Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Orang-orang menyebutnya dengan berbagai nama, Tuhan? Sang Pencipta? Yang Maha Kuasa? atau sekadar Dia? Sejak kecil aku mendengar nama itu diulang-ulang dalam doa, disebut di atas mimbar, dan ditulis di kitab-kitab yang dianggap suci, tapi tidak ada satu pun yang bisa memberitahuku secara pasti, di mana sebenarnya Tuhan tinggal?
"Di langit" kata ibuku waktu itu sambil menengadah, di tempat tinggi yang tak bisa kita jangkau, maka aku pun menengadah, mencari sesuatu yang seharusnya tak bisa kulihat, tapi yang kulihat hanya langit kosong, awan, dan gemintang yang jauh, di situlah pertama kali aku mengenal rasa ragu sebuah celah dalam iman yang kecil, namun cukup tajam untuk menimbulkan nyeri berpikir.
Ketika aku tumbuh, aku tidak menjadi pendeta, bukan pula filsuf, aku hanya seorang peneliti biasa. Ilmu pengetahuan adalah bahasa yang kutemukan lebih dahulu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tentang asal mula kehidupan, tentang kesadaran, tentang keberadaan, aku menekuni bidang yang berusaha memahami kanvas pikiran manusia tempat kesadaran dilukis, dan keyakinan berakar, bukan untuk menolak Tuhan, tapi karena aku ingin tahu bagaimana manusia bisa mempercayai sesuatu yang tak terlihat.
Apa yang terjadi di dalam otak ketika seseorang merasa sedang "bertemu Tuhan"?
Setiap hari aku menatap layar penuh grafik, aku merasakan gelombang aneh yang tak bisa dibaca orang awam tapi bagiku mereka adalah cerita, cerita tentang pikiran manusia, tentang ingatan yang muncul tiba-tiba, tangisan yang tak bisa dijelaskan, dan perasaan damai yang datang entah dari mana.
Aku bekerja dengan otak manusia, mengamati bagaimana ia bereaksi saat seseorang berdoa, bagaimana ia menyala ketika seorang petapa masuk dalam keheningan yang dalam, dan yang paling menggetarkan aku merasakan abu-abu dalam aktivitas otak antara percaya dan lupa seorang penderita, setiap kali kejang datang, ia melihat bayangan mendengar suara yang bukan dari dunia.
Mungkinkah Tuhan hanyalah gema dalam pikiranku sebuah kilatan listrik yang terasa seperti keabadian? Atau... mungkinkah justru itulah cara otak menatap sesuatu yang lebih besar, melalui jalur yang tak kita pahami?
Mungkin Tuhan hanyalah gema dalam pikiranku, kilatan listrik yang terasa seperti keabadian, atau justru itulah cara otak menatap sesuatu yang lebih besar melalui jalur yang belum kita pahami.
Setiap hari aku larut dalam angka-angka, catatan, dan sinyal-sinyal aneh dari dalam kepala manusia. Aku melihat bagaimana emosi muncul seperti percikan kecil, bagaimana ingatan kembali hidup lewat denyut halus di bagian otak yang menyimpan masa lalu, dan bagaimana kesadaran ilahi perlahan muncul dari sudut tersembunyi dalam pikiran kita.
Secara ilmiah, semuanya bisa dijelaskan, tapi tetap saja penjelasan bukanlah pengalaman. Aku tahu bagaimana otak bekerja, tapi aku belum tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh kehadiran yang tak terlihat.
Pada satu titik, ilmu berhenti memberi makna, aku paham sistem kerja kesadaran, namun aku belum memahami apa makna sadar itu sendiri, di sanalah, diam-diam, pencarianku kembali menjadi spiritual, bukan dalam arti agama formal, tapi sebagai upaya mengenali, siapa aku? Apa yang menggerakkanku dari dalam?
Aku mulai melakukan eksperimen pribadi, duduk diam selama berjam jam di ruangan hening, mencoba menjadi pengamat dari pikiranku sendiri, tak ada doa, tak ada teori, hanya mengamati, dari mana pikiran ini datang? ke mana ia pergi? dan siapa yang sebenarnya berpikir?
Malam itu kututup mata, dan dunia padam, dalam gelap pikiranku saling menggugat, berebut dalam sunyi yang tak lagi damai, tak ada cahaya, tak ada suara, aku hanya ditemani oleh suara napasku sendiri, lalu perlahan, muncul perasaan aneh, tubuhku lenyap dari kesadaran. Aku tidak tahu lagi di mana aku dudu dan tidak merasa berat, tidak ringan, tidak ada, tapi ada sesuatu yang tetap tinggal, suatu yang menyaksikan semuanya bahkan ketika aku pun sudah lenyap sebagai konsep.
Dari kedalaman sunyi itu seolah terdengar bisikan, "Aku tidak jauh, aku ada dalam napas yang kau abaikan". Itu bukan suara dalam arti akustik, melainkan semacam kesadaran yang menyuarakan dirinya sendiri, bukan datang dari luar, tapi bukan juga sekadar dari otakku. Sesuatu yang menyatu, menyelimuti, tapi tidak bisa dipeluk, seperti udara, tapi jauh lebih halus.
Ketika aku membuka mata, tubuhku masih di sana, alat-alat pengukur menunjukkan denyut jantung yang stabil, otakku secara ilmiah dalam keadaan tenang, tapi batinku tidak sama, dan ada sesuatu yang berubah, walau sulit dijelaskan.
Sejak saat itu, aku menamai sosok itu Tu(h)an, sebuah sebutan yang lahir dari perasaan ambigu antara Tuan, sang penguasa batin yang menggerakkan kehendak, dan Tuhan, sang asal mula kesadaran yang melampaui nalar. Huruf (h) yang kutaruh di tengah bukan sekadar hiasan, ia adalah lambang keraguan sekaligus kemungkinan bahwa mungkin, dia bukan hanya yang mengatur segalanya dari jauh, tapi juga yang diam-diam hidup dalam diriku. Tu(h)an bukan semata objek pencarian spiritual, bisa jadi pusat dari segala kesadaran sumber yang menyadari sebelum ada yang mampu menyadari apa pun.
Aku mulai mengamati orang lain, seorang ibu yang memeluk anaknya, seorang pemuda yang menangis diam-diam di bangku taman, seorang lelaki tua yang mengangguk pelan di dalam masjid, matanya basah oleh sesuatu yang tak tampak, di wajah mereka aku menemukan bias dari sesuatu yang dulu hanya kupahami sebagai konsep, kini aku mulai merasakannya sebagai realitas bahwa Tuhan bukan tempat, bukan benda, bukan orang, tapi pengalaman batin yang sangat personal.
Jika maksudmu.... Tuhan itu bukan entitas di luar sana, tapi justru ada di dalam kesadaran kita, bahwa yang ku sebut tu(h)an itu mungkin bukan untuk disembah, tapi untuk disadari?
Jadi kau percaya... Tuhan itu bukan di langit, tapi di dalam diri manusia?"
Aku hanya tersenyum, lalu berkata "Kalau kita menafsirkan 'ada' sebagai sesuatu yang bisa dibuktikan oleh alat, mungkin tidak, tapi kalau kita menafsirkan 'ada' sebagai sesuatu yang memampukan kita merasa, mencinta, dan menyadari, maka ya! sangat ada, bahkan lebih nyata dari segala yang bisa kita ukur."
Ia menatapku sejenak, lalu bertanya, “jadi... kalau Tuhan bukan sosok, bukaan makhluk, bukan objek, lalu sebenarnya apa yang kau cari? Dan kalau dia tak bisa dilihat atau diukur... bagaimana kalau dia bener bener ada?”
Kini, aku tak lagi mencari Tuhan di kuil atau melalui buku, aku mencarinya dengan diam, dalam sepi, dalam tanya, dalam napas. Ia bukan sosok yang bisa dipelajari, tapi juga bukan sesuatu yang lepas dari sains, mungkin bukan makhluk, tapi medan kesadaran, bukan objek, tapi ruang tempat segalanya muncul dan lenyap.
Aku tak tahu apakah aku telah menemukannya, atau hanya semakin dalam tersesat, tapi yang jelas, aku tak merasa sendiri lagi, karena dalam diam, ketika dunia berhenti berisik, aku tahu ada yang menyaksikan dari dalam diriku. Mungkin, itulah Dia.