Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sejak kecil, jarang ada yang normal dalam hidupku. Ayahku gantung diri waktu aku kelas 5 SD gara-gara ditipu rekan kerjanya, dan aku mendapat kehormatan menjadi orang pertama yang menemukan jasadnya. Ibuku menjual segala yang kami punya demi melunasi segunung utang yang ditinggalkan ayahku, lalu membawaku pindah ke kota lain. Di sana, seorang teman bermurah hati membantunya hingga bisa mendirikan usaha kateringnya sendiri, tapi hidup rupanya belum puas mengusilinya.
Waktu usiaku lima belas, Ibu terpaksa menyeretku menemui psikiater setelah aku nyaris membakar kamarku sendiri. Aku divonis mengidap bipolar dan diharuskan menjalani ini-itu untuk mengendalikan gejalanya. Hasilnya lumayan. Aku berhasil lulus SMA dengan selamat tanpa membahayakan diriku sendiri atau siapa pun, bahkan diterima di jurusan impianku di salah satu kampus kesenian terbaik di negeri ini. Segalanya lancar-lancar saja hingga dua minggu lalu, hidup sekali lagi memutuskan untuk mengerjaiku.
Aku kecelakaan. Ditabrak mobil di perempatan dekat kampus saat hendak mengamankan seekor anak kucing yang tengah rebahan santai di atas aspal. Tidak, aku tidak sedang kumat sehingga merasa kepingin mati atau berpikir bahwa menabrakkan diri tidak akan membunuhku. Mobil itu yang menerobos lampu merah, berani sumpah. Beruntung anak kucingnya selamat, sekalipun aku sempat koma sehari sebelum terbangun dengan tangan serta kaki kiri yang retak sebagai konsekuensinya.
Tapi, bukan itu masalahnya.
Aku bermimpi. Tentang satu orang yang sama, setiap malam semenjak aku koma hari itu. Seorang gadis yang tak kukenal tapi anehnya kurindukan, yang paras serta namanya tidak pernah berhasil kuingat saat aku membuka mata. Padahal aku mengingat semua obrolan kami. Juga bagaimana jantungku berdebar ganjil tiap kali ia tertawa, serta bagaimana aku menikmati tiap percakapanku dengannya. Mungkin kedengarannya gila, tapi kurasa aku menyukai gadis itu. Masalahnya, kau tidak bisa menyukai seseorang yang tidak ada, kan?
Walaupun ingin, aku tidak pernah menceritakan soal ini pada Ibu. Aku tidak ingin Ibu khawatir lagi setelah ia menghabiskan hampir seluruh hidupnya mencemaskanku, terutama setelah vonis bipolarku dijatuhkan. Jadi aku memendamnya sendiri, hingga aku tak tahan lagi dan membaginya dengan seseorang.
“Kalian ngobrol tentang apa lagi semalam?”
Bu Beatrice, psikiaterku. Sejak pertama kali aku memberitahunya soal gadis itu, ia selalu mendengarkan dengan sabar tanpa sekali pun bersikap menghakimi. Orangnya memang baik luar biasa, selain pandai banget menyeduh teh. Ia juga yang membuatku tidak ambil pusing saat beberapa teman SMA yang kebetulan mengetahui jadwal terapiku mengataiku gila. Kamu nggak gila, Raihan, cuma lagi sakit aja. Dan semua orang yang sakit butuh berobat supaya sembuh. Kamu harusnya bangga kamu udah berani peduli sama diri kamu dan ketemu saya setiap minggu, nggak perlu malu.
“Banyak, sih, Bu,” sahutku, lalu mulai bercerita soal apa saja yang kuobrolkan dengan si gadis semalam. Tentang migrasi burung, sejarah cokelat, juga beberapa hal lain. Seperti biasa, Bu Beatrice menyimak dengan penuh perhatian.
“Masih nggak bisa ingat wajahnya waktu bangun?” ia bertanya setelah aku usai bercerita. Menghela napas, aku menggeleng.
“Pasti penasaran banget, ya,” ia tertawa kecil, “Saya juga hampir nggak pernah ingat mimpi saya kayak gimana setelah bangun.”
Biasanya aku juga, tapi gadis itu perkecualian.
“Tapi ngobrol sama dia tuh rasanya kayak beneran, Bu. Kayak saya nggak lagi mimpi.”
Aku berhenti di sana, menelan sebongkah rasa khawatir yang muncul tiba-tiba sebelum memberanikan diri menyambung, “Saya... nggak lagi delusi, kan, Bu? Gara-gara kepala saya kebentur pas tabrakan kemarin?”
Bu Beatrice meletakkan cangkir tehnya di meja, lalu menatapku lekat.
“Gimana kalau kamu coba lukis dia?”
Aku mengerjap. “Ha?”
“Buat diikutkan pameran dosen kamu. Kamu bilang belum ada ide, kan? Siapa tahu bisa memicu otak kamu buat mengingat wajahnya.”
Usulannya membuatku menarik satu kesimpulan.
“Jadi saya beneran nggak lagi delusi?”
Mendengar antusiasme dalam suaraku, Bu Beatrice tertawa kecil.
“Mungkin terlalu dini buat menyimpulkan, tapi dari pengamatan saya sejauh ini, sih, saya rasa nggak. Kamu tahu lucid dream?”
Aku menelengkan kepala. “Orang yang pas mimpi sadar kalau lagi mimpi?”
Bu Beatrice mengangguk.
“Saya pernah baca tentang orang-orang yang ketemu dalam mimpi. Biasanya saling kenal, sih. Tapi mungkin aja kamu sebenarnya pernah kenal sama cewek itu, tapi kamu nggak ingat. Dan entah gimana, kecelakaan itu bikin kamu terhubung lagi sama dia.”
***
Pukul 03.13. Pagi.
Aku duduk bersandar pada dinding kamar, menatap kanvas 1 x 1 meter di hadapanku. Pantai berpasir emas dan berlangit merah muda terhampar di sana, melatari seorang gadis yang berdiri di tengah-tengahnya. Gaun terusan putihnya tampak seperti pakaian tidur, sementara rambut panjangnya berkibar ringan tertiup angin. Hanya bagian wajahnya yang masih kosong.
Ah, sial. Pamerannya Prof. Herman dibuka dua hari lagi, dan aku masih belum menyelesaikan lukisanku. Padahal dosenku itu sudah bermurah hati memperpanjang deadline pengumpulan karya hingga dua jam sebelum pamerannya dibuka, khusus untukku. Bagaimana kalau sampai besok lusa aku masih belum bisa menggambar wajah gadis itu?
Aku sudah berusaha. Setengah mati. Aku bahkan menelusuri album kenangan SMP serta SMA-ku demi membuktikan teori Bu Beatrice tentang kemungkinan aku saling kenal dengan gadis misterius itu di dunia nyata. Hasilnya nihil. Tidak ada wajah yang terasa familier seperti yang kuharapkan. Jadi aku harus apa lagi agar bisa mengingat wajahnya?
Frustrasi, aku mengacak rambut dan memejamkan mata. Menajamkan otakku yang sudah lelah, berharap wajah yang kucari tahu-tahu saja mengambang ke permukaan ingatan. Kubiarkan obrolan-obrolan kami terputar dalam kepalaku bak musik latar, hingga debur ombak di kejauhan perlahan menelusup lalu menggantikannya sama sekali.
“Rai?”
Aku membuka mata, disambut sepasang mata cokelat bulat yang menatapku ingin tahu serta seulas senyum yang selalu membuat jantungku bertingkah. Gadis itu.
“Ketiduran lagi?” katanya, lalu berlari kecil menghampiri istana pasir setengah jadi yang dibangunnya tidak jauh dariku. Butuh beberapa detik sebelum aku sadar di mana aku sekarang: duduk bersandar pada sebatang trembesi raksasa yang tumbuh di tepi pantai berpasir emas dan berlangit merah muda. Pantai kami.
“Daripada bengong melulu, sini!” ia melambaikan tangan ke arahku, “Bantuin!”
Ia tertawa di ujung kalimatnya, dan seketika aku berharap aku tidak cepat-cepat bangun malam ini. Atau tidak perlu bangun sekalian—hingga aku kemudian teringat Ibu. Tidak. Aku tidak boleh tidak bangun. Aku harus bangun, tapi aku juga harus mencari tahu apa sebenarnya semua ini. Pantai ini, gadis itu. Aku tidak ingin bangun tanpa bisa mengingatnya lagi.
Jadi aku berdiri, menyusul gadis itu dan berjongkok di sisinya. Aku membiarkannya asyik bersama istana pasirnya selama beberapa saat sebelum membulatkan tekad dan menyuarakan isi kepalaku.
“Kita pernah ketemu nggak, sih, sebelum ini?”
Gadis itu mendongak, menatapku dengan senyum tertahan seolah aku baru saja melucu.
“Kamu lupa kita tadi ngobrol sebelum kamu ketiduran?” ia balas bertanya, geli.
“Bukan,” aku menggeleng, “Maksudku sebelum kita ketemu di pantai ini.”
Senyumnya meluruh, digantikan ekspresi tidak mengerti.
“Ini semua,” aku menunjuk sekeliling, “Kita cuma mimpi, kan? Setelah aku kecelakaan terus koma waktu itu, kita—”
Tiba-tiba saja, gadis itu menutup kedua telinganya dengan tangan. Wajahnya memucat, seolah ia baru saja mengingat sesuatu yang mengerikan.
“Nggak,” ia menggumam, suaranya gemetar seperti jari-jarinya, “Nggak, aku—Maaf—”
Ketakutannya seketika menulariku.
“Anya?”—dan aku tiba-tiba saja mengingat namanya—“Kamu kenapa?”
Aku mengulurkan tangan hendak menyentuh bahunya, tapi angin kencang mendadak menerpa kami dari arah laut. Pasir di sekitar kami beterbangan menerjangku, memaksaku memejamkan mata. Aku meneriakkan namanya sekali lagi, tapi segalanya sudah hilang saat aku membuka mata. Aku sudah kembali ke kamarku sendiri, duduk menghadapi lukisan setengah jadiku. Napasku tersendat dan keringat dingin membasahi wajahku, tapi aku mengabaikannya. Buru-buru aku menyambar kuas, lalu melanjutkan lukisanku.
Aku mengingatnya. Wajahnya, juga namanya.
Tapi sebagai gantinya, aku tidak pernah lagi memimpikannya sejak malam itu.
***
Prof. Herman tersenyum puas sewaktu melihat lukisanku akhirnya terpajang di antara belasan lukisan lain di pamerannya. Sepanjang empat hari pertama pamerannya dibuka, tidak terhitung berapa kali pria itu membanggakanku sebagai salah satu mahasiswanya yang paling berbakat di depan rekan-rekan senimannya yang datang. Aku tahu aku seharusnya merasa tersanjung, tapi yang kurasakan malah sebaliknya. Kosong, seolah ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Sesuatu yang besar. Dan hari ini, tepat seminggu semenjak mimpi terakhirku tentang Anya, aku masih belum menemukan cara untuk kembali ke pantai itu.
Apa aku selamanya tidak akan pernah bertemu dengannya lagi?
“Bengong mikirin apa?” Prof. Herman tahu-tahu saja muncul di sisiku, menepuk pelan punggungku. Untungnya aku bukan tipe orang yang hobi menjerit histeris sewaktu dikageti.
“Nggak, Prof,” aku menggeleng, berdeham untuk mengusir sisa keterkejutanku. Dosenku itu tertawa kecil, lalu turut mengamati lukisan di hadapanku. Lukisanku.
“Banyak yang nawar, lho,” katanya, “Yakin nggak mau dilepas?”
Aku kembali menggeleng, kali ini tanpa keraguan sama sekali. Prof. Herman tertawa maklum, lalu kembali mengamati lukisanku.
“Untuk ukuran orang yang pertama kali ngelukis pakai model, ini luar biasa, lho, Han,” pujinya, “Tapi saya nggak lihat cewek beruntung ini datang. Kamu nggak undang dia?”
Aku hanya tersenyum masam, tidak menyahut.
“Suruh datang, dong! Pasti dia seneng banget dilukis seindah ini,” Prof. Herman menepuk bahuku, lalu berjalan pergi karena sang asisten memanggilnya. Aku hanya bisa tercenung di tempat. Kamu nggak undang dia? Seandainya bisa.
“...Anya?”
Sebuah suara dari arah belakang memutus lamunanku. Jantungku rasanya nyaris menggelincir ke lantai saat aku berbalik dan mendapati seorang perempuan berdiri tidak jauh di belakangku, menatap lukisanku dengan mata melebar dan sepasang tangannya menutupi mulut. Tidak, bukan Anya. Tapi dari caranya menatap lukisanku, jelas ia mengenali sosok yang kulukis. Dan ia memanggil nama gadis itu, nama yang sama dengan yang kuingat. Anya.
“S-sori,” aku menelan ludah, menghampiri perempuan itu sekalipun kedua kakiku rasanya selemas jelly sekarang, “Saya—Anda—Mbak kenal—”
Aku menuding lukisanku sementara tatapan perempuan itu bergeser ke arahku. Ada haru bercampur heran, bingung, serta entah apa lagi mewarnai wajahnya.
“Kamu... yang gambar?” ia balas bertanya. Saat aku mengangguk, aku tidak menyangka perempuan itu akan menyambung dengan, “Itu adik saya.”
***
Rasanya tidak terkatakan saat aku akhirnya melihat Anya lagi, kali ini saat aku terjaga sepenuhnya. Aku memang sangat ingin bertemu dengannya, tapi tidak dalam keadaan begini. Tidak saat ia terbaring koma di atas ranjang rumah sakit dengan beberapa selang menancap pada tubuhnya.
Kakaknya bilang, Anya kecelakaan di perempatan yang sama denganku, tepat dua bulan sebelum kecelakaanku. Bedanya, ia tidak tertabrak sepertiku. Ia menabrakkan diri.
“Orang tua kami nggak ada sejak Anya masih kecil, jadi dari dulu, kami cuma punya satu sama lain. Kami baru jadi bertiga setelah saya punya anak, tapi itu pun nggak lama.”
Annisa, kakak perempuan Anya, menatapku dengan senyum sedih pada wajahnya sementara kami berdua duduk di depan kamar rawat Anya.
“Anak saya udah nggak ada,” ia menyambung tanpa kutanya, “Baru umur tiga. Usus buntu. Anya yang bawa ke rumah sakit karena waktu itu saya lagi kerja, tapi udah telat. Saya nggak pernah nyalahin Anya soal itu, tapi dia nggak bisa maafin dirinya sendiri.”
Aku menelan ludah, menyadari satu hal.
“Makanya dia...”—aku tidak melanjutkan kalimatku, tapi kulihat Annisa mengangguk.
“Dokter bilang, fisiknya sebenernya udah sembuh. Tapi kayak ada sesuatu yang nahan dia sehingga masih belum sadar sampai sekarang.”
Annisa menoleh ke dalam kamar, menatap sosok adiknya yang terbaring damai di sana.
“Saya kangen denger dia ketawa,” ia menggumam lirih, dan seketika dadaku terasa ngilu. Anya yang kutemui dalam mimpi-mimpiku tidak begini. Gadis itu tertawa lepas dalam percakapan-percakapan kami, menyimak tiap ucapanku dengan antusiasme yang tidak dibuat-buat. Aku tak pernah tahu ia menyimpan luka sebesar itu di balik senyumannya.
“Anya tuh ceria banget anaknya, hampir nggak pernah nangis,” Annisa menyambung, “Saya cuma ingat dia pernah nangis kejer satu kali, pas kelas 5 SD. Waktu teman sebangkunya pindah gara-gara papanya meninggal.”
Teman sebangku. Tunggu. Teman sebangku?
“Dia sedih karena nggak bisa lulus SD sama-sama, tapi lebih sedih lagi karena temannya itu harus ngerasain sedihnya nggak punya papa kayak yang udah dia alamin.”
Rai? Ketiduran lagi?
Suara Anya menggema dalam kepalaku dan seketika, aku teringat satu hal. Semua orang selalu memanggilku ‘Han’ atau ‘Raihan’ sewaktu bicara denganku. Semua orang, kecuali satu orang. Teman sebangkuku waktu kelas 5 SD, sekaligus... cinta pertamaku.
“Tunggu—sori,” aku menelan ludah, “Kalau boleh tahu, Anya SD-nya—”
Lengkingan alarm terdengar dari dalam kamar rawat Anya, membuatku dan Annisa menoleh bersamaan. Jantungku sungguhan menggelincir ke lantai saat kulihat salah satu mesin di sisi ranjangnya berkedip mengerikan.
“Anya!” Annisa memekik panik, berlari masuk ke dalam lalu berulang kali memencet bel untuk memanggil perawat. Tiga orang perawat datang sesaat kemudian bersama seorang dokter, mengerubungi ranjang Anya sementara aku masih terpaku di ambang pintu kamar.
Mungkin aja kamu sebenarnya pernah kenal sama cewek itu, tapi kamu nggak ingat. Dan entah gimana, kecelakaan itu bikin kamu terhubung lagi sama dia.
Sial. Bagaimana bisa aku melupakannya?
“Anya!” aku ikut-ikutan masuk ke kamar, tapi seorang perawat menahanku agar tidak mendekati ranjang. Masa bodoh.
“Anya!” aku berteriak lagi sementara bergumul dengan si perawat, “Kamu harus balik! Aku udah ingat sekarang, jadi kamu harus balik! Jangan ngilang gitu aja! Masa kamu tega ninggalin kakak kamu sendirian?!”
Satu perawat lain menghampiriku, membantu rekannya menyeretku keluar. Aku meronta, tidak menyerah, tapi mesin sialan itu terus saja berkedip.
“Balik, Anya, jangan ngilang kayak gini!” teriakku lagi, “Aku pengin ngobrol sama kamu lagi! Aku pengin denger kamu ketawa lagi! Aku pengin ngelukis kamu lagi! Bukan salah kamu ponakan kamu nggak ada! Bukan salah siapa-siapa!”
Tepat saat duo perawat itu mengenyahkanku keluar kamar, aku mendengar perawat yang satu lagi memekik bersamaan dengan redanya bip-bip-bip si mesin sialan.
“Dok, lihat, Dok! Pasiennya sudah sadar!”
***
Tidak mudah memaafkan diri sendiri, tapi kadang hanya itu satu-satunya jalan untuk melanjutkan hidup.
Tiga bulan setelah tersadar dari koma, Anya sudah mulai bisa berkegiatan seperti biasa. Fisiknya pulih dengan cepat berkat serangkaian fisioterapi yang dijalaninya dengan rajin, sementara mentalnya berangsur membaik setelah sesi terapinya dengan Bu Beatrice. Ya, aku yang merekomendasikan psikiaterku itu padanya. Usulanku terbukti cemerlang—pada pertemuan mereka yang kedua, Anya bisa menangis untuk pertama kalinya sejak kematian keponakannya. Itu pertanda bagus. Walaupun butuh waktu, aku tahu luka menganga di hatinya itu perlahan akan sembuh.
Dan hari ini, tepat empat bulan sejak kecelakaanku, pameran tunggal pertamaku yang disponsori Prof. Herman dibuka. Akhirnya aku berkesempatan menunjukkan lukisan bersejarahku pada Anya, lukisan dirinya yang kubuat sewaktu ia masih koma. Saat aku bahkan belum mengingat siapa dia. Anya tersipu setengah mati sewaktu melihatnya.
“Ini beneran aku?” ia bertanya setelah selama beberapa saat kehilangan kata-kata.
Aku mengangkat bahu. “Kelihatannya gimana?”
Anya tertawa, dan jantungku—seperti biasa—mulai bertingkah. Ia kembali memandangi lukisan dirinya di hadapan kami, sementara aku lebih betah memandanginya.
“Kapan-kapan kita ke pantai beneran, yuk,” katanya.
Aku mengangguk. “Jadi modelku lagi. Mau, ya?”
“Hmm, bayarannya berapa dulu?”
Tawaku seketika pecah, Anya juga.
“Tapi untung, deh, Rai, kamu kecelakaan hari itu,” Anya menoleh padaku, memasang senyum yang selalu berhasil membekukan duniaku, “Jadi kita bisa ketemu lagi.”
“Iya,” aku tertawa kecil, meraup tangannya dalam genggamanku, “Jadi aku bisa jatuh cinta sama kamu sekali lagi.”