Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kekesalan yang semula mendorong langkah cepatnya menuju kantin kini berkurang perlahan. Langkah Alya terasa berat, pikirannya masih kacau. Ia tiba-tiba berbelok, mengurungkan niatnya ke kantin, memilih menuju kelasnya saja. Sepanjang perjalanan itu, ia tenggelam dalam perasaannya, diam, dan melamun jauh.
Tiba-tiba, suara riang memanggil namanya dari arah kanan, tetapi Alya sama sekali tidak menyadari panggilan itu. Pikirannya terlalu penuh dengan masalah pribadi, sehingga membuat pendengarannya seolah tumpul.
Saat Alya sedang berjalan, tiba-tiba bahunya ditepuk keras dari samping kiri. Ia langsung tersentak kaget. Tubuhnya terlonjak sedikit, dan ia refleks memegangi dada yang langsung berdebar kencang. Ia langsung menoleh, wajahnya terlihat sangat terkejut. Matanya langsung bertemu dengan mata hazel milik Harsa.
Tatapan mata Harsa langsung mengunci matanya. Kepalanya mendadak pusing. Bayangan Ganendra yang menghubunginya kembali, seketika menghancurkan ketenangan yang baru saja ia dapatkan. Saat Alya berusaha menormalkan napas, Harsa langsung bergerak. Tanpa bicara, ia segera mengulurkan tangan dan memegang lembut siku Alya yang masih gemetar.
Sentuhan sigap Harsa, serta caranya mencondongkan tubuh seolah siap membantunya, sangat mengingatkannya pada Ganendra—laki-laki yang telah merebut hatinya tiga tahun lalu, yang dahinya selalu berkerut cemas saat ia sakit atau saat Alya berjalan pergi.
Kala itu, bel istirahat kedua telah berbunyi, mengambil alih suasana. Halaman sekolah yang luas itu langsung diserbu keramaian. Gelombang suara dan aroma terus mengalir, menciptakan perpaduan khas: aroma gurih bakso dan manisnya es teh dari kantin, teriakan riang siswa yang berebut bola di lapangan rumput yang mulai menguning, dan riuh tawa di bawah rindangnya pohon mangga.
Di teras lantai dua gedung utama, jauh dari keramaian itu, Alya duduk sendirian. Hijab putihnya tertata rapi, membingkai wajahnya yang tampak melamun. Ia mengenakan seragam putih-abu-abu, namun seluruh fokus dan pandangannya justru tertuju pada keramaian di bawah, seolah menunggu sebuah jawaban yang tak pasti. Alya dikenal sebagai sosok yang selalu memancarkan ketenangan, tetapi pagi itu, ketenangan itu terasa begitu rapuh. Ada kegelisahan yang mengendap di dasar hatinya.
Tiba-tiba, sebuah kursi kayu ditarik dengan bunyi berderit keras, memecah keheningan Alya. Ganendra duduk di sebelahnya. Seragam putihnya dikeluarkan dari celana abu-abu; gayanya selalu santai, sangat kontras dengan Alya yang selalu teratur. Pemuda itu memiliki rambut hitam yang cenderung acak-acakan, seolah ia baru saja berlari kencang.
"Kamu nggak jajan, Alya?" tanya Ganendra, suaranya pelan, matanya mengikuti pandangan Alya.
Alya menoleh sejenak, mengulas senyum tipis, lalu menghela napas perlahan dan kembali menatap lurus ke depan. "Enggak, lagi mager."
Ganendra terkekeh pelan, tawa yang hanya keluar dari sudut bibirnya. "Mager apa nitip? Biasanya juga minta dibelikan es teh sama si Tika." Ia tahu betul kebiasaan Alya.
"Nah, itu kamu tahu," balas Alya, menggerakkan telunjuknya menunjuk Ganendra. "Lalu, kamu sendiri, Gan? Nggak kumpul sama anak laki-laki di lapangan?"
Ia tidak langsung menjawab, melainkan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mendongak menatap langit yang berawan tipis. "Nggak, lagi malas juga." Nadanya terdengar acuh.
"Idih, alasan," cibir Alya, menyipitkan mata dengan curiga. Ia tahu betul niat Ganendra di balik sikap acuhnya: ia ingin menghabiskan waktu istirahat hanya berdua dengannya, sebuah rutinitas tak terucapkan yang telah terjalin sejak kedekatan itu dimulai.
Keduanya kembali tenggelam dalam keheningan yang nyaman, menikmati pemandangan dari lantai dua. Jauh di sana, terlihat hamparan sawah hijau yang memancarkan aroma tanah basah dan kesegaran alam.
Keheningan itu terasa jujur dan penuh makna. Alya bergumul mencari kepastian yang ia butuhkan dan ketakutan akan perpisahan. Sementara Ganendra... jalannya pikiran selalu menjadi teka-teki; rangkaian pikiran dan kata-kata yang kadang bisa Alya pahami, kadang tidak. Ia merasakan Ganendra adalah daya tarik yang terlalu kuat, menarik Alya masuk ke dalam dunianya yang misterius.
Angin lembut menerpa wajah Alya. Suara gemerisik dedaunan di pohon di bawah terdengar seperti musik latar yang syahdu. Momen ini—duduk berdua di bawah langit yang sama—adalah momen berharga yang Alya yakini tak akan terulang setelah kelulusan tiba. Rasa sesak itu tiba-tiba mencengkeram dadanya.
Ganendra memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan yang terasa menyakitkan. Ia menoleh, menatap mata Alya yang berwarna almond dengan sorot mata yang penuh ketakutan.
"Aku sedang berpikir. Nanti jika sudah lulus, aku akan meninggalkanmu dan kota Bogor ini. Kamu gimana?" tanyanya, suaranya terdengar berat.
Alya terdiam, mencoba mencerna. Ia merasakan darahnya berdesir dingin, tetapi segera berusaha menguasai diri. Ia tertawa pelan, tawa yang sedikit dipaksakan. "Ah, nggak gimana-gimana. Itu kan hak kamu. Lagi pula, aku di sini baik-baik aja kok."
Ganendra menghela napas, napas yang membawa kecemasan yang telah dipendam berbulan-bulan. "Aku bingung harus bagaimana. Kalau aku di Bogor, aku bisa menjagumu, tapi aku jauh dari Mama. Aku ingin dekat lagi sama Mama karena dari SD aku merantau di sini. Tapi, kalau aku di Yogya, aku memang dekat sama Mama. Tapi... aku khawatir sama kamu, bagaimana hari-hari kamu di Bogor, tidak ada yang menjagumu."
"Kenapa harus mikirin aku, Ganen?" tanya Alya, nadanya sedikit meninggi. "Kenapa kamu merasa itu tugasmu untuk menjagaku? Aku masih ada kedua orang tuaku. Kamu tidak usah memikirkanku. Aku baik-baik saja di sini. Kalau di sisi Mama membuatmu tenang, aku sungguh tidak apa-apa."
"Kamu itu masih perlu dijaga," sanggah Ganendra, nada suaranya berubah tegas dan keras kepala.
Alya menatapnya kesal, pipinya memanas, dan matanya mulai berkaca-kaca, merasakan air mata tertahan di sudutnya. "Aku tahu, Ganen. Tapi, aku juga sadar diri. Aku ini bukan siapa-siapa kamu yang harus kamu jaga."
"Tapi, aku sayang sama kamu," bisik Ganendra. Tatapannya kini penuh kesedihan, bercampur ketakutan akan masa depan.
"Aku tahu, Ganen. Berkali-kali kamu bilang seperti itu dan berkali-kali pula aku selalu meminta kepastian kedekatan kita ini." Alya menatap Ganendra lurus, matanya menuntut jawaban, memaksanya untuk menghadapi kebimbangan yang selama ini ia hindari.
Seperti dugaan Alya, Ganendra langsung menatap ke depan, menghindari tatapannya. Ia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung celana yang kusut. "Aku tidak mau. Jika nantinya aku gagal menjagumu, aku akan dikenang sebagai mantan. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang istimewa tanpa harus ada label mantan dalam kedekatan kita."
Alya mendengus kesal. Kepalanya menggeleng perlahan. Ia lelah. Ia paham, tetapi ia juga butuh kejelasan, butuh arah. Hubungan yang terombang-ambing ini menyiksa. Ini adalah kali ketiga ia bertanya, dan kali ketiga pula ia menerima jawaban yang sama gamblangnya, namun tidak memuaskan.
Dengan raut wajah campur aduk—sedih, kesal, dan kecewa—Alya bangkit berdiri. Gerakannya cepat dan tegas, membuat kursi kayu di belakangnya sedikit berderit. Ia tidak tahan lagi. Tepat saat Alya membalikkan badan, tangan Ganendra dengan cepat meraih dan menggenggam pergelangan tangan Alya.
Genggaman itu terasa hangat, mengalirkan sensasi yang pernah Alya rasakan, menahan tubuhnya agar tidak melangkah pergi.
Alya tidak menoleh. Ia menahan napas, menunggu.
Ganendra beranjak, tubuhnya mencondong ke arah Alya, memaksa pandangan Alya untuk bertemu dengannya. Sorot matanya yang semula penuh ketakutan kini berubah lembut, namun ada rasa sakit yang mendalam di sana.
"Tunggu, Alya," bisiknya, suaranya tercekat dan terasa berat.
Alya menggeleng. "Lepaskan, Ganen. Aku capek."
Ia menarik tangannya kuat-kuat dari genggaman Ganendra. Tanpa berkata-kata lagi, Alya melangkah pergi, menuju kantin dengan langkah cepat yang dipenuhi kekesalan. Ia memilih menjauh dari Ganendra yang selalu menyimpan segalanya sendirian dan tidak memberikan kejelasan.
***
Alya tersentak, kesadarannya kembali ditarik ke masa kini. Perasaan kesal dan kecewa tiga tahun lalu seketika menghilang, digantikan oleh kesadaran akan genggaman kuat di sikunya. Ia melihat Harsa berdiri di depannya, dengan tatapan khawatir, seolah Alya baru saja melamun sangat lama.
"De," seru suara itu sedikit lebih keras, dengan nada riang yang tak juga hilang.
"Woy, De!" Panggilan kedua itu terdengar mendesak, seolah membantu Alya benar-benar sadar.
“Ya Allah, Abang! Kaget aku,” sungut Alya, seraya berusaha menormalkan napasnya yang tercekat dan melepaskan tangan Harsa dari sikunya.
"Lagian dari tadi dipanggil nggak nyaut," ujar Arka, laki-laki di sebelah kiri, yang postur tubuhnya tinggi besar. "Lagi mikirin apa emang?"
Alya menggeleng. "Hmm, nggak Bang Arka. Cuma tiba-tiba bengong aja," ia berbohong, berusaha menyembunyikan sisa ketegangan di wajahnya.
Laki-laki di sebelah kanan, Harsa, yang memiliki aura lebih lembut, tertawa tipis. Ia mencondongkan badan ke arah Alya. "Lagi mikirin laki-laki itu kali," godanya.
Alya langsung menepuk pundak Harsa pelan, matanya melirik Arka dengan was-was. "Bang Harsa!" teriaknya kecil, seolah memperingati dan memohon agar Harsa diam.
Arka yang mendengar itu, langsung menoleh cepat dan menatap Alya dengan tajam dan menusuk. Melihat tatapan penuh penghakiman itu, Alya secara refleks menarik bahunya ke dalam, meringkuk sedikit seolah ketakutan.
"Ngapain sih harus mikirin dia lagi," desah Arka, suaranya terdengar berat karena frustrasi. Ia menggelengkan kepala dengan jengkel dan berdecak kesal.
Alya membalas tatapan Arka, kali ini sama tajamnya, seolah menantang. "Dikira move on gampang?" lirihnya kesal, menekankan setiap kata itu dengan penuh emosi.
Arka, yang sudah seperti abang kandungnya sendiri, beranjak dari posisinya dan kini berdiri di hadapan Alya, menatapnya serius. "De, laki-laki yang baik, yang menerima kamu apa adanya dan suka sama kamu itu banyak. Bukan dia aja. Rugi banget selama tiga tahun ini kamu belum move on sama dia," ceramahnya dengan raut wajah kesal.
"Aku tahu, Bang. Aku tahu," suara Alya tercekat. Ia menunduk, menggosok-gosok ujung jemarinya. "Tapi, laki-laki yang mengerti dan paham tentang aku itu cuma dia. Aku belum nemu laki-laki yang lebih dari dia, Bang Arka."
"Kamu hanya belum menemukannya," sela Harsa, suaranya menenangkan. Ia meletakkan tangannya di bahu Alya. "Suatu saat nanti, akan ada seseorang yang menerima segala kekurangan dan egomu, yang menerima tanpa harus melepaskanmu. Yang benar-benar berjuang untuk kamu tanpa harus merelakanmu."
"Apakah seseorang itu ada?" tanya Alya, nada suaranya penuh keraguan. Ia mendongok, mencari kepastian di mata Harsa.
"Tentu saja ada," Arka mengangguk yakin. Tatapan seriusnya kini berubah menjadi lembut. "Hanya saja kamu sedang Allah uji dengan kesabaran dalam menanti. Untuk sementara ini, Allah patahkan hatimu lebih dulu karena terlalu berharap kepada dia. Nanti setelah kamu ikhlas dengan rasa sakitmu, Allah datangkan dia untuk menyembuhkanmu."
Alya terdiam, pandangannya fokus merenungkan nasihat dari kedua ‘abangnya’ yang selalu menjaganya sejak pertemuan pertama di kampus. Mereka berdua adalah pilar baginya—pendengar setia, penasihat bijak, dan teman bermain.
"Aku rasa, aku tidak akan bisa move on," ucap Alya. "Tapi, aku bisa mengikhlaskan rasa yang pernah ada ini. Aku pun tidak mau berlarut-larut pada rasa yang tidak tahu tujuannya."
"Nah, itu benar," Arka mengangguk. Ia menghela napas lega. "Tidak apa-apa. Setidaknya ketika laki-laki itu nanti hadir dalam hidupmu, dia bisa menyembuhkan rasa sakitmu dan membuatmu merasakan kembali apa itu cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak akan pernah meninggalkanmu dan selalu berjuang untukmu."
"Kasian juga kan nanti yang jadi suami kamu kelak, De," tambah Harsa, suaranya sengaja dibuat jenaka untuk meredakan ketegangan. "Masa iya kamu nikah sama suamimu nanti, laki-laki itu masih ada di hatimu. Itu namanya gila."
Alya segera menoleh ke Harsa, wajahnya kini melunak sedikit. "Yah, nggak dong, Abang. Aku juga mikir. Aku juga tidak mau. Kasian nanti yang jadi suami aku."
Melihat Alya mulai rasional, Arka tersenyum penuh kemenangan dan bangga. Ia mengulurkan tangan cepat dan menepuk puncak kepala Alya dengan gemas. "Pintarnya, dedekku ini."
Seperti tersengat listrik, Alya dengan cepat menepis tangan Arka hingga terlepas. Wajahnya cemberut, ia berdesis kesal sambil merapikan kain kerudungnya. "Ihh, berantakan kerudung aku, Bang!"
Arka berdecak pelan, memutar bola mata. "Ck, lebay."
"Eh, bukan lebay yah, Bang. Ingat kamu punya pacar!" Alya memajukan wajahnya sedikit, memasang ekspresi jahil. "Nggak boleh pegang-pegang aku. Nanti aku dilabrak pula sama Anita," goda Alya dengan tawa kecil mengejek.
Arka hanya berdecak kesal ketika nama pacarnya dibawa-bawa, sementara Harsa tertawa melihat interaksi keduanya yang selalu bertengkar setiap bertemu. Harsa menatap Alya tulus.
"Semoga kelak nanti dipertemukan dengan suami yang baik yah, De," ucap Harsa tulus, tatapannya lembut dan penuh harap.
"Aamiin. Terima kasih, Abang," jawab Alya, tersenyum tulus dan sedikit merona malu karena didoakan demikian.
Tiba-tiba, Arka yang sedari tadi diam berceletuk iseng, memecah suasana. "Kenapa tidak sama Harsa saja, De?"
Aksi spontan itu membuat Alya dan Harsa serempak menatap Arka dengan kaget. Alya langsung menaikkan kedua alisnya tinggi-tinggi, menunjukkan ketidakpercayaannya.
"Eh, sembarangan! Bang Harsa udah punya tunangan, yah!" jelas Alya memperingati, suaranya sedikit meninggi.
"Dasar gila," celetuk Harsa, mengangkat bahu dengan santai, disusul gelengan kepala kecil pada tingkah konyol Arka.
Pernyataan-pernyataan itu sontak memicu luapan emosi Alya. Ia menghentakkan kakinya keras ke tanah dan menarik kerudungnya dengan gerakan frustrasi. "Aaahhhh, kenapa juga hanya aku yang jomblo!" teriak Alya kesal, tidak lagi peduli dengan keadaan sekitar.
Harsa tertawa pelan, tawanya teredam di balik telapak tangan. Sementara itu, Arka tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya berguncang. Raut wajah Alya yang frustrasi benar-benar menghibur mereka.
"Makanya cepet punya pacar," celetuk Arka, tersenyum usil.
Alya menatap sinis. Ia menyilangkan tangannya di dada. Ia tahu betul bagaimana Arka sering mengeluh tentang pacarnya, Anita. "Dih, punya pacar aja nggak pernah diajak jalan. Ga guna!" ucap Alya, tertawa lepas melihat ekspresi Arka yang langsung kesal.
Tanpa menunggu balasan, Alya langsung membalikkan badan dan berlari cepat menuruni tangga.
"Ehh kurang ajar kamu! Minta di jitak!" seru Arka, matanya membelalak kaget karena rahasianya terbongkar. Ia pun langsung berlari kencang mengejar Alya sepanjang lorong gedung.
Suara langkah kaki mereka berdua menggema di koridor. Alya berlari sambil tertawa kencang, menoleh ke belakang untuk mengejek Arka yang sudah dekat.
Harsa hanya berdiri di tempatnya. Ia tersenyum, menggelengkan kepalanya melihat tingkah dua orang yang paling ia sayangi itu. Tawa seorang kakak yang tulus, yang selalu menyayangi dan siap menjaga adik kecilnya itu, memenuhi teras lantai dua yang kembali sepi.