Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Udara di ruang keluarga rumah megah Windi terasa setegang kawat gitar yang akan putus. Bukan sembarang kawat, melainkan senar yang baru saja direntangkan dengan kekuatan penuh dan kini siap mengoyak suasana. Windi Priyanti duduk di sofa empuk, punggungnya tegak kaku, kedua tangannya terkepal erat di atas paha. Matanya menatap tajam ke lantai marmer yang mengilap, menghindari tatapan marah kedua orang tuanya yang duduk di seberangnya. Di meja kopi, ponsel Pak Hasan menyala, menampilkan tangkapan layar video yang entah berapa juta kali sudah ia tonton dengan geram. Video singkat yang menghebohkan, merekam kemesraan Windi dan Alvan di taman kota, menjadi pemicu badai yang kini menerjang rumah itu.
"Windi, jelaskan ini! JELASKAN!" Suara Pak Hasan menggelegar, memantul di dinding-dinding mewah. Ia seorang pejabat bank yang disegani, reputasinya tak bercela. Kini, reputasi itu tercoreng oleh ulah putri tunggalnya.
Windi tetap diam. Tenggorokannya tercekat, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang bergejolak di dadanya. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Apa salahnya mencintai? Apa salahnya bersenang-senang?
Bu Afifah, bundanya, menatap Windi dengan sorot mata terluka. Air mata sudah membasahi pipinya yang halus. "Bunda tidak pernah mengajarkanmu seperti ini, Nak. Caption video itu… itu menghancurkan nama baik kita, Windi. Apalagi kakekmu… rahasia keluarga kita… kenapa harus *ini* yang kamu lakukan?" Suaranya bergetar, lebih menyakitkan daripada bentakan ayahnya. Rahasia keluarga yang dimaksud adalah warisan garis keturunan pejabat dan tokoh masyarakat yang dijaga ketat, sebuah beban yang Windi rasa terlalu berat untuk ia pikul.
Akhirnya, Windi mengangkat kepala, matanya menyala. "Apa yang harus kujelaskan? Aku hanya pacaran, Yah, Bun! Sepe...