Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Until We Meet Again
2
Suka
7,233
Dibaca

Kali pertama kita bertemu, gerimis turun mengguyur taman itu. Kau berdiri di bawah naungan ranting sebuah pohon besar yang tengah meranggas di sana, tidak repot-repot membentengi dirimu dari titik-titik air yang turun dari langit musim gugur hari itu dengan payung atau bahkan lenganmu sendiri. Kau mendongak dengan raut cemas pada wajahmu, memanggil-manggil sosok mungil berbulu yang meringkuk ketakutan di atas salah satu ranting kurus yang menjulur di atas kepalamu. Kau membujuknya agar melompat turun, meyakinkannya bahwa kau pasti akan menangkapnya, tapi anak kucing itu tak juga bergerak. Kau mulai kesal, dan nyaris saja kau nekat memanjat pohon di hadapanmu saat makhluk berbulu itu meloncat juga, mendarat di atas kepalaku yang tengah memperhatikanmu dari balik pohon itu. Kau menghampiriku dengan tawa berderai, antara lega serta merasa bersalah, tapi ada binar bahagia dalam kedua mata birumu saat kau mengucapkan terima kasih dan maaf sekaligus padaku. Kau menawariku mampir ke apartemenmu untuk berteduh dan juga membersihkan rambutku yang sempat menjadi pijakan anak kucingmu itu, tapi kubilang tidak perlu. Rumahku juga dekat taman itu, aku mengaku, dan kau tidak lagi berusaha membujukku.

 

Kali kedua kita bertemu, kita berpapasan di dekat taman itu, saat kau menyeberangi jalan berselimut salju tipis bersama dua orang temanmu. Baru beberapa bulan berselang sejak pertemuan pertamaku denganmu, rambut emasmu telah memanjang melewati bahu. Kau tengah tertawa bersama dua temanmu itu saat berjalan melewatiku, dan aku tengah membetulkan letak syal hitam yang melingkari leherku saat kau memanggilku. Aku berhenti dan menoleh ke belakang, dan kudapati kau berlari kecil menghampiriku. Masih dengan senyum hangat dan binar ramah yang sama seperti yang kautunjukkan padaku hari itu.

“Maaf, kurasa ini milikmu,” kau memberitahuku, menyodorkan sekeping uang logam yang katamu mungkin saja terjatuh dari saku celanaku sewaktu aku mengeluarkan tanganku dari sana untuk membetulkan syalku. Kuraba saku celanaku yang kanan, dan karena kau benar, aku pun menerimanya kembali darimu. Saat kubilang terima kasih, kau hanya menggeleng, kemudian berlalu bersama dua teman yang menatapmu penasaran.

 

Kali ketiga kita bertemu, kau duduk sendirian di taman itu, di salah satu bangku tuanya di bawah pohon besar yang tengah meranggas. Pohon besar yang sama yang waktu itu hendak kaupanjat demi anak kucingmu. Pakaianmu biru-biru dari atas ke bawah, seperti yang kerap kulihat dikenakan orang-orang yang bekerja di rumah sakit besar tidak jauh dari taman itu, hanya saja tanpa jubah putihnya. Rambut emasmu tergelung berantakan di belakang kepala dan kau menangis. Tanpa suara. Aku memperhatikanmu dalam diam dari balik pohon di sebelahmu, hingga aku memberanikan diri menghampirimu, duduk di ujung lain bangku yang kaududuki. Kau tidak menghiraukan keberadaanku hingga aku menyodorkan selembar saputangan padamu. Kau menatapku sekilas, menyeka pipimu yang basah dengan kedua tangan dan menggeleng.

“Terima kasih, tapi tidak perlu,” tolakmu, dan aku pun memasukkan kembali saputanganku ke balik jaket hitam yang kukenakan. Hanya isak tangismu yang terdengar selama beberapa saat hingga kau berkata lagi, “Aku seharusnya bisa menyelamatkan anak itu.”

Kau nyaris berbisik, tapi aku bisa mendengarnya. Jadi itulah yang membuatmu menangis.

“Kau sudah melakukan yang terbaik yang kaubisa,” hiburku.

Kau menatapku dengan sepasang mata memerah, menyahut, “Dari mana kau tahu?”

“Kalau tidak, kau tidak akan menangis seperti ini,” aku menjawab, dan kau terdiam, tidak membantah. Aku kembali menatap langit mendung di atas sana sementara kau menatapku lekat-lekat, hingga suaramu sekali lagi memecah hening yang membungkus kita berdua.

“Apa kita pernah bertemu sebelum ini?” kau bertanya, dan aku menjawabmu dengan gelengan kepala. Kau mengernyit sangsi, tidak menyerah, “Aku merasa seperti pernah melihatmu sebelum ini. Tidak?”

“Tidak,” aku bersikeras, dan kau tertawa kecil di sela tangismu yang belum juga berhenti.

“Mungkin aku salah mengingat,” kau menyeka pipimu sekali lagi, lalu beranjak berdiri, “Tapi terima kasih. Aku duluan.”

 

Kali keempat kita bertemu, kau tidak lagi sendirian di taman itu. Seorang pria jangkung bersimpuh di atas sebelah lututnya di hadapanmu, dengan kotak beludru mungil terbuka di tangannya. Kau hanya bisa menutup mulutmu yang menganga dengan kedua tangan sewaktu melihat benda berkilau yang disodorkan pria itu padamu, menangis dan tertawa di saat bersamaan. Saat kau mengangguk padanya, pria itu melonjak girang seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapat hadiah dari ibunya dan kalian pun berpelukan diiringi tepuk tangan orang-orang yang kebetulan lewat di sana. Aku ikut juga bertepuk tangan untukmu, dan saat kau mengedarkan pandang untuk berterima kasih pada orang-orang asing yang turut berbahagia bersamamu, tatapan kita sempat beradu sesaat dan kau tersenyum padaku. Kau tak pernah terlihat sebahagia itu sebelumnya.

 

Kali kelima kita bertemu, kau kembali duduk di bawah pohon itu. Tanganmu membelai lembut perutmu yang membesar sementara pandanganmu tertuju pada seorang bocah lelaki mungil yang bermain bola seorang diri tidak jauh darimu. Bocah itu mirip denganmu, kecuali rambut bergelombangnya yang berwarna gelap, segelap rambut pria yang memelukmu hari itu. Hati-hati, kau berpesan padanya, tidak menyadari kehadiranku di balik pohon besar di sisimu. Aku tersenyum sendiri memperhatikan tingkah lucu bocah mungilmu itu hingga bola terlepas dari kakinya, bergulir ke arahku. Bocah mungilmu berlari menghampiriku denganmu mengikuti di belakangnya, dan ia tersenyum lebar padaku sewaktu aku mengembalikan bola plastik itu padanya.

“Terima kasih, Tuan,” ia berkata, sebelum kau tiba juga di sisinya dan mengucapkan hal yang sama padaku.  

Aku membalasmu dengan senyuman, dan kubiarkan rasa ingin tahuku bersuara, “Sudah berapa bulan?”

“Oh, enam,” jawabmu bangga, mengusap sayang perutmu yang membesar, “Sedikit lebih melelahkan daripada yang pertama, tapi kuharap segalanya baik-baik saja.”

“Tentu,” aku menyahut, tulus mengharapkan hal yang sama, “Pasti akan baik-baik saja.”

“Terima kasih,” kau tertawa kecil, sebelum bocah mungilmu menarik tanganku dan mengajakku bermain bola bersamanya. Kau turut membujukku juga, dan aku pun tidak sampai hati mencari alasan untuk menolaknya. Kita menghabiskan waktu hingga senja merayap turun perlahan, yang terlama yang pernah kuhabiskan bersamamu, sebelum kau dan bocah mungilmu berpamitan dengan sebaris ‘sampai bertemu lagi’.

 

Kali keenam kita bertemu, rambut emasmu hampir seluruhnya telah memutih. Seorang wanita muda berparas serupa denganmu menggandeng lengan kananmu penuh cinta sementara bocah mungilmu yang kala itu sudah lebih tinggi badannya darimu menggandeng lenganmu yang kiri. Mereka membantumu duduk di bangku panjang di bawah pohon itu sebelum sibuk dengan putra-putri mereka masing-masing, yang dengan penuh semangat saling melempari satu sama lain dengan dedaunan kering. Kau menatap mereka dengan raut puas pada wajahmu, sebelum tanpa sengaja menjatuhkan saputangan putih yang kaukeluarkan dari tas rajutan di atas pangkuanmu. Saat aku mengambilkannya untukmu dan mengembalikannya padamu, kau tersenyum hangat padaku.

“Terima kasih,” katamu, lalu menatapku lekat-lekat dengan matamu yang biru, “Tunggu, rasanya aku pernah melihatmu sebelum ini. Mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi kau masih tetap sama seperti waktu itu. Bagaimana bisa?”

“Mungkin Anda bertemu dengan ayah saya,” aku berdusta, duduk di ujung lain bangku yang kaududuki seperti saat aku melihatmu menangis hari itu. Mendengarku, kau tertawa maklum.

“Oh ya, tentu saja,” katamu, “Kurasa aku sering melihat ayahmu di taman ini dulu. Ia selalu sendirian, dan wajahnya selalu tampak kesepian. Tapi ia orang yang baik. Ia pernah menghiburku sewaktu aku menangisi salah satu pasien yang tidak berhasil kuselamatkan dulu, juga turut bertepuk tangan untukku sewaktu mendiang suamiku melamarku di sini. Ia juga pernah menemani putra sulungku bermain bola sewaktu anak itu masih kecil. Satu kali saja, tapi aku tak pernah lupa. Bagaimana kabar ayahmu sekarang?”

Butuh beberapa saat sebelum aku berhasil menyunggingkan senyum dan menjawab, “Sehat. Ia baik-baik saja.”

“Syukurlah,” katamu, “Sampaikan salamku padanya kalau kau pulang nanti.”

“Tentu saja,” aku menyahut, “Terima kasih.”

Kau membalasku dengan anggukan dan senyuman hangat. Kau tak pernah tahu sehangat apa rasanya hatiku hari itu saat aku tahu kau ternyata mengingat pertemuan-pertemuan kita itu.

 

Kali ketujuh kita bertemu, gerimis kembali turun mengguyur taman itu. Kau terbaring damai dalam peti kayu indah yang diarak dengan iringan isak tangis orang-orang yang kausayangi dan menyayangimu. Aku hanya diam memperhatikan segalanya dari kejauhan kala orang-orang itu melangsungkan upacara penghormatan terakhir yang mengharu-biru untukmu. Ada yang pernah memberitahuku, baik-tidaknya seseorang semasa hidupnya akan tercermin sewaktu ia dimakamkan. Dan lihatlah betapa banyaknya orang yang mengantar kepergianmu dengan tangisannya pagi ini.

Ingin rasanya aku bergabung bersama mereka, tapi aku memilih menunggu. Menunggu hingga langit menyudahi tangisannya untukmu. Hingga pagi berganti siang yang mendung, siang bergulir menjadi senja, dan senja merangkak pergi digantikan malam musim gugur yang dingin. Saat tidak ada lagi orang yang mengerubungimu dan aku bebas berdiri di dekatmu tanpa dipertanyakan. Kuletakkan sekuntum mawar putih di antara buket-buket besar yang ditinggalkan orang-orang terkasihmu di sana, sebelum aku berjongkok di sisi nisanmu dan mengusapnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku berdoa. Memohon dengan sisa-sisa keyakinan yang telah lama kulupakan, agar aku boleh terlahir di tahun yang sama denganmu seandainya kehidupan kedua benar-benar ada. Agar aku boleh tumbuh dan menua dengan wajar bersamamu, berteman tanpa perlu berbohong padamu. Dan setelahnya, sekali lagi aku menunggu. Menunggu hingga malam berganti fajar dan sang surya keluar dari peraduannya, menyiramku dengan cahaya pertamanya. Membakar ragaku hingga habis tak bersisa dan membebaskanku.

 

Sampai kita bertemu lagi.

******

Picture for cover credit to Oskars Sylwan on Unsplash, edited by me

Juga di-post di Ruang Menulis Bentang, 20 November 2021

Juga di-post di Wattpad (@fanny_fc), 12 April 2023

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : Terima kasih!
Mantap👍❤️
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Until We Meet Again
Fanny F. C.
Novel
ANOMALI AIR
Mochammad Eko Priambudi
Novel
Gold
Super Bunda
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Kucing Tak Kunjung Bahagia
Gesha Yuliani Nattasya
Skrip Film
Titik, kemewahan sederhana.
Delpiariska
Novel
Manusia Laron
Dewanto Amin Sadono
Cerpen
Abdi Negara Cabul
E. N. Mahera
Novel
Better than You
Slukepyn
Novel
Broken Parts
Maria Eveline
Novel
Tak Sambat
Nuel Lubis
Cerpen
SUNYI SEKALI
Hans Wysiwyg
Flash
Engklek
Syafira Muna
Flash
Momen Ketika (Duduk)
Rizqi Khoirul Hakim Sholihin
Cerpen
Bronze
APAKAH AKU...SESAT?
Iman Siputra
Novel
Istikharah Cinta
Mudjilestari
Rekomendasi
Cerpen
Until We Meet Again
Fanny F. C.
Cerpen
Amayadori
Fanny F. C.
Cerpen
GEMINI
Fanny F. C.
Cerpen
Unseen Bond
Fanny F. C.
Skrip Film
SYZYGY
Fanny F. C.
Novel
To the Heart of the Otherside
Fanny F. C.