Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah kota kecil yang damai, tersembunyi di balik gemericik sungai kecil dan burung berkicau riang, hiduplah seorang wanita yang dikenal semua orang: Bu Tutik. Ah, tapi jangan salah! Ini bukan wanita biasa yang sekadar numpang hidup di dunia.
Bu Tutik, dengan tubuhnya yang ramping, senyum sinis yang menghiasi wajahnya setiap saat, dan suara yang bisa memecahkan keheningan kota, adalah sosok yang selalu tahu segalanya.
Bayangkan, jika ada kuis “Siapa Mau Jadi Jutawan?”, Bu Tutik pasti sudah jadi miliuner sejak lama.
Sayang, dia tak mau ikut acara seperti itu. “Ah, terlalu mudah,” katanya suatu kali, “Kalau aku ikut, siapa yang mau nonton? Mereka bakal bingung karena nggak ada tantangannya!”
Bu Tutik tak hanya merasa serba tahu, tapi dia juga yakin kalau dirinya tak pernah salah. Dan celakanya, dia senang sekali memberi tahu orang lain betapa salahnya mereka. Dalam benaknya, semua orang di kota itu adalah makhluk-makhluk yang tersesat dan butuh bimbingan ilahi.
Siapa kalau bukan dia, Bu Tutik yang maha benar, untuk membimbing mereka? Jadi, jika kamu sedang asyik minum kopi atau sekadar duduk-duduk di depan rumah, bersiaplah menerima ceramah tanpa ujung dari sosok ini.
Pagi itu, matahari baru saja menyapa bumi ketika Bu Tutik melenggang masuk ke warung kopi Pak Udin, si pemilik warung yang malang. Pak Udin, yang baru saja selesai membuat pesanan pelanggan lain, menyambut kedatangan Bu Tutik dengan senyum paling ramah yang bisa dia kumpulkan.
“Bu Tutik! Kopi kayak biasa, ya?” serunya penuh semangat. Pak Udin sudah tahu pesanan Bu Tutik. Siapa yang tidak? Bu Tutik selalu pesan hal yang sama setiap pagi.
Namun, takdir sepertinya sedang kurang berpihak pada Pak Udin. Begitu Bu Tutik menyeruput kopi pertamanya, ekspresi wajahnya berubah seketika. Matanya membesar, dan dahinya berkerut dalam kemarahan yang tertahan.
“Ini apa?!” jerit Bu Tutik dengan suara yang bisa membangunkan orang mati.
“Pak Udin, kamu ini serius? Kopi ini... pahit sekali! Kamu lupa cara bikin kopi enak atau apa? Sejak kapan kamu jadi barista amatiran begini? Ini kopi mau bunuh diri atau bagaimana?”
Pak Udin mencoba tersenyum kikuk sambil mengusap keringat di dahinya, “Eh, mungkin saya kebanyakan bubuk kopinya, Bu...”
“Kebanyakan? Kebanyakan? Luar biasa! Jadi kamu pikir aku suka minum kopi rasa cianida begini? Duh, Pak Udin, kamu ini sibuk apa sih? Bikin kopi aja nggak bisa benar! Kalau aku yang bikin kopi di sini, pastilah antrian pelanggan dari subuh sampai maghrib!” ujarnya sambil tertawa kecil. Tapi bukan tawa yang menyenangkan. Itu adalah tawa yang penuh dengan keangkuhan.
Pelanggan lain yang duduk di warung hanya bisa saling melirik, mencoba menahan tawa atau desahan panjang. Mereka sudah terbiasa dengan kelakuan Bu Tutik.
Sebagian dari mereka bahkan bertaruh kapan Pak Udin akan kehabisan kesabaran dan gelas kopi panas melayang ke wajah Bu Tutik, meskipun semua tahu itu tak akan pernah terjadi.
Hari berikutnya, Bu Tutik baru saja pulang dari pasar dengan tangan penuh tas belanja ketika dia bertemu dengan tetangganya, Bu Tati. Bu Tati adalah seorang wanita yang tenang, jauh berbeda dari Bu Tutik.
Saat itu, Bu Tati sedang sibuk menyiram tanaman di depan rumahnya, mencoba merawat beberapa tanaman yang memang sedikit layu karena cuaca yang panas.
“Pagi, Bu Tutik,” sapa Bu Tati dengan ramah, masih dengan selang di tangannya.
Namun, mata Bu Tutik hanya terpaku pada tanaman yang sekarat itu, dan dia langsung mendengus tanpa basa-basi.
“Hah, tanaman macam apa itu, Bu Tati? Kering begitu, kayak hidup segan mati tak mau. Kalau aku yang urus, pasti daunnya sudah lebat sampai menutupi pagar. Kamu ini di rumah terus, ngapain aja seharian? Mungkin duduk-duduk dan nonton sinetron kali, ya? Atau ngerumpi bersama ibu-ibu lainnya?”
Senyum Bu Tati mendadak berubah menjadi senyum kecut. “Ya, saya coba-coba merawat tanaman, Bu Tutik. Tapi ya, mungkin belum terlalu ahli…”
“Coba-coba? Ah, percuma!” cecar Bu Tutik, mengibaskan tangannya seperti sedang menyingkirkan lalat.
“Kalau nggak serius, mending nggak usah ngurus tanaman. Lihat aku, sibuk luar biasa, tapi lihat tuh taman depan rumahku! Hijau, subur, dan indah! Kamu di rumah terus, tapi kerjaanmu cuma nyiram tanaman yang setengah mati. Aduh, Bu Tati, kalau kamu butuh tips, bilang saja. Meskipun ya, entah kamu bisa paham atau nggak dengan penjelasan secerdas aku.”
Bu Tati hanya bisa terdiam. Dia tahu bahwa melawan argumen Bu Tutik itu sama saja dengan mencoba menghentikan angin topan dengan payung. Tak ada gunanya. Jadi dia hanya mengangguk sambil terus menyiram tanamannya yang, entah kenapa, mendadak tampak semakin layu di hadapan Bu Tutik.
Suatu siang yang tenang, Pak Lurah yang sedang menikmati secangkir teh di kantornya mendadak dikagetkan oleh pintu yang dibuka lebar-lebar tanpa aba-aba. Siapa lagi kalau bukan Bu Tutik yang menerjang masuk, dengan langkah penuh percaya diri seperti sedang berjalan di atas karpet merah.
“Pak Lurah!” teriaknya tanpa basa-basi. “Ada sesuatu yang nggak beres di sini!”
Pak Lurah, yang sudah terlalu sering menghadapi warganya yang satu ini, mencoba tersenyum sabar. “Ada apa, Bu Tutik? Apa yang bisa saya bantu?”
Bu Tutik langsung duduk di kursi tamu, menyilangkan kaki, karena memakai celana panjang, tanpa aba-aba langsung melancarkan ceramahnya. “Saya baru lihat jadwal ronda, Pak Lurah, dan itu jelas-jelas nggak adil! Masa suami saya dapat giliran dua kali dalam sebulan? Padahal dia sibuk luar biasa! Mana sempat ronda-ronda di kampung?”
Pak Lurah mencoba menjelaskan, “Jadwal ronda ini sudah dibagi secara merata, Bu Tutik. Semua warga dapat giliran sesuai dengan jumlah penduduk…”
“Pak Lurah, kamu ini denger nggak sih? Suami aku beda dari warga yang lain! Kamu pikir suami Bu Tati ngapain aja? Cuma nongkrong di warung. Pak Udin? Ya ampun, kopinya aja salah terus. Tapi suami aku? Dia sibuk luar biasa! Dia itu, lho, orang penting. Kalau bukan dia, proyek pembanghunan jalan desa kemarin nggak bakal selesai. Dia tuh selalu punya ide brilian!”
Pak Lurah hanya bisa mengangguk-angguk, meskipun dalam hatinya ia ingin sekali melemparkan teh di cangkirnya ke arah Bu Tutik. Tapi ya, siapa yang bisa menghentikan Bu Tutik? Bahkan Sun Go Kong pun mungkin akan berpikir dua kali sebelum menantang logikanya.
Beberapa minggu kemudian, acara pernikahan anak tetangga, Bu Rani, menjadi momen paling ditunggu-tunggu di kota kecil itu. Namun, saat semua orang sibuk dengan persiapan, muncullah sosok Bu Tutik yang, tentu saja, siap mengatur segalanya.
“Bu Rani!” panggil Bu Tutik dengan suara yang, bahkan di tengah keramaian persiapan, masih terdengar jelas.
Bu Rani, yang sudah cukup stress dengan segala persiapan pernikahan anaknya, hanya bisa tersenyum canggung ketika Bu Tutik mendekat.
“Bu Rani, tenda ini… apa-apaan sih warnanya? Norak sekali! Siapa yang milih? Kalau aku yang pilih, acara ini pasti akan jadi pernikahan paling elegan seantero negeri. Kamu harusnya tanya aku dulu sebelum bikin keputusan besar begini! Aduh, kalau aku yang ngurus, semua orang di kota ini bakal iri.”
Bu Rani mencoba merespons dengan suara pelan, “Hehe, iya, Bu Tutik, tapi kan kita pakai dekorasi ini sesuai budget…”
“Budget?” Bu Tutik mendengus.
“Jangan sampai gara-gara hemat malah jadi bahan tertawaan di depan tamu! Kalau perlu, aku bantu deh kasih ide biar dekorasi kamu nggak kelihatan murahan. Tapi ya... terserah kamu sih, mungkin kamu memang lebih suka yang sederhana.”
Setelah memastikan bahwa semua orang mendengar ceramah gratisnya, Bu Tutik melenggang pergi dengan anggun, seolah baru saja menyelamatkan pesta itu dari kehancuran total.
Orang-orang yang tersisa di belakangnya hanya bisa menghela napas panjang. Mereka tahu, acara itu mungkin tetap akan berjalan lancar, asalkan Bu Tutik tidak muncul lagi sampai pesta usai.
Hari demi hari berlalu, dan Bu Tutik tetaplah Bu Tutik. Dia adalah sosok yang selalu benar, selalu tahu segalanya, dan selalu punya waktu untuk mencela orang lain.
Baginya, kehidupan ini adalah panggung besar di mana dia adalah tokoh utama yang harus dipuja, dihormati, dan diakui kehebatannya. Para tetangga mungkin jengkel, beberapa mungkin tersinggung, tapi tak ada yang berani melawannya.
Namun, ada satu hal yang harus diakui: meskipun Bu Tutik adalah sosok yang bikin geleng-geleng kepala, kehadirannya memberikan warna dalam kehidupan di kota kecil itu. Tanpa ocehan dan celaannya yang tiada habis, mungkin suasana akan jauh lebih membosankan.
Dan Bu Tutik? Ah, tentu saja dia tak pernah salah. Setidaknya menurut dirinya sendiri.
***
Pembaca yang budiman, karena karya ini gratis, maka mohon kerelaannya untuk like, komen, dan share ya. Agar penulis semakin semangat membuat tulisannya yang menghibur pembaca. Salam hangat!!!