Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perasaan ini…perasaan yang sangat ku benci. Sejak 3 tahun lalu? Bukan. itu bahkan belum terhitung 3 tahun.
Perasaan sakit, kecewa, bahkan tuk berfikir jernih aku tak bisa lagi. Ia melepas genggaman dan punggung itu perlahan pergi tak terlihat. -Vera
***
Bagaimana Vera sangat dekat dengan Kaivan? Kelam dan sunyi Vera rasakan saat itu. Ia melihat rekannya meringkuk kuat dijalan. Dirinya begitu panik, ia tak ingin kehilangan orang terdekatnya lagi.
Di ruangan putih itu Kaivan menjelaskan segala hal untuk Vera.
“Ia sangat berharga. Bahkan tak ternilai dengan apapun itu.”
“Ia memberikan segalanya untukku, disaat diriku kehilangan segalanya.”
Clara. Wanita pertama. Tidak. Bahkan ia satu-satunya orang terdekat Kaivan yang rela menghibur dan menguatkan diri Kaivan disaat ia terusir dari keluarga. Bahkan uang digenggaman, tak cukup seminggu hidup.
Derasnya hujan menutup muka kusam Kaivan. Satu payung ternaung pelan ke dia.
“Kamu gak apa-apa?”
Kaivan hanya membisu. Tak ada jawaban, hanya deras hujan yang menjawab pertanyaan itu.
Clara membawa Kaivan ke rumahnya dan memberikan ia pakaian sembari menunggu sabar temannya itu berkisah atas dirinya.
“Aku…maaf…esok aku akan pergi.”
“Cukup malam ini saja aku merepotkanmu.”
Dahi Clara seakan memberikan reaksi atas jawaban yang tak sesuai harapannya.
“Maksudnya? Gak. Kau gak harus pergi, kau dapat tinggal disini. Aku akan menyewa apartemen tepat disebelah.”
“Bahkan aku lebih baik mati sekarang ini. Aku benci diriku, aku benci keluargaku, aku benci atas hal yang sudah kulakukan.”
Clara berdiri tegap menatap tegas temannya. Mendekat, kedua tangan terulur dan mendekap tubuh Kaivan.
“Gak…gak boleh. Jangan pernah berkata kalimat yang sama. Kau dapat bercerita kediriku dan kau dapat jua tak bercerita untukku.”
“Aku akan menuntunmu, bicaralah selagi kau mau. Bekerjalah disaat pikiranmu tlah tenang.”
Kalimat yang menyadarkan Kaivan, kalimat yang seumur hidup akan ia ingat. Melihat sikap peduli sahabatnya.
Beberapa saat kesan sedih terasa di ruangan itu. Vera melaporkan dan meminta izin untuk menyewa lagi apartemen tepat di sebelahnya.
“Selamat malam pak, mohon maaf sebelumnya saya Clara. Saya ingin mengajukan penempatan nomor apartemen yang baru di sebelah ruangan saya apakah bisa?”
“Tentu, kau bisa mengambilnya kapan saja. Saya akan segera pergi dan menyerahkan kuncinya.”
Kepala apartemen bertemu cepat dengan Clara menyerahkan kunci kamar 101. Clara yang kini memilih memikul beban Kaivan bersama.
***
“Nih!…kamu dari dulu suka banget baca buku arsitektural kan?”
Setumpuk buku terhentak di meja. Pupil mata Kaivan terlihat bergerak-gerak memperhatikan setumpuk buku dihadapannya. Rasa peduli Clara menyadarkan diri Kaivan. Bukan soal tempat tinggal atau cerita sedih belaka. Kaivan berusaha sekuat mungkin, dengan tujuan satu hal. Pandangan hangat Clara. Hingga hadiah pertama ia berikan ke gadis yang telah menyelamatkan hidup dan semangatnya. Di jembatan lengkung itu, satu hadiah ia berikan kepada Clara. Hingga senyuman itu muncul, senyuman yang bercampur rasa bangga, kehangatan, kasih dan perhatian yang dalam.
Vera yang terdiam sedari tadi, tersadar akan berhentinya kata-kata Kaivan. Cerita yang bahkan bagi dirinya terkesan membual dari pada jujur, bagaimana bisa gadis sebaik Clara meninggalkan Kaivan? Kaivan bahkan mencapai titik ini tak lain hanya untuk Clara kan?
Melihat pandangan Kaivan perlahan terasa kosong. Segalanya terasa rumit, semakin difikir terasa semakin keruh.
“Sampai lu sembuh gua bakal disamping lu.”
Kalimat spontan vera, menggerakkan pandangan rekannya itu.
“Ha? Maksudnya?” Dahi yang mengkerut saat itu perlahan berubah jadi tawaan tipis dari Kaivan.
“Yaa…itu terserah lu dah. Gua gak sakit-sakit amat jugak.”
***
Sedari tadi tatapan Vera lebih terasa termenung kosong dibanding berfikir. Seakan menyimpan cerita yang berbuku-buku di kepala. Dibalik sikap care dan tenang dari Vera tersimpan kelam lalu yang pekat. Dibalik senyuman hangat ada luka yang terjahit kuat. Vera yang istirahat makan bersama rekannya siang itu, mengetuk-ngetuk piring makan didepannya.
“Lu mau cerita Clar?”
“Lah tau amat lu? Yaa dikit aja sih.”
Kode singkat setuju dari Kaivan. Vera menatap singkat memulai cerita.
“Lu tau gak, pas Clara milih balik dan pergi. Flashback dikepalaku seakan mutar cepet. Gua gak mau hal itu terjadi lagi.”
3 tahun lalu bahkan itu belum terhitung 3 tahun. Vera yang menyandarkan harapannya di bahu itu, menopang seraya bergumam pelan. Ia berjanji dengannya, begitu pun seorang dihadapannya saat itu. Udara dingin meniup keduanya, kemilau lampu hingga hentakan kaki yang sedari tadi tak putus terdengar.
Hidup bak cerita di novel, romantisme di raih keduanya. Senyuman hangat yang saling bertukar tiap-tiap temu.
“Kira-kira bisa gak ya bertahan sampai nanti?”
“Bukan nanti, tapi selamanya.”
Hubungan secerah aurora dilangit. Warna yang berganti-ganti membuang kebosanan keduanya.
“Adler, kau bisa menjemputku di stasiun jam 4 nanti?”
“Jam 4? Maaf tapi aku harus lanjut meeting di kantor cabang. Aku akan memesankan driver untukmu.”
“Ah maaf ganggu, tapi meeting mu selesai kira-kira jam berapa?”
“Mungkin jam 6 atau jam 7.”
“Okey kalau gitu aku akan ganti jadwal berangkatku. Jemput aku jam 7 aja.”
“Okey honey.”
Dering telepon tertutup, suara terputus dan helaan nafas lega. Vera akan berangkat setelah cuti panjangnya. Menatap luasan langit dan bentangan padang hijau di tanah kelahirannya.
Pukul 7, rangkaian kereta terhenti cepat. Jadwal tepat waktu menjadi visi kuat di stasiun. badan itu berdiri tegap menunggu, matanya beralih-alih tak hanya disatu arah. Mencari seseorang yang akan dijemput.
“Hollaa..gimana kabarmu, meetingmu udah selesai?” Wajah sumringah dilepas Vera disaat ia bertemu kekasihnya.
“Haii honey, udah selesai kok. Gimana liburanmu? Gimana juga kabar keluarga sana?”
“Baik-baik aja. Gimana kalau kita langsung pulang aja. Badanku pegel banget rasanya.”
“Okey, kita berangkat sekarang.”
Jeep hitam itu melesat ditengah gelap malam, diantara lampu-lampu benderang dengan sinarnya. Kisah itu seakan mengalir tanpa ada hempasan air dibatu. Hingga disaat itu Vera menemukan hadiah syall putih tergeletak begitu santai di kursi panjang rumah Adler. Warna dan pilihan yang sama yang akan ia berikan tepat di ulang tahun kekasihnya itu. Bagaimana bisa dia mendapatkannya? Itu bahkan sama persis dengan apa yang akan diberikannya. Siapa? Adler? Atau…?
Vera yang siap memberikan hadiahnya itu lebih mengurungkan niatnya dan menyimpan kembali hadiah itu di tasnya.
Vera lebih memilih menutup rasa penasaran itu dibanding memperpanjang hal tersebut, toh mungkin aja kebetulan temannya yang memberikan barang yang sama.
Bukan sekali. Dua kali, tiga kali hal tersebut terulang. Bukan hanya barang tapi makanan kesukaan Adler pun ia tahu. Bagaimana bisa? Adler cerita hal se rinci itu dengan temannya?
Rasa penasaran itu tertumpuk begitu banyaknya. Hingga dimasa Vera tak tahan untuk memendam. Emosi yang memuncak, rentetan pertanyaan dilontarkan tanpa henti didepan orang yang ia sayangi saat itu. Seakan menuduh kuat tak minta penjelasan apapun dari Adler.
“Ver, gak mau dengar penjelasanku dulu? Aku bakal jelasin dari awal. Hanya salah paham dan yang kamu tuduhkan dari awal itu tak pernah terjadi.”
“Hanya satu salahku, aku terlalu mudah menerima pemberiannya. Dan aku tak pernah sekalipun cerita ke dia hal se rinci itu tentangku. Kalaupun ia tahu apa yang ku mau kemungkinan ia dengar dari temanku. Bukan diriku yang kabari ke dirinya.”
Ntah apa yang menutup hati Vera. Lantaran kecewa ke Adler kekasihnya? Gak. Ia bahkan merasa sangat kecewa dengan dirinya saat ini. Ia bahkan merasa terlambat satu langkah dari hadiah-hadiah yang diterima Adler. Ia merasa perasaan yang ia berikan tak 100% untuk Adler. Gagal. Kecewa. Sakit hati. Terasa mengaduk kuat pikiran Vera.
“Maaf, tapi bisakah kita berpisah sebentar. Aku sangat kecewa kediriku sekarang.”
“Kamu yakin honey? Okey kamu tenangin dirimu dulu. Aku bakal disini nemenin.”
“Gak perlu, kamu pulang aja dulu. Aku disini sendiri.”
Adler merasa bingung dengan permintaan Vera saat itu. Bahkan setelah mendengar penjelasannya, Vera menyuruhnya tetap pergi.
Punggung itu terlihat jelas berjalan perlahan, sesekali menoleh ke arah Vera.
Khawatir dipastikan dirasa oleh Adler. Perlahan punggung itu tak terlihat. Tangisan Vera terdengar lebih kuat. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Hancur. Tak puas dengan apa yang ia berikan sekarang.
“Hey lihat ada yang kecelakaan!”
“Ah yang bener?”
Cukup cepat untuk ramai orang itu bergerombol di satu tempat. Simpang lalu lintas, penyeberangan pejalan kaki. Vera mengikuti iring-iringan orang berkumpul disana. Pakaian yang sama, jaket yang sama, syall yang sama. Wajah yang ia kenali. Bahkan tak lepas dari beberapa jam saat itu. Terdiam. Tangan yang membuka kerumunan berusaha maju. Simbahan darah menodai aspal hitam. Mata yang setengah sadar, bibir yang bercakap pelan. Ditambah sedari tadi ia menggenggam sesuatu.
“AD…BANGUN ADD!! JANGAN TINGGALIN GUA PLEASE JANGAN TINGGALIN GUA!!”
“Ja..jangan nangis, aku gak suka liat kasihku yang sangat kucinta ini nangis.”
“Vera…honey selamat ulang tahun. Maaf kali ini gak bisa rayain sama-sama.” Senyuman itu menutup kisahnya. Tubuh Adler tak berdaya dalam pangkuan Vera. Genggaman sedari tadi dilihat Vera akhirnya terbuka. Sebuah kalung. Maksud ingin berikan disaat bertemu.
***