Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ubur-uburmu mundur.”
“Undur-undur?”
“Bukan. Ubur-ubur—dan kau tak pernah memelihara undur-undur.”
Biru meninggalkan akuarium. Zigel selalu datang ke rumahnya, meski Biru tak pernah mengiyakan satu pun izinnya, toh dia juga tak pernah antusias tiap kali temannya itu datang. Namun, meski Biru kerap mengabaikan Zigel yang selalu saja duduk di depan akuarium rumahnya, dia tak pernah berubah murung lalu pulang; dan Biru juga tak yakin apakah dirinya akan merasa lebih baik bila Zigel tiba-tiba menghilang dari depan akuarium.
Zigel biasanya baru akan pulang menjelang orang-orang sawah selesai dengan pekerjaannya. Kemudian, dia akan datang keesokan harinya beberapa menit setelah pulang sekolah dan hanya akan absen apabila diminta bapaknya untuk menjaga domba-domba ternak mereka.
Akuarium dari kejauhan tampak lebih baik bagi Biru. Itu satu-satunya yang menemaninya tiap malam, tetapi Biru tak pernah mengurus barang itu sedikit saja. Zigel yang akan datang berkunjung ke rumahnya sambil membawa pakan dan membersihkan akuarium beberapa hari sekali.
Saat Zigel mengatakan bahwa ubur-uburnya mundur, Biru tak tahu maksudnya. Namun, agaknya dia memang menyadari ada yang berbeda.
“Mudahnya begini, ubur-ubur yang berada di dasar laut dalam itu umumnya punya tentakel panjang, kalau yang hidup di permukaan tentakelnya pendek.” Biru terjebak dalam diskusi kelompok hari ini.
“Ubur-uburmu tentakelnya panjang atau pendek?” Zigel menyenggolnya di tengah diskusi.
Biru sekadar memandang Zigel sesaat, muka datar—tanpa pernah terlihat adanya senyuman—bagai batu tebing itu agaknya makin kentara. Kemudian, dia lebih memilih untuk membuka buku dan mencari-cari materi didiskusikan kelompok mereka.
Biru pulang terlambat akibat kegiatan kelompok dan akan makin terlambat usai kakaknya mengirim pesan untuk datang ke rumahnya.
“Mbak.”
Biru membuka pintu ruang kerja, sama seperti hari-hari lain tiap kali dia diminta datang.
“Kalau ada keperluan tambahan, bilang saja. Dan… sekolahlah yang benar,” kalimat itu selalu saja muncul, meski tahu bahwa adiknya yang sedikit aneh ini setidaknya terlalu malas untuk membuat masalah di sekolah—palingan hanya rambutnya yang gondrong. Mungkin dia hanya tak ingin dana yang dikeluarkan untuk mendukung sekolah Biru habis sia-sia begitu saja.
“Dik, kau tahu temanku yang desainer pakaian itu? Dia membutuhkan seseorang sebagai peraga dalam pameran karyanya, kurasa kau dengan rambut panjangmu itu akan cocok.”
Biru tak mengatakan sepatah kata pun—tak mau. Otaknya bagai berhenti bekerja hanya karena mendengarkan satu kalimat itu dari kakaknya.
“Ayolah, lihat… kau mungkin begitu datar dan tidak kooperatif, tetapi kau tetaplah adikku. Dengan sedikit kuas, kau akan mencapai tingkatan menawan yang sama denganku.”
Pada akhirnya, Biru berterima kasih atas dana bulanan yang diberikan kakaknya, kemudian berlalu pergi begitu saja.
Agaknya tempat yang sama dan dua orang yang sama, sebuah kalimat lain pernah diucapkan, “Potong gih rambutmu itu,” dan reaksi Biru pun sama: pergi begitu saja.
Lantas kini, Biru benar-benar tak paham apa yang ada di pikiran kakaknya.
Minggu depan saat kakaknya kembali mengirim pesan agar Biru datang—bukan karena dana bulanan, melainkan ada kotak makanan ekstra yang dia dapatkan dari suatu acara—dia langsung meletakkan tab kerjanya saat Biru membuka pintu dan memasuki ruangan.
“Yang benar saja ….” Kakaknya mengangkat alis, ekspresi kecewanya begitu kentara.
“Jangan marah, aku habis melihat sesuatu.”
“Apa? Sebuah cahaya terang penuh bantuan dari Yang Maha Kuasa?” katanya, sarkas.
“Mbak ingat akuarium ubur-ubur di rumah kita?”
“Ya… tentu—itu masih ada?”
Biru mengangguk.
“Ubur-ubur mundur… itu maksudmu mundur ke permukaan?” Biru ikut duduk di depan akuarium, tepat kemarin saat Zigel berkunjung layaknya hari-hari lain—kecuali dua hari lalu.
“Itu mah naik,” katanya, dan dia kemudian melihat Biru yang lagi-lagi kembali menatapnya dengan wajah seperti batu tebing—putih, dingin, tak pernah bergerak. “Baiklah… sesungguhnya aku sendiri tak tahu dengan apa yang kukatakan, ubur-ubur itu hanya membuat gerakan yang baru kulihat saat itu untuk pertama kalinya.”
“Gerakan yang tak seperti biasanya?”
Zigel mengangguk.
Kemudian, saat Zigel berkata mengapa, Biru meletakkan tangannya di sisi akuarium.
Makin lama, Zigel menjadi ikut menatap akuarium yang belum pernah dipandang lekat-lekat oleh Biru untuk sekian lamanya. Lantas, dia menyadari sesuatu. “Ubur-uburmu tentakelnya panjang. Bagaimana bisa dia bertahan selama ini ….”
“Itulah yang kupikirkan sejak kemarin.”
“Kemarin kau mengamati akuarium? Kupikir kau telah lama tak suka.”
“Akuarium di ruang tengah ini terlihat kosong ketika tak seorang pun duduk di depannya.” Kemudian, sebelum Zigel sempat bertanya apa maksudnya, Biru lebih dulu bangkit. “Mari kembalikan dia.”
Biru tak sepenuhnya melihat bagaimana wajah kakaknya saat melewati ambang pintu rumahnya, dan Biru lupa kapan terakhir kali kakaknya berada di tempat ini. Sesungguhnya, ada kalimat yang ingin ditanyakan—yang biasanya lebih dia pilih untuk dipendam dan dilupakan—tetapi ditahan karena memang itu agaknya keputusan yang lebih aman, toh sepertinya Biru sudah tahu jawabannya.
Kakaknya setuju untuk membantu mengangkut akuarium. Akhirnya, mulai hari ini, Biru tidak akan lagi melihat Zigel duduk di depan akuarium dari kejauhan—karena lelaki itu pasti mencari tempat duduk baru, kecuali bila Biru memutuskan untuk mengisi akuarium itu dengan hewan baru.
Biru mengikuti kakaknya yang baru saja menyerahkan sebuah kotak dingin kepada salah satu pelaut di dermaga. Mereka akan mengembalikan ubur-ubur itu ke rumah yang lebih baik: lebih luas, dingin, gelap, dalam, dan menjadikan tentakelnya yang panjang akhirnya dapat bergerak bebas dan leluasa.
Zigel juga ikut serta dan Biru baru teringat akan keberadaannya saat dia tertinggal di halaman bangunan dua lantai, sedangkan kakaknya telah masuk untuk kembali melanjutkan pekerjaan.
Zigel menghela napas panjang. Bangunan alias kantor di depan dermaga, membuat angin semilir bercampur sedikit kering dan panas khas lautan luas, menampar langsung ke mukanya. Dia menatap Biru. “Rambut barumu terlihat aneh.”
“Diamlah.”
Potongan baru itulah yang membuat kakaknya keheranan setengah mati hari lalu. Lagi pula, kakaknya memang pernah menyuruhnya memangkas rambut, mengapa dia malah kecewa? Biru tak paham.
“Dia bilang rambutku tiba-tiba menjadi seperti hutan kekeringan.”
“Kakakmu yang bilang?” Zigel tergelak, berhasil membuat Biru makin bersungut.
“Rambutku tidak sependek itu! Mbak hanya berlebihan.” Biru benar, rambutnya bahkan pasti sudah masuk kategori panjang bagi guru-guru sekolahnya dalam dua minggu lagi.
Zigel masih tertawa, tetapi perlahan surut juga.
Biru menghela napas. Bersamaan dengan semilir angin dan deru ombak kembali terdengar, cukup kencang—dan tawa menyebalkan lelaki di sebelahnya yang akhirnya tak lagi terdengar. “Zigel.”
“Apa?” katanya singkat.
“Menurutmu apa yang lebih cocok untuk mengisi akuariumku?“
Dia terkejut sedikit. “Kau memintaku untuk memilihnya?”
“Ya. Mbak mungkin juga akan senang melihatnya. Toh, sayang apabila akuarium itu tak ada yang merawat lagi.”
“Aku lho yang merawatnya setiap hari….”
“Kau bukan anak keluarga kami.”
Zigel bersungut. “Hei—tak kuberi lagi kau daging domba kami!”
“Aha, bercanda.”
Sekali lagi, hembusan angin kering yang bercampur aroma lautan, membasuh muka mereka.
“Oh, ya, aku baru menyadari. Kau tahu, apa lagi yang membedakan antara ubur-ubur tentakel panjang dengan pendek? Satunya berada di dasar lautan yang dingin, sedangkan satunya di perairan permukaan yang hangat.”
Biru akan meninggalkan ubur-ubur tentakel panjangnya di dasar lautan yang dingin. Berikutnya, bila saran yang diberikan oleh Zigel adalah ubur-ubur tentakel pendek, maka itu sudah pasti, Biru akan mencarikan perairan permukaan hangat yang terbaik untuknya.
Di kesempatan berikutnya, Zigel ternyata benar-benar menyarankan seekor ubur-ubur. Bukan hanya bertentakel pendek, tetapi juga berukuran kecil, yang lebih masuk akal untuk hidup di sebuah akuarium.
Dan lagi-lagi, ternyata, setelah ubur-ubur tentakel panjang itu dipulangkan, masih ada alasan bagi Zigel untuk duduk di depan akuarium.
Mengamati ubur-ubur kecil.
"Ubur-uburmu naik ke permukaan."
Biru masih duduk di sofa, agak jauh di belakang Zigel. Namun, kemudian dia bangkit dan menghampiri. “Permukaan akuarium?” katanya, sarkas—persis seperti logat kakaknya, toh mereka bersaudara sih.
Zigel tertawa lepas. “Lalu sekarang, kau ikut duduk di sinikah? Sofa sudah membosankan?”
Biru mengangkat alis sedikit. “Aku hanya ingin menyapa ubur-ubur kecil.”
Setelah entah mungkin bagai ribuan dekade berlalu, batu tebing yang tak pernah terusik walau sekian musim hujan dan panas berlalu, akhirnya retak. Biru tersenyum tipis.