Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Aku hamil, Ken! Aku hamil! Puas kamu?!" Gadis berseragam SMA itu berteriak berkali-kali dengan penuh emosi, kesal dengan respon lelaki di hadapannya yang malah bengong.
Prang! Sendok dan garpu yang dipegang pria itu terjatuh, tangannya pun mendadak gemetar. Pria bernama Kenan Mahardika itu menatap pacar kecilnya dengan tatapan tak percaya sekaligus syok.
"Kamu jangan bercanda, Mei." Kenan berusaha tetap tenang.
"Liat wajah aku, emang keliatan lagi bercanda?!" Gadis bernama lengkap Meila Ardiana itu mendekatkan wajahnya dengan sengit, namun terlihat berkaca-kaca seperti hendak menangis.
Kenan menatap wajah Meila yang marah, namun masih kelihatan imut itu beberapa detik, lalu meraih lengannya dengan tegas tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Lepas ih, kamu mau bawa aku ke mana?!"
"Ke dokter."
"Ngapain?"
"Buat mastiin."
"Aku beneran hamil, masa kamu gak percaya sih?!"
Kenan menghentikan langkahnya, lalu berkata dengan penuh kesabaran. "Kita bahkan gak pernah ciuman, gimana caranya kamu bisa hamil?"
"Kan aku hamilnya sama orang lain!"
"Uhuk!" Kenan hampir saja muntah darah, karena gadis yang dijaganya sedari bayi itu mengatakan bahwa dirinya sedang hamil anak orang lain.
Masalah ini terlalu sulit untuk dipercaya.
"Minum dulu Ken." Meila menuangkan air putih yang ada di meja makan itu ke dalam gelas, lalu menyerahkannya pada Kenan. Pria berusia 26 tahun itu pun meneguknya sampai habis.
"Meila." Kenan memegang kedua bahu gadis itu, lalu memintanya untuk duduk di hadapannya. "Kamu tahu gak gimana caranya seorang wanita bisa hamil?"
Mendengar pertanyaan itu, Meila merasa harga dirinya terluka. Dia pun kembali berdiri, lalu berkata dengan marah, "kamu pikir aku sepolos apa?!"
Kenan merasa bingung menghadapi gadis di hadapannya, apalagi dengan pengakuannya barusan yang membuatnya sampai kehabisan kata-kata.
"Aku harus gimana, Ken?! Aku takuut."
Kenan menatap kekasihnya yang tengah menangis itu dengan tatapan rumit. "Siapa yang melakukannya?"
Pria yang dikenal selalu berkepala dingin dan mampu mengendalikan diri dalam segala situasi itu pun nyaris kehilangan kontrolnya. Meski sebagian hatinya tidak ingin mempercayai hal itu, namun sebagian lagi menuntut sebuah kepastian.
Meila menyeka air matanya seraya menatap Kenan yang tengah menahan amarah, sesaat merasa ragu untuk mengatakan siapa lelaki yang telah menghamilinya tersebut. Gadis itu pun memilih bungkam dan memalingkan wajah.
"Siapa?" Kenan kembali bertanya, kali ini dengan sedikit penekanan. Namun, Meila masih setia bungkam sambil menundukkan kepalanya.
"Mei ... siapa yang melakukannya?."
" ... "
"Mei!"
"Jangan bentak aku, Ken!"
Kenan mengusap wajahnya dengan gusar, lalu menghela nafas frustasi. Sementara Meila kembali terisak.
Kenan memang tidak pernah membentak Meila sebelumnya, bahkan selalu memaklumi tingkah manja dan polos gadis yang sangat dicintainya itu.
"Duduk lagi, Mei." Kenan sudah bisa mengendalikan dirinya kembali. Dia pun berusaha berkata dengan nada lembut, walau hatinya masih terasa kacau.
"Jadi, kapan itu terjadi?"
"Tiga minggu yang lalu."
"Dimana?"
" ... "
Meila tidak menjawab dan Kenan pun tidak menuntut jawaban seperti sebelumnya. Pada saat ini, pikirannya sudah agak tenang, membuatnya tahu bagaimana harus bersikap.
"Gimana kronologinya?"
"Aku tidur bareng dia." Meila memainkan jari-jarinya dengan gusar. "Terus ...."
"Kamu dipaksa?"
" ... "
"Atau sukarela?"
"Enggak, Kenan! Kamu jahat banget sih ngomong kayak gitu! Kamu pikir aku cewek apaan?!" Meila berteriak dengan marah seraya mengayunkan tangannya dengan penuh emosi.
Plak! Satu tamparan keras pun mendarat di wajah tegas Kenan, namun pria itu hanya mengusapnya sekilas tanpa mengubah ekspresinya.
"Terus?" Kenan menatap Meila yang memegangi telapak tangannya sendiri sambil meringis kesakitan. Tanpa bicara, Kenan pun memegang tangan yang baru saja menamparnya itu dengan lembut, lalu memijitnya pelan.
Meila membiarkan pria itu memijat telapak tangannya dengan fokus, membuat air matanya seketika tumpah. Rasa benci dan jijik pada dirinya sendiri seketika menyerang hatinya.
"Kamu tenang dulu, Mei."
"Aku gak bisa tenang!"
"Terus mau kamu apa?"
"Aku gak tahu!"
"Yaudah nangis aja dulu."
Meila pun menangis histeris di pelukan Kenan. Pria yang seharusnya marah karena dirinya kemungkinan telah dikhianati, meski masih ada kemungkinan bahwa Meila menjadi korban pelecehan.
Namun, apapun itu, pada kenyataannya Kenan tidak bisa melihat Meila menangis seperti ini. Kelemahan Kenan adalah Meila. Pria itu sama sekali tidak tidak bisa membencinya. Selain itu, Kenan pun percaya bahwa Meila tidak mungkin mengkhianatinya.
"Kamu harus cerita semuanya, Mei."
"Aku takut, Ken."
"Dia ngancem kamu?"
Meila yang sudah berhenti menangis menggelengkan kepalanya dengan tatapan kosong. "Aku takut kamu benci sama aku."
"Aku gak mungkin bisa benci sama kamu, dan aku juga yakin kamu gak mengkhianatiku, Mei." Kenan menatap mata Meila dengan lekat. "Sekarang kamu cuma perlu cerita aja, Oke."
"Buat apa?"
"Supaya aku bisa bunuh laki-laki itu." Niat membunuh seketika terpancar dari tatapan matanya yang dingin.
Meila berdecak kesal, "ntar anak aku jadi yatim dong, nggak ada bapaknya!"
Kenan menepuk jidatnya sendiri seraya merutuk dalam hati. 'Nasib punya pacar agak lemot.'
"Jadi mau kamu apa?" Kenan mulai merasa jengkel. "Kalau bajingan itu gak ku bunuh, hidup kita gak bakal tenang. Tapi, kamu gak perlu khawatir, Mei. Soal anak itu-"
"Kita putus aja, Ken."
Kenan mendadak terdiam, wajahnya berubah menjadi datar. "Soal anak itu," lanjutnya mengabaikan kalimat Meila sebelumnya, "aku akan menjadi ayahnya."
"Aku mau putus aja." Meila hendak bangkit dari kursi, namun Kenan menahan lengannya.
"Lepas!" Meila menepis tangan itu seraya memasang wajah dingin, namun faktanya ekspresi dinginnya itu tidak pernah bisa mengintimidasi siapapun. Menyadari bahwa Kenan tidak bergeming, Meila pun mulai mencubiti perut Kenan.
"Berani banget kamu minta putus." Kenan meraih kedua tangan Meila dengan satu genggaman, lalu menekan tengkuk gadis itu dengan tangannya yang lain. Pria itu pun langsung melumat bibir ceri Meila dengan sedikit emosi. Terhitung ini adalah pertama kalinya Kenan melakukannya.
Setelah beberapa saat, Kenan pun melepas pangutannya dengan nafas yang tak beraturan.
"Kenan! Kamu-"
"Jangan Berani-beraninya minta putus." Ekspresi dingin yang jarang sekali ditujukan padanya itu membuat Meila sedikit ketakutan. Namun, dia tidak bisa mengubah keputusannya.
"Kok kamu jadi nyeremin gini sih, Ken?! Aku bilang mau putus ya putus aja!"
"Jangan mimpi!"
Meila tampak mulai geram, lalu berkata dengan penuh ancaman, "kita putus atau aku mogok makan selama setahun!"
"Yaudah putus."
Kenan tahu ancaman gadis itu bukan hanya omong kosong belaka. Dan jika gadis itu sudah mengeluarkan ancaman seperti itu, maka membujuknya memerlukan usaha yang tak main-main.
Akhirnya, Kenan pun memilih untuk mengalah. Namun bukan berarti dirinya akan melepaskan Meila. Gadis yang telah dijaganya sejak masih bayi itu, yang bahkan dirinya pernah membantu menggantikan popoknya itu, takkan dia biarkan lepas!
Kenan bersumpah, siapapun pria yang telah berani menyentuh wanitanya akan dia bunuh.
*
Keesokan harinya, Meila mengurung dirinya sendiri di dalam kamar dan menolak bertemu dengan siapapun.
Sebelumnya, Meila sudah memberitahu keluarganya mengenai masalah kehamilannya tersebut, dan tentu saja membuat keluarga harmonis itu mendadak menjadi gempar.
Ayah yang selalu memanjakannya nyaris serangan jantung, ibunya sudah tiga kali pingsan dan kakak laki-lakinya terlihat sangat marah.
Mereka pun mendesak Meila supaya memberitahukan siapa pria yang telah menghamilinya itu. Namun, Meila memilih bungkam sama seperti sebelumnya.
Dia tidak ingin orang lain tahu siapa pria itu. Meila takut jika dirinya dipaksa menikah dengan pria itu seperti yang ada di dalam sinetron yang sering ditontonnya.
Meski Meila telah memutuskan hubungan dengan Kenan, tetapi dirinya juga tidak ingin menikah dengan orang lain selain pria itu. Maka lebih baik jika dirinya melajang seumur hidup, begitu pikirnya setelah merenung selama beberapa saat.
Di lain tempat, Kenan tampak termenung di bawah pohon. Pria itu tengah memperhatikan sebuah test pack dengan hasil dua garis merah, benda yang diberikan Mia sebelum gadis itu meninggalkan dirinya kemarin.
"Jadi bener tuh bocil lagi hamil?" Evan si manusia yang katanya berhati dingin itu menyender dengan tangan terlipat di depan dada.
"Kau udah bawa dia ke dokter belum? Tahu sendiri 'kan si Mei kayak gimana, tuh anak rada-rada bloon soalnya." Alfian yang luarnya idaman mertua tapi dalamnya bobrok itu menimpali, dan malah diangguki oleh Evan.
Kenan menatap datar pada dua sahabatnya itu dengan kesal. "Katanya dia udah tidur sama cowok lain."
Alfian berdecak pelan, "dia tahu gak definisi tidur bareng cowok itu gimana?"
"Gak mungkin hasilnya garis dua kalau Mei gak beneran hamil. Lagipula, Mei nolak diajak ke dokter." Kenan memijat keningnya dengan frustasi, "dia bahkan gak mau bertemu denganku."
Evan kemudian berkata, "kalau begitu, tinggal nunggu kabar dari si pelaku."
Kenan menggertakkan giginya dengan penuh kebencian, "aku akan membunuh bajingan itu!"
"Jangan dibunuh dulu, Ken." Alfian tersenyum keji, "bajingan itu harus menderita rasa sakit yang parah dulu sebelum mati."
"Dasar psikopat." Evan menggelengkan kepala melihat dua sahabatnya yang dikelilingi niat membunuh itu, namun diam-diam dirinya pun memikirkan metode penyiksaan yang kejam untuk pria yang telah menyentuh Meila.
"Kenan! Dimana kau?!"
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan yang berasal dari arah mansion milik Kenan itu. Pemilik suara itu tak lain adalah Juna Adrian, kakak laki-laki Meila.
Bugh. Juna memukul wajah Kenan dengan keras. Namun, pria itu sama sekali tidak menghindar. "Kau udah berjanji akan melindunginya, Ken. Terus sekarang apa?!"
"Udah, woi! Udahh." Alfian berusaha menghentikan Juna yang sedang membabi-buta, sementara Evan memilih diam.
Beberapa saat kemudian, Juna mulai tenang. Dia pun duduk di rumput bersama yang lainnya. "Ini juga salahku, sebagai Abang udah gagal jagain Meila."
Suasana mendadak hening. Kemudian, Kenan mulai berbicara, "aku tetap akan melindunginya, sampai kapanpun. Bahkan jika dia menolaknya."
Juna menggelengkan kepalanya, "perjanjian lima tahun yang lalu udah gak berlaku. Mulai sekarang aku yang akan bertanggung jawab atas keselamatan Meila."
"Terserah, aku akan tetap melindunginya."
Alfian merasa jengkel melihat perseteruan antara Kenan dan Juna. "Yaudah kita lindungi aja sama-sama, lagian selama ini juga gitu 'kan? Meila itu bayi kecil kita, jangan rebutan gitu dong! Yang penting sekarang kita harus nemuin laki-laki itu buat balas dendam."
"Kita udah kirim pasukan lapangan dan juga tim IT buat lacak keberadaan pria itu." Evan yang lebih banyak diam mulai angkat bicara. "Sekaligus buat nyelidikin apa yang sebenarnya terjadi."
Lantana Security adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa keamanan dari mulai satpam, pengawal pribadi sampai detektif bayaran. Mereka bahkan memiliki tim IT yang luar biasa. Selain itu, mereka juga mendirikan semacam akademi atau tempat pelatihan bagi calon anggota mereka yang terpilih.
Anggota dari tiap divisi ditugaskan sesuai dengan level mereka masing-masing. Dimulai dari level E yang paling rendah, sampai dengan level A yang paling tinggi. Ada juga level khusus yang disebut level S.
Lantana Security memiliki jaringan yang luas dan anggota mereka tersebar dimana-mana. Mereka juga memiliki reputasi yang baik dan terkenal dengan keprofesionalannya.
Namun, hanya sedikit orang yang mengetahui siapa pemilik Lantana Security. Pemimpin mereka tidak pernah dipublikasikan.
Desas-desus mengatakan bahwa Lantana Security dipimpin oleh dua orang misterius yang memiliki dukungan kuat di belakangnya.
Jangankan orang luar, bahkan anggota biasa pun tidak mengetahui siapa pemimpin tertinggi mereka. Hanya anggota dengan level S yang bisa bertemu dengan sang pemimpin.
Hanya saja, tiap divisi memang memiliki ketuanya masing-masing dan merekalah yang mengatur pekerjaan sehari-hari. Sementara pemimpin tertinggi mereka hanya terlibat dengan urusan paling penting saja.
Dua pemimpin itu tak lain adalah Kenan Mahardika dan juga Evan Sanjaya. Mereka berdua adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Lantana Security.
*
"Mantan pacar ...." Meila tertawa getir. Hatinya sakit harus merelakan pria sebaik Kenan, terlebih dia hampir selalu bergantung padanya. Namun, Meila tidak memiliki pilihan lain.
Mana mungkin dirinya membebankan anak dalam kandungannya kepada pria itu. Sebucin apapun Kenan, pasti ada saat dimana pria itu akan mengeluh, meski hanya keluhan di dalam hatinya saja. Meila ingin menjadi egois, namun dia tidak mampu.
Pada akhirnya, Meila memutuskan untuk melupakan Kenan. Ia pun memilih untuk membalas pesan dari teman-temannya demi mengalihkan pikirannya sendiri, mengatakan bahwa dirinya sedang ada urusan keluarga dan tidak bisa hadir ke sekolah.
Meila pun membuka grup kelas dan melihat ada beberapa tugas yang harus dikerjakannya. Entahlah, namun Meila sama sekali tidak berhasrat untuk mengerjakannya, lagipula mungkin dirinya tidak akan bisa melanjutkan sekolah.
Meila tidak ingin memikirkannya lebih jauh, lalu melanjutkan aktivitasnya membuka satu persatu grup chat. Sampai Meila membuka sebuah grup chat yang berisi lima orang anggota itu.
[Chat dua hari yang lalu]
'Gess, klean ada yang nemuin test pack gak di WC cewek?'
'Punya siapa?'
'Punya gue-lah!'
'Buset, lu udah nganu sama si Roi?'
'Iya, huhu. Lo pada jangan cepu ya! Gue bingung nih, mana hasilnya garis dua lagi.'
'Yang bener?!'
'Beneran sumpah, mana si Bajingan itu mendadak ngilang lagi. Bangke emang!'
Dan masih banyak lagi chat yang membuat Meila terkejut. Sisil, salah satu sahabat dekatnya juga hamil? Lalu yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah chat mereka selanjutnya.
'Tapi test pack gue ilang, gak tahu jatuh apa gimana, kemungkinan ilangnya di WC sih. Makanya gue panik takut banget ketauan sama guru.'
'Yaelah kalo pun test pack-nya ditemuin orang pasti gak bakalan ketauan kalo itu punya lo, kan? Gak usah takut, mending lo pikirin aja gimana rencana lo selanjutnya.'
'Iya sih. Gue masih bingung, mending kita ketemuan yuk, gue butuh temen curhat.'
Meila sempat di-notice beberapa kali, tetapi ponselnya sudah tidak aktif pada saat itu. Keesokan harinya mereka masih membahas perkara kehamilan Sisil dan pacarnya yang tiba-tiba menghilang, juga Meila yang tidak bisa dihubungi.
Sampai akhirnya mereka pun kembali membahas masalah test pack. Hari itu murid-murid cewek dihebohkan dengan penemuan test pack di kamar mandi, kejadian itu sangat jarang terjadi mengingat sekolah mereka sangat ketat.
Namun, anehnya test pack yang ditemukan tersebut hasilnya adalah negatif.
'Jelas-jelas punya gue hasilnya positif, udah gue cek ulang juga di rumah.'
'Mungkin itu test pack punya orang?'
'Terus punya gue kemana?'
'Ketuker kali, Sil.'
'Bisa jadi.'
Meila mendadak lemas, sebuah pemikiran pun melintas di benaknya. Meski hanya kemungkinan, Meila merasa harus membuktikannya. Gadis itu pun mengambil sebuah test pack, lalu kembali memeriksa kehamilannya.
Negatif!
Tubuh Meila seketika ambruk di lantai, dia menangis sekencang-kencangnya hingga membuat keluarganya panik. Meila pun menangis hampir setengah jam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ayah dan Ibu tampak bingung dan panik, mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada putri keluarga ini.
*
Sementara itu, di lain tempat.
"Gimana?" Kenan memasang wajah dingin ketika menerima telepon dari bawahannya, sorot matanya penuh kebencian dan amarah terhadap siapapun pria yang telah berani menyentuh kekasihnya itu.
"Bajingannya udah disekap, Bos. Mau diapain?" Suara di seberang sana terdengar antusias, membuat Kenan mengerutkan kening.
"Di mana Alex?" Kenan sedikit heran karena yang menjawab panggilannya adalah Ani, bukan Alex pemilik nomer tersebut sekaligus tangan kanannya.
"Dia lagi berak, Bos." Wanita bernama Ani itu menjawab dengan enteng.
"Sharelock." Hanya itu yang diucapkan Kenan sebelum menutup telpon.
"Gas-lah!" Alfian sudah melompat-lompat kegirangan dengan penuh semangat.
"Akan ku cincang siapapun orang itu." Juna memasang wajah kejam.
Evan tidak mengatakan apa-apa, namun diam-diam mengepalkan tinjunya.
Sementara Kenan, hampir tidak bisa mengontrol kebenciannya.
"Eh, bentar. Ayah nyuruh pulang, katanya Mei tiba-tiba nangis histeris." Juna memperlihatkan chat yang dikirim Ayahnya, membuat Kenan merasa khawatir.
"Nanti gue nyusul, kalian pergi duluan."
"Aku ikut." Kenan tiba-tiba menyahut.
"Gak boleh, Mei bakal susah dibujuk kalau kau ikut."
Kenan tampak tidak puas dengan penolakan Juna, namun apa yang dikatakannya memang benar. "Kabari tentang keadaannya."
Juna mengangkat sudut mulutnya dengan jijik, "seenggaknya kirimin foto sekarat bajingn itu!"
"Kau tunggu aja."
Mereka bertiga pun menuju ke tempat yang telah Ani tunjukkan, yaitu salah satu markas cabang Lantana Security di kota itu.
*
"Mei gak jadi hamil," lirihnya pelan, hampir tidak terdengar karena ingus yang memenuhi hidungnya.
"Mei gak jadi hamil!" teriaknya lagi ketika melihat keluarganya tidak ada yang bereaksi dan malah saling memandang.
"Kamu yang serius, Dek. Jadinya hamil apa nggak?" tanya Juna, kakak laki-laki yang selalu overprotektif terhadap adiknya itu.
"Nggak, Bang. Nih liat!" Meila pun menunjukkan test pack-nya kepada mereka.
"Astagfirullah, jadi yang kemarin itu?" tanya Ayah, sementara Ibu sudah tidak bisa berkata-kata lagi dan langsung memeluk putrinya.
"Kayaknya ketuker sama punya ... temen Mei." Meila hampir saja kelepasan menyebut nama Sisil.
"Terus, kenapa kamu kepikiran pake test pack segala sih? Ada-ada aja." Ayah tampak geleng-geleng kepala mengingat kelakuan putrinya yang selalu polos itu. Namun, Ayah seketika bungkam mendengar jawaban Meila.
" ... Karena Mei pernah tidur bareng cowok, jadi pas Mei mual-mual, Mei pikir Mei hamil."
"Ka-kamu beneran pernah tidur bareng cowok, sayang?" Ibu tergagap dan hampir jantungan ketika melihat Meila yang mengangguk dengan raut wajah sedih.
"Siapa pria itu, Dek? Bilang sama Abang buruan." Ekspresi Juna berubah dingin.
"Bukan si Kenan, kan?" Ayah kembali memastikan.
"Bukan, Yah! Mei kan udah bilang bukan sama Ken."
"Terus siapa?" tanya Ayah.
" .... "
"Bilang aja, Mei. Jangan takut." Ibu berusaha meyakinkan Meila.
Mia pun menghela nafas, "tapi janji ya gak akan nikahin Mei sama dia, soalnya Mei gak mau."
Ketiga keluarganya kembali saling memandang, merasa heran dengan pemikiran Meila yang tidak masuk akal.
"Mana mungkin kami menikahkanmu dengan orang yang sudah melecehkanmu, Mei." Ayah tampak kesal sekaligus gemas dengan tingkah anak gadisnya yang katanya sudah tidak gadis ini.
"Abang cuma mau balas perbuatannya aja, minimal bikin dia gak bisa bangkit lagi dari ranjang rumah sakit."
Meila bergidik ngeri ketika melihat ekspresi dingin kakak laki-lakinya. Sudah terbayang apa yang akan dilakukannya terhadap pria itu. Namun, mau tak mau Meila tetap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Malam itu, Meila bertengkar dengan seorang pria asing. Lalu, tahu-tahu saja dia terbangun di kamar hotel dalam keadaan yang setengah teler. Setelah diingat-ingat kembali, ternyata memang dirinya telah dilecehkan. Sepertinya sih begitu.
*
Markas cabang Lantana Security.
"Gue cewek, Bangsat! Ngamilin anak orang apanya?! Emangnya gue punya k****l?!" teriaknya penuh emosi seraya memuntahkan kalimat vulgar, membuat suasana seketika hening dan agak canggung.
Kenan pun melirik ke arah bawahan sekaligus orang kepercayaan di sampingnya yang memang ditugaskan untuk menangkap orang tersebut. "Lex, kau gak salah tangkap orang 'kan?"
"Tidak, Tuan. Dia memang orangnya, berdasarkan CCTV ...."
"Periksa," pangkas Kenan dengan wajah datar. Bawahannya yang bernama Alex pun paham, lalu menyuruh beberapa orang memeriksa tubuh orang yang mengaku sebagai perempuan, tetapi berwujud laki-laki itu.
"Tunggu dulu, suruh cewek buat periksa." Evan memberi instruksi dengan tatapan yang rumit, karena situasinya memang agak tak terduga.
"Baik, Tuan."
Alex pun menyuruh Ani, sepupu sekaligus dokter pribadi Kenan yang juga diam-diam dipacarinya.
"Lex, gimana kalo dia beneran cowok? Gue takut menodai mata suci gue," bisik Ani pelan.
"Turuti saja perintahnya." Alex memasang wajah datar, membuat Ani berdecak pelan. Dia pun terpaksa memeriksa bagian tubuh orang itu, lalu seketika matanya melotot kaget.
"Lo beneran cewek?!" Ani sontak menutup mulut, membuat orang yang babak belur di hadapannya itu juga ikut melotot dengan wajah penuh kebencian dan terlihat sekali ingin memaki dirinya, namun tidak bisa berkata apa-apa sebab mulutnya kembali ditutup lakban.
"Mustahil ...." Alex bergumam di dalam hatinya. Melirik ke arah orang itu, lalu melirik ke arah tangannya sendiri. Berpikir dalam hati dengan perasaan bersalah karena telah menghajar seorang perempuan, meski wujud luarnya seperti laki-laki.
"Uhuk! Uhuk!" Alfian yang sejak awal telah bersiap untuk menghajar pelaku yang diduga telah melecehkan Meila itu sengaja batuk pelan untuk memecah kecanggungan. "Jadi, gimana ceritanya?"
Meski belum jelas apa yang sebenarnya terjadi, namun Kenan sudah bisa menebak beberapa hal. Terlebih, baru saja dia mendapat pesan dari Juna bahwa ternyata Meila tidak hamil.
Mungkin saja terdapat kesalahpahaman, mengingat sifat Meila yang memang agak polos. Meski begitu, masih ada kemungkinan lain yang perlu dipastikan.
Karena itulah, Kenan masih harus menyelidikinya. Yang jelas saat ini, perempuan berwujud laki-laki ini sudah pasti bukan pelaku pelecehan.
"Obati lukanya." Kenan pun meninggalkan tempat itu, menyisakan Evan, Alfian, Alex, Ani, dan puluhan anak buahnya yang lain dalam suasana yang agak canggung.
Evan dan Alfian saling berpandangan, lalu keduanya tertawa terbahak.
Alfian yang pertama membuka suara. "Udah ku duga, si Bocil emang begonya gak ketulungan."
Evan menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir, lalu memberi perintah pada Alex, "gue balik duluan, sisanya kau yang urus."
"Gue periksa lagi deh rekaman CCTV yang kemarin." Alfian, selaku ketua divisi IT pun meninggalkan ruangan itu.
Di sisi lain, perempuan berwujud laki-laki itu hanya bisa memelototi mereka seolah dirinya ingin menelan habis mereka semua. Bisa-bisanya mereka mengabaikan dirinya setelah apa yang mereka perbuat?!
Seluruh tubuhnya terasa sakit, bahkan beberapa tulang rusuknya diperkirakan patah. Belum lagi cedera lainnya yang sama sekali tidak ringan.
'Sial! Sial! Sial!' Wanita berwujud laki-laki yang bernama Ren itu terus mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah dalam hatinya.
Ren merasa sangat sial karena harus terlibat dengan orang-orang sadis seperti mereka. Terlebih, dirinya pun tidak mengetahui kesalahan apa yang telah dia lakukan. 'Menghamili? Konyol! Mereka gila! Gak waras!'
Ren masih terus mengumpat dalam hati bahkan ketika dirinya mendapat pengobatan dari Ani, wanita cantik yang tingkahnya agak nyeleneh.
Meski begitu, Ren tidak berani mengumpat keras-keras, lagipula dirinya belum lama ini dihajar oleh mereka.
Apalagi pria bernama Alex itu, mengingatnya saja sudah membuatnya merinding setengah mati. Pria itu sama sekali tidak mempunyai belas kasihan, tatapannya dingin dan seolah bisa membunuhnya kapan saja.
"Lukanya udah aman. Istirahat beberapa minggu aja juga bakalan pulih," ucap Ani dengan entengnya, membuat Ren mendengus kesal.
"Kapan gue bisa pulang?"
"Alex bilang lo mesti diintrogasi lagi ntar."
"Yang bener aja dong! Gue bisa nuntut kalian loh ya!"
"Mau gue kasih saran gak?"
"Gak perlu! Gue mau pulang!"
"Lebih baik lo gak ngucapin kalimat ancaman di depan mereka." Ani menyeringai, membuat Ren mau tak mau meneguk salivanya dengan susah payah.
Melihat hal itu, sontak saja Ani tertawa terbahak. "Mental tempe lo! Gitu aja gemeteran, dalemnya ternyata emang beneran cewek ya."
Ren terdiam dengan wajah flat, hanya Tuhan yang tahu betapa kesalnya dia saat ini. "Gue nyaris aja mati, gila! Gue juga kagak tahu salah gue apaan."
Akhirnya Ani berhenti tertawa, lalu menatap Ren dengan wajah iba. "Lo lagi sial aja kali, tapi tenang aja kok, lo pasti bakalan dapet ganti rugi dari mereka."
"Siapa yang mau ganti rugi?! Gue mau pulang!" Ren kembali meraung penuh emosi.
"Jan berisik dong, ntar gue kasih bius mau?" ancam Ani dengan seringaian iblisnya yang sukses membuat Ren terdiam.
"Lagian kalo lo cewek, ngapain lo bikin si Mei hamidun segala?" candanya sambil tertawa, membuat Ren semakin kesal.
"Gue gak---apa lo bilang, Mei?"
Mendadak Ren teringat dengan kejadian beberapa minggu yang lalu. Apa semuanya berhubungan dengan kejadian saat itu?
Ren tidak habis pikir jika ternyata apa yang menimpanya saat ini memang berhubungan dengan kejadian saat itu. Sungguh, Ren hanya ingin mengisengi gadis bodoh yang sombong itu. Namanya Mei, kan? Iya, Mei. Tapi, hamil? Mustahil!
*
Sementara itu, Kenan kembali ke kediamannya. Dia tidak langsung menemui Meila karena ingin membersihkan diri terlebih dahulu. Maklum, dia sudah dua hari tidak mandi karena sibuk dengan permasalahan Meila.
Namun, baru saja dirinya hendak melangkah menuju anak tangga, Kenan malah dikejutkan dengan kehadiran Meila di ruang tamunya.
"Mei!"
Mendengar namanya dipanggil, Meila pun menoleh seraya tersenyum riang melihat kedatangan Kenan. Tanpa banyak kata lagi gadis itu pun langsung berlari ke arahnya, lalu memeluknya erat.
"Ken, aku gak jadi hamil!" teriaknya dengan penuh semangat, sama sekali tidak ada jejak kesedihan di wajahnya. Meski wajahnya masih terlihat pucat, namun tatapannya kembali cerah.
Melihat gadis itu kembali bersikap ceria, membuat Kenan merasa senang dari lubuk hatinya. Karena kebahagiaan Kenan adalah melihat Meila bahagia.
Namun, meski hatinya bahagia, namun Kenan hanya memperlihatkan wajah datar saja di permukaan.
"Kita gak jadi putus, Ken. Aku gak hamil!"
"Hm." Kenan mengangguk singkat, membuat Meila tersenyum senang. Namun, senyumannya sedikit lenyap ketika memikirkan satu hal.
"Tapi aku udah gak perawan, Ken. Gimana dong?"
Kenan terdiam.
"Ken?" Meila mendongakkan kepala menatap wajah Kenan yang jauh lebih tinggi darinya itu sambil menarik-narik kemeja Kenan yang masih terdiam.
"Aku mau yang perawan," ucap Kenan tanpa rasa bersalah, membuat Meila terhenyak ketika mendengarnya.
"Kenapa? Kan sama aja! Katanya kamu sayang sama aku." Meila mengerucutkan bibirnya, matanya pun mulai berkaca-kaca.
"Iya, tapi aku mau yang perawan."
"Kenaaaann!!" Tangisannya pun pecah seketika, namun pria itu masih tidak tergerak.
"Aku gak mau putus!"
"Kamu yang pertama minta putus."
"Itu kan karena ... Ku pikir ... Hwuaaaa ...."
"Apapun alasannya, kamu gak bisa memutus hubungan sebelah pihak kayak gitu."
"Iyaa ... Aku salah, maaf. Aku mesti gimana biar kamu maafin aku?" Meila terus merengek. "Masa aku harus operasi keperawanan dulu?"
"Pft!" Pada akhirnya Kenan tidak bisa menahan tawanya, tetapi buru-buru kembali bersikap dingin.
"Ada tiga syarat," ujarnya kemudian dengan wajah serius.
"Pertama, kamu harus menikah denganku setelah kamu lulus."
"Setuju!" Meila menyetujui syarat pertama tanpa berpikir barang sedetik pun, membuat Kenan mengangkat sebelah alisnya dengan heran.
"Kamu yakin?"
"Yakin!"
"Oke. Syarat kedua, kamu gak boleh memutus hubungan sebelah pihak lagi."
"Siap!" sahutnya dengan lantang.
"Terakhir, kamu harus menceritakan semuanya padaku dan gak boleh menyimpan rahasia apapun baik di masa lalu, sekarang, ataupun di masa depan."
Meila sedikit ragu untuk menjawab, tetapi pada akhirnya dia pun mengangguk dan menyetujuinya.
"Gak ada syarat buat operasi keperawanan?" tanyanya polos, membuat Kenan merasa geli sekaligus tak habis pikir.
"Gak perlu, buatku itu gak penting."
"Tadi katanya mau yang perawan!"
Kenan menghela nafas pelan, 'aku harus secepatnya menikahimu, Mei. Biar kamu bisa tahu perbedaan antara perawan dan gak perawan yang sebenarnya. Aku yakin kamu masih perawan, dan kalaupun memang sudah gak perawan, aku gak peduli. Bagiku, kamu tetaplah orang yang ku cintai, baik itu dulu, sekarang dan selamanya. Karena cintaku padamu, tak terbatas.'
"Ken! Kok diem?"
"Aku berubah pikiran."
"Beneran?"
"Hm."
"Oh yaudah. Jadi, kita pacaran lagi nih?"
"Hm." Kenan mengangguk.
"Aaaaa!!! Syukur deh gak jadi putus." Mia pun kembali memeluk kekasihnya dengan penuh cinta, lalu sesaat kemudian dia berkata, "badan kamu kok lengket gini, Ken. Belum mandi ya?"
Kenan yang baru saja merasakan kehangatan di hatinya pun mendadak seperti tersiram air dingin. Hancur! Hancur sudah ending bahagia ini.
_tamat_
*