Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
TUSELAK
0
Suka
280
Dibaca

Aku telentang menatap langit keemasan dengan tubuh telanjang. Rumput kering tempatku terbaring kaku dapat kurasakan dengan kedua tanganku yang ringkih. Mana kala kutatap kedua tanganku, darah kering tampak membungkus setiap permukaan kulit telapaknya. Tubuhku mati rasa. Aku nyaris tak punya tenaga untuk bergerak. Sepertinya tak hanya tanganku yang berbekas darah, tapi juga mulut dan sebagian wajahku. Gegas aku bangkit. Bersamaan dengan itu, terdengar kokok ayam pagi buta yang mencoba membangunkan tiap-tiap pemilik raga di perkampungan.

Tersadar sukmaku dari tegun yang menguasai puluhan detik lamanya. Aku merotasi bola mata ke sekitar lapangan luas tempatku menghampar bugil. Lapangan sepak bola Kampung Kayu Jati. Itu nama tempatku berada saat ini. Lapangan yang aku tak tahu persis seberapa luas dalam satuan meter. Yang kutahu, Lapangan Kayu Jati biasanya dijadikan tempat perlombaan sepak bola Tarkam (antar-kampung) tiap acara peringatan hari-hari tertentu. Tempat ini memiliki pengunjung tetap tiap pagi dan sore, terutama bagi sepasang suami-istri yang antusias mengajak buah hati mereka berjalan-jalan.

Terpikir aku untuk enyah sebelum siapa pun datang berkunjung. Aku tak ingin masyarakat kampung menjadi gempar karena menemui nenek tua ringkih sepertiku dalam keadaan paling berantakan dan menyeramkan. Setiap orang yang melihatku pasti berpikir aku sungguh menjijikkan. Aku penuh dosa dan tak suci sebagaimana manusia lain yang tiap lima kali sehari memanjat doa di tiap-tiap masjid, musala, ataupun rumah.

Meskipun berusaha menjelaskan keadaan serta kesulitanku selama hidup dalam sunyinya tunggal, tak bakal ada yang mau percaya. Tak akan ada yang mau meyakini tentang seberapa keras usahaku menjaga diri agar tak menjadi makhluk jadi-jadian laknat ini.

Semua orang menyebutku Tuselak. Aku Tuselak, manusia jadi-jadian. Manusia yang bersekutu dengan iblis. Manusia yang terlanjur dicap paling kotor oleh penyimpangan budaya. Aku nenek terkutuk yang menanggalkan harga diri dan kehormatan sebagai manusia. Aku makhluk paling hina yang diyakini merugikan banyak orang kampung karena melahap habis hewan ternak, kotoran, dan bangkai.

Tak dapat kutepis kenyataan bahwa aku adalah Tuselak, yang merupakan produk gagal dari legenda dan budaya suku Sasak, pulau Lombok. Sekeras apa pun aku berusaha menjelaskan bahwa aku adalah korban penyalahgunaan ilmu hitam, tak ada yang bakal mau percaya. Aku tersisih dari modernnya peradaban. Aku makhluk paling ditakuti semua orang dalam keadaan gelap gulita. Aku makhluk yang paling dikutuk dan selalu dibicarakan dengan nada lantang. Sebab jika tak bernada lantang, makhluk sepertiku akan dengan mudah mendengar pembicaraan siapa pun.

Tiap kali aku mencari makan di sudut-sudut desa sambil tetap waspada dengan keberadaan hansip yang berjaga tiap malam hingga dini hari, aku selalu merasa hanya dalam keadaan mimpi berjalan. Makin malam berlalu, makin hari berlalu, aku kian sadar perilaku yang anomali pada diri dan tubuhku. Tiap pagi datang, aku selalu mengantuk dan kemudian tertidur pulas. Tiap gelapnya malam menyambut, mataku tak pernah merasa kantuk. Anomali yang sangat jelas aku rasakan adalah ketika kedua tangan dan sebagian wajahku terbungkus darah kering.

 Beberapa tahun silam, untuk mendapat makanan sebagai pelepas lapar, aku berjalan dengan kedua kakiku yang kurus kering. Aku melewati pohon-pohon, bersembunyi di semak-semak hanya untuk menghindari massa. Senyapnya langkah kaki juga untuk menghindari kecurigaan orang-orang. Terlebih menjaga mata mereka dari melihat nenek ringkih menyedihkan sepertiku yang bertelanjang bulat. Sekali pentungan kayu berbunyi, semua masyarakat kampung pasti berkumpul, lalu berdalih serta memfitnahku dengan keji. Bilamana fatwa dikumandangkan ke berpasang-pasang telinga, terbakar hidup-hidup menjadi konsekuensi. Aku hanya akan menjadi setumpuk kulit yang hangus terbakar, diberangus, lalu diceritakan turun-temurun, parahnya menjadi pihak yang paling tak punya kebenaran sebiji zarah pun.

Citra Tuselak sepertiku telah terlanjur negatif. Aku tak punya teman. Tak punya sanak saudara. Tak punya cucu dan anak. Aku makhluk paling kesepian yang hidup dalam gubuk reyot dengan alasan takut pada keramaian.

Banyak hal yang aku takutkan. Banyak hal yang dapat membuat tubuh ringkihku lumpuh bahkan nyawaku tercabut. Sapu lidi, batang atau daun pohon kelor, cahaya, massa, dan kobaran api. Itu semua yang membuatku takut menghadapi dunia dan seisinya. Jika salah satu dari benda yang aku takuti menyentuh kulit sawo matang keriputku, habislah aku. Lenyaplah aku diberangus waktu dan diterkam Malaikat Kematian.

Sekarang aku tak perlu berjalan untuk mengelilingi kampung-kampung, atau menghindari tiap-tiap cahaya lampu penerang jalan. Aku kini sudah bisa terbang berkat beratus-ratus bangkai, bayi baru lahir, dan kotoran yang masuk ke dalam perutku. Dengan kedua tangan yang dibentuk layaknya kepak sayap burung-burung, aku bisa terbang tak kalah cepat dan lihai. Aku berevolusi, berubah menjadi Tuselak Bunge, salah satu jenis Tuselak yang paling kuat dan ditakuti masyarakat modern. Aku menakut-nakuti banyak orang, mengejutkan banyak raga, membuat jantungan siapa pun yang secara tak sengaja melihatku dalam pekatnya malam.

Namun, kini aku tersesat, terseret kebingungan, tercabik keheranan yang memuncak. Tak punya daya, tak punya tenaga. Aku terhuyung melalui jalan berkerikil, telapak kakiku menginjak batu, bahkan kotoran binatang sekalipun, tak ada kepedulian yang menghampiri benak. Yang kuusahakan hanya tiba di gubuk reyotku, lalu beristirahat hingga bulan menyambut malam.

Tak beruntungnya diriku karena rona keemasan langit telah makin tampak menyebar. Sebentar lagi matahari terbit, cahaya yang paling aku takutkan. Sebab jika terang menyirami, berpasang-pasang netra bakal pasti melihat telanjangnya tubuh berkulit keriputku. Berpasang-pasang tangan bakal pasti menghakimi dengan kekerasan tiada banding tak terbayangkan. Serta berpasang-pasang kaki bakal tentu saja menghunjam tiap bagian tubuhku. Dengan umpatan-umpatan yang keluar dari mulut-mulut setiap insan yang merasa paling memiliki kebenaran. Dari tiap-tiap manusia yang merasa paling dicintai Tuhan. Aku pasti habis hari ini. Walau demikian, aku tak berhenti berusaha, mengangkat langkah lebih lebar sambil menutupi dada tak terbungkusku dengan tangan. Sambil menutupi dengan telapak tangan kemaluanku yang tanpa busana.

Bayangan kobarnya api menelusup dalam benak yang letih. Hangusnya raga ringkih meracuni sukmaku di tengah kerasnya kedua kaki berusaha agar tiba di serambi gelap rumahku. Tak lagi aku bisa terbang. Tiada lagi aku bisa menggunakan kesaktian. Sebab waktuku telah tenggat.

Berletih-letih aku mencoba. Di waktu yang bersamaan, aku mengingat semua hal yang membuatku tersesat, habis tenaga, dan akhirnya lepas landas di Lapangan Kayu Jati. Belian, manusia biadab yang sejak dulu telah mengincar nyawaku. Laki-laki separuh baya di Kampung Kayu Jati yang sejak dulu berusaha memberangus keberadaanku.

Tak sengaja aku memakan bangkai yang telah dia persiapkan di kebun milik warga tempat biasa aku menghabiskan santapan. Dia meracuniku dengan mantra-mantra keparatnya yang mujarab, dan berhasil membuat ragaku terkulai tanpa daya dan tenaga. Betapa cerdik dan licik, sebab tak lupa ia menampar seluruh tubuhku dengan batang dan daun kelor. Ludahku yang kental bercampur bangkai merabas bagai rintik-rintik hujan darah yang kental. Dia tertawa, aku tertatih.

Harapanku telah terlanjur tanggal, meskipun sisa-sisa tenaga masih tersimpan dalam tubuh. Gemuruh. Riuh rendah, pekik jerit, umpatan paling menyedihkan. Di tengah-tengah itu semua, api obor menyala seolah-olah mengejek derita di sela-sela usaha yang tak menyerah aku lalui. Satu, dua, tiga, …, mungkin ratusan api obor menyala di bola mataku. Berpasang-pasang mata tak segan mengintimidasi, mengancam dan mengecam keberadaanku. Aku pasrah dikelilingi massa bersama kesucian dan kebenaran mereka, lalu diberangus waktu dan Malaikat Kematian.

Aku Tuselak, yang hanya menjadi makhluk keragu-raguan. Yang hanya menjadi legenda, yang dikutuk, dan diceritakan turun-temurun. Aku Tuselak yang ditakuti kaum modern dalam gelap dan kesepian. Dan aku Tuselak yang nyaris punah pada peradaban canggihnya teknologi dan industri.[]

-II-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
TUSELAK
Marion D'rossi
Novel
Gold
Like Water for Chocolate
Bentang Pustaka
Novel
HITAM
Endah Wahyuningtyas
Novel
Podcast Santri
BlueBiru
Cerpen
Sang Pembisik
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
Agus: Kutukan di Balik Gelap
Nyaa ko
Novel
Gold
The Haunting of Hill House
Mizan Publishing
Cerpen
BONEKA-BONEKA YANG MENARI DI MALAM SEPI
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
Jalan Melati Nomor 12
Farlan Nuhril
Novel
Kisah Penyap dari Rimbun Bambu di Belakang Taubah
Ariyanto
Komik
Bronze
LIVESTREAMING
livestreamingwebcomic
Novel
Gold
Fantasteen They Call Me Psycopath
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Lorong di Atap
Johanes Gurning
Novel
Perjanjian Terlarang Mbah Karto dengan Iblis
muhammad haryadi
Novel
ISTANA HANTU
Dudun Parwanto
Rekomendasi
Cerpen
TUSELAK
Marion D'rossi
Cerpen
LELAKIMU ADALAH
Marion D'rossi
Novel
Rela Miskin Demi Cinta
Marion D'rossi
Novel
Kekasih Pinjaman
Marion D'rossi
Novel
Haram Jadah: Hari Pembalasan
Marion D'rossi
Novel
Bronze
I am Your Boss
Marion D'rossi
Novel
Bronze
Lovertone
Marion D'rossi
Cerpen
Tetanggaku yang Pendiam
Marion D'rossi
Cerpen
DISTORSI
Marion D'rossi
Novel
Bronze
I am Your Boss 2: Merawat Harmoni
Marion D'rossi
Novel
Paradoks Waktu: Timeline
Marion D'rossi
Novel
Bronze
TRAWANG
Marion D'rossi
Novel
Idealism of Love
Marion D'rossi
Novel
Di Antara Dua Hati
Marion D'rossi
Novel
TUSELAK
Marion D'rossi