Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Udara di ruang keluarga rumah megah Windi terasa setegang kawat gitar yang akan putus. Bukan sembarang kawat, melainkan senar yang baru saja direntangkan dengan kekuatan penuh dan kini siap mengoyak suasana. Windi Priyanti duduk di sofa empuk, punggungnya tegak kaku, kedua tangannya terkepal erat di atas paha. Matanya menatap tajam ke lantai marmer yang mengilap, menghindari tatapan marah kedua orang tuanya yang duduk di seberangnya. Di meja kopi, ponsel Pak Hasan menyala, menampilkan tangkapan layar video yang entah berapa juta kali sudah ia tonton dengan geram. Video singkat yang menghebohkan, merekam kemesraan Windi dan Alvan di taman kota, menjadi pemicu badai yang kini menerjang rumah itu.
"Windi, jelaskan ini! JELASKAN!" Suara Pak Hasan menggelegar, memantul di dinding-dinding mewah. Ia seorang pejabat bank yang disegani, reputasinya tak bercela. Kini, reputasi itu tercoreng oleh ulah putri tunggalnya.
Windi tetap diam. Tenggorokannya tercekat, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang bergejolak di dadanya. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Apa salahnya mencintai? Apa salahnya bersenang-senang?
Bu Afifah, bundanya, menatap Windi dengan sorot mata terluka. Air mata sudah membasahi pipinya yang halus. "Bunda tidak pernah mengajarkanmu seperti ini, Nak. Caption video itu… itu menghancurkan nama baik kita, Windi. Apalagi kakekmu… rahasia keluarga kita… kenapa harus *ini* yang kamu lakukan?" Suaranya bergetar, lebih menyakitkan daripada bentakan ayahnya. Rahasia keluarga yang dimaksud adalah warisan garis keturunan pejabat dan tokoh masyarakat yang dijaga ketat, sebuah beban yang Windi rasa terlalu berat untuk ia pikul.
Akhirnya, Windi mengangkat kepala, matanya menyala. "Apa yang harus kujelaskan? Aku hanya pacaran, Yah, Bun! Seperti remaja pada umumnya! Lagipula, siapa yang peduli dengan caption bodoh itu? Orang-orang cuma ingin gosip!" Ia balas membentak, suaranya melengking. Ada campuran rasa malu yang membakar dan keengganan untuk mengakui kesalahannya. Ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau, dan kali ini, kenyataan terasa pahit.
Pak Hasan menggebrak meja. "Tidak peduli? Windi, kamu tidak tahu betapa susahnya kami membangun nama baik ini! Kamu tidak tahu tekanan di lingkungan kerja Ayah, di lingkungan sosial Bunda! Video *ini* sudah viral di mana-mana! Teman-temanmu bahkan ikut memperolok di media sosial!" Ia terdiam sejenak, menelan amarahnya yang membuncah. "Ayah sudah memutuskan," katanya dengan suara lebih rendah, namun sarat akan otoritas. "Kamu akan Ayah sekolahkan di asrama. Di Desa Arumdalu."
Windi terperangah. Jantungnya berdebar kencang. Arumdalu? Ia bahkan belum pernah mendengar nama desa itu. Sebuah asrama? Bagi Windi, asrama adalah penjara, tempat orang buangan. "Tidak! Aku tidak mau! Ayah tidak bisa melakukan itu padaku! Aku tidak mau ke desa terpencil itu! Aku punya teman-teman di sini, sekolah di sini! Ini tidak adil!" Ia berdiri, menunjuk-nunjuk ayahnya, air mata yang tadi ia tahan kini tumpah ruah.
Bu Afifah mencoba menenangkan. "Windi, ini demi kebaikanmu, Nak. Demi… demi kita semua. Di sana, kamu akan bisa fokus belajar, jauh dari lingkungan yang… yang tidak baik untukmu saat ini." Namun, kata-kata itu tak sampai ke hati Windi yang sudah tertutup rapat oleh rasa marah dan pengkhianatan.
"Tidak! Aku tidak akan ke mana-mana! Aku akan tetap di sini!" teriaknya, lalu berbalik dan berlari menuju kamarnya, membanting pintu dengan keras. Di balik pintu itu, ia terisak. Hukuman. Pengasingan. Ia membenci Arumdalu bahkan sebelum ia melihatnya. Rasa benci dan pemberontakan terhadap orang tuanya, dan tempat asing itu, mulai berakar dalam hatinya. Ia bersumpah akan melakukan apa saja untuk kembali ke kehidupannya yang nyaman di kota, secepatnya. Ini adalah titik awal perjalanan transformatifnya, meskipun saat itu ia masih belum tahu.
Tiga hari kemudian, janji Windi untuk tetap tinggal di kota ternyata hanya isapan jempol belaka. Dengan enggan, ia menyeret koper-kopernya yang berukuran besar, penuh dengan pakaian modis dan barang-barang pribadi yang tak ia sangka akan berguna di desa. Mobil SUV mewah milik ayahnya meluncur pelan meninggalkan gerbang rumah, membelah hiruk pikuk kota yang Windi cintai. Setiap gedung pencakar langit yang melintas, setiap kafe tempat ia biasa nongkrong, seolah melambai perpisahan, menambah perih di hatinya.
Duduk di kursi belakang, Windi hanya diam, menatap keluar jendela. Rambut hitamnya yang panjang terurai menutupi sebagian wajahnya. Ia tak peduli dengan pemandangan berganti dari beton ke hijau, dari gedung ke sawah. Hatinya seperti batu, keras dan dingin. Di kursi depan, Pak Hasan fokus menyetir, sesekali melirik spion, mencoba membaca ekspresi putrinya yang tak berubah sejak kemarin. Bu Afifah duduk di sampingnya, meraih tangan Windi, namun Windi langsung menariknya dengan kasar.
"Windi, sayang," suara Bu Afifah lembut, memecah kesunyian yang mencekam. "Coba lihat pemandangan ini. Indah sekali, bukan? Sebentar lagi kita akan sampai di Arumdalu. Desa ini terkenal lho, penghasil pisang kepok terbaik. Keripik pisangnya juara. Nanti kamu bisa mencicipi." Ia mencoba tersenyum, berupaya menyiratkan kehangatan. "Sekolah berasramanya juga sangat berkualitas, Nak. Banyak alumni yang jadi orang sukses. Bunda yakin, kamu pasti betah di sana."
Windi hanya mendengus, membuang muka ke arah lain. "Betah? Bunda pikir aku bisa betah di tempat antah berantah begitu? Tidak ada sinyal, tidak ada mal, tidak ada kafe. Cuma pisang dan sawah." Kata-katanya terasa pahit. Ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan rasa jijiknya. Setiap kilometer yang ditempuh mobil itu, seolah semakin menjauhkan Windi dari kehidupannya, dari identitasnya. Rasa keterasingan dan ketidaknyamanan menyelimutinya. Ia membenci suasana sunyi ini, membenci desa itu, membenci orang tuanya yang memaksanya.
Perjalanan itu terasa sangat panjang. Jalanan yang mulanya beraspal halus perlahan berganti menjadi jalan berlubang, bergelombang, dengan debu tipis yang beterbangan setiap kali mobil melaju. Pepohonan di pinggir jalan semakin rapat dan tinggi, menyelimuti perjalanan dengan bayangan. Aroma tanah basah dan dedaunan yang baru terguyur hujan mulai tercium, sangat berbeda dengan bau knalpot dan parfum kota yang biasa ia hirup. Windi merasakan mual dan pusing karena guncangan mobil yang tak henti. Ia mencengkeram erat *handle* pintu mobil, berharap perjalanan ini segera berakhir, meski ia tahu, itu hanya akan membawanya ke "penjara" barunya.
Setelah berjam-jam, akhirnya mobil mereka memelan, kemudian berhenti di depan sebuah gerbang kayu sederhana. Di baliknya, terlihat sebuah rumah bergaya joglo yang asri, dikelilingi taman kecil dengan berbagai tanaman hias. Udara di sini terasa lebih segar, namun juga lebih sepi. Hanya terdengar suara jangkrik dan gemerisik daun. Sebuah kesunyian yang asing bagi telinga Windi. Ini bukan asrama, melainkan rumah pengasuh asrama.
Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambut mereka. Wajahnya teduh, matanya memancarkan kehangatan. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbok Mi. "Selamat datang di Arumdalu, Nona Windi. Mari masuk, sudah kami siapkan minum."
Windi hanya mengangguk kaku, matanya menyapu sekeliling. Rumah ini bersih, namun jauh dari kemewahan yang ia kenal. Ia merasa semakin terasing, semakin tak betah. Setiap inci dari tempat ini terasa asing, setiap suara terasa ganjil. Ia merindukan kebisingan kota, hiruk pikuk yang menenangkan baginya. Ia merindukan kebebasan yang kini direnggut darinya. Di dalam hatinya, ia sudah merencanakan pelarian.
Setelah berbincang singkat dan minum teh hangat, Mbok Mi mengantar Windi ke asramanya, yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Bangunan asrama itu berupa rumah tua bergaya kolonial, dicat warna krem pucat, dengan banyak jendela dan pintu kayu yang tinggi. Begitu masuk, ia langsung diantar ke kamarnya yang akan ia tempati bersama tiga orang teman. Kamar itu sederhana, dengan empat ranjang susun, lemari kayu kecil, dan meja belajar. Jauh sekali dari kamar pribadinya di kota.
Windi meletakkan kopernya di samping ranjang, menatap kosong ke dinding. Orang tuanya masih ada di sana, mengucapkan salam perpisahan dan pesan-pesan. Ia hanya mendengarkan dengan setengah hati, pikirannya sudah melayang jauh. Ia tidak sadar jika ini akan menjadi titik awal dari petualangan horor yang tak terduga.
Tiga bulan berlalu di Arumdalu. Tiga bulan yang terasa seperti tiga abad bagi Windi. Ia memang tidak berhasil kabur, namun setiap hari adalah perjuangan. Ia tak menyangka hidup bisa sesulit ini. Beradaptasi dengan jadwal asrama yang ketat, makanan yang serba sederhana, dan teman-teman yang jauh berbeda dari gengnya di kota, sungguh menguras energinya. Ia tetap menjadi sosok yang dingin dan sulit didekati, membuat ia merasa semakin terasing di antara teman-temannya. Ia sering merenung, memandangi langit-langit kamar asrama, bertanya-tanya kapan ia bisa pulang.
Hari itu, kesendirian Windi mencapai puncaknya. Asrama terasa sepi senyap. Semua temannya, termasuk Nina dan Fitri, sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seni tari di aula desa. Windi tidak ikut, ia memang tidak tertarik dengan seni tradisonal. Ia juga merasa tidak enak badan sejak pagi. Tubuhnya demam, kepalanya pusing berdenyut, dan perutnya melilit karena nyeri datang bulan yang menyiksa. Ia hanya bisa terbaring lemas di ranjangnya, selimut menutupi seluruh tubuhnya, sementara teman-teman sekamarnya asyik berkegiatan.
Perutnya keroncongan, berbunyi nyaring. Sejak siang, ia hanya memakan bubur dingin yang terasa hambar. Rasa mual melandanya setiap kali ia mencoba menelan. Ia bosan dengan bubur, bosan dengan suasana sepi, bosan dengan segalanya. Moodnya buruk, dipicu oleh kondisi fisik yang lemah dan siklus bulanannya. Ia merasa sangat tidak nyaman, ingin sekali merasakan makanan pedas atau es krim manis seperti di kota.
"Arrgghh!" Windi mendengus kesal, menggulingkan badannya ke sisi ranjang. Ia meraih ponselnya, berharap ada sinyal untuk setidaknya membuka media sosial, namun seperti biasa, hanya ada ikon silang di sudut layar. Frustrasi semakin menumpuk. Ia merasa terkurung, sendirian, dan tak berdaya.
Mendadak, sebuah ide nekat melintas di benaknya. Di belakang asrama, ada gerbang kecil yang jarang sekali digunakan, mengarah langsung ke jalan setapak yang membelah kebun pisang warga. Gerbang itu sebenarnya terlarang untuk dilewati siswa, tapi Windi tahu kunci cadangannya disembunyikan di bawah pot bunga. Ia pernah melihat petugas kebersihan menggunakannya.
"Tidak apa-apa, sebentar saja," bisik Windi pada dirinya sendiri. "Hanya mencari makanan di warung. Lagipula, siapa yang akan tahu?" Ia berpikir bahwa dalam kondisi begini, ia butuh sesuatu yang enak untuk mengembalikan semangatnya. Ini bukan lagi soal pemberontakan, melainkan insting untuk bertahan hidup, meski dilakukan dengan cara yang nekat dan melanggar aturan.
Dengan langkah gontai dan kepala yang masih pusing, Windi bangun dari ranjang. Ia mengenakan jaket tipis, menyamarkan piyamanya. Perlahan, ia membuka pintu kamar, memastikan koridor sepi. Jantungnya berdebar kencang, antara rasa takut ketahuan dan adrenalin karena tindakan impulsifnya. Ia menyelinap keluar dari asrama, berjalan mengendap-endap menuju gerbang belakang.
Angin sore yang mulai dingin menerpa wajahnya saat ia berhasil membuka gerbang kayu itu. Di depannya terhampar jalan setapak kecil yang diapit rimbunan pohon pisang. Udara di antara pepohonan itu terasa lebih lembap dan berat. Cahaya matahari senja yang kemerahan sudah mulai meredup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di antara pelepah pisang. Aroma tanah basah dan daun pisang menyeruak. Windi menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan firasat aneh yang tiba-tiba muncul. Ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa di balik keindahan semu ini. Namun, rasa lapar dan tekadnya untuk mencari makanan jauh lebih kuat daripada rasa takut yang baru saja menghinggapinya. Ia memutuskan untuk melangkah, tak menyadari bahwa keputusan impulsifnya ini akan membawanya ke dalam kengerian yang tak terbayangkan.
Langkah kaki Windi terasa berat saat ia mulai menyusuri jalan setapak itu. Di sini, cahaya senja tidak bisa menembus rimbunnya dedaunan pisang yang menjulang tinggi, menciptakan lorong yang temaram dan menakutkan. Udara semakin dingin, seolah menusuk tulang, padahal ia sudah mengenakan jaket. Gemerisik daun pisang yang ditiup angin terdengar seperti bisikan-bisikan asing, membuat bulu kuduknya merinding. Windi mencoba mempercepat langkahnya, berharap segera sampai di ujung jalan dan menemukan warung yang ia cari.
Tiba-tiba, telinganya menangkap sebuah suara. Senandung. Merdu, namun pilu. Nyanyian Jawa yang meliuk-liuk, menyusup ke dalam rongga dadanya, menggetarkan saraf-sarafnya. Suara itu begitu dekat, seolah berasal dari balik rimbunan pohon di sisi kirinya. Jantung Windi berdegup semakin kencang. Ia mencoba menepis rasa takutnya, menganggap itu hanya suara radio dari rumah warga, tapi melodi itu terlalu jernih, terlalu mistis.
"Siapa di sana?" gumam Windi, suaranya bergetar. Ia berhenti melangkah, matanya menjelajahi kegelapan di antara pepohonan.
Senandung itu terhenti. Keheningan yang tiba-tiba justru terasa lebih menakutkan daripada suara tadi. Windi merasakan hembusan angin dingin yang menusuk, seolah ada sesuatu yang lewat di dekatnya. Ia menelan ludah, seluruh tubuhnya menegang. Rasa pusing yang tadi ia rasakan karena demam kini bertambah parah, disertai mual yang hebat.
Dan kemudian, dari balik rimbunan daun pisang yang tebal, sosok itu muncul.
Windi terkesiap, nyaris menjerit. Sosok wanita. Ia melayang, tak menginjak tanah, dengan anggun namun menyeramkan. Wanita itu mengenakan kebaya merah yang warnanya sudah pudar dan terlihat lusuh, seperti kain yang sudah usang termakan usia. Wajahnya pucat pasi, seperti tanpa darah, dengan lingkaran hitam pekat menganga di sekeliling matanya yang cekung. Rambutnya tergerai panjang, kusut, dan beberapa helainya menutupi sebagian wajahnya.
Wanita itu tersenyum. Senyumnya lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang tampak sedikit kehitaman. Suara tawanya melengking, memecah kesunyian, menembus gendang telinga Windi, seolah ribuan paku menancap di otaknya. Tawa itu perlahan berubah menjadi jeritan pilu yang memekakkan, lalu kembali menjadi senandung merdu yang menusuk hati.
"Windi… kemari… kemari, Nak…" Suara itu lembut, namun mematikan, seperti bisikan iblis. Lidahnya yang panjang, merah gelap, terjulur perlahan keluar dari mulutnya, berayun-ayun seolah ingin menjilat udara.
Windi merasa pusingnya semakin menjadi. Kakinya lemas, seolah tak mampu menopang tubuhnya. Ia belum pernah mengalami kejadian mistis seperti ini seumur hidupnya. Selama ini, ia hanya mengenal ketakutan dari film-film horor, bukan dari realitas yang kini ada di depan matanya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia merasakan energinya seperti tersedot keluar, perlahan-lahan. Penglihatannya mulai kabur, dunianya berputar.
Ia mencoba berteriak, namun suaranya hanya tertahan di tenggorokan. Ia ingin lari, namun kakinya tertancap di tempat. Sosok wanita berkebaya merah itu semakin mendekat, senyumannya semakin lebar, lidahnya semakin panjang menjulur. Aroma melati busuk tiba-tiba menyeruak, menyengat hidungnya.
"Windi… jangan takut…" bisik suara itu, terdengar lebih dekat lagi.
Windi hanya bisa melihat kegelapan yang perlahan menutupi pandangannya. Tubuhnya terasa ringan, melayang, lalu kemudian ambruk di jalan setapak yang lembap, tak sadarkan diri. Kebun pisang yang gelap itu seolah menelannya bulat-bulat, bersama dengan senandung pilu yang kembali terdengar, mengiringi kegelapan yang menelannya.
Windi terbangun dengan kepala terasa berat, seperti ditimpa beban seribu ton. Kelopak matanya terasa sangat lengket, sulit untuk dibuka. Aroma minyak kayu putih yang kuat menyengat hidungnya, bercampur dengan bau obat-obatan. Perlahan, ia membuka mata, penglihatannya masih buram. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang.
Ia terbaring di ranjang sederhana, dengan selimut tipis menutupi tubuhnya. Dinding berwarna putih bersih, lemari kaca berisi obat-obatan, dan sebuah infus yang terpasang di lengannya menjelaskan bahwa ia ada di klinik asrama. Ia tidak sendirian. Di samping ranjangnya, Nina dan Fitri, teman-teman sekamarnya, terlihat sedang tertidur pulas dengan posisi duduk di kursi. Di sudut ruangan, Mbok Mi, pengasuh asrama, sedang duduk di sebuah kursi rotan, merajut dengan tenang, kepalanya sesekali terangkat, seperti sedang mengawasi.
"Mbok Mi…" suara Windi serak.
Mbok Mi segera menoleh, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Sudah sadar, Nak? Alhamdulillah. Bagaimana perasaanmu?" Ia bangkit dan mendekat, tangannya menyentuh dahi Windi. "Masih demam, tapi tidak setinggi tadi malam."
Nina dan Fitri ikut terbangun mendengar suara Mbok Mi. "Windi!" seru Nina, matanya berbinar lega. "Kamu sudah sadar! Kami khawatir sekali!"
Fitri mengangguk, ikut mendekat. "Kamu bikin kita semua panik. Tiba-tiba saja ditemukan pingsan di jalan belakang kebun pisang. Kata Mbok Mi, tubuhmu dingin sekali, seperti es."
Windi mencoba bangkit, namun kepalanya masih terasa pusing. Ia ingat kejadian di kebun pisang itu, bayangan wanita berkebaya merah, tawa melengking, lidah menjulur. Mungkinkah itu hanya mimpi buruk karena demam?
"Apa yang terjadi, Nak?" tanya Mbok Mi dengan lembut, matanya menatap Windi penuh perhatian. "Coba ceritakan pelan-pelan. Mbok Mi siap mendengarkan."
Windi ragu. Akankah mereka percaya? Namun, tatapan tulus dari Mbok Mi memberinya keberanian. Dengan suara bergetar, ia menceritakan semuanya, mulai dari niatnya mencari makan, angin dingin, senandung pilu, hingga kemunculan sosok wanita berkebaya merah itu dan bagaimana ia merasa energinya tersedot habis.
Nina dan Fitri saling berpandangan, wajah mereka pucat. Mbok Mi hanya mengangguk-angguk, tidak menunjukkan keterkejutan. Seolah-olah ia sudah tahu.
"Nyi Arumdalu," bisik Mbok Mi, suaranya pelan dan bergetar. "Dia menampakkan diri padamu, Nak."
Windi terkesiap. "Nyi Arumdalu? Siapa itu, Mbok Mi?"
Mbok Mi menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh. "Itu urban legend desa ini, Nak. Kisah tragis yang sudah turun-temurun diceritakan. Dulu sekali, desa ini belum bernama Arumdalu. Namanya Desa Kalimuncar. Ada seorang sinden cantik jelita, namanya Rukmini. Suaranya merdu sekali, wajahnya rupawan, seperti namanya, Arumdalu, kembang melati yang semerbak. Ia menjadi primadona di setiap pentas tari dan wayang."
"Tapi, kecantikannya dan kemerduan suaranya membuat iri Murti Suminar, putri juragan padi paling kaya dan berkuasa di desa. Murti ini juga menyukai seorang pemuda yang sama dengan Rukmini. Rasa cemburu membakar hati Murti. Ia merasa kalah segalanya dari Rukmini. Suatu malam, saat Rukmini pulang dari pentas, Murti dan beberapa anak buahnya mencegatnya di hutan jati, tempat yang sekarang jadi kebun pisang di belakang asrama ini."
Windi menahan napas. Ia sudah bisa menebak kelanjutan ceritanya.
"Mereka membunuh Rukmini dengan kejam, Nak. Tubuhnya diikat ke pohon jati, lalu disiksa dan dibiarkan begitu saja. Konon, arwah Rukmini tidak tenang. Ia terus gentayangan di hutan jati itu, mencari keadilan, atau mungkin hanya ingin didengar senandung pilunya." Mbok Mi terdiam sejenak, menatap Windi. "Dan tempat kamu pingsan itu, dulu memang bekas hutan jati tempat jasad Nyi Arumdalu ditemukan, Nak."
Ketakutan kembali menyelimuti Windi. Ia menatap Mbok Mi, lalu ke Nina dan Fitri yang kini tampak tegang. "Jadi… jadi aku benar-benar bertemu hantu?"
Mbok Mi mengangguk. "Bisa jadi, Nak. Nyi Arumdalu memang dikenal sering menampakkan diri pada orang yang sedang lemah, atau yang memiliki indra keenam terbuka. Kamu saat itu demam, tubuhmu lemah, ditambah lagi sedang datang bulan. Pada waktu surup, atau senja, energi alam seringkali menjadi sangat tipis, membuka batas antara dunia kita dan dunia mereka. Semua itu mungkin membuka mata batinmu."
Windi merinding. Kengerian yang ia rasakan semalam kembali, namun kali ini bercampur dengan rasa iba yang mendalam. Ia membayangkan Rukmini, sinden cantik itu, dibunuh secara kejam karena kecemburuan. Rasa takutnya berangsur berubah menjadi empati. Arumdalu bukan hanya tempat hukuman baginya, tapi juga tempat dengan sejarah kelam, misteri, dan kesedihan yang tak terhingga. Pengalaman ini benar-benar membuka matanya pada dimensi lain di Arumdalu dan membuatnya merasa sangat rentan serta membutuhkan pertolongan.
**Poin Alur 6: Kehangatan yang Tak Terduga dan Penerimaan Diri**
Udara di klinik terasa hangat, bukan karena suhu, melainkan karena kehangatan yang memancar dari Mbok Mi, Nina, dan Fitri. Setelah Mbok Mi selesai bercerita, keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Windi masih terkejut dan terguncang, namun kini ada perasaan lain yang tumbuh di hatinya: rasa terima kasih.
Mbok Mi meraih tangan Windi, mengelusnya lembut. "Sudah, Nak, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kamu sudah selamat. Nyi Arumdalu memang pernah jahat, tapi ia juga korban. Sekarang, banyak-banyak berzikir saja, berdoa. Nanti Mbok Mi buatkan ramuan herbal supaya badanmu lebih segar." Nada suaranya penuh kasih sayang, seperti seorang ibu kepada anaknya. Windi merasakan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan, kehangatan yang meluluhkan dinding es di hatinya. Ini mengingatkannya pada kasih sayang ibunya, yang selama ini ia abaikan.
Nina dan Fitri pun ikut menimpali. "Iya, Windi. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita pada kami, ya," kata Nina.
"Kami kan teman sekamarmu. Kita di sini keluarga," tambah Fitri, menggenggam tangan Windi yang lain. Senyum mereka tulus, membuat Windi merasa bahwa ia tidak sendirian.
Windi menatap ketiga wanita di depannya. Mbok Mi yang begitu tulus mengasuhnya, Nina dan Fitri yang setia menemaninya, bahkan saat ia masih bersikap dingin dan tidak acuh. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa hanya keluarga kandungnya yang bisa memberinya kasih sayang. Namun, di tempat terpencil yang dulunya ia benci ini, ia menemukan kehangatan yang tak terduga, dukungan yang tulus. Rasa rindu pada orang tuanya, terutama bundanya, tiba-tiba muncul. Ia menyadari betapa ia selama ini telah menyakiti hati mereka dengan sikap keras kepalanya.
Sebuah keputusan besar tiba-tiba muncul di benak Windi. Ia menatap Mbok Mi. "Mbok Mi… aku… aku minta tolong. Jangan beritahu orang tuaku tentang ini, ya." Suaranya berbisik, penuh harap.
Mbok Mi mengerutkan keningnya. "Kenapa, Nak? Nanti mereka khawatir."
"Tidak apa-apa, Mbok Mi. Aku… aku tidak mau mereka makin khawatir. Aku juga tidak mau mereka datang ke sini dan… dan membawaku pulang," Windi menjelaskan, matanya berkaca-kaca.
Nina dan Fitri saling bertatapan, terkejut mendengar pernyataan Windi. Selama ini, yang mereka tahu Windi selalu ingin pulang ke kota.
"Aku… aku ingin tetap di sini, Mbok Mi," lanjut Windi, suaranya lebih mantap. "Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri, dan juga pada Ayah dan Bunda, kalau aku bisa betah. Aku bisa mandiri. Aku tidak akan kabur lagi." Air mata yang ia tahan kini menetes, namun kali ini bukan air mata kemarahan, melainkan air mata keharuan dan tekad.
Mbok Mi tersenyum lembut, mengelus kepala Windi. "Alhamdulillah, Nak. Mbok Mi senang mendengarnya. Kalau memang itu maumu, Mbok Mi akan membantumu. Tapi, kamu harus janji, tidak akan lagi melanggar aturan, dan selalu menjaga diri."
Windi mengangguk mantap. Ia merasakan beban berat terangkat dari pundaknya. Ia tidak lagi melihat Arumdalu sebagai penjara, melainkan sebagai sekolah kehidupan yang mengajarkannya banyak hal. Di tempat ini, ia tak hanya menghadapi horor, tapi juga menemukan persahabatan, kasih sayang, dan yang terpenting, ia mulai menemukan dirinya sendiri. Keinginannya untuk kabur telah berganti menjadi keinginan untuk bertahan dan tumbuh.
Minggu-minggu berlalu dengan cepat setelah kejadian di kebun pisang. Windi Priyanti bukan lagi Windi yang dulu. Gadis manja, keras kepala, dan egois itu perlahan memudar, digantikan oleh pribadi yang lebih matang, peka, dan berempati. Ia mulai bergaul akrab dengan teman-teman asramanya, terutama Nina dan Fitri. Obrolan mereka bukan lagi seputar drama kota atau *fashion* terbaru, melainkan tentang pelajaran, kegiatan asrama, bahkan sesekali mereka berbagi cerita rakyat dari daerah masing-masing.
Windi mulai menikmati kehidupannya di Arumdalu. Ia rajin belajar, turut serta dalam kegiatan ekstrakurikuler kerajinan tangan khas desa, dan bahkan mulai tertarik pada pelajaran kesenian yang menampilkan tarian daerah. Ia tak lagi mengeluh soal makanan asrama yang sederhana, bahkan sering membantu Mbok Mi di dapur atau di kebun kecil samping asrama. Setiap pagi, ia menyempatkan diri untuk berzikir, merenungkan makna kehidupan, dan mendoakan arwah Nyi Arumdalu.
"Windi, bantu Mbok Mi cabut rumput di taman depan, ya," pinta Mbok Mi suatu siang.
"Siap, Mbok Mi!" jawab Windi ceria, tanpa sedikitpun rasa enggan. Ia dulu akan menolak mentah-mentah jika disuruh melakukan pekerjaan semacam itu. Kini, ia melakukannya dengan senang hati.
Peristiwa di kebun pisang itu memang meninggalkan bekas trauma, namun juga membuka matanya lebar-lebar. Ia belajar tentang konsekuensi dari tindakannya, tentang kemandirian yang sesungguhnya—bukan sekadar nekat, melainkan tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan. Ia juga memahami bahwa kasih sayang dan persahabatan bisa datang dari mana saja, bahkan dari tempat yang dulu ia benci dan anggap sebagai pengasingan.
Sebagai langkah preventif dan untuk ketenangan hati para siswa, gerbang belakang asrama yang menuju ke kebun pisang itu akhirnya ditutup permanen. Pintu kayunya dilepas, dan digantikan dengan tembok tinggi yang kokoh, seolah menyegel portal menuju dunia lain. Itu adalah penanda, bukan hanya fisik, melainkan simbolik, bahwa babak baru telah dimulai.
Suatu sore, Windi duduk di beranda asrama, menikmati secangkir teh hangat yang disuguhkan Mbok Mi. Matanya menerawang ke arah kebun pisang yang kini tertutup tembok. Ia tidak lagi merasakan ketakutan, melainkan semacam kedamaian aneh. Ia tersenyum lega. Orang tuanya tidak salah memilihkan sekolah untuknya. Di Arumdalu, ia telah menemukan lebih dari sekadar hukuman. Ia menemukan pelajaran hidup yang tak ternilai.
"Kamu sudah betah ya di sini, Nak?" Mbok Mi bertanya, suaranya lembut.
Windi menoleh, matanya berbinar. "Betah sekali, Mbok Mi. Aku belajar banyak hal di sini. Aku tidak pernah sebersyukur ini sebelumnya."
Mbok Mi tersenyum. "Alhamdulillah kalau begitu. Arumdalu memang punya caranya sendiri untuk mengajarkan kita, Nak."
Windi mengangguk. Ia tahu Mbok Mi tidak hanya bicara soal pelajaran sekolah, tetapi juga tentang pelajaran hidup, tentang kekuatan legenda, dan tentang bagaimana suatu tempat bisa mengubah seseorang. Ia telah tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, lebih mandiri, dan lebih berempati. Kedamaian batin menyelimuti hatinya, sebuah kedamaian yang tak pernah ia duga akan ia temukan di desa terpencil ini. Arumdalu bukan lagi sekadar nama desa atau asrama, melainkan bagian dari dirinya, bagian dari kisah transformasinya.
Namun, terkadang, saat angin senja berembus melewati celah-celah dedaunan pisang yang kini tersembunyi di balik tembok tinggi itu, Windi masih sesekali mendengar senandung pilu yang samar. Merdu, namun sarat akan duka. Senandung Nyi Arumdalu. Entah itu hanya imajinasinya, ataukah sang sinden cantik itu memang masih ada, terus menyenandungkan kisah pilunya, menunggu seseorang untuk sepenuhnya memahami dan menerima takdirnya. Windi tidak tahu pasti. Yang ia tahu, Arumdalu akan selalu menyimpan misterinya, dan ia, Windi, kini adalah bagian darinya, dengan cerita yang baru saja dimulai.