Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Raka Suradilaga Pramoditya adalah jenis mahasiswa yang kalau namanya dibacakan di absen, dosen akan berhenti sebentar, melihat daftar, lalu bertanya: “Ini mahasiswa angkatan berapa, ya?”
Tak seorang pun bisa memastikan. Isu beredar bahwa Raka sudah ada di kampus sebelum gedung rektorat dibangun. Ada pula yang bilang dia muncul tiap tahun ajaran baru seperti artefak kampus yang tidak pernah mati.
Yang jelas, hari itu Raka sedang berada di tahap paling menentukan hidupnya: menyusun Tugas Akhir.
Jurusan Raka bukan jurusan biasa. Bukan Sastra Indonesia, bukan Perikanan, bukan Ilmu Kelautan.
Dia adalah mahasiswa dari jurusan paling aneh sekaligus paling filosofis di seluruh Nusantara:
Sastra Mancing.
Jurusan yang hanya punya tujuh mahasiswa aktif, dua di antaranya hilang entah ke mana sejak praktik lapangan di Waduk Ketegan. Jurusan yang memadukan teori sastra dengan teknik memancing, hermeneutika dengan analisis tarikan ikan, fenomenologi dengan filosofi umpan tak ada jurusan lain seperti ini. Mungkin juga, tak ada yang menginginkannya.
Dan tahun ini, Raka harus menulis tugas akhir berjudul:
“Makna Eksistensial Tarikan Pertama Ikan Baung dalam Perspektif Dialogis Nelayan Jawa.”
Judul itu terlalu berat bahkan untuk dosennya sendiri.
BAB 1: GUGATAN HIDUP
Pagi itu, Raka sudah nongkrong di tepi sungai kecil belakang kampus. Tempat wajib bagi mahasiswa Sastra Mancing, karena di situlah mereka "mencari pencerahan", kata bu dosen.
Raka melempar kail, mencatat sesuatu di buku, menghela napas panjang, lalu berkata lirih seakan bicara dengan air,
“Kenapa ya, Baung, lu nggak nongol dari tadi? Padahal gue butuh lu buat bab 3.”
Dari kejauhan, seorang sahabatnya, Jodi, datang bawa gorengan lima ribu. Jodi bukan mahasiswa Sastra Mancing, tapi sering nongkrong karena suka hal aneh.
“Rak, lu masih nyari inspirasi?” tanya Jodi sambil duduk.
“Gue butuh satu tarikan ikan yang bisa masuk ke kerangka teori Bakhtin. Gimana gue mau bahas dialogisme kalau ikannya aja nggak ngajak dialog?”
Jodi mengunyah bakwan sambil mikir.
“Lu coba ajak ngobrol sungainya dulu. Siapa tau ikannya denger.”
Raka menatap Jodi dengan ekspresi serius. “Boleh.”
Lalu ia mencondongkan tubuh ke air dan berbisik,
“Baung, gua mohon. Hidup gua tergantung lu.”
Air tidak menjawab. Hanya goyangan kecil, entah arus atau sindiran halus dari alam.
BAB 2: DOSEN PEMBIMBING YANG FILOSOFIS TAPI GALAK
Siang itu, Raka mendapat panggilan dari dosen pembimbingnya, Dr. Gempita Lintang Pamuncak, S.Si., M.Hum., M.Mn., PhD gelar terlalu banyak untuk orang yang hobi marah-marah.
“Raka Suradilaga!” panggilnya dari ujung koridor, seperti orang memanggil hantu.
Raka mendekat dengan langkah hati-hati.
“Bagaimana perkembangan tugas akhir? Saya sudah membaca bab 1 Anda. Terlalu banyak metafora. Anda menulis ‘Sungai ini seperti kehidupan yang terus mengalir membawa luka-luka masa lalu’. Itu kenapa? Ini tugas akhir, bukan puisi patah hati.”
Raka menunduk. “Maaf, Bu. Saya hanya mencoba memperkuat landasan filosofis.”
Bu Gempita menyilangkan tangan. “Landasan filosofis tidak perlu lebay, Raka. Dan satu lagi kenapa Anda menulis bahwa ikan Baung adalah representasi eksistensi manusia yang mencari tempat untuk pulang? Anda sudah wawancara Baung?”
Raka menggeleng.
“Nah, makanya. Anda harus mengobservasi langsung. Dapatkan tarikan ikannya. Rasakan. Dokumentasikan. Ini bukan penelitian kepustakaan. Sastra Mancing butuh pengalaman lapangan.”
“Baik, Bu.”
“Deadline Anda lusa.”
Raka langsung pucat. “Lusa, Bu?”
“Iya. Jurusan kita mau ditutup kalau nggak ada mahasiswa yang lulus tahun ini.”
Raka membeku. Masa depan jurusan Sastra Mancing tergantung dirinya.
BAB 3: MALAM PENCARIAN TARIKAN SAKRAL
Malam itu, Raka kembali ke sungai. Jodi ikut, meski tidak membantu banyak selain membawa senter.
Kali ini Raka memakai umpan spesial: cacing legendaris dari kebun belakang asrama, yang menurut mitos dapat memanggil ikan mana pun.
“Guih… bau amat, Rak,” kata Jodi sambil tutup hidung.
“Ini umpan sakral. Jangan dihina. Kalau marah, nanti ikannya kabur.”
Mereka duduk. Sunyi. Arus kecil terdengar. Angin membawa bau tanah basah. Semua terasa puitis tapi juga absurd.
Tiba-tiba...
TEGANGAN!
Kail bergerak.
Raka langsung berdiri.
“JO, INI DIA! TARIKAN EKSISTENSIAL!”
Jodi berdiri panik. “TARIK! TARIK! NANTI DIA LARI DARI TANGGUNG JAWAB!”
Tarikan itu kuat. Terlalu kuat untuk ukuran ikan Baung.
Raka mengerahkan seluruh tenaga. Jodi memegang bahunya. Gelang air bergetar. Suara “BLUUPP!!” terdengar.
Dan tiba-tiba, muncul sosok…
Bukan ikan.
Bukan sampah.
Tapi berkas plastik berisi… buku?
Raka mengangkatnya. Mata mereka membulat.
Di dalam plastik itu ada naskah Tugas Akhir berjudul:
“Interpretasi Semiotic Strike Pertama dalam Tradisi Nelayan Nusantara.”
Nama penulisnya:
Mahendra Arga Dwilaksana Mahasiswa Sastra Mancing, Angkatan 1997
(status: hilang dalam praktik lapangan waduk Ketegan).
Raka dan Jodi saling tatap.
“Rak… itu TA orang hilang?”
Raka membaca cepat. Halamannya lengkap, metodenya mantap, teorinya rapi.
Dan di lembar terakhir ada tulisan tangan:
"Jika ada yang menemukan ini, tolong lanjutkan perjuanganku. Jurusan ini tidak boleh punah."
Raka menutup naskah itu. Napasnya berat.
“Jo… gue tau apa yang harus gue lakukan.”
BAB 4: PENGAJUAN TUGAS AKHIR PALSU (NAMUN HEROIK)
Esok paginya, Raka masuk ruang sidang dengan naskah itu di tangan. Dosen-dosen langsung melotot.
“Raka, Anda menyelesaikan dalam semalam?” tanya Bu Gempita curiga.
Raka mengangguk mantap. “Iya, Bu.”
“Baik… mari kita mulai.”
Ujian dimulai dengan sangat serius. Dosen satu tanya metodologi, Raka jawab mantap. Dosen dua tanya analisis semiotik, Raka jawab seperti sudah hidup 20 tahun di komunitas nelayan. Dosen tiga nanya apakah tarikan pertama ikan itu bisa ditafsirkan sebagai simbol pemanggilan kembali memori kolektif Raka jawab dengan kalimat paling akademik yang pernah keluar dari mulutnya.
Semua terkesima.
Tapi tiba-tiba, Bu Gempita menyipitkan mata.
“Raka… ini tulisan tangan di halaman terakhir. Ini bukan tulisan Anda.”
Raka terdiam. Ruangan terasa dingin.
“Coba jelaskan.”
Raka menarik napas panjang.
“Baik, Bu. Izinkan saya bicara jujur.”
Ruangan hening. Para dosen menunggu.
“Tadi malam, saya tidak mendapatkan tarikan ikan. Tapi saya mendapatkan ini.”
Ia mengangkat naskah itu.
“Naskah ini milik Mahendra Arga Dwilaksana, mahasiswa angkatan lama yang hilang dalam praktik lapangan. Sepertinya naskah ini hanyut dan baru hari ini naik ke permukaan.”
Para dosen saling tatap, seolah mendengar legenda lama.
“Bu… saya tau ini bukan sepenuhnya karya saya. Tapi… jurusan ini akan ditutup kalau tidak ada yang lulus tahun ini. Saya tidak bisa membiarkan tradisi Sastra Mancing mati. Mas Mahendra pun menulis pesan agar perjuangannya diteruskan.”
Raka memandang mereka dengan tatapan paling serius dalam sejarah akademik.
“Saya tidak ingin lulus karena curang. Saya ingin lulus karena meneruskan warisan. Kalau harus menulis ulang, saya siap. Tapi tolong… jangan tutup jurusan ini.”
Semua hening.
Bu Gempita menutup mata sebentar, lalu membuka perlahan.
“Raka… kamu bodoh.”
Raka kaget. “Eh?”
“Tapi… kamu bodoh dengan cara yang benar.”
Dosen-dosen lainnya mengangguk.
“Sastra Mancing bukan soal menulis skripsi. Bukan soal ikan. Bukan soal teori. Ini soal melanjutkan tradisi absurd yang tidak pernah dipahami siapa pun,” ucap Bu Gempita lirih.
Dia menutup naskah itu dan berkata:
“Dengan ini… kami menyatakan kamu…”
Raka menahan napas.
“…LULUS.”
Baik Jodi maupun Raka menjerit pelan dalam hati.
BAB 5: EPILOG AURA ARTEFAK KAMPUS
Seminggu kemudian, nama Raka Suradilaga Pramoditya terpampang di papan pengumuman kelulusan. Jurusan Sastra Mancing tetap dibuka, walaupun hanya dua mahasiswa baru yang mendaftar mereka mengira itu jurusan Sastra Mesin karena salah baca.
Naskah milik Mahendra diserahkan kembali kepada pihak fakultas. Dosen-dosen berjanji akan menyimpannya dengan hormat sebagai artefak sejarah.
Suatu malam, saat Raka dan Jodi nongkrong lagi di sungai, Raka berkata,
“Jo, lu sadar nggak? Baung-nya masih nggak nongol.”
Jodi mengangguk. “Iya.”
Mereka diam sebentar.
“Berarti… semua hal absurd ini terjadi tanpa gue dapet ikan sama sekali?” tanya Raka bingung.
“Betul,” jawab Jodi sambil nyengir. “Tapi itu justru bikin ceritanya masuk akal.”
Mereka tertawa keras sampai membuat ikan-ikan di bawah sana ikut kabur.
Dan dari balik gelap, seberkas air beriak pelan…
Seolah sungai ikut tertawa.
TAMAT