Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Until Someday
7
Suka
1,512
Dibaca

Tegukan air terdengar keras. Rasa yang sama, situasi yang berulang. Bayang-bayang ketakutan kembali bagai serpihan.

“Sekarang udah tenang.”

Pria itu melangkah balik menuju tempat ia akan bernaung malam harinya. Mengisi tenaga untuk kerja esok hari.

Pria yang terbaring itu berusia tak lebih dari 30 tahun. Matanya yang perlahan tertutup, menghilangkan pandangan hingga menuju bunga tidur miliknya.

Kaivan. Dia yang bekerja dibidang arsitektur bangunan tinggi.

1 tahun. 1 tahun telah terlalui. Muka yang terlihat suram. Sejak 1 tahun lalu.

“...Jujur akupun gak paham dengannya. Udah satu tahun loh.”

“Masalahnya rumit banget. Pokoknya diluar jam kerja jangan sampai menyinggung hal itu.”

Bisikan itu terlalu keras untuk ditutupi.

“Kai...lu gak masalah dengan ini? Udah satu tahun tapi masih ada aja yang ngomongin lu dari belakang.”

“Gak usah dihirauin lah. Mereka juga gak tahu.”

“Tapi lu gak mau cerita kalau lu punya penyakit juga? Bahaya loh kalau ada apa-apa.”

“Tenang aja, obatnya tetap gua rutin minum.”

Vera satu-satunya rekan terdekat Kaivan diluar jam kerjanya. Satu-satunya rekan yang dapat interaksi lama dengannya. Ya, Kaivan mengalami masalah dengan kesehatannya. 1 tahun sebelum penyakitnya itu, Kaivan hampir tak mengalami sakit.

Pertengkaran hebat, teriakan sangat menekan, tangisan yang sangat menyedihkan.

Vera tahu akan hal itu walau dirinya tak mengetahui secara detail. Diatas jembatan lengkung. Dirinya melihat 2 orang bertengkar dari jauhnya. Dan Kaivan sampai sekarang tak tahu kalau Vera mengetahui hal tersebut.

“Ver lu gak pulang?”

“Gak, lagi nungguin lu dari tadi.”

“Haa lu nungguin dari jam 4 tadi?”

“Iya, kenapa?”

“Yaudah, kita pulang sekarang.”

Disela mereka berjalan. Kaivan penasaran akan suatu hal.

“Lu gak bosen nungguin gitu tiap hari?”

“Gak kok.”

“Jangan salah paham ya, gua gak ada nyimpan perasaan kok.” Vera menegaskan dirinya.

“Yaa…gua paham. Lu ada nyimpan aja gua gak akan peduli.” Ujung bibir Kaivan terangkat sedikit, tingkah Vera yang membaur dengan suasananya itu membuat sedikit rasa senang didirinya.

Sikap apatis yang tak peduli sekitar. Hanya bekerja untuk hidup. Sama sekali tak peduli dengan perasaan apapun. Apakah itu sifat Kaivan sebenarnya? Mengapa Vera begitu peduli dengannya?

***

Pasangan dari jauhnya terlihat menatap satu sama lain.

“JELASKAN UNTUK AKU! MAKSUDNYA APA CLAR!”

“Sudah jelas semuanya, aku ingin kamu terima ini kembali.”

“Kaivan…maafkan aku.”

Suara yang bergetar seakan tak rela memberikan keputusan.

Wanita itu menjulurkan tangannya hendak memberikan suatu hal.

Vera berniat pergi dan tak ingin menguping lebih lama. Tapak kaki yang mundur perlahan. 4 langkah ia akan selesaikan.

Wanita disamping Kaivan juga berlekas pergi. Dirinya yang berbalik arah dan telah melangkah beberapa meter dari Kaivan.

Pandangan Vera kembali tertuju kepada rekannya itu.

Tertunduk lesu, seakan menatap telapak tangannya.

Sedetik kemudian, telapak tangan itu terlihat berpindah ke dadanya. Mencengkram kuat, tangan yang menggenggam pagar menopang tubuh. Nafas yang terengah-engah. Diri Kaivan yang tak kuasa menahan beban tubuhnya lagi tumbang perlahan.

Reaksi sekejap diberikan Vera. Berlari kuat menuju Kaivan.

“KAIVAAANN!!!….”

Tatapan Vera serasa terjahit. Pandangan yang tak lepas dari rekannya. Melihat tubuh Kaivan yang bernafas tak teratur. Clara. Wanita yang tadi hendak pergi. Karena mendengar teriakan Vera, ia menoleh kebelakang dan melihat tubuh kaku Kaivan dengan tangan mencengkram erat dadanya. Clara berlari kembali ketempat semula dengan wajah panik.

“Kai..kai..nafas perlahan, nafas perlahan.”

Dalam penglihatan Kaivan, dua wanita yang sangat panik dengan keadaannya sekarang ini.

“Dadaku..dadaku terasa meledak dari dalam.”

“Mataku..mataku tak bisa melihat jelas siapa dihadapanku ini.”

“Ah suara ini…itu…kamu kan Vera?… itu suaramu?”

Kaivan tersadar dengan teriakan Vera. Ia mulai bernafas perlahan. Akan tetapi rasa terbakar di dadanya dan dengung di kepalanya tak kunjung hilang.

Sirine ambulance kian mendekat. Disela kepanikan, diantara wanita itu menelpon untuk mendatangkan pertolongan disana.

Vera menaiki ambulance bersama Kaivan menuju rumah sakit. Clara berniat sama akan menaiki mobil itu. Akan tetapi teriakan Vera menghentikan niatnya.

“LU GAK PERLU IKUT…LU UDAH NYAKITIN KAIVAN.”

Dengan turunnya Clara, mobil itu menutup dan pergi menuju rumah sakit.

***

Ruangan putih dengan satu ranjang, Kaivan telah terbaring setelah menerima penanganan cepat.

Satu wanita terlihat menunggu cemas disamping ranjang putih itu.

“Kai..maafin gua, harusnya tadi gua lebih awal nemenin lu disana.”

Isak tangis disela monolog yang Vera berikan.

Pintu geser ruangan terbuka, pasangan Kaivan datang. Atau mungkin tak disebut pasangan lagi?

“Biaya dan administrasi udah kuselesaiin.”

Hening sesaat sembari Clara menuju tempat duduk.

“Untuk apa kau kembali? Mau apa kau?”

“Tentu aku khawatir. Kau berharap jawaban apa dariku?”

“Kaivan…lu apain Kaivan tadi!”

Keduanya terdiam sesaat. Clara membuka suara lagi.

“Cukup rumit. Singkatnya aku tak bisa bersama dirinya lebih jauh.”

“Ini…tolong berikan kembali ke Kaivan saat ia udah sadar…gak…lebih baik berikan saat ia udah tenang aja.”

Sebuah cincin. Berpindah tangan ke Vera.

Vera menatap cincin itu. Sangat sederhana desainnya. Apa yang sangat spesial dari cincin ini?

Clara menuju Kaivan yang terbaring diranjang tak sadar.

Dirinya meraih tangan Kaivan dan mendekap tubuhnya dengan erat. Tangisan terdengar perlahan. Kesedihan terasa mengusik jiwa Vera.

Vera menahan dirinya sejak di jembatan akhirnya meledak di ruangan.

Sekitar 10 menit, bisikan pesan tak putus disampaikan pelan oleh Clara.

“Kalau begitu, aku pamit dulu.”

Keheningan kembali tampak. Rasa sedih terus terasa oleh Vera.

Jari yang tergeletak bergerak pelan. Mata itu perlahan terbuka. Sejak 3 jam lalu Kaivan tak sadarkan diri.

“Kai, lu udah sadar? Gimana, ada yang sakit gak? Gua panggilin dokter dulu.”

Vera kembali dengan dokter yang telah dibawanya.

Stetoskop bergerak-gerak ke dada Kaivan memeriksa.

“Kamu walinya kan? Kalau begitu akan saya jelaskan.”

“Temanmu ini kondisinya sekarang udah stabil. Kejadiannya itu aliran darah yang tiba-tiba, debaran jantung yang kuat dan dampaknya mengganggu kesadaran.”

“Atau bisa disimpulkan, ini akan berhubungan dengan otak dan saraf dikepalanya. Ingatan salah satu pemicu ini dapat terjadi lagi.”

“Saya sarankan bantu temanmu ini untuk stabilkan emosi dan fikiran nya. Dan saya akan memberikan semacam obat penenang. Kalau gitu saya permisi dulu.”

“Kai lu denger kan apa kata dokter tadi? Jangan ada tuh fikiran macem-macem.”

“Ver, lu ada simpan barangku kan?”

“Ya? Tapi lu yakin gapapa nih?”

“Mana sini?...”

Cincin itu berpindah pada telapak tangan Kaivan.

“Lu suka apa sih dari cewek itu! Mana cincinnya butek banget lagi.”

Pandangan yang terlihat sama saat di jembatan tadi. Terasa dalam.

“Cincin ini, aku yang berikan.”

“Ka..kamu yang berikan? Maafin gua, gua gak tau juga.” Muka memelas Vera tampak. Rasa bersalah atas opini liar dirinya tadi.

“Thanks ya Ver, lu udah bawa gua ke rs.”

Perkataannya yang salah sejak awal. Membuat wajah gelisah bahkan tak dapat ditutup oleh Vera.

“Oh iya, gak usah dipikirin itu.”

“Cincin ini, hal pertama yang kuberikan ke dia. Hadiah atas waktu yang telah ia berikan.”

“Sederhana, tapi…senyuman dirinya saat itu tak kan bisa kulupakan.”

Vera menyimak tenang dari samping Kaivan. Kata demi kata ia tafsirkan cepat, semakin didengar terasa semakin menumbuhkan rasa penasaran dirinya.

“Dia…begitu dekat dengan nya! Tapi… kenapa? Kenapa harus berakhir begini?”

Batin Vera yang penuh validasi atas kejadian hari ini dan cerita Kaivan.

“Disaat aku kehilangan segalanya tapi ia rela berikan segalanya juga untukku.”

“Bagiku ia sangat berharga…tak dapat dinilai dengan apapun.”

“Aku…setidaknya…mau membalas tiap moment yang ia berikan. Walau perasaanku tak pernah terbekas baginya.”

Atmosfer disana kian memberat. Pipi dari laki-laki itu terasa basah.

Vera berjalan menuju Kaivan yang duduk sedari tadi. Tangannya mendekap tubuh Kaivan yang sakit.

“lu dapat cerita saat lu udah tenang dan lu juga gak harus cerita kalau gak mau.”

“Gua ada disini, please jangan tinggalin gua Kai.”

Kaivan tersentak sesaat. Ingatan yang ia simpan sejak lama. Kalimat yang sama, sikap yang sama disaat ia bertemu Clara tempo lalu.

***

Aku pergi ke arah yang berbeda, aku pergi ke arah yang tak kumau. Aku menghilangkan semua pandangan. Diriku tak membekas di tiap-tiap langkahku kini. Aku berbalik dan akan kembali suatu saat nanti. - Kaivan

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
TANAH AIR KEDUAKU
Eunike Mariyani
Novel
Baby Blue
Melia
Flash
Mencari Musim Semi di Tumpukan Jerami
MAkbarD
Cerpen
Until Someday
Dian N Khan
Skrip Film
Maot: Main-main Sebelum Ajal
Wicak Hidayat
Novel
Menolak Lupa
Shin No Hikari
Skrip Film
andai
Hank Wijaya
Skrip Film
Bersende Gurau Bersame
Yorandy Milan Soraga
Skrip Film
Bintang SMA 101
Yorandy Milan Soraga
Flash
Pesan tanpa Jeda
Martha Z. ElKutuby
Novel
Bronze
Lost Memories
MR Afida
Flash
Bronze
Perjalanan Menukar Rasa
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Bronze
Selamat Jalan Papa
Herman Sim
Flash
Tertipu
Satorie
Cerpen
Bronze
Istana Biru
Dimarifa Dy
Rekomendasi
Cerpen
Until Someday
Dian N Khan
Flash
Derita Diri
Dian N Khan
Flash
Twenty Five Hours
Dian N Khan
Cerpen
Until Someday (Never Know)
Dian N Khan
Flash
Bronze
SINIS
Dian N Khan
Cerpen
Bayangan Hitam
Dian N Khan