak tau kenapa ya bunda selalu terpengaruh sama omongan tetangga? Padahalkan itu hanya bahan kompor. Sebegitu penting popularitas nama dibanding mentalku?. Kenapa bunda segampang itu percaya sama bahan kompor,padahalkan semua fakta ada di aku,aku yang jalanin hidup,aku juga yang rasain. Aku tau persepsi orang-orang terhadap wanita yang pulang malam akan dianggap sebagai wanita yang tidak benar. Memang,kalau topik itu sudah menjadi tradisi turun temurun akan susah untuk mengubah persepsi hal tersebut. Itulah kehidupan bertetangga hanya tampak dari luar kelihatan rukun,aman dan damai. Nyatanya berbanding terbalik dengan ekspektasi orang-orang perihal tetangga yang rukun,aman dan damai.
Ternyata sisi lain kehidupan bertetangga,hal yang sepele saja bisa dijadikan sebagai topik pembicaraan. Baik itu dari segi pakaian, bawa teman ke rumah dan pulang malam. Mereka selalu berbicara sana-sini tanpa tahu fakta sebenarnya,itu bisa saja menjadi fitnah. Mulut tetangga memang layaknya virus jika terkena satu orang maka akan menular ke yang lain. Begitu juga dengan gosip.
Tanpa mereka sadari,mereka terkadang menjatuhkan mental seseorang melalui ucapan-ucapannya. Apa seremeh itu mental seseorang?. Yang mereka lakukan hanya demi mendapat kesenangan tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi kedepannya. Itulah sifat manusia yang egois. Selalu memikirkan kesenangan diri sendiri tanpa tahu bagaimana perasaan orang lain.
Pada akhirnya, aku hanya bisa menyerah dan mendengarkan apa yang diminta sama bundaku. Semakin aku pikir,aku tidak mau bundaku selalu menjadi sasaran omongan tetangga. Padahal yang menjadi objek adalah aku. Kehidupan bertetangga layaknya robot dan mesin. Mesin selalu mengatur bagaimana cara bekerja,bagaimana cara mengatur gerak- gerik robot dan robot hanya terdiam paksa karena sadar bahwa dirinya diatur oleh mesin. Tapi apakah manusia bisa hidup tanpa mesin? Sebenarnya bisa. Tapi akan berbeda jika mesin tersebut banyak, bukti nyata saja tidak mampu mengalahkan mesin.
Btw karyanya bagus mbak, polll habis!