Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Ayah, kapan kita pulang?" rengek Aris. "Aku nggak suka di sini. Gelap, baunya nggak enak. Ayah, pulang, yuk."
"Diam," kata Yuda singkat. Matanya menjeling gelisah pada pintu menuju bagian dalam rumah. Pak Obu, tuan rumah, menghilang di balik tirai penutup pintu setengah jam lalu, dan belum ada tanda-tanda akan keluar lagi.
Bau yang dikeluhkan Aris menyelinap ke hidung Yuda. Menempel di tenggorokan bak lendir tipis, menjalarkan mual ke perut. Bau ini membangkitkan kenangan akan tukang daging, pisau jagal, dan tumpukan usus sapi yang mengilap.
Apa yang sedang dilakukan Pak Obu? Menyembelih hewan demi memenuhi permintaan Yuda? Apakah prosesnya sebegini lama, atau ada yang gagal?
Harus berhasil, tukas Yuda dalam hati. Harus! Susah payah aku kemari, tidak boleh pulang dengan tangan hampa.
"Ayah...."
"Aris, dengarkan Ayah." Yuda memutar duduk hingga menghadap putranya. "Nanti, kamu tinggal di rumah ini. Sebentar saja. Kamu pasti pulang, jangan takut."
Mata Aris membelalak. "Tinggal di sini?" Suaranya mengecil. "S-sampai kapan, Yah? Kenapa nggak boleh pulang sekarang? Kalau Ibu cari aku, gimana?"
Berisik, Yuda ingin menukas. Sejak kecil, Aris banyak bicara, kerap bertanya ini itu. Ibunya meladeni dengan sabar, tapi meladeni anak memang tugas ibu. Tugas Yuda, selaku kepala rumah tangga, adalah menghindarkan keluarga dari bencana.
Gorden yang menutup pintu tersibak, dan Aris terlonjak. Pak Obu melangkah ke ruang tamu. Bajunya yang serbahitam dan temaram ruangan membuat dia bagai kepala berkumis yang melayang di udara.
Yuda berdiri. "Bagaimana, Pak?" Nada suaranya mendesak, tapi dia tak peduli. Jika Pak Obu ternyata gadungan dan tak mampu membantunya, Yuda akan angkat kaki selekasnya.
Pak Obu memandang Yuda. Bau dalam ruangan kian pekat, nyaris seperti asap. Seiring itu, Yuda merasa mendengar bunyi bilah pisau mengoyak daging.
"Berapa umur anakmu?"
Aris, yang ikut berdiri, tampak tersengat oleh suara Pak Obu. Dia mencengkam lengan Yuda erat-erat. Yuda menjawab, "Enam tahun."
Pak Obu tersenyum. "Cocok," ujarnya, tanpa memerinci apa yang cocok. "Silakan pulang. Anakmu menyusul nanti. Permintaanmu terkabul paling lambat besok siang."
Yuda mengangguk. "Aris, dengar, kan? Kamu di sini dulu dengan Pak Obu."
"Nggak mau," bisik Aris. Matanya berkaca-kaca, dan setetes air mata meleleh ke pipi. "Aku takut, Yah. Aku mau pulang. Mau sama Ibu."
"Jangan cengeng! Kamu sudah besar, masa nggak bisa dikasih tahu? Yang nurut sama Ayah! Nanti Ayah belikan sepatu baru."
Aris terisak. Suaranya tersendat-sendat, seakan dia menahan diri agar tidak makin dimarahi. Yuda merenggut lepas tangan Aris dari lengannya, lalu bergegas keluar dari rumah sempit itu.
Dia melintasi halaman dan pagar kayu setinggi pinggang. Sepintas dia merasa bersalah, tapi menguatkan diri. Sebentar saja, ulangnya. Hanya satu malam. Besok semuanya akan beres.
Di dalam rumah, tangis Aris makin keras. "Ayah! Ayah!" Dia berteriak. Yuda meringis, nyaris saja mengangkat tangan untuk menutup telinga. Alih-alih, dia mempercepat langkah.
***
Nelly pulang dari pabrik pada pukul lima. Wajahnya kuyu dan kucir rambutnya menjuntai di pundak. Seingat Yuda, sejak sebelum mereka menikah pun, istrinya selalu lesu di akhir hari kerja. Nelly mengucapkan salam, lalu masuk ke kamar.
Tak lama kemudian, dia keluar dengan memakai daster dan kening berkerut. "Aris mana?"
Yuda, yang sedang duduk bersila di kursi, menengadah dari layar ponsel. "Neneknya tadi ke sini. Aris diajak menginap."
"Oh? Wah, tumben mendadak. Ya, sudah."
Yuda menggumam, tak cemas bahwa dustanya terbongkar. Ibu Nelly, yang sangat menyayangi cucu tunggalnya, kerap membawa Aris untuk menginap di rumah. Selain itu, beliau tidak punya ponsel, maka sulit dihubungi.
Nelly tidak bertanya lagi. Seusai mandi, dia memanaskan sarapan pagi tadi untuk makan malam, lalu mencuci baju. Rupanya Nelly begitu letih, hingga bahkan tak mengungkit Aris sampai pergi tidur.
Esok paginya, setelah Nelly berangkat ke pabrik, Yuda meramban lowongan kerja di internet. Dia menyelingi pencariannya dengan singgah di utas-utas Twitter yang viral. Membaca berbagai komen, dari yang memaki sampai meneliti, menjadi hiburan utamanya belakangan ini.
Di tengah keasyikan itu, sebuah pesan WhatsApp tiba. Saat Yuda mengenali nomornya, degup jantungnya berpacu kencang. Dia menelan ludah, lalu mengeklik pesan.
Berpuluh huruf dan angka berbaris di layar. Melihatnya saja sudah membuat pelipis Yuda berdenyut-denyut. Lalu, lambat laun, tatapannya tertuju pada dua kata: utang dan lunas.
Kontan badan Yuda lemas saking leganya. Dia tertawa, riang dan lepas. Satu tangannya teracung dalam pose kemenangan.
Bebas! Dia ingin berteriak. Utangku lunas, aku bebas, tidak lagi dikejar-kejar penagih utang! Tak percuma sembunyi-sembunyi ke rumah Pak Obu!
Empat bulan silam, Yuda dan sejumlah rekannya terkena PHK. Waralaba restoran tempat mereka bekerja mengurangi karyawan dengan alasan penghematan. Sejak itu, Yuda mencari sumber penghasilan baru.
Berharap menangguk untung, dia mengikuti judi online. Siapa tahu, dari sana dia memperoleh modal untuk membeli sepeda motor, dan dapat melamar sebagai driver ojol.
Yang terjadi justru sebaliknya. Akibat terus bertaruh tanpa pernah menang, Yuda terjerat utang. Penagih utang pernah menyatroni rumahnya, bahkan mengancam akan menghajarnya. Ketika itulah seorang temannya membisikkan nama Pak Obu.
Titipkan anakmu di sana, masalahmu akan selesai. Yuda sempat ragu, tapi temannya berkeras bahwa cara ini ampuh. Maka Yuda membawa Aris ke rumah Pak Obu—pilihan yang kini sangat dia syukuri.
"Si tua itu bikin apa kemarin?" katanya keras-keras. "Potong sapi yang sudah diberi mantra, lalu di rekening lembaga pinjol otomatis ada transferan atas namaku? Ah, bodo amat! Yang penting bebas. Bebas!"
Yuda terkikik, hampir pening saking gembiranya. Dia berganti baju, lalu berjalan setengah menari ke pintu depan. Sambil mengecek dompet, dia menyusun kata-kata yang akan diucapkan pada Aris.
Nggak nangis, kan? Ditinggal semalam saja, berani, dong. Itu baru jagoan! Beli sepatunya ditunda dulu, ya. Ayah belum punya—
Langkah Yuda tertahan saat tiba-tiba perutnya nyeri. Seraya mengantongi dompet, dia menunduk dengan bingung. Di balik kemeja, perutnya pelan-pelan membengkak.
Kenapa ini? Kembung? Masuk angin? Tadi aku cuma minum kopi segelas....
Sesuatu bergolak di dalam perutnya. Sesuatu yang memanjat naik dengan cepat, seperti makanan yang menuntut dimuntahkan. Spontan Yuda terbatuk, dan membungkuk dengan mulut terentang lebar.
"Huek!"
Tiga benda pendek dan ramping menyembur dari mulutnya. Ketiga benda itu jatuh ke lantai, berlumur darah dan liur. Sejenak Yuda hanya menatap tanpa paham. Lalu kepalanya bagai tersambar petir.
Jari. Ketiga benda itu adalah jari tangan. Semuanya kecil, milik anak usia enam tahun.
Selagi Yuda terpana, perutnya kembali bergolak. Kali ini yang dia muntahkan adalah sekerat telinga. Dia mematung, lehernya bagai tersumbat.
Anakmu menyusul nanti, kata Pak Obu. Kini Yuda mengerti maksudnya: inilah cara Aris menyusulnya.
Tidak. Pasti Yuda keliru. Pasti Aris masih hidup! Mungkin dia hanya kehilangan jari dan telinga, tapi tetap bisa pulang—
Untuk kali ketiga Yuda muntah, dan dari mulutnya mencelat gumpalan merah. Benda itu menggeletak di lantai, berkedut-kedut. Yuda mengenali benda itu—jantung manusia—dan dia menjerit, memekikkan nama anaknya.