Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Uji Kaji
0
Suka
39
Dibaca

“…Ini jamu racikan ayah, Nak. Resep turun-temurun dari nenek kamu. Manjur loh, dulu waktu ayah sakit, minum ini langsung sembuh."

Beliau berdiri di samping kasur, menyodorkan botol kecil berisi cairan hijau tua itu, yang katanya jamu racikan keluarga.

Debu emas menari di udara, menembus jendela kamar yang terbuka separuh. Sinar mentari sore membuat warna cairan itu tampak semakin pekat, nyaris seperti lumut yang larut dalam air.

“Jamu apa nih? Kok warnanya begini? Serem gitu, Yah.” tutur sang buah hati sambil menatap botol itu dengan dahi berkerut.

“Minum aja, Nita. Namanya juga obat tradisional, ya warnanya pasti begini toh…”

“Yowes… aku minum.” Dengan ragu, Nita membuka tutup botol dan meneguk cairan itu. Rasanya pahit, menyengat, dan meninggalkan aroma dedaunan yang sulit dijelaskan.

“Tapi kan udah agak baikan ya kemarin? Udah nggak sakit perut, cuma pusing aja kan?” tanya sang ayah, mengambil botol kosong yang disodorkan anaknya.

“Iya sih, setelah makan jamu dari Bibi itu udah nggak sakit perut lagi, tapi pusingnya nggak hilang-hilang, Yah…”

“Ya semoga habis ini bisa segar lagi. Udah berapa tugas yang belum kamu kerjain seminggu ini?”

“Iya… banyak banget. Semoga besok udah kuat ngerjain.”

Ayahnya tersenyum samar, menutup jendela di sebelah, lalu menyelimuti sang buah hati menggunakan selimut tebal bermotif bunga biru kesukaannya dengan penuh perhatian, atau, setidaknya begitulah kelihatannya.

“Istirahat aja dulu. Ayah balik kerja, ya. Bubur ada di panci, nanti dipanasin aja.”

“Iya, hati-hati yah nyetirnya” ujar Nita.

Pintu tertutup pelan, disusul suara langkah sepatu menjauh di lantai kayu yang berderit, lalu dentuman suara pintu utama menutup menandakan Ayah sudah meninggalkan kediaman mereka.

Tak lama, Nita terlelap, dijemput ke alam mimpi saat senja merayap.

...

Sepasang netra itu perlahan terbuka. Cahaya oranye gelap menyelinap dari sela jendela kamarnya, menandakan senja hampir menutup mata. Kepalanya berdenyut, seperti baru saja dihantam oleh seseorang, tenggorokannya kering, dan matanya terasa berat, seperti enggan untuk dibuka. Ia menyingkap selimutnya… tapi tertegun.

Motif bunga itu... aneh. Seingatnya biru, bukan merah. Dan bentuknya seperti bercak cairan yang sudah lama mengering.

Berusaha memastikan, ia mengucek matanya perlahan. Ketika pandangannya mulai jelas, warna merah itu menghilang, berganti biru seperti semula.

“Efek jamunya, kali ya? Tapi kok malah tambah pusing…” gumamnya lirih. Ia berdiri, menuju pintu. Haus. Ingin ke dapur.

Koridor rumah disinari lampu kuning redup. Tangan kirinya memegangi kepala, tangan kanan bertumpu di pagar tangga kayu. Suara langkahnya berpadu dengan derit kecil di setiap anak tangga.

Di dapur, semua tampak rapi seperti biasa. Ayah, meski sibuk, tak pernah membiarkan kediaman mereka ini berantakan ataupun kotor. Ceret di atas tungku masih hangat. Di sebelahnya, panci tertutup rapat. Ia menuang air ke gelas, meneguknya perlahan.

Rasa hausnya hilang, tapi pusingnya justru bertambah. Ia menatap panci itu sebentar, ragu ingin membuka, tapi niat itu segera diurungkan. Lebih baik tidur lagi, pikirnya.

“Udah Maghrib, ya? Nanti aja makannya. Tidur dulu…” gumamnya pelan, menaiki tangga dengan langkah lesu.

“…belum waktunya. Jangan.”

Suara itu lirih, serak, nyaris seperti bisikan. Tapi cukup dekat untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia menoleh cepat, namun koridor di belakangnya kosong.

“Perasaanku aja... Ngga ada siapa-siapa kok.. ” Ia mempercepat langkah, kembali ke kamar, lalu menarik selimut hingga ke dada. Tak butuh waktu lama sebelum matanya kembali terpejam.

Konon katanya, saat tubuh manusia terlelap, sesuatu yang tertanam di dalam darah bekerja lebih cepat, entah yang baik atau yang jahat. Sebab, tubuh tidak lagi melawan. Karena itu, orang-orang tua dulu selalu berpesan: jangan tidur saat senja, karena itu waktu di mana batas tubuh dan jiwa paling lemah.

...

Suara detak jam dinding membangunkannya. Pandangan kabur. Namun, yang jelas hari sudah malam. Ia melirik jam, pukul tiga dini hari.

Dari arah koridor, terdengar lantai kayu berderit. Pelan, hati-hati, seperti seseorang tak ingin ketahuan olehnya yang didalam kamar.

“…Nak, udah bangun? Buburmu belum dimakan toh, udah Ayah panasin."

“Iya, Yah… masuk aja, nggak aku kunci,” sahutnya dengan suara serak.

Pintu terbuka perlahan. Ayahnya muncul, memegang nampan berisi mangkuk dan segelas air. Wajahnya pucat, matanya tampak lelah.

Namun aroma bubur hangat itu menguar harum, membuat perut Nita bergemuruh.

Ayah duduk di kursi dekat kasur. Nita memperhatikan wajah itu, datarnya aneh. Kosong, tak biasanya begini.

“Yah, ngapain repot-repot gini sih. Aku bisa panasin sendiri. Ayah mending istirahat, deh. Kelihatan capek banget.”

“Ya…” jawabnya datar, sambil mengaduk isi mangkuk.

Sendok diangkat, cairan kental berwarna hijau pekat menetes perlahan darinya.

“Ini… makan dulu.”

Nita menatapnya heran. “Jamu lagi? Katanya bubur, Yah?”

Bau menyengat tiba-tiba memenuhi kamar. Perutnya terasa mual. Udara seakan menebal, berat.

Ayahnya menunjukkan senyum lebar yang tak wajar. Sudut bibirnya menegang, matanya menghitam, seolah pupilnya menelan seluruh warna di bola matanya.

Jantung Nita berdetak kencang. Napasnya tersengal. Ia memejamkan mata kuat-kuat, mencoba menenangkan diri sembari berharap kejadian ini hanyalah bunga tidur semata.

Namun, diantara suara nafas dan degup jantungnya sendiri, suara lain terdengar, percakapan antara beberapa orang sepertinya.

"..Kok tega ya, kasian.."

"Udah diingati toh jangan tidur, malah tidur"

"Iya.. Namanya ngga tahan"

"Ibu sama anak nasibnya sama, kasian"

Suara itu berupa bisikan keras yang berputar-putar memenuhi telinganya, hingga ia tak sanggup lagi membedakan mana suara hatinya dan mana yang datang dari luar. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat, kemudian semuanya hening. Gelap.

Nita tersentak bangun. Dadanya naik-turun cepat, keringat dingin menetes dari pelipis. Cahaya pagi menembus celah tirai, menyilaukan matanya yang belum sepenuhnya sadar. Ia menatap sekeliling, mencoba memastikan sesuatu. Kamarnya tetap sama, selimutnya biru, tidak merah. Tak ada ayah, tak ada mangkuk, tak ada jamu hijau pekat.

Namun, aroma samar bubur hangat tercium dari luar pintu.

Lalu seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Tok… tok… tok.

“Nak, udah bangun? Ayah bawain bubur. Tadi kamu belum sempat sarapan kan?”

Jantung Nita seolah berhenti berdetak sesaat. Suara itu sama persis. Lembut, datar, tenang. Ia menatap pintu dengan mata lebar.

“Ayah...?” suaranya gemetar, nyaris tak keluar.

“Iya, ini bubur. Ayo makan dulu sebelum dingin.” jawab ayahnya, disusul suara langkah pelan di depan pintu.

Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Didorongnya perlahan dan di sana, benar, sang ayah berdiri sambil membawa nampan berisi mangkuk bubur putih dengan taburan bawang goreng. Tak ada cairan hijau, tak ada senyum aneh, tak ada apa pun.

Tapi… ketika ayahnya berbalik sebentar untuk menutup pintu, Nita melihatnya.

Di ujung selimut biru kesayangannya, bercak merah itu muncul lagi.

...

Nita duduk bersandar di kepala ranjang, mangkuk bubur di tangannya masih mengepulkan uap tipis. Rasanya aneh, bukan karena buburnya, tapi karena pikirannya masih separuh tertinggal di mimpi yang barusan. Ia makan perlahan, suap demi suap, sementara ayahnya duduk di kursi dekat jendela, menanyakan hal-hal ringan. Nita hanya mengangguk atau tersenyum seadanya.

Tubuhnya memang terasa lebih baik, tapi kepalanya ringan, seperti tak sepenuhnya sadar sedang terjaga.

Setelah selesai, ayahnya berdiri, mengelus pelan rambutnya.

“Istirahat lagi, ya,” katanya singkat sebelum melangkah keluar kamar.

Waktu berjalan cepat. Saat Nita membuka mata lagi, warna jingga senja sudah menempel di dinding. Ia mendengar langkah ayahnya di ruang depan, lalu suara pintu terbuka.

“Makan malam di dapur, ya. Ayah berangkat dulu.”

Begitu kata terakhirnya menghilang, rumah kembali sunyi.

Nita duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan buku dan kertas tugas yang sudah mulai berdebu. Ia menghela napas panjang. “Udah baikan, masa masih rebahan terus,” gumamnya pelan. Ia mulai menyalakan lampu, membuka buku catatan. Tapi baru beberapa menit menulis, tenggorokannya terasa kering.

Ia berdiri, berjalan menuju dapur. Lampu lorong temaram, dan di tengah perjalanan matanya menangkap sesuatu, pintu kamar ayah sedikit terbuka.

Awalnya ia ingin lewat saja, tapi pandangannya tertarik oleh cahaya kecil di dalam. Lampu meja kerja menyala, menerangi buku terbuka di atas meja.

Langkahnya melambat. Penasaran. Ia menoleh kanan-kiri, lalu pelan-pelan mendorong pintu. Engselnya berderit lembut.

Udara di kamar itu lebih dingin, lebih sunyi.

Di meja, buku itu terbuka pada halaman penuh tulisan tangan rapi. Nita mendekat, menunduk membaca.

.....

Renita

Hari 1 - Penyuntikan awal dilakukan pukul 19.25. Reaksi muncul cepat: demam tinggi, pupil membesar, menggigil hebat.

Hari 2 - Demam belum turun. Saat tidur, subjek bergumam kata-kata tidak jelas, sebagian terdengar seperti percakapan. Saat terbangun, tidak mengingat apa pun. Dosis jamu: 20 ml.

Hari 3-5 - Kondisi relatif sama. Suhu tetap tinggi, pusing berlanjut. Pola tidur memanjang hingga 10 jam per hari. Frekuensi gumaman meningkat, beberapa kali tampak seperti merespons sesuatu yang tak terdengar oleh pengamat.

Hari 6 - Dosis dinaikkan menjadi 25 ml. Demam mulai menurun. Subjek tampak lebih tenang, namun menunjukkan peningkatan respons terhadap suara dan gerakan kecil di sekitar. Reaksi cepat terhadap rangsangan yang seharusnya tidak terdengar dari jarak jauh.

(Catatan tambahan: efek jamu tampak stabil. Reaksi lanjutan kemungkinan muncul pada hari ke 7.)

...

Tangannya bergetar hebat. Ia menatap namanya sendiri tertulis di situ, kemudian catatan mengenai apa yang dialaminya seminggu ini, sangat detail bahkan kejadian yang ia tak ingat tertulis disana.

Lampu meja mulai bergetar, cahayanya berdenyut seperti jantung yang berpacu. Bisikan pelan pelan kembali memenuhi telinganya, Nita menutup telinganya, tapi bisikan itu tak hilang-hilang, malah terasa seperti keluar dari dalam dirinya sendiri.

Buku di meja tiba-tiba menutup sendiri dengan suara keras. Kemudian hening.

Nita menatapnya lama, sebelum akhirnya berlari keluar kamar, meninggalkan rumah yang kini terasa asing, dan terlalu sepi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Uji Kaji
jocelyn
Flash
Lorong Tanpa Akhir
Penulis N
Cerpen
Bronze
Kacamata Paman
Christian Shonda Benyamin
Novel
Gold
Clown Terror
Noura Publishing
Novel
Bronze
Perjanjian~Novel~
Herman Sim
Novel
Gadis Jelmaan Parakang
Muhammad Taufiq
Cerpen
Bronze
Aku Yakin Ini Nyata
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Asal Usul Bonsai Tangisan
Nuel Lubis
Komik
Teror di Kampung Sanes
Alfisyahrin Zulfahri Akbar
Novel
RIRIWA
Topan We
Cerpen
Bayangan Hitam
Dian N Khan
Novel
Bronze
Penjara Sukma
Ravistara
Novel
RHEVANIA
liszzah
Flash
Penunggu Jalan
Iwok Abqary
Cerpen
Bronze
Kaca Retak
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Cerpen
Uji Kaji
jocelyn