Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah beberapa hari ini ia memerhatikan perempuan yang kebetulan tinggal di depan rumahnya. Begitu pertama kali melihat si perempuan menampakkan diri di depan rumahnya sambil membawakan makanan tanda perkenalan sebagai warga baru kepada tetangga di sekeliling rumahnya, lelaki itu langsung terpukau oleh kecantikan yang dimiliki si perempuan. Beruntunglah saat itu si perempuan yang lebih dulu mengenalkan dirinya. Singkat saja: Saya Orin. Pindahan dari Bandung. Semoga kita bisa jadi tetangga yang rukun, ya.
Tak hanya itu, Orin juga mengulurkan tangannya pada Andreas. Ia kelihatan agak gugup awalnya untuk menyambut jabat tangan perempuan itu, tapi ia menerimanya juga. Begitu tangannya menempel dengan telapak tangan Orin yang halus, ia merasakan perasaan aneh yang menyenangkan, yang tidak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata—bahkan ia tak yakin ada kata-kata yang mampu mewakili perasaannya malam itu. Terlalu cepat menyebutnya jatuh cinta. Andreas juga tidak yakin yang dirasakannya adalah jatuh cinta. Sebab ia tak pernah merasakannya. Perasaan yang selama ini ia rasakan terhadap perempuan yang menarik baginya bukan karena jatuh cinta, tapi perasaan yang lebih intim daripada itu. Perasaan yang tidak suci, tapi lebih intim daripada sekadar jatuh cinta.
Sore hari setelah beberapa hari perkenalan singkat mereka, Andreas mendapati Orin diantar pulang dengan mobil sedan tua yang dikemudikan oleh seorang lelaki. Sebelum Orin turun, lelaki itu tanpa malu-malu mengecupnya, walaupun tidak lama karena ada telepon masuk yang membuatnya harus segera mengangkat. Dari percakapan di telepon, Andreas menebak kalau yang ditelepon oleh seseorang yang tidak lain adalah kekasih Orin pastilah atasan lelaki itu di kantor. Lelaki itu turun diikuti dengan Orin, masih sibuk dengan teleponnya. Dari balik jendela kamarnya yang langsung menghadap ke halaman depan dan rumah Orin, ia bisa lihat kalau perempuan itu menggerutu kecil sebelum akhirnya menurunkan sendiri semua belanjaannya yang disimpan di kursi belakang—mulai dari perabotan rumah tambahan sampai bahan makanan. Orin mengangkat semua barang itu satu per satu sampai ke rumahnya, sementara kekasihnya masih terus menelepon. Andreas terkekeh pelan sambil menggeleng. Laki-laki tidak tahu diuntung, pikir Andreas. Kalau orang lain tahu Orin belum punya pacar, pasti setiap minggu rumahnya akan didatangi dua sampai tiga lelaki untuk mengajaknya kenalan atau sekadar jalan keliling komplek atau pasar malam.
Dari balik jendela kamarnya, Andreas masih bisa lihat bagaimana Orin yang jengah menunggu pacarnya menyudahi telepon dengan atasannya karena mungkin perempuan itu ingin pelukan selamat tinggal atau kecupan sekali lagi atau bahkan yang lebih intim, tapi seolah tak peka dengan raut wajah Orin yang tampak jengah dan kesal, pacarnya masih fokus menelepon dan sesekali mencatat apa yang diucapkan bosnya pada sebuah buku catatan kecil. Dasar kacung, ucap Andreas dalam hati.
Sampai akhirnya lelaki itu menyudahi teleponnya, Orin masih memasang wajah jengah. Kini matanya yang indah itu tampak memelototi pacarnya. Dan lagi-lagi seolah hal itu sudah merupakan hal yang biasa terjadi setiap hari, lelaki itu melambaikan tangan dan masuk mobil. Detik selanajutnya ia langsung melesat meninggalkan Orin yang kini benar-benar terperangah dengan sikap pacarnya. Perempuan itu bahkan melepaskan sandalnya dan melemparnya pada mobil si lelaki yang sudah jauh sekali, sebelum akhirnya kedua sandal itu diambil lagi oleh Orin yang masuk ke rumah dengan sengaja menutup pintu dengan kencang. Andreas bersiul kecil sembari menikmati pandangan itu dari kursi putarnya. Dimana Orin menemukan laki macam itu, batinnya penasaran, sebelum akhirnya kembali ke komputernya untuk mengerjakan beberapa design yang diminta oleh kliennya di situs freelancer.
Ketika malam menjelang, pintu rumah Andreas diketuk beberapa kali. Begitu dibuka, Orin muncul dengan senyum manisnya dan rantang berisi makanan. “Maaf mengganggumu,” katanya.
“Oh, nggak mengganggu sama sekali. Ada apa?”
“Ini aku masak sengaja agak banyakan, memang aku rencanakan untuk dibagi ke tetangga sekitar rumah. Dicoba ya. Rantangnya dikembalikan besok saja.”
Andreas tersenyum sembari menerima rantang itu, “Makasih. Kamu memang suka masak sendiri?”
Orin mengangguk, “Memang harus begitu. Supaya lebih hemat dan higienis. Tapi kalau aku lagi malas, biasanya beli makanan jadi aja di warteg depan gapura komplek.”
“Oh, ya. Aku sering makan di sana. Makanannya memang enak dan murah-murah.”
“Iya, bener. Makanan yang dijual di sana mengingatkanku sama masakan mendiang Ibu.”
Andreas yang menyadari nada bicara perempuan itu berubah agak sendu langsung menampilkan raut wajah sedih, “Maaf, Ibumu sudah meninggal, ya?”
Orin mengangguk lesu, “Dulu semasa Ibu masih sehat, dia selalu ajarkan kami masak. Buku resepnya bahkan aku bawa ke sini. Kalau-kalau aku kangen masakannya, aku bisa membuatnya sendiri.”
Andreas mengangguk-angguk paham, “Tadi itu pacarmu?”
Orin langsung mengubah raut wajahnya menjadi terkejut. Matanya melotot dan dahinya langsung berkerut. Detik kemudian ia tersenyum kecil malu-malu, “Iya. Dia pacarku. Kok... kamu bisa tahu?”
“Kelihatan dari jendela kamarku.”
“Ah, gitu,” Orin mengangguk-angguk sembari mengusap belakang lehernya. “Berarti kamu lihat semuanya dong? Termasuk aku yang ngelempar sandal ke mobilnya?”
Andreas tahu kalau detik itu ia harus terkekeh pelan untuk mengurangi atmosfer canggung yang tiba-tiba saja mencekam, “Sayangnya, iya.”
“Waduh, malu-maluin banget pasti!”
“Nggak masalah, kebanyakan cewek kalau ngambek kan memang begitu. Mereka mudah ditebak. Mudah dibaca juga apa maunya.”
Orin memincingkan matanya ke arah Andreas sembari tersenyum miring, “Oh ya? Bukannya kebanyakan lelaki bilang kalau kami ini susah dipahami apa maunya?”
“Yah... itu kan mereka, beberapa lelaki mungkin ada yang sepertiku, jago memahami perempuan.”
Orin terkekeh. “Kamu pasti sudah berpengalaman dalam menaklukkan perempuan, ya?”
“Aku hanya pelajari itu dari sekitar, dari film, dan buku. Nggak sejago yang kamu bayangkan. Aku cuma... pemerhati sekitar yang... sedikit intens?”
“Maksudnya kamu suka memerhatikan detail-detail kecil di sekitarmu, ya?”
Andreas mengangguk, “Yah, kurang lebih begitu.”
“Senang bisa mengobrol sama kamu. Sudah malam, kamu harus makan malam juga. Kalau gitu, aku pamit dulu, ya.” Orin melambaikan tangan dan Andreas melakukan hal yang sama. Begitu Orin sampai ke rumah dan menutup pintu, Andreas masuk dan segera membawa masakan itu ke dapur. Ia membuka tiga rantang yang ada di atas meja makan. Ada nasi hangat, sayur kangkung, dan balado telur. Menu klasik—ternyata nggak sejago yang aku kira, kata Andreas dalam diam.
....
Orin dongkol bukan main ketika ia menelepon Ditra pacarnya namun tidak mendapat balasan sama sekali. Pesannya bahkan tidak dibaca sekali pun lelaki itu menunjukkan status online di WhatsAppnya. Dia memang gila kerja! Gerutunya kemudian kembali lagi ke kamar mandi dan melihat air dalam bak mandinya semakin meluap karena krannya rusak. Ia ingin meminta bantuan pada tetangga sebelah kanan dan kiri rumahnya, tapi beberapa menit yang lalu Orin sudah mencoba menggedor pintu rumah mereka, tapi tak ada tanggapan. Keduanya punya mobil dan di saat yang bersamaan mobil keduanya tidak ada di rumah—membuat Orin menyimpulkan kalau mereka pasti sedang tidak di rumah. Karena itulah ia mencoba sekali lagi menghubungi Ditra barangkali lelaki itu punya kenalan teman atau tukang yang ahli membetulkan kran rusak sebab ia tidak kenal siapapun di sini, dan Ditra sebagai pacarnya yang sudah tinggal di sini selama bertahun-tahun harusnya punya kontak orang-orang yang bisa membantunya.
“Andreas! Aduuuh, kenapa nggak kepikiran dari tadi sih?!” Orin buru-buru menuju rumah Andreas, tapi baru saja ia hendak membuka gerbang pintu lelaki itu, Andreas menyapanya dari arah kanan.
“Orin? Ada apa?”
Orin langsung menoleh. Ia baru saja akan menyapa balik Andreas, tapi senyumannya luntur berganti kaget sampai-sampai ia refleks memundurkan langkah kaki dan membiarkan ponselnya terlepas dari genggamannya ketika melihat Andreas berjalan santai sambil membawa bangkai kucing yang berdarah-darah di dalam kresek putih bening, sementara empat buah apel yang dibeli oleh lelaki itu dipeluk oleh lengan kirinya yang tak membawa apa-apa.
“K-k-kucingnya... k-kucingnya mati?” tanya Orin.
“Oh, ini. Ya, kucingnya mati. Entah dia jatuh dari pohon atau ditabrak mobil, aku juga nggak tau. Tadi waktu nemu bangkainya, kayaknya dia baru mati—atau seenggaknya baru dibuang ke sana. Giginya lepas dua di bagian atas, tapi badannya banyak darah, aneh, kan, kalau dia mati gara-gara jatuh dari pohon? Seseorang pasti nggak sengaja nabrak dia dan dibuang di bawah pohon—seolah-seolah kucing itu jatuh, atau mungkin... dia dibunuh?”
“D-d-dibunuh? T-tapi sama siapa?”
Andreas mengangkat bahu ringan, “Yang jelas orang itu pasti psikopat. Kamu tau nggak, Rin? Salah satu ciri orang psikopat tuh memang suka bunuh-bunuhin hewan.”
“M-m-maksud kamu... d-di perumahan ini... ada p-psikopat?”
“Aku nggak bisa mastiin pembunuhnya berkeliaran di sini atau nggak, tapi nggak ada salahnya kita jaga-jaga. Toh, aku belum bisa mastiin kucing ini ditabrak atau dibunuh.” Andreas kemudian melangkah maju ke arah Orin, membuat perempuan itu refleks memundurkan langkahnya. Lelaki itu membungkuk dan mengambil ponsel Orin yang jatuh dengan tangan kanannya yang juga masih menggenggam kresek berisi bangkai kucing itu. Ia menyodorkan ponsel Orin kepada si empunya—membuat Orin refleks menutup mata sambil menerima benda itu. “Ada apa perlu apa, Rin?”
“O-oh... itu... emm... kran di kamar mandiku rusak. Airnya ngalir terus nggak bisa berhenti. Aku udah ngehubungin pacarku, tapi nggak diangkat sama sekali, jadi aku minta bantuan kamu buat betulin, barangkali kamu bisa.”
“Kran rusak?” Orin mengangguk gugup sambil sesekali melirik takut pada bangkai kucing oranye yang masih terayun-ayun di dalam kresek yang normalnya berisi empat buah apel yang baru saja dibeli Andreas. “Aku bisa bantu. Tapi aku kuburin kucing ini dulu gapapa?”
“Gapapa, gapapa, silakan.”
Andreas mengangguk kemudian segera mengambil peralatan untuk menggali kuburan kecil di halaman rumahnya. Ia membungkus bangkai kucing itu dengan kain pel kemudian menguburkannya di lubang yang ia buat. Terakhir, ia menutup bangkai itu dengan tanah, menginjaknya supaya rapih, memetik sekuntum bunga dan menancapkannya di bagian tengah gundukan tanah itu.
Andreas lalu mencuci tangannya di kran yang memang tersedia di halaman depan yang sewaktu-waktu bisa disambungkan ke selang air untuk membantunya menyirami beberapa bunga yang ia tanam di halaman. “Mau apel?” Lelaki itu menyerahkan dua buah apel kepada Orin yang masih gugup dengan bangkai kucing yang dibawa dengan santai oleh Andreas di kantong kresek yang seharusnya ditempati oleh apel-apel yang ia beli. “Oh, nggak, makasih. Aku nggak suka apel.”
“Gapapa. Buat pacarmu mungkin? Kalau dia datang lagi ke sini.” Andreas mengambil tangan Orin lalu meletakkan dua apel itu dalam genggamannya. “Bisa aku periksa krannya sekarang?”
“O-oh, bisa, bisa. Ayo.” Orin memimpin jalan menuju rumahnya, Andreas mengekor. Begitu melihat keadaan kran rumahnya yang masih mengucurkan air, Andreas langsung mematikan pompa airnya, membuat aliran air itu berhenti seketika.
“Aku harus beli kran yang baru. Kalau gitu, tunggu di sini dulu ya.”
Orin mengangguk. Ia hendak memberi Andreas uang untuk beli kran, tapi lelaki itu menolak dengan alasan, “Kita kan tetangga. Kamu udah kasih aku makanan minggu lalu, sekarang aku bantu kamu betulin kran. Uangnya simpan kamu aja, Rin.” Lelaki itu tersenyum dan segera menuju toko bangunan dengan motor yang ia punya.
Begitu kembali, Andreas langsung membetulkan kran airnya dan sekian menit kemudian, kran itu bisa digunakan seperti sebelumnya. Sebelum Andreas pulang, ia disuguhi teh hangat dan buah apel pemberiannya yang sudah dipotong-potong. Mereka pun duduk di ruang tamu. Orin melirik takut-takut pada Andreas, tapi rasa penasarannya lebih mendominasi sehingga ia pun tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, “Kenapa kamu kuburkan kucing itu di halamanmu? Kamu bisa aja kubur dia di tempat lain.”
“Orang bakalan curiga kalau aku kubur bangkai kucing itu di tempat lain di komplek ini. Kalau aku kubur dia di halamanku, mereka nggak akan curiga, dikiranya pasti aku lagi nanam bunga.”
Orin mengernyitkan dahinya. Sama sekali tidak paham dengan kalimat Andreas. Orang ini ngelantur ya? Orin bertanya dalam hati. “Dan kenapa kamu takut kalau mereka curiga sama tindakanmu? Kamu kan tinggal jelaskan aja kalau yang kamu kubur itu bangkai kucing yang nggak sengaja kamu temukan.”
Andreas meminum teh hangatnya sambil masih menatap Orin dengan intens, “Kamu udah pernah menguburkan bangkai kucing belum?”
Ditanya begitu, Orin kontan saja menggeleng. Masih dengan raut wajahnya yang sangat jelas menampakkan kebingungan.
“Pantes,” gumam Andreas. Orin menatapnya—bertanya melewat tatapannya apa maksud perkataan barusan. Bukannya dapat penjelasan, Orin malah dapat pertanyaan, “Kamu dan pacarmu... sudah lama berhubungan?”
Orin agak kurang nyaman kalau topiknya dialihkan jadi bertanya tentang dirinya secara personal, tapi mengingat kebaikan Andreas hari ini dan ia sadar kalau pertanyaannya juga tidaka membuat Andreas nyaman, maka ia menjawabnya dengan setengah enggan. “Ya... lumayan. Kami baru tiga tahun. Kami bertemu saat Ditra ada pekerjaan di Bandung, kebetulan orang tua kami saling kenal, jadi dia mampir ke rumahku, nggak taunya kami sama-sama tertarik, ya sudah, pacaran. Waktu Ditra pindah ke sini, hubungan kami otomatis LDR. Tapi sekarang sudah nggak lagi.”
“Kamu pindah ke sini karena apa?”
“Karena pekerjaan. Aku editor di sebuah penerbitan, dan dipindahkan untuk jadi editor di anak perusahaan. Kamu? Kamu jarang keluar rumah ya sepertinya.”
“Aku lebih suka kerja dari rumah. Freelancer.”
Orin mengangguk-angguk. Baru saja ia akan bertanya alasannya, tapi sebuah mobil sedan tua menepi di halaman rumahnya, membuat perhatian mereka berdua teralihkan oleh kedatangan Ditra. Lelaki itu mengernyitkan dahi begitu melihat Andreas di ruang tamu rumah kekasihnya. Orin baru akan maju untuk menjelaskan, tapi Andreas sudah lebih dulu mengambil startnya, “Saya Andreas. Tetangga depan rumahnya Orin. Tadi Orin minta bantuan saya buat benerin krannya yang rusak.” Andreas bangkit kemudian menjulurkan jabatan tangan ke arah Ditra sambil tersenyum simpul.
Tanpa ragu Ditra pun menjabat tangannya, “Ditra.” katanya. “Dan makasih udah bantu pacar saya. Tadi saya masih ada rapat penting yang nggak bisa diganggu, jadi baru bisa datang sekarang.”
Anreas mengangguk singkat. “Nggak masalah.” Ia lalu menoleh pada Orin dan Ditra bergantian. “Kalau gitu saya pamit dulu.”
“Sekali lagi makasih ya, Andreas.”
Andreas mengangguk sembari tersenyum kecil lalu berbalik memunggungi mereka, masuk ke rumahnya sendiri.
...
Pagi ini Orin memberanikan diri untuk ikut belanja di tukang sayur keliling yang sedang berhenti di salah satu rumah. Orin menyapa ibu-ibu di sana dan disambut dengan ramah pula. Dalam waktu singkat, mereka sudah saling tukar nama dan alamat. Seperti yang sudah bisa Orin tebak, ibu-ibu yang berbelanja di tukang sayur biasanya sambil menggosip atau berbagi resep. Awalnya Orin hanya mendengarkan, sampai akhirnya ia ikut nimbrung dengan bertanya, “Andreas yang tinggal di depan rumah saya itu orangnya gimana ya, Ibu-Ibu?”
“Oh... Mas Andreas itu? Dia baik kok. Kalau ada kerja bakti, dia yang muncul duluan di saat bapak-bapaknya pada malas. Waktu itu pernah ada jadwal ronda, Mbak, di sini—walaupun cuma jalan satu tahun, tapi Mas Andreas memang yang paling rajin. Walaupun dia memang nggak terlalu suka bergaul sih, dia diajakin gabung sama karang taruna di sini aja nggak mau, katanya sibuk kerja. Jaman sekarang kerja dari rumah bisa ya, dibayar pula. Jaman saya mana bisa.”
“Berarti dia orang baik ya, Bu?”
“Baik, Mbak, baik banget. Kalau ada barang yang rusak dan kebetulan dia ada di rumah, bisa kok kita minta tolong dan langsung dibantu sama Andreas. Jago dia kalau soal itu. Terus kalau dibayar nggak mau lagi. Udah ganteng, baik, sampai dulu sempat saya kenalin ke anak saya yang perempuan, tapi Mas Andreasnya nggak mau—katanya masih mau fokus kerja dan nabung biar nanti bisa buka usaha sendiri, supaya kalau dia udah berkeluarga lebih banyak punya waktu sama keluarganya.”
“Saya suka anak muda yang pemikirannya dewasa kayak Mas Andreas gini. Susah lho, punya anak kayak dia. Anak saya yang pekerjannya belum jelas aja udah kebelet kawin, eh, dia yang jelas udah punya pekerjaan malah nunda nikah demi nabung buat masa depannya sama keluarganya nanti.”
Orin baru saja akan buka mulut—ingin bertanya apakah ibu-ibu di sini tahu kalau Andreas pernah menguburkan bangkai kucing sebelum hari kemarin saat dirinya meminta bantuan lelaki itu membetulkan kran airnya, tapi sadar kalau pertanyaannya terlalu provokatif dan terlalu menyinggung ranah personal lelaki itu, ia memilih mengurungkan niatnya.
“Mbak Orin nanya-nanya gini kenapa? Suka sama Mas Andreas ya? Hayo, ngaku.”
“Oh, enggak, Bu. Cuma mau nanya aja. Saya... udah punya pacar.”
“Oalah, udah punya toh. Saya kira mau minta tolong Ibu-Ibu sini nyomblangin kamu sama Andreas.”
Orin tersenyum malu, “Enggak, Bu.” Kemudian setelah basa-basi sepersekian menit kemudian, ia pun membayar belanjaannya bersamaan dengan bubarnya para ibu dan tukang sayur yang sudah meninggalkan markasnya.
Saat sudah sampai di depan rumahnya, bertepatan dengan itu Andreas muncul dengan ransel punggung yang kelihatan mengembung beserta motornya—kelihatan hendak keluar.
“Andreas, mau ke mana?” tanya Orin menyapa lelaki itu dan menghampirinya.
“Oh, Orin,” sapa Andreas. “Kebetulan kamu muncul di sini, sekalian aku mau pamit ya. Aku mau pulang kampung, ibuku sakit. Aku masih belum tau berapa lama di sana. Mungkin sampai Ibuku sembuh.”
“Astaga, gitu ya. Ya udah, hati-hati. Ini kamu motoran?”
“Enggak, nanti motornya aku titipkan di stasiun. Rumah Ibuku di Magelang soalanya.”
“Oh... gitu. Ya udah, hati-hati di jalan ya. Kompor atau kran airmu nggak nyala, kan?”
“Nggak. Udah aman. Kalau gitu aku berangkat ya.” Orin mengangguk dan membiarkan Andreas menjauh dari pandangannya. Mendengar kalau Andreas ingin pulang jauh-jauh dari kota ini ke Magelang membuat anggapannya tentang Andreas yang agak aneh dan menyeramkan pun sirnah. Apalagi ia mendengar sendiri pengakuan ibu-ibu yang tentu saja sudah lebih dulu mengenal Andreas dibanding dirinya. Orin menggeleng pelan dan segera masuk rumah untuk masak sarapan dan bersiap ke kantor.
...
“Makin banyak orang gila ya lama-lama,” ujar salah satu temannya yang membuat Orin menghentikan sejenak kegiatan makan siangnya lalu menoleh untuk ikut nimbrung.
“Kenapa sih?” tanya Orin penasaran.
“Ini...,” Temannya mengangsurkan layar ponselnya pada Orin yang menampakkan berita terkini tentang kasus pembunuhan berantai yang kembali terjadi. Kali ini terjadi di Magelang. Korbannya adalah seorang perempuan berusia 23 tahun yang dicekik sampai mati kemudian ditelanjangi oleh pelaku yang belum juga tertangkap.
“Astaga, ngeri banget ini! Kok bisa ada orang setega ini sih?!”
“Psikopat pasti.”
“Ini udah korban yang keempat lho, masa belum ketangkap juga?”
“Tapi TKP-nya memang bersih. Gue ngikutin beritanya dari pembunuhan pertama dan pelakunya bukan orang yang ceroboh. Sidik jarinya bahkan nggak ditemukan di TKP. Pintarnya, dia sengaja pilih lokasi pembunuhan yang gampang dibobol dan nggak ada CCTV-nya. Itu artinya dia emang udah merencanakan dimana aja dia mau nyari korban selanjutnya.”
“Orang gila,” kata Orin sembari menggeleng tidak percaya.
“Rin, saran gue jangan tinggal sendirian deh. Mending lo ngekos aja. Tau nggak? Empat korbannya tuh semuanya pada tinggal sendiri. Gue ngeri ah!”
“Duh, tapi gue harus berapa lama ngekos? Sayang, dong, kalau gue nggak tinggal di rumah. Gue udah bayar sewanya juga.”
“Seenggaknya sampai pelakunya ketangkap?”
“Berapa lama?”
Ketiga temannya kompak mengangkat bahu yang kemudian menjadi lesu. Nafsu makan mereka perlahan menghilang. Hidangan makan siang yang tadinya tampak lezat kini tidak menarik di pandangan apalagi di lidah. Sebagai perempuan, mereka merasa dihantui oleh pembunuh berantai satu itu yang belum tertangkap walaupun sudah melakukan pembunuhan sejak setahun yang lalu.
Sisa hari itu, walaupun suasana makan siang mereka jadi terganggu karena berita yang tidak mengenakkan, tapi Orin dan teman-teman yang lainnya berusaha mengalihkan perhatian mereka pada pekerjaan. Malam itu beberapa editor sengaja lembur untuk menyelesaikan deadline mereka karena kalau dibawa ke rumah, mereka mengaku tidak akan selera untuk menyentuh pekerjaan itu lagi dan inginnya pasti langsung tidur, termasuk Orin. Karena Ditra sedang ada dinas di luar kota, ia tidak bisa mengantarnya pulang, sehingga Orin diberi tumpangan oleh temannya yang membawa mobil. Begitu sampai di rumah, Orin melihat Andreas sedang memberi makan kucing liar di teras rumahnya. Andreas tersenyum begitu melihat Orin, begitu pula sebaliknya.
“Lo punya tetangga ganteng nggak bilang-bilang ke gue,” ujar temannya. “Siapa namanya?”
“Andreas.”
“Namanya seganteng orangnya. Kapan-kapan kenalin gue. Kalau gitu, duluan ya.” Orin mengangguk kemudian melambaikan tangannya ke arah mobil temannya. Ia baru saja akan masuk, tapi kedatangan Andreas di halaman rumahnya sambil menyodorkan paper bag berisi beberapa sayuran dan buah.
“Apa ini?”
“Ini pemberian dari Ibuku. Ibuku tinggal di desa, jadi kalau aku pulang ke sini selalu dibawakan sayur dan buah, karena tadi terlalu banyak, Ibu suruh aku bagi sama kamu.”
“Astaga, repot-repot segala. Makasih ya.”
Andreas mengangguk. “Tumben nggak diantar sama Ditra.”
“Dia lagi ada dinas di luar kota, makanya aku nebeng temanku. Kamu kapan pulang?”
“Baru sampai beberapa jam yang lalu.”
“Ibumu udah baikan?”
“Syukurlah, udah.”
“Emm... kamu dengar berita nggak? Tentang pembunuhan di Magelang? Beritanya baru aja kayaknya.”
Andreas terdiam sepersekian detik kemudian lalu mengangguk, “Ya. Aku dengar.”
“Serem banget. Banyak orang gila zaman sekarang. Thanks ya, oleh-olehnya. Aku masuk dulu.”
Andreas tersenyum sembari mengangguk kecil. Bersamaan dengan masuknya perempuan itu, ia juga meninggalkan halaman rumah Orin. Sebelum benar-benar menutup pintu, ia menatap sekali lagi ke arah rumah Orin. Kali ini lebih intens, kemudian ia bersiul singkat lalu tersenyum miring, dan kemudian masuk rumah.
....
Keesokan harinya, orang-orang di komplek perumahan Halmahera Residence gempar oleh penemuan mayat perempuan berusia 28 tahun yang meninggal di rumahnya akibat dicekik seseorang, yang mana setelah itu ia ditelanjangi. Wartawan dan polisi cukup kualahan mengamankan warga yang hendak menerobos masuk ke TKP, salah satunya adalah seorang lelaki yang sejak beberapa menit yang lalu memaksa masuk ke rumah korban dan ia mengaku sebagai pacarnya. Ia meronta dan menjerit-jerit seperti orang kesetanan. Warga yang melihatnya merasa kasihan karena ia kehilangan kekasihnya dengan cara yang tidak pernah ia duga. Ia pingsan tak lama setelah mencoba menerobos masuk ke rumah pacarnya karena terlalu lelah. Ditra langsung dibawa ke rumah sakit setelah salah satu warga di sana menelepon ambulans.
“Permisi, Bu, ada apa ini? Kenapa ramai sekali di sini?” tanya seseorang yang membuat beberapa orang di sana menoleh.
“Mas Andreas,” salah satu dari mereka menyapa. “Mas, Mbak Orin, Mas.”
“Orin... tetangga saya?” Ibu itu mengangguk begitu Andreas bertanya hendak memastikan. Lelaki itu segera melepas helmnya. “Saya nggak ngerti, Bu, ini ada apa sebenarnya? Orin kenapa? Saya baru balik dari Magelang.”
“Mbak Orin... meninggal, Mas.”
“Meninggal? K-kenapa bisa? Terakhir kali saya lihat dia sebelum ke Magelang, dia baik-baik aja kok. Saya sempat pamit sama dia juga.”
“Kami juga nggak tau gimana bisa Mbak Orin meninggal secepat itu, tapi kuat dugaan kalau dia dibunuh sama pembunuh berantai yang belum tertangkap sampai sekarang, Mas. Dia meninggal karena dicekik dan setelah itu... dia ditelanjangi.”
“Orin...,” Mendadak suara Andreas menjadi parau, dan tak butuh waktu lama untuknya menangis tersedu-sedu—membuat beberapa Ibu di sana berusaha memeluk dan menguatkan Andreas sambil bilang, “Sabar ya, Mas, sabar. Mbak Orin udah tenang di sana.”
“Tenang? Orin dibunuh, Bu! Dan Ibu bilang dia sudah tenang di sana?”
“Iya, Mas, iya. Tapi ikhlaskan saja Mbak Orin. Ini sudah takdirnya Mbak Orin.”
“Takdir?” Andreas bergumam, masih dalam pelukan salah satu Ibu yang menangis bersamanya, dan tanpa diketahui oleh siapapun, perasaannya menjadi girang. Takdir, kata mereka. Andreas tersenyum kecil.