Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Para siswa pasti menoleh ketika dia melintasi lorong sekolah. Sekalipun bergerombol dengan sahabat karibnya, ia selalu berusaha menyapa yang lain. Disapa olehnya bak disapa oleh selebriti, para siswi tersenyum, para siswa salah tingkah, dan para adik tingkat melongo.
Dia baik, populer, cerdas. Kecantikannya menawan, menarik setiap pasang mata ke arahnya seperti magnet. Tak sedikit yang iri dengan hal tersebut, tetapi lebih banyak yang menaruh kekaguman, banyak yang ingin seperti dirinya.
Ia tiba di kelasnya tepat ketika bel sekolah berdering. Tempat duduknya berada di posisi yang sempurna, tidak terlalu di depan, juga tidak berada di belakang. Teman-temannya biasa merapat ke bangkunya untuk menyalin PR, atau bergosip ketika jam kosong. Ketika pelajaran Fisika bergulir, wali kelas mereka membagikan hasil ulangan kemarin.
Ia mendapat nilai 100, tentu saja, yang buru-buru dilipatnya dan dimasukan ke laci meja. Teman sebangkunya mengeluh karena nilainya hanya 65, dan ia pun menghibur dengan pura-pura mendapat nilai ulangan yang sama.
Pada jam makan siang ia bisa ditemukan di salah satu bangku paling ramai di kantin sekolah. Dia adalah matahari, mereka mengorbit dengan setiap di sekitarnya. Bekal yang dibawanya sederhana saja, serta tidak terlalu banyak porsinya, dan ia jarang sekali jajan di kantin kecuali untuk segelas es jeruk. Seperti biasa, ia mengundang decak kagum akan pola makan yang sehat sehingga tubuhnya yang ideal.
Sebelum jam istirahat selesai, ia menyempatkan diri untuk membasuh mukanya di kamar mandi putri. Di depan wastafel, ia mendengar isak tangis dari dalam sebuah kubikel toilet. Tangisan yang putus-putus dan seperti tercekik. Ia berjalan perlahan ke depan pintu kubikel toilet dan menempelkan buku-buku jarinya ke pintu kios, memberikan ketukan lembut.
"Ehm, yang di dalam, kamu baik-baik saja?" dia bertanya.
Isak tangis terhenti. Namun, dia tahu gadis yang menangis itu sedang mencoba untuk menenangkan diri dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja," jawab gadis di dalam.
Gadis itu membuka pintu toilet, mengusap air mata, seorang siswi dari kelas 3 IPA 1 yang dikenalnya. Matanya merah sembab dan riasan wajahnya luntur. Gadis itu memasang senyum palsu dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Ia berjalan ke arahnya, meletakkan tangan dengan lembut di bahunya.
"Ada apa?" dia bertanya dengan rasa ingin tahu dan simpati yang tulus.
Bibir gadis sedih itu mulai bergetar dan dia meletakkan tangannya di atas wastafel, menunduk dengan mata berkaca-kaca.
"Ortuku bercerai," bisik gadis sedih itu, nyaris tidak terdengar. "Sudah setahun terakhir usaha papaku sulit. Ortu sering berantem, terutama soal biaya sekolah yang makin mahal tiap tahun. Aku merasa lahir jadi beban orang tua doang." Air mata mengalir di wajah gadis itu, dan dia dengan sigap menyodorkan tisu yang tidak pernah absen dari saku kemejanya.
"Oh, maafkan aku ya," jawabnya kepada gadis yang berlinang air mata, "tapi, itu bukan salahmu. "Orang tua suka berdebat dan mereka mungkin berdebat tentang kamu, karena menginginkan apa yang terbaik untukmu." Dia kemudian merogoh sakunya dan memberi gadis yang sedih itu lebih banyak tisu.
Si gadis mendesah, dan mengusapkan tisu ke wajahnya. Air matanya mulai melambat, kemudian diambilnya napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan gemetar.
"Terima kasih, ya," kata gadis yang bersedih itu. "Makasih sudah mau dengerin." Gadis yang sedih itu memberinya senyuman yang tulus, bertanya-tanya bagaimana seorang gadis remaja seusianya bisa memiliki kasih yang begitu besar untuk orang asing.
Bel pulang sekolah berdering tepat pada jam dua siang diikuti sorak gembira seisi kelasnya. Seperti yang lain, ia pun berduyun-duyun ikut mengantri bus langganannya untuk pulang ke rumah. Padahal, tidak sedikit siswa yang menawarinya untuk mengantar pulang, akan tetapi selalu ditolaknya dengan alasan rumahnya jauh. Mereka tentu saja menyerah, berpikir ia mungkin sudah punya pacar.
Di dalam bus sepanjang perjalanan pulang ke rumah, ia menyandarkan kepalanya ke jendela kaca. Perjalanan pulang adalah hal yang paling tidak disukainya sepanjang hari. Inilah saatnya dia dipaksa untuk berpikir tentang kembali ke rumahnya lagi.
Bus segera berhenti di perempatan dekat rumahnya. Ia berterima kasih kepada sopir bus, seperti yang dilakukannya setiap hari, dan turun dari bus. Lalu dengan raut wajah cemberut berjalan menapaki rumput kuning yang mati dan mengeluarkan kunci logam berkarat untuk membuka kunci pintu rumahnya.
Ia menoleh ke kanan, terusik oleh suara tetangganya yang berteriak satu sama lain dari dalam rumah mereka, seperti biasa. Ia menoleh ke kiri, memperhatikan kedua anjing tetangganya yang tiduran di tanah, tidak bisa bergerak jauh karena kalung mereka diikat ke pagar. Pemiliknya tidak terlihat, seperti biasa.
Ia memasuki rumahnya, tidak repot-repot memberi tahu ibunya bahwa dia ada di rumah. Lagipula dia tidak akan peduli, pikirnya. Ketika ayahnya meninggal, semuanya berubah. Kasih sayang dan kebaikan dalam hati ibunya ditelan oleh rasa sakit dan kesedihan yang tidak pernah berakhir. Ia merasa kejiwaan ibunya sudah terlalu dalam tenggelam dalam kegelapan untuk dapat ditarik kembali ke permukaan.
Ia pergi ke dapur, dan membuka lemari yang berderit untuk menemukan makanan anjing yang sebetulnya terlalu mahal untuk dia beli dengan uang sakunya. Ia mengambilnya dan berjalan ke rumah tetangganya. Ia membungkuk dan menuangkan makanan anjing ke tanah di depan setiap anjing. Ia belum pernah melihat pemiliknya memberi mereka makan, jadi dia memutuskan untuk merawat anjing-anjing itu.
Setelah memberi makan anjing-anjing itu, dia berjalan kembali ke rumahnya dan segera pergi untuk melakukan pekerjaan part-time-nya. Ia bekerja di McDonald's selama lima jam sehari, sepulang sekolah, demi mendapatkan upah minimum sehingga dia dapat menghidupi dirinya sendiri.
Orang pikir bekerja sebagai 'Burger Flipper' itu demkian mudahnya, padahal jauh dari itu. Akan tetapi, jam-jam di pekerjaannya yang melelahkan itu berlalu seperti jentikan jari karena dia lebih menikmati pekerjaan daripada di rumah.
Sepulang kerja, dia akan menemukan ibunya di sofa usang yang sama, kecuali dalam posisi yang sedikit berbeda. TV usang mereka sedang menontoni ibunya yang mendengkur halus, mencekik botol seperti biasanya. Ia menyeberangi karpet yang luntur, memungut remote, dan mematikan TV. Setumpuk selimut tipis merosot di ujung sofa. Diambilnya dan dihamparkan di atas ibunya yang sedang terlelap. Ia mematikan lampu dan berjalan gontai ke kamarnya sendiri.
Setelah menghabiskan sepotong malam menyelesaikan PR dan belajar, dia akhirnya boleh naik ke tempat tidur, tetapi tidak perasaan bahagia. Ia tahu bahwa dia harus menjalani rutinitas yang sama besok pagi. Hidupnya seolah lingkaran setan yang abadi.
Besok, dia akan bangun pagi, memasang senyum palsu di kelas, dan teman-temannya akan berharap mereka adalah dirinya.
Dia menyukai gagasan bahwa dia bisa menjadi orang yang berbeda dan menjalani kehidupan yang mempesona di sekolah. Tapi terkadang, sesekali ia berharap seseorang akan menyadari bahwa hidupnya tidak pernah begitu sempurna.