Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Usia 12
1
Suka
389
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Benny dan Sasha terlahir kembar. Sejak kecil mereka selalu bersama-sama. Tidur pun tidak pernah terpisah. Ya, sejak lahir sampai usia mereka dua belas, Benny dan Sasha tidur sekamar.

Padahal, jenis kelamin mereka berbeda, Benny laki-laki dan Sasha perempuan. Pada usia menjelang remaja itu, sudah sepantasnya mereka mendapatkan privasi. Namun, tentu saja mereka tidak mendapatkannya. Padahal, keluarga mereka tidaklah miskin. Ayah dan Bunda hanya tidak ingin mereka menyimpan rahasia.

Keduanya diberikan kamar dengan dua tempat tidur berukuran single. Agar memiliki ruang pribadi, Benny mengakalinya lewat membagi ruangan menjadi dua dengan selimut.

Benny sedang membaca buku seraya berbaring di atas tempat tidur ketika Ayah mendobrak masuk ke kamarnya. Tanpa tedeng aling-aling, orang tua itu menarik kerah bajunya.

Mata Benny menyipit karena pipinya yang bengkak ikut nyeri akibat sentuhan ayahnya itu.

“Kamu itu laki-laki, bukan?” bentak Ayah.

Mata Ayah hanya berjarak tiga sentimeter dengan matanya. Benny cepat-cepat menundukkan pandang. Ia tidak mau memantik kemarahan Ayah lebih tinggi lagi.

“Adikmu di Puskesmas!”

Ayah mendorong bahunya. Benny kaget, bukan karena dorongan itu, melainkan karena kabar yang baru saja ia terima. Sasha sakit apa?

Pertanyaan itu hanya berani ia kemukakan di dalam hati. Suasana hati Ayah sedang buruk. Ia tidak mau memperparahnya. Ayah membalikkan badan dan melihat selimut yang mereka gantungkan sebagai pembatas.

Sontak, Ayah menarik turun pembatas itu. Orang tua itu juga memeriksa barang-barang Sasha dengan grasah-grusuh. Benny diam saja menyaksikan Ayah mengubrak-abrik sisi kamar bagian Sasha.

Degup jantungnya bertambah cepat. Tanpa mempedulikan ketakutannya terhadap sosok Ayah, Benny bertanya, “Sasha mana?”

Bukannya mendapatkan jawaban, sebuah tamparan justru mendarat di pipi Benny. Sakitnya luar biasa.

***

Menjelang malam, Sasha pulang ke rumah dengan lecet di tangan serta dengkulnya. Kembarannya itu berbaring di tempat tidur dan membelakangi Benny.

Dari luar kamar yang dindingnya setipis tisu, Benny dapat mendengar suara pertengkaran Ayah dan Bundanya.

“Kenapa?” tanya Benny kepada Sasha.

“Aku gagal.”

Tentu saja Benny bingung. Sasha lebih pintar dan cerdas darinya. Kegagalan apa yang diderita oleh kembarannya itu?

Belum sempat Sasha menjelaskan kebingungannya, pintu kamar mereka dibuka dengan kasar. Pelakunya adalah Bunda.

Benar-benar tidak ada privasi, Benny mengeluh dalam hati. Ia sudah mencoba memasang kunci pada pintu kamar itu. Tapi, Ayah murka dengan idenya itu.

Sasha yang tadinya berbaring, sekarang sudah duduk tegak bersila di atas kasur. Mata adiknya itu terbelalak. Sekilas Benny mendapati tangan adiknya itu terkepal merenggut seprai.

Bunda berteriak, “Dasar anak durhaka!” seraya melempar buku ke muka Sasha.

Kembaran Benny menundukkan kepala.

Tidak lama kemudian, Bunda menjambak rambut Sasha dan menyeret gadis berusia dua belas itu.

“Aduh, aduh, sakit Bunda,” jerit Sasha memohon ampun.

Benny sebenarnya ingin segera membantu. Tapi ada satu hal yang membuatnya mengurungkan niat. Buku yang dilempar Bunda tadi. Ia memungut dan menyelipkannya di punggung.

“Maaf, Bundaaa. Ampuuun,” Sasha masih meneriakkan permohonannya.

Hati Benny teriris mendengarnnya. Setengah berlari, ia menyusul Bunda. “Bunda, tolong,” ujarnya berusaha membujuk ibunya itu.

“Jangan ikut-ikutan kamu!” bentak Bunda.

Benny tahu dirinya akan dianggap kelewatan batas oleh orang tua itu. Namun, ini adalah Sasha. Tidak rela ia kembarannya diperlakukan seperti itu, meskipun itu oleh ibu mereka sendiri.

Benny mengenyahkan tangan Bunda dari Sasha. Tentu saja amarah Bunda bertambah. Benny pun menerima akibatnya.

***

Saudara kembar itu berbaring sebelah-sebelahan. Bukan lagi di kamar, melainkan di gudang. Tidak ada ventilasi sama sekali di ruangan yang terletak di bawah tanah rumah mereka itu.

Kotak-kotak bertumpuk menjadi pemandangan di sekeliling, menyisakan tempat sempit yang hanya cukup untuk Benny dan Sasha berbaring telentang.

“Aku gagal,” kata Sasha seraya mengelus lebam di bawah matanya.

Sudah dua kali Sasha mengucapkan kalimat itu. “Gagal?” tanya Benny sedikit mendesak agar adiknya itu bercerita.

Tapi, Sasha hanya menggelengkan kepala lalu memiringkan badannya.

Benny teringat buku yang ia selipkan di celana belakangnya. Laki-laki itu meraih buku tersebut. Ketika melakukan itu, wajahnya mengernyit karena merasakan sakit di pinggangnya.

Buku itu hanya buku tulis biasa. Ada nama Sasha di sampulnya. Benny melirik saudara kembarnya. Ia tidak enak hati apabila membuka buku itu tanpa izin.

Benny mengangkat tubuhnya agar dapat bertemu mata dengan Sasha. Namun, penglihatan adiknya itu tertutup. Ada buliran air mata mengalir di pipi kembarannya itu.

Benny menghela napas. Ia kembali berbaring. Laki-laki itu kemudian memutuskan untuk membuka buku Sasha, meskipun izin belum ia terima.

Lembaran buku itu langsung terbuka pada halaman tertentu. Mungkin karena halaman yang dimaksud sudah sering dibuka-buka sebelumnya. Benny mengenali tulisan tangan Sasha di sana.

Aku nggak tahan lagi. Aku harus pergi. Aku yakin nggak akan ada yang kehilangan kalau aku nggak ada. Dijamin, Ayah dan Bunda pasti senang. Selama ini, punya dua anak sudah merepotkan mereka.

Benny tidak sanggup lagi membacanya. Jelas-jelas, tulisan Sasha itu adalah pesan bunuh diri. Jantung Benny berdetak tidak beraturan. Tangannya bahkan gemetaran.

Benny menjatuhkan buku Sasha itu. Ia memeluk adik kembarnya dari belakang.

“Cerita,” ujarnya dengan nada sedikit mendesak.

Sasha menyikut tangan Benny yang memeluknya.

Benny bangkit duduk agar dapat melihat adiknya lebih dekat. “Cuma kamu satu-satunya keluargaku, Sha. Tolong, jangan tinggalkan aku.”

Sasha berbalik dan ikut duduk berhadap-hadapan dengan Benny. “Aku nggak pernah berniat begitu. Aku tahu kok cara menyeberang rel kereta. Buku itu juga aku tinggal di sekolah.”

Benny berusaha merangkai penjelasan Sasha menjadi sebuah cerita. Dengan sabar, ia berusaha mengorek kata-kata lagi dari adiknya itu. Akhirnya, Benny mengetahui apa yang terjadi pada adiknya hari ini.

Sasha membolos dari sekolah. Ia berjalan kaki menuju rel kereta api yang terletak dekat dari sekolah mereka. Sasha bermain-main di tengah rel.

Sebenarnya, anak-anak yang berseliweran di jalan khusus kereta api bukanlah pemandangan yang asing. Namun, ketika bunyi pertanda kereta api akan lewat dan Sasha masih tidak menepi, warga di dekat sana pun khawatir.

Sudah banyak yang memperingatkan Sasha untuk minggir. Adiknya itu tidak mempedulikan. Lalu, seorang warga menyambarnya begitu posisi kereta semakin dekat.

Sasha tentu saja tidak apa-apa. Akan tetapi, peristiwa itu menjadi heboh. Pihak sekolah akhirnya tahu kalau kembaran Benny itu kabur dari sekolah dan menemukan buku berisi curhatan hatinya.

“Maaf, ya. Aku nggak sekolah hari ini. Jadi nggak bisa jaga kamu.”

Sasha melengos. “Mana mungkin Ayah membiarkan kamu keluar rumah dengan memar di pipi kayak gitu.”

Adiknya benar. Benny mengelus pipinya pelan-pelan.

“Kita nggak bisa begini terus,” kata Sasha.

Tentu saja Benny setuju. Tapi, “Kita nggak bisa apa-apa,” jawabnya menimpali.

“Bisa, Ben. Kita mampu.”

Benny melirik buku Sasha. “Caramu itu bukan jawabannya,” ujar laki-laki yang belum dapat dikatakan dewasa itu.

“Iya, aku gagal,” kata Sasha seraya menyilangkan tangan di dada. “Sekarang, kita terkunci di ruangan ini tanpa tahu kapan bisa keluar.”

***

Bukan pertama kali, Benny dan Sasha dikurung di gudang bawah tanah rumah mereka. Benny sudah terbiasa. Oleh sebab itu, ia tidak pernah bermasalah dengan jam tidurnya.

Di sisi lain, Sasha selalu rewel jika mendapatkan hukuman tersebut. Adiknya itu susah memejamkan mata. Bahkan, Benny harus terus mengingatkannya untuk tidak melek semalam suntuk jika ingin tetap hidup.

Oleh karena itu, ketika pagi harinya Benny mendapati Sasha tidak ada di ruangan itu, ia tidak bertanya-tanya. Dalam dugaannya, Bunda jatuh kasihan dan membiarkan adiknya itu keluar lebih cepat. Akan tetapi, mata Benny tertubruk pada noda merah di lantai. Ada yang tidak beres, batinnya. Jantungnya pun kembali berlompat-lompatan. Instingnya menyuruh Benny menggedor pintu agar ia diperbolehkan keluar dari gudang demi memastikan adiknya baik-baik saja.

***

Entah angin apa yang mengelilingi rumah mereka. Bunda membuka pintu dan membiarkan Benny masuk ke dapur. Di sana, sudah ada Sasha dan Ayah yang sedang menikmati sarapan.

“Nasi goreng apa roti tawar?”

Benny tidak percaya dengan penglihatannya. Dua jenis makanan untuk sarapan pagi itu? Padahal, biasanya saja mereka harus puas mengais sisa-sisa makanan bekas santapan Ayah dan Bunda.

“Benny, duduk,” pinta Ayah.

Tidak seperti biasanya, suara ayahnya itu tidak berupa bentakan atau suruhan. Namun, kengerian yang ditimbulkan dari suara itu tetap sama. Benny tentu saja mematuhinya.

“Kalian tahu, kan, kalau Ayah dan Bunda sangat sayang kepada kalian,” kata Ayah.

Bunda menyendokkan nasi goreng ke piring Benny. Kemudian, ibunya itu menyodorkan sendok. Meskipun menerimanya, Benny tidak mengendurkan kewaspadaannya.

“Ayah dan Bunda nggak mau berpisah dari kalian,” ucap Ayah lagi. “Kejadian kemarin bisa membuat kalian dibawa pergi oleh orang lain.”

Ayah menatap tajam Sasha. Benny turut menoleh ke arah adik kembarnya itu. Hanya dengan bertatap-tatapan, Benny paham kalau adiknya pun tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat itu.

“Di luar sana sangat bahaya, Nak.” Ayah mendekatkan diri ke Sasha. “Apa Sasha pikir orang lain akan bersikap baik?”

Kata-kata Ayahnya jauh dari makian ataupun hinaan. Hanya saja, Benny merasa ini lebih berbahaya ketimbang kekerasan fisik yang selama ini mereka terima.

“Apalagi sekarang, ketika kamu sudah cukup umur.”

Benny menyaksikan Ayah meremas punggung tangan Sasha. Kembarannya itu berusaha menjauhkan tangannya. Akan tetapi, tangan Ayah lebih cepat menarik dan mempererat genggamannya di tangan Sasha.

Benny melirik Bunda. Wanita yang melahirkannya itu diam saja dan hanya menundukkan kepala dalam-dalam.

Dalam situasi tersebut, wajah Sasha mulai memerah. Benny tahu betul kalau adiknya itu sedang marah. Ia harus bertindak cepat. Kemarahan Sasha akan membuat Ayah mempunyai alasan baru untuk menghukum mereka.

“Ayah biasanya merokok sehabis makan. Aku ambilkan rokoknya, ya,” kata Benny cepat.

Tanpa menunggu jawaban dari orang tua itu, Benny berdiri dan mencari-cari rokok. Untungnya, ia menemukan satu kotak di atas meja TV. Ia menyambar rokok itu lengkap dengan pemantik gasnya.

Ayah melepaskan pegangannya dari Sasha demi menyalakan rokok. Benny memeriksa raut wajah Sasha yang pelan-pelan tidak lagi merah membara.

“Kalian nggak usah sekolah hari ini,” perintah Ayah seraya mengembuskan asap rokok yang diisapnya.

Bunda mengangguk. Wanita yang melahirkan Benny dan Sasha itu mulai membereskan peralatan makan. Padahal, roti Sasha masih tersisa setengah sedangkan Benny belum melahap nasi gorengnya sama sekali.

Ayah berdiri dan menyimpan rokok di sakunya. “Nanti pulang kerja, Ayah bawakan hadiah untuk kamu,” kata Ayah kepada Sasha.

Bunda membuang buka. Hati Benny terasa tidak enak menyaksikan kehangatan sebuah keluarga yang palsu dan dibuat-buat itu.

***

Selama seminggu setelahnya, suasana rumah lebih menyenangkan, terutama buat Sasha. Ayah selalu membawakan hadiah untuk adik kembarnya itu.

Ia melihat saja saat Sasha memamerkan alat lukis yang baru saja diberikan oleh Ayah. Tidak hanya kanvas dan cat, tetapi lengkap dengan kuda-kudanya.

Benny cemburu. Namun, rasa itu hanya bisa ia pendam dalam hati. “Kamarnya sudah sempit begini,” celetuknya.

Sasha tersenyum. “Ayah bilang… aku akan punya kamar sendiri.”

Benny ternganga. Ada banyak rasa penasaran yang hinggap di kepalanya. Rumah mereka hanya memiliki dua kamar. Ayah dan Bunda juga tidak memiliki uang yang banyak untuk melakukan renovasi.

“Di gudang. Mau dibersihkan sama Ayah.”

Benny seperti tidak percaya. Apakah pesan bunuh diri yang ditulis Sasha membuat orangtua mereka itu berubah? Namun, mengapa Ayah dan Bunda hanya baik kepada adiknya saja?

Benny tidak tahan mendengar senandung gembira adiknya. Ia pun berlalu dari kamar sempit yang sebentar lagi akan lebih lapang tanpa kehadiran adiknya.

Di dapur tanpa sekat yang menyatu dengan ruang tamu, sudah berjejer kotak-kotak. Benny tahu kalau benda itu berasal dari gudang. Sasha rupanya benar.

“Mending Sasha di kamar. Aku yang di gudang,” kata Benny seraya membantu Bunda memindahkan barang-barang.

“Bunda juga maunya begitu.”

“Orang tua kita bukan cuma Ayah, lho. Bunda juga.”

Bunda menyingkirkan kotak yang menghalangi akses jalan. Setelah itu, ibunya itu mengecek kondisi rumah mereka.

“Mau ditaruh di mana kotak-kotak ini?”

Benny menghentikan aktivitasnya. Benda-benda yang mereka keluarkan dari gudang sudah memenuhi setiap inci ruang tamu.

Bunda memandangi Benny dan kamarnya bergantian. Perasaan Benny tidak enak. Jangan bilang kalau Bunda bermaksud memindahkan barang-barang yang seabrek itu ke kamarnya.

Di luar dugaannya, Bunda tidak mengatakan apa-apa. Ibunya itu hanya memeriksa pintu yang menyambung ke tangga untuk menuju ke ruang bawah tanah.

“Ambilkan kotak kecil di atas meja,” perintah Bunda.

Benny menyodorkan benda yang dimaksud. Laki-laki itu bahkan membantu Bunda dengan mengeluarkan isi kotak tersebut. Sebuah kunci gembok.

Bunda mengetes gembok itu pada pintu gudang bawah tanah. Perasaan Benny bertambah kacau.

***

Hari Sabtu sepulang sekolah, Benny dan Sasha memasuki rumah mereka. Suasana hati Benny sama kelamnya seperti hari-hari kemarin ketika ia harus kembali ke rumah itu.

Laki-laki itu melirik ke sebelahnya. Sasha berubah. Adiknya itu lebih ceria akhir-akhir ini. Mungkin itu ada hubungannya dengan tas sekolah baru yang dipakai oleh adiknya.

Benny menatap wajah Sasha, ataukah karena lip tint dan pemerah pipi yang dipakai oleh adiknya itu membuat muka Sasha tampak berkilau?

Di luar kebiasaan, Ayah ada di sana menyambut mereka.

“Kamarmu telah siap,” kata Ayah.

Sasha berteriak gembira. Tidak sabar gadis itu memeriksa kamar barunya. Dari tangga teratas, Benny turut mengintip.

Ruangan yang tadinya gudang itu sekarang menjelma menjadi kamar tidur khas remaja. Bahkan, kasurnya berukuran King Size, jauh lebih bagus dibandingkan matras tipis milik Benny di kamarnya.

Benny menoleh ke arah Bunda. Ia ingin mencari jawaban mengapa kedua orangtuanya berubah. Ia mau tahu alasan Sasha diperlakukan berbeda. Namun, Bunda malah memalingkan muka.

Setelah beberapa saat, Sasha kembali ke atas dibuntuti oleh langkah Ayah.

“Aku akan pindahkan barang-barangku,” kata Sasha kemudian berlalu dengan riang gembira.

“Dia sudah siap.”

Benny yang bermaksud mengikuti Sasha seketika memperlambat langkahnya mendengar kata-kata Ayah itu.

“Bisa ditunda? Demi Tuhan, dia masih 12 tahun.”

“Dia sudah dewasa,” bantah Ayah. “Bukan anak-anak lagi.”

Bunda menghela napas. Lalu, mendadak berkata, “Benny, ke kamarmu. Sekarang!”

Ups, Benny ketahuan menguping. Cepat-cepat ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Hanya saja, ia tidak merapatkan pintu kamarnya itu. Ia masih menyisakan sedikit jarak agar dapat mendengar pembicaraan Ayah dan Bunda.

Ayah tertawa lalu berkata, “Sayang, pasar untuk anak laki-laki tidak banyak.”

“Mereka itu anak-anak kita.”

“Tenanglah, kita bisa buat anak lagi. Masih ada lima tahun sebelum kamu… apa, menopause? Bahkan, setelah itu pun masih ada Sasha yang bisa diandalkan –

Bunda memotong, “Jangan kelewatan!”

Ada keheningan dari luar. Benny tergerak untuk melongokkan kepalanya lebih jauh. Ia ingin mencari tahu apa yang terjadi di luar sana.

Belum sempat ia melakukan niatnya itu, ia mendengar Ayah berkata, “Iya, iya, kita pikirkan nanti saja,” dengan suara rendah.

“Makan malamnya di mana? Saya harus pakai baju apa?” tanya Bunda.

“Nggak akan ada makan malam. Menurutmu, kenapa saya memilih tempat tidur King Size?”

“Nggak, nggak… nggak.”

“Dia bayar mahal. Dan, katanya, hotel di luar sana pemborosan.”

Tanpa Benny sadari, mata Bunda melirik ke arahnya. Namun, ibunya itu justru menghalangi pandangan Ayah agar tidak tertuju kepadanya. Ada banyak pertanyaan dan Benny berusaha merangkai semua informasi yang ia dapatkan.

***

“Hei, lagi apa?”

Pertanyaan dari Sasha itu mengganggunya. Benny spontan menutup pintu kamar.

Benny bukan orang yang pintar. Sasha yang paling cerdas di antara mereka semua. Oleh sebab itu, ia belum mampu menyimpulkan apa yang terjadi di rumahnya itu.

Namun, ia tahu satu hal yang pasti. “Jangan pindah kamar, Sha,” kata Benny.

“Dengar, bukan salahku kalau Ayah membelikan semua hadiah itu.”

Hebat, Sasha mengira ia cemburu. Ia ingin adiknya itu mendengar kekhawatirannya. Benny tahu ada yang tidak beres. Ia hanya tidak mengerti cara menyampaikannya.

Udara di kamar terasa panas dengan perdebatan dalam diam antara Benny dan Sasha. Tahu-tahu, Bunda mendorong pintu kamar mereka.

“Sasha, minum ini.”

Benny menahan tangan Bunda. “Ini apa?”

Bunda mengenyahkan genggaman Benny, lalu meletakkan sebuah pil di telapak tangan Sasha. “Minum sekarang.”

Bunda mengawasi Sasha seperti elang mengintai makanannya. Sekilas, Benny melihat ketakutan di mata adiknya. Ia hapal karena ekspresi itu yang selalu ia lihat selama dua belas tahun ini.

Mata Bunda terus memperhatikannya. Sasha menerima pil yang disodorkan oleh Bunda dan menelannya tanpa perlu bantuan air minum.

“Bagus. Sekarang, mana barang-barangmu, Bunda bantu memindahkannya ke kamar barumu.”

Benny ingin mengikuti langkah mereka. Namun, Bunda menahannya. “Kamu di sini saja! Jangan keluar kalau nggak dipanggil.”

***

Benny menempelkan telinganya di pintu. Tidak terdengar apa-apa. Ia ingin sekali keluar dari kamar. Hanya saja, terakhir kali ia mengabaikan perintah orang tuanya, tidak lama kemudian, akan ada lebam di wajahnya.

Ia menunggu. Ia melihat sekeliling. Masih ada tas sekolah Sasha yang tergeletak di lantai. Benny heran kenapa Sasha tidak juga kembali ke kamar untuk mengambil barang-barangnya yang tersisa. Benny berinisiatif untuk mengumpulkan barang-barang Sasha itu. Lalu, matanya tertumbuk kepada satu benda. Ia mendekati benda itu.

Plastik pembungkusnya sudah sobek. Namun, isinya masih dikemas dalam plastik individual. Benny terkesiap karena tahu apa nama benda itu dengan jelas.

Pembalut.

Jadi ini yang dimaksud oleh Ayah kalau Sasha telah dewasa. Kepalanya pun dipenuhi oleh kata-kata Ayah dan Bunda yang sempat didengarnya tadi.

Tangannya bergetar karena sedikit banyak mengerti apa yang hendak dilakukan oleh Ayah dan Bunda terhadap adiknya. Kamar pribadi dengan tempat tidur berukuran besar.

Jantung Benny berdegup kencang mengingat akan ada seseorang yang menjemput Sasha malam ini. Seseorang yang membayar mahal. Ayah berniat menjual Sasha yang sudah bukan anak kecil lagi.

Benny harus bertindak dengan cepat.

Tidak mengindahkan ancaman Bunda, ia keluar dari kamar. Benny harus mencari Sasha. Dan yang terpenting, ia harus pura-pura tidak tahu apa rencana Ayah dan Bunda.

Benny memeriksa sekeliling dan tidak menemukan Ayah dan Bunda di manapun. Ia setengah berlari ke ruang bawah tanah. Aduh, pintunya terkunci.

Benny mencari-cari. Cukup sulit karena kotak-kotak membuat seluruh ruangan di rumah mereka berantakan. Di mana kira-kira Ayah atau Bunda menyembunyikan kunci gudang?

Benny menggedor-gedor pintu. “Sashaaa!” panggilnya. Tidak ada jawaban dari dalam sana.

Benny mencoba menenangkan diri. Ketiadaan Ayah, Bunda, dan Sasha membuatnya berpikir kalau ketiganya pergi bersama-sama. Apa tadi? Apa mungkin mereka sedang makan malam?

Ia mencoba menanamkan kalau Ayah, Bunda, dan Sasha memang pergi untuk makan malam. Tapi, kenapa jantungnya tetap berdegup kencang. Mengapa pikirannya tidak bisa diajak santai?

Benny beranjak ke dapur. Siapa tahu Bunda meninggalkan pesan untuknya di sana. Lalu, ia melihat kunci yang terletak di atas kulkas. Harap-harap cemas Benny bahwa itu benar kunci yang dapat membuka kunci gudang.

Benny menusukkan kunci dan memutarnya. Berhasil, pintu terbuka. Bergegas ia menuruni tangga. Tolong, Tuhan, tolong, pintanya dalam hati.

Lalu, persis di atas tempat tidur, berbaring seorang wanita. Sasha. Dari mulutnya keluar busa yang masih meleleh. Benny terdiam. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Belum sempat hilang rasa kagetnya, tahu-tahu Bunda sudah ada di belakangnya. “Bunda bilang jangan keluar dari kamarmu, kan?”

Mata Benny memerah. Bergantian ia menatap Bunda dan Sasha. “Rumah sakit," bisiknya lirih.

Bunda tidak mengatakan apa-apa. Ibunya itu melewati Benny dan meletakkan buku di atas meja di samping tempat tidur. Benny mengenalinya sebagai buku yang berisi pesan bunuh diri tulisan Sasha.

“Rumah sakiiiit,” desaknya dengan volume yang lebih tinggi. Tangis sudah berderai dan mengairi pipi Benny.

Bunda tidak mengindahkannya. “Awalnya Bunda siapkan pil itu buat Bunda sendiri. Tapi dipikir-pikir, Sasha lebih membutuhkannya.”

Gila. Ayah dan Bunda sudah kelewatan batas. Benny tahu kalau orang tuanya itu kejam dan sadis. Tapi, ia tidak pernah menyangka kalau ibu kandung mereka akan membunuh Sasha, anaknya sendiri.

“Sekarang, kaburlah. Selamatkan dirimu!” kata Bunda tanpa melihatnya sama sekali.

Benny tidak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali, seolah-olah ada tembok yang menghalanginya meninggalkan saudara kembarnya, Sasha. Sejak kecil mereka selalu bersama-sama. Tidur pun tidak pernah terpisah. Sekarang, mereka telah berusia dua belas. Apakah yang dahulu kembar harus terbelah?

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
A Withering Iris
Alline Elia
Novel
Kita dalam Kehidupan Bumi & Bulan
Sayidina Ali
Cerpen
Bronze
Jakarta Oh Jakarta
Risman Senjaya
Novel
ALFA
Alfasrin
Cerpen
Usia 12
SURIYANA
Novel
I'm your Ribs [ season 2 ]
Linda Maulana
Novel
Gold
Big Magic
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
SELALU ADA RUANG UNTUK PULANG
Ifha Karima
Skrip Film
Rumah Kardus
Patrick Steven
Skrip Film
MODEL VS BIDUAN
Ronie Mardianto
Flash
Kotoran
myht
Skrip Film
Calon Istri Ayah
Eko Hartono
Novel
Kelabu
clarestaputri
Novel
RIFAYYA
Humairoh
Cerpen
Trilogi Imaji: Lena
aicxyx
Rekomendasi
Cerpen
Usia 12
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA
Flash
Badut
SURIYANA
Flash
Di Bawah Tempat Tidur
SURIYANA
Flash
Tidak Hanya Wanita
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA
Cerpen
Nanti juga Bahagia
SURIYANA
Cerpen
Karmini Karmila
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Dear Mima
SURIYANA
Cerpen
Memori Menari
SURIYANA
Flash
Bronze
BAHASA
SURIYANA
Novel
Cinta Ini Rasa Itu
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Menjemput Jiwa
SURIYANA
Flash
Hidup tanpa Warna
SURIYANA