Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Surat ini aku tuliskan kalau sekiranya aku harus mati saat ini. Suratnya terlalu banyak hanya untuk kamu seorang tapi sepertinya cukup pantas jika hanya untuk kamu yang dapat. Surat yang terakhir ini aku tuliskan saat aku sudah susah bernafas, bergerak saja sudah sulit untung suster ku berbaik hati mencurahkan hatiku melalui sebuah kertas. Coba ada kamu mungkin bisa lebih enak tapi kamu sibuk diluar bersama pekerjaan itu. Tidak apa-apa lagi pula hidup kamu akan terus hidup dibandingkan aku yang bentar lagi mati.
***
Aku menyesal, menyesal tidak menemani dia di saat terakhirnya andai saja aku ada saat itu, aku yakin dia tidak akan mati dengan penasaran. Semoga saja istriku tidak mati dengan pertanyaan, aku egois juga lebih mementingkan kerja kala itu padahal kerja itu sama sekali tidak abadi.
Sekiranya 20 tahun aku menyesali keputusan tersebut. 20 tahun juga aku tidak bisa merasakan cinta selain dirimu. Sekarang aku hanya kakek tua tinggal di panti jompo sendiri. Memangnya siapa lagi yang bisa cinta sama kakek-kakek umur 60 tahun.
Aku sudah lemas tapi hidup seperti terus memaksaku bangun. Di tempat tidur terakhirmu aku selalu kunjungi selama 20 tahun belakangan ini.
Kuburanmu dari dulu tidak pernah berubah, selalu ada pohon besar menjulang yang menemani kamu selama ini, pohon besarnya mengingatkanku dengan diriku yang dulu hanya pria belum mapan yang menembak anak konglomerat seperti kamu.
Aku bingung kenapa kamu mau menerimaku kala itu tapi aku bersyukur bisa punya kamu walau hanya sesaat sebelum penyakit itu merengutnya. Aku duduk di kuburanmu melihat langit pagi yang sama indahnya dengan matamu yang membuat aku tenang.
***
Keluargaku selalu berkata aku bodoh, tapi sebodoh apa diriku ini?, Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, buat apa aku mencintai pria baru mapan sepertinya daripada anak perusahaan papi aku.
Aku tertidur di rumah sakit ini sudah hari ke 8 aku belum kunjung membaik. Hanya bisa terbaring lemas menatap matahari yang seperti senyumanmu, sial juga cuman sendiri keluargaku sudah keburu benci karena keputusanku. Aku cuman ditemani dengan suster yang bolak balik cek darah dan juga memberi asupan. Waktu terasa lambat.
Aku kalau tidak ada kegiatan seperti ini, aku selalu membayangkan muka suamiku itu, mukanya biasa saja, kulitnya sawo matang, matanya sedikit lebar, dengan rambut yang selalu berantakan. Aku jujur tidak bisa menjawab kenapa aku bisa mencintai dia?, tapi selama ada dia di dekatku entah kenapa aku merasa lebih hidup senyumannya dan juga candaan miliknya yang terkadang juga garing. Kayaknya dengan senyummu dan sikap jujurmu aku sudah meleleh dan terima cincin nikahmu yang sederhana itu.
***
Andai waktu bisa diulang, aku bersyukur kalau bisa menikmati makan malam yang terakhir dengan mu, aku pria bodoh dan tidak tau diri, lidahmu yang terbiasa dengan makanan mewah, dulu malam terakhir sebelum kamu mati aku hanya memberimu sebuah pecel lele murah.
Sebodoh apa aku dulu sampai berpikir kamu akan menikmatinya. Andai aku bisa meminta maaf aku menyesal tidak memberikan mu makanan terbaik di saat terakhir. Aku juga bodoh aku memilih pulang karena lelah daripada menemani kamu.
Malam itu aku sendiri di kamar panti jompoku, kebetulan tukang masak disini membuatkan kami semua para jompo ayam mentega.
Setiap kali makan ayam mentega entah kenapa aku selalu teringat dengan gelak bahagia kamu hanya dari sebuah makanan. Aku duduk sendiri tidak bersama para jompo yang lain.
Aku menikmati dagingnya sedikit demi sedikit hanya agar aku bisa lagi merasakan bagaimana lagi suara indahmu itu dan juga bagaimana sempurnanya parasmu. Kulit putih dan mata agak sipit apalagi pipimu yang sangat manis ketika tersenyum. Beruntungnya aku bisa mendapatkan kamu yang terlalu sempurna.
***
Entah kebetulan atau tidak sejak kapan dia bisa tau kalau makanan kesukaanku yang asli hanya pecel lele?, jangan bilang dia menemukan buku diaryku di kamar lagi.
Terima kasih banyak ganteng sudah peka dengan apa yang kusuka. Aku membuka bungkus pecel lele yang dikemas dengan rapi. Sebenarnya dengan kondisiku yang semakin kritis makan pecel lele seperti ini mengurangi sisa hidupku tapi aku tidak peduli selama bisa merasakan kenikmatan terakhir dibalik sederhananya daging dan nasi uduk aku bisa mati tidak penasaran.
Perlahan aku bisa menikmati ikan lele itu, dagingnya yang lembut dan juga gurihnya nasi uduk serta sambal yang menambah cita rasa membuat diriku seperti terbang hanya dengan rasanya.
Suamiku pasti akan sangat senang jika melihatku bisa makan nikmat seperti ini. “Enak banget Tuhan”, melihat wajah senang dari dirinya sudah membuatku bersyukur aku harap dia tidak merasa menyesal memberiku makanan sederhana ini.
***
Setiap tidur aku selalu dipenuhi dengan rasa bersalah, setelah kematianmu aku tidak pernah tenang, tidur seperti aku bisa melihat wajahmu yang penuh kekecewaan.
Melihat wajahmu yang seakan marah ketika aku tidak ada disisimu dulu di saat terakhirmu. Aku dihantui rasa itu, aku terlalu egois selalu pulang ke rumah tidak ada waktu buat menemanimu. Kasur yang empuk ini terasa keras. Aku tidak menemani kamu saat kamu menderita.
Andai kamu paham seberapa menyesalnya aku istriku, andai aku bisa sekali lagi melihat wajahmu di tempat tidur rumah sakit. Kita bisa kembali bercerita mimpi-mimpi kita, membicarakan rencana kita untuk kedepannya.
Dibumbui dengan tawamu. Bodohnya aku tidak bisa membuatmu merasa nyaman sebelum kematian menghampiri melihat tawamu, kamu merasakan sakit itu sendirian. Aku tidak pernah sekalipun menemanimu aku rasa pantas aku hidup terus sendiri sekarang sebagai hukuman bagiku.
***
Beruntungnya aku, aku suka sendiri ketika aku menderita, aku tidak mau ada orang tersayangku yang harus menangisi diriku. Aku hanya ingin sendiri aku tidak mau suamiku terlena memikirkanku sampai lupa dengan dirinya sendiri.
Aku tidur sendiri hanya punya satu harapan besok aku bisa melihat suamiku lagi dengan keadaan yang tersenyum, aku tau kamu tidak ada disini. Kita tidak lagi tidur memikirkan mimpi tidak masuk akal bersamamu.
Hanya membayangkan mukamu saja aku rasa sudah cukup, rumah sakit saat gelap memang menakutkan apalagi dengan takdirku yang masih abu-abu untuk esok hari.
Aku hanya tidak mau kamu menyesal karena hal ini, aku tidak egois, aku tidak ingin kamu harus merasakan derita kesedihan yang sama ketika sakratul maut perlahan harus merengutku dari pelukanmu.
Aku tidur dan membayangkan tempat terakhir yang aku ingin kunjungi semoga aku kuat besok bersamamu ke sana.
***
Aku duduk di taman, sendiri melihat semua keluarga bahagia menggendong anaknya dan memiliki rasa cinta yang lebih kuat dari diri mereka sendiri, sedangkan aku sendiri duduk hanya ditemani bebek-bebek yang menunggu diriku untuk memberikan mereka roti. Andai aku tidak terlambat dulu aku mungkin masih bisa melihat senyum terakhirmu yang paling bahagia di tempat ini. Air mataku tanpa sadar keluar ketika harus merasakan betapa kesepian dan menderita kamu ketika harus sendiri disini menunggu sosokku.
Aku bodoh sangat bodoh, aku memperjuangkanmu dulu tapi dengan mudah membiarkanmu rapuh dengan kesendirian. Diantara senja yang dulu menyenangkan. Taman ini menjadi bukti cintaku yang pertama. “Bodoh sekali aku ini”, aku melihat ke arah cincin perkawinan kita disinilah tempatku melamarmu.
***
Aku duduk ditemani para bebek, dari sore sampai malam aku menunggu sosokmu hanya untuk bisa melihatmu yang terakhir kalinya, dengan tanganku yang semakin kurus cincin itu terasa semakin longgar. “Pria bodoh itu selalu saja sibuk”, aku tidak perlu menangis aku tau kamu sedang memperjuangkan kebahagiaan kamu sendiri kalau aku sudah tidak ada. Aku ikhlas terus menunggu kamu disini sampai kapanpun hingga kamu datang.
Tanpa infus kepalaku terasa lebih berat daripada biasanya, kesadaranku perlahan menghilang aku masih menunggu sosokmu datang melihat senyummu mungkin menjadi yang terakhir.
Aku rela kamu bahagia, aku rela kamu mendapatkan yang pantas, aku sudah cukup dengan segala hal duniawi yang kuingin hanya melihat dirimu. Sampai senyumku mengering dan kesadaranku hilang kamu tidak pernah datang ke taman ini.
***
Setiap kali melihat orang meninggal aku dihantui oleh dirimu, baru bangun dari tidur lansia di seberang kamarku baru saja meninggal.
Dia seorang nenek yang baik hati sama sepertimu, kasihan dirinya kalau dipikir-pikir sama sepertimu dia meninggal karena kesendiriannya. Hanya karena anak-anaknya sibuk dia harus merasakan apa itu penderitaan yang paling menyakitkan, aku harap dia bisa mati dengan tenang.
Aku duduk di kamarku, waktu terasa berjalan dengan sangat lambat. Aku sudah tidak ada tujuan untuk sekarang hanya menjadi seorang yang menunggu kematian itu tiba. Ada satu hal setidaknya yang ingin kulakukan sebelum kematian menjemput diriku yang sudah tua, aku ingin membuka surat terakhirmu. Surat yang berisi unek-unek kamu itu. Dari kamu meninggal sampai aku menjadi lansia aku belum pernah membuka surat itu.
***
Tanggal 28 bulan 8, aku merasa lebih lemah dari biasanya. Nafsu makan ku sudah menghilang membayangkan pecel lele makanan kesukaanku saja aku tidak mampu menikmasi nasi itu dan lauk yang hambar bukan main. Aku meminta kamu hanya untuk datang kesini tapi. “Maaf mbak, suami mbak belum angkat dari tadi”, setidaknya aku bisa memberi tau sebelum aku meninggal betapa beruntungnya aku memilihmu. Aku benar-benar kaku. Kanker ini semakin menggerogoti tubuhku.
Malam jam 8 aku sudah dalam posisi paling bawah dari umat manusia. Berbicara saja terasa sakit. Aku belum kunjung menemuimu, dengan waktuku yang semakin menipis aku hanya bisa menuliskan surat terakhirku, aku harap kamu membukanya agar kamu tidak menyesal kemudian hari. Tanganku yang terasa lemah untung saja suster mau membantuku menulis surat terakhir itu.
***
Tidak ada angin tidak ada hujan, aku mendapatkan diagnosa dokter aku memiliki tumor ganas di otak, waktuku semakin surut. Tumorku terlalu ganas sudah tidak bisa lagi diselamatkan waktuku hanya menghitung hari. Aku harus berani sekarang kalau bukan sekarang aku tidak tau kapan lagi harus membuka surat terakhirmu. Di kamar aku membuka laciku, suratmu masih tersimpan dengan segel yang masih menutup.
Aku membuka surat yang penuh debu darimu.
***
Suster sudah selesai menulis suratnya, aku sudah lega rasanya sekarang. Aku mati tanpa melihat sosokmu juga tidak mengapa, aku sudah menjelaskan semua kepadamu melalui surat tersebut. Perlahan nafasku semakin lemas. Kesadaranku menghilang. Pegangan ku kepada sisi kasur milikku semakin lemas aku tak bisa melihat sosokmu mungkin membuatku penasaran tapi tak apa.
***
Aku membaca surat darimu, aku sadar aku bukan lelaki yang seburuk itu bodohnya aku. Aku juga baru tau makanan kesukaanmu pecel lele dari surat itu. Aku tertawa sendiri membaca suratmu. Ternyata kamu tidak pernah menyesal membuatku menjadi pilihan hidupmu. Aku bisa menangis dan tersenyum hanya dengan melihat suratmu. Dari surat itu aku merasa seperti melihat sosokmu.
“Abigail”
***
Aku beruntung bisa memilihmu dibanding dengan anak orang kaya itu, hanya dengan menulis surat aku bisa lihat bagaimana senyummu ketika mengetahuinya, aku bersyukur kepada kamu.
“Devin.”
***
Aku perlahan menutup mataku, tumor itu semakin ganas, aku lebih lemas dari biasanya. Nafasku perlahan di rengut, aku melihat senyummu menemaniku yang terakhir kali Abigail. Aku sudah bisa pergi dengan tenang.
***
Aku perlahan merasakan nyawaku menghilang, aku melihat dirimu di pintu masuk kamarku, aku tersenyum ketika engkau menyentuh pipiku terakhir kalinya Devin. Aku sudah bisa pergi dengan hikmat.
***
Aku menutup mata dan berkata dalam hatiku.
“Semoga kita, bertemu kembali di kehidupan selanjutnya Abigail."
***
"Semoga kita bersama lagi, Devin."
***
Aku keluar dari sekolah SMA, gila pelajaran itu melelahkan. Jadi bingung sendiri melihat teman yang sudah punya jodoh. Tuhan aku kapan?, aku berjalan melewati seorang wanita. Aku tidak hanya lewat aku menatapnya entah kenapa hatiku berkata sesuatu.
Kami berdua saling bertukar tatapan, manis sekali dia. “DEVIN!!!,” teriak temanku. “Abigail ayo,” teriak temannya juga. Kami berpisah jalan entah kenapa aku merasa pernah bertemu dengannya entah kapan. “Abigail,"kata diriku dalam hati, “Devin, namanya aneh tapi rasanya kok gua kayak berjodoh sama dia?"
TAMAT