Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Bossku, pulang jam berapa ?"
"Sejam lagi paling, Pakbro."
"Oke siap. Saya pulang dulu Pak. Jangan lupa deadline laporan dosen besok."
Suara Yanto dan gebrakan meja-nya yang khas sudah hilang. Tinggal koreksi UTS....tinggal 40. Dari 45 lembar.
Ngopi dulu lah.... Mari kita lihat pantry prodi, masih ada kah.... Untung deh masih ada satu. Kuraih cangkir kopi dari dispenser sambil mataku menyapu ruang pantry yang sempit dengan dinding kuning pudar dan aroma campuran mi instan serta kopi yang selalu menggantung di udara. Tapi ternyata kopinya harus menunggu dulu, seseorang masuk ke dalam ruangan, dan berdiri dua meter di sampingku.
"Bapak, permisi, kalau saya mau bimbingan sekarang, apakah bisa ?"
"Lho, Mbak Riska tadi kan sudah ketemu saya ? Ada yang kurang ?" Jawabku setelah kulihat sekilas siapakah dia. Kopiku harus segera diaduk nih sebelum airnya dingin lagi.
"Ini Pak, tadi Bu Karina menyampaikan ke saya, ada interaksi obat yang luput dari kasus kedua. Padahal poin tidak ada interaksi obat jadi fokus pembahasannya ini Pak." Riska membawa laporan tebal di tangan kanan, laptop di tangan kiri. Kirain dia cuma gemuk chubby, ternyata ototnya lebih kekar daripada milikku.
Ruang kelas sebelah sudah sepi, berarti kuliah Kimia Medisinal selesai lebih cepat. Yah, kopinya harus cepet-cepet diminum deh, nggak bisa diseruput pelan-pelan sambil dinikmati aromanya, nanti bisa-bisa security keburu ngunci lift.
"Kalau via WA saja, gimana Mbak ? Ini saya sudah mau pulang."
"Yah, ayolah Paak.... Sebentaaar aja." Riska berkata sambil meng-imut-kan suaranya. Tatapan matanya mengikat milikku, seolah menarik seluruh kesadaranku untuk tenggelam di dalamnya.
"Weleh weleh....ya sudah. Di ruangan saya saja ya." Kopi fresh ini terpaksa kuletakkan kembali di pantry. Riska berjalan lebih dulu ke dalam ruanganku, 'bemper' belakangnya bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti langkah kakinya. Sekejap aku merasa seperti melihat bayangan lain di belakangnya, tapi mungkin itu hanya efek dari lampu neon yang berkedip-kedip. Si Pakbro besok harus kuingatkan membawa lampu baru.
Jarak kami yang semakin menipis membuat udara di sekitar terasa berat dan panas..... Sialan, otak ngeresku kembali beraksi. Itu mahasiswi bimbinganmu, tahan lah.
"Sebentar ya Pak, aku nyalakan lagi laptopnya..." Riska menaruh laptopnya di atas meja, sementara aku duduk di kursiku sambil merapikan beberapa dokumen yang memenuhinya. Logo familiar dari Windows mulai muncul dan digantikan oleh foto keluarga yang dipasang Riska sebagai wallpaper. Tidak lama bagi laptop itu untuk mulai menunjukkan serangkaian kata dan angka yang membuat semua orang pusing melihatnya.
"Ini Pak." Riska memutarkan laptopnya, dia berada tepat di sampingku sekarang, aroma parfum vanillanya mengingatkanku dengan parfum ala GoCar.
"Baiklah, E—Riska. Kita bisa bahas ini sebentar," kataku, terkejut dengan lidahku sendiri yang hampir mengucapkan nama yang berbeda. Duh, sudah aromanya enak, suaranya lembut seperti sinden. Kubaca dengan cepat paragraf-paragraf yang panjang serta kotak-kotak kuning catatan dari dosen pengujinya. Harus cepat-cepat kuselesaikan, keburu maghrib.
"Obatnya kan lansoprazole, bukan omep-" Aku mengomentarinya sambil menengok ke kiri, disambut dengan lekukan dada yang berada tepat segaris dengan mataku, tertahan oleh kancing yang memisahkan satu gunung dengan gunung yang lain. Waduh. Jangan lihat ke kiri, fokus monitor aja. "Bukan omeprazole. Risiko interaksinya kan hampir nol."
"Kalau risiko interaksi antara Bapak sama aku, gimana ?" Kata Riska. Suaranya berubah halus untuk sepersekian detik, begitu cepat hingga aku hampir mengiranya sebagai imajinasi belaka. Namanya juga sudah hampir malam, sepertinya aku salah dengar, mari kita cek lagi obat golongan proton pump inhibitor yang digunakan pasien, lansoprazole setahuku tidak ada interaksi dengan clopidogrel, cuma omeprazole saja.
Aku menghadapkan layar laptopnya ke kiri dan mencoba pinpoint pembahasan yang kusoroti tanpa memandangnya. Bahaya kalau aku menengok ke kiri. "Ini lho Mbak, yang interaksi sama CPG itu ome, bukan lanso."
"Sebentar Pak, agak gerah ya di sini." Dari posisinya saat ini, ia mengulurkan tangan kirinya untuk mengambil tisu di atas meja. Di saat yang sama, 'mengulurkan' gunung miliknya lagi, kali ini kancing itu sudah terlepas. Bayangan yang tercipta dari kancing yang terbuka itu mengacaukan logikaku. Sial... Aku harus kabur dari sini, segera.
"Kalau Bu Karina masih kekeuh bilang kalau semua PPI interaksi sama CPG, nanti tinggal dilihatkan level interaksinya di Drugs.com saja Mbak." Aku mengambil tasku dan mulai memasukkan barang-barang seperti buku dan charger HP ke dalamnya. "Itu aja kan ya ? Saya mau-"
"Bapak nggak mau interaksi sama saya ?" Riska mengambil tanganku dan mengarahkannya untuk mengelus pipinya yang empuk dan mulus, ditambah dengan wajahnya yang dimiringkan sedikit dan tatapannya yang teduh. Remuuuk.
"Janji deh Pak, nggak bilang siapa-siapa." Tanganku kali ini dibawa semakin ke bawah, turun dari wajah ke leher dan ke pundak.
"Mbak.... Nanti dilihat orang, Mbak." Riska tidak menghiraukanku, dan melangkah semakin dekat denganku. Aku bisa merasakan pakaiannya mulai bersentuhan dengan kemejaku. Jantungku berdegup semakin kencang....coba saja tanganku tersambung dengan mesin EKG di rumah sakit, mungkin orang akan salah mengiranya sebagai letusan gunung berapi.
"Biarin Pak." Tanganku ia lepas, dan posisi kami berganti, tangannya berada di wajahku. Belum sempat otakku yang sudah korslet ini memprosesnya, bibir kami sudah bertemu, lidahnya bermain dengan bebasnya.
Pikiranku terbagi dua—bagian rasional yang berteriak untuk pergi, dan bagian lain yang memohon untuk tinggal lebih lama...... Aih, bodo amat. Sekarang giliranku, kulumat bibir atasnya. Kulumat bibir bawahnya. Kugesekkan pipinya dengan hidungku. Kutarik rambutnya yang terbungkus hijab. Sekilas kulihat wajahnya, matanya tertutup, ia menikmatinya dengan sangat.
Tanganku bermain-main di bagian tengah dan bawah badannya, menjamah daerah yang tidak seharusnya terjamah. Kubuang hijabnya yang mengganggu permainanku, dan rambutnya yang panjang tersibak dengan anggun. Bibirnya semakin mendekat ke telingaku, napasnya terasa hangat, dan kemudian—
"Hayo, Eva, udah dibilangin, nggak boleh sembarangan masuk ke tubuh orang." Aku segera menghentikan seluruh aksiku. Sebuah tanda bintang terlihat bersinar di bawah telinganya. Tanda entitas gaib.
"Hihihi, ah Kakanda nggak seru." Kata Riska, memelukku dengan semakin erat. "Kan kita udah lama nggak pacaran."
"Ya jangan di kampus gini juga sih. Udah, pulang sana." Kataku.
"Nanti peluk lagi ya di rumah. Hehe. Dadaaah." Kata Riska, ia lalu terkulai lemah dan terjatuh di atas kursi tamu ruanganku. Aku membopongnya ke ruang tengah dari prodi, sambil mencoba merapikan pakaiannya sebisaku sebelum meninggalkannya di sana. Berabe kalau aku dituduh dosen mesum.
'TING!' Air panas dispenser yang sudah mendingin, kembali panas lagi. Namun kopiku terdiam di dispenser, uap panasnya sudah menghilang ditelan suhu ruangan.
"Gagal lagi deh ngopinya...."