Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Tugas Akhir
1
Suka
49
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hari ini aku harus bisa bertemu dengan Tuan Fana (bukan nama asli), seorang sastrawan yang akan menjadi narasumber untuk menyelesaikan tugas akhir kuliahku. Aku menggunakan metode kualitatif karena merasa sadar diri, kemampuan berhitung yang kumiliki tidak lebih baik dari anak sekolah menengah pertama. Menyedihkan memang, untuk ukuran seseorang yang menyandang kata Maha sebelum siswa.

Aku mengambil jurusan psikologi. Penelitianku kali ini terbilang sederhana. Menempatkan kesehatan mental pada variabel X dan digitalisasi sebagai variabeL Y. Sedangkan objeknya adalah seorang sastrawan yang menempuh “Jalan Sunyi” dalam buku Muhidin M. Dahlan: Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta.

Aku berhipotesa, jika seorang penulis menempuh "Jalan Sunyi" itu, maka hidupnya akan susah dan terbebani dengan idealisme. Sedangkan era digitalisasi marak meruntuhkan utopia mereka. Sehingga besar kemungkinan penulis yang hidup dengan pola tersebut, setidaknya akan mengalami gangguan mental karena mempersulit diri. 

"Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya."

Kalimat itu lah yang menjadi penguat hipotesa ku. Muhidin menegaskan pikiran untuk bunuh diri dan menerima secara lapang dada yang saling berkaitan dengan kondisi psikologis. Aku mengambil teori Emile Durkheim untuk memperkuat argumentasi dari penelitianku ini.

Awalnya, aku ingin meneliti tentang pribadi Tsushima Shuji yang melakukan tindakkan bunuh diri dengan terjun ke Kanal Tamagawa. Tetapi, pembahasan itu ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbingku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mewawancarai Tuan Fana.

Aku menemukan majalah sastra yang terbit beberapa dekade lalu yang berisi tentang deklarasi Tuan Fana. Ia memilih hidup sepenuhnya dengan menulis. Sungguh menarik dan menjadi titik terang kebuntuanku untuk menyelesaikan tugas akhir itu. Jujur saja, setelah dia tampil di majalah itu, aku tidak menemukan berita atau artikel yang berkaitan dengannya lagi. Pun, aku tidak menemukan buku yang terbit atas nama dirinya.

Mencari keberadaan Tuan Fana, sama seperti mencari jarum di atas tumpukan jerami. Aku tidak begitu tolol dengan mencari informasi tentangnya dengan cara mendatangi kantor majalah itu. Seratus persen aku meyakini kantor majalah itu sudah bangkrut. Nomor redaksi yang tertera pun sudah tidak bisa dihubungi. 

Strateginya, aku berkunjung ke perpustakaan nasional lalu mencari buku pertama sekaligus terakhir (satu-satunya) yang pernah dibuat oleh Tuan Fana. Aku bisa mencari alamat penerbit dan juga bionarasi yang tertera di belakang buku. Sebagai acuan tempat tinggal Tuan Fana sekarang.

Aku berangkat dari Bandung ke Jakarta seminggu yang lalu menggunakan kereta api. Turun di stasiun Gambir. Meski aku lama kuliah di kota ini, kesan terhadap Ibu Kota selalu sama: Kegersangan yang membabi buta. Sejauh yang kusaksikan, pohon rindang di Monumen Nasional menjadi satu-satunya tempat berteduh yang nyaman bagi pedagang kaki lima. Jika di kampus, ya, untuk mahasiswa. Anehnya, sudah tahu pohon itu meneduhkan, manusia malah menebangnya. Menggantinya dengan gedung yang menjulang.

Begitu juga dengan gedung Perpustakaan Nasional yang baru. Terlihat begitu megah dari kejauhan. Terdiri dari dua puluh tujuh lantai dengan gaya arsitektur yang mencolok. Aku melangkah sambil melihat takjub seisi dari gedung ini. Selalu terpana dengan buku-buku yang tersusun rapi di rak setiap lantainya. Kondisi ruangan yang dingin karena AC membuatku nyaman. Aku tahu. Aku menelan perkataanku sendiri tentang pohon dan gedung-gedung. Tetapi, dunia sudah begini mau apalagi?

Hampir saja aku menabrak meja resepsionis. Aku minta maaf lalu naik lift ke lantai dua. Buku milik Tuan Fana sudah aku pesan peminjamannya lewat aplikasi. Tinggal diambil saja di loket peminjaman online. Sehingga aku bisa meminimaliris kesia-siaan. Meski aku bodoh dalam matematika, setidaknya aku bisa bekerja dengan efisien. Aku begitu kesal jika harus mengerjakan sesuatu hal yang tidak perlu. 

Buku Tuan Fana sudah ku dapatkan. Cuaca di luar perpustakaan begitu menyengat. Aku memutuskan untuk mampir ke caffe di lantai satu. Memesan Iced Americano tanpa gula. Gelas berembun. Aku memainkan bulir-bulir embun di pinggiran gelas. Menyatukannya. Sehingga air itu menjadi berat dan cepat jatuh ke meja. Aku melakukan itu sambil membayangkan kepribadian Tuan Fana.

Bagaimana pun iced americano di siang hari begitu menggoda. Cepat-cepat aku masukan ujung sedotan itu ke mulut. Lalu meminumnya sambil memejamkan mata. Segar. Pilihan terbaik untuk menghilangkan dahaga dan kantuk. Aku jadi penasaran dengan isi karyanya Tuan Fana. Aku mengeluarkan bukunya dari dalam tas. Menilik keseluruhan sampul sebelum mulai membacanya. Sebuah kumpulan cerpen. Secara sekilas, cerita yang disuguhkan kebanyakan tentang kematian.

Di tengah-tengah keasyikanku membuka halaman demi halaman, seorang pria paruh baya berambut gondrong penuh uban menyapaku. Aku tidak mengenal dia. Sambil mengangguk aku mempersilakan dia untuk duduk.

"Baca buku punya Fana?"

Mendengar pertanyaan itu aku langsung terbelalak. Lalu mengiyakan.

"Jarang-jarang ada yang mau membaca buku itu," sindir pria itu sambil tersenyum sinis.

"Jangan-jangan Tuan adalah..."

"Oh, bukan. Aku bukan dia. Dia juniorku di kampus."

Seperti sebuah takdir. Aku pun langsung terlarut dalam perbincangan dengan pria itu dan mengutarakan maksudku untuk mewawancarai Tuan Fana. Mencurahkan kebingunganku karena di bionarasi tidak tertera kota tinggalnya. Dia bersimpati dan memberitahuku alamat tinggal dan nomor Tuan Fana sekarang.

"Ciamis?"

"Ya, Ciamis. Dia memutuskan untuk tinggal di sana karena biaya hidup yang murah. Saya sudah mewanti-wanti untuk tidak terlalu idealis. Tapi... Ya sudahlah," dengsus pria itu, matanya seperti menunjukan keprihatinan yang mendalam, "oh satu lagi, jangan mengusik hal yang 'sensitif' kepadanya!"

*

Hari ini adalah hari perjanjiaku dengan Tuan Fana. Panggilan dan pesan teks ku sempat diacuhkan. Aku menjelaskan dan memohon untuk bisa mewawancarainya secara langsung. Sehingga baru sekarang dan harus sekarang aku bertemu dengannya. 

"Ya, bisa. Hari sabtu ini. Saya tidak punya waktu lagi," ucapnya lewat panggilan telepon.

Aku naik mobil elf saat pagi masih buta. Mobil itu melaju sangat kencang di jalan Nagreg yang berkelok-kelok. Astaga! Kepalaku pusing. Masuk angin.

Tuan Fana memberitahu secara rinci untuk menempuh rumahnya.

"Masih harus ke utara dari alun-alun. Nanti turun sebelum Kawali. Hanya bias naik ojek. Bilang saja mau ke desa..."

"Kalau sudah sampai, nanti tanya saja ke warga rumah saya yang mana."

Perjalanan menghabiskan waktu empat jam. Untung tidak macet. Aku di arahkan oleh warga ke rumah beratap reyot di atas bukit. Aku masih limbung. Kaki ku gemetar saat menaiki tangga yang curam.

Rumah Tuan Fana sungguh menyedihkan. Cat temboknya memudar. Pada bagian sisi terlihat bekas genting berjatuhan. Sepertinya, Tuan Fana baru membakar sampah. Tumpukan bungkus mie instan dan telur belum terlalap sempurna. Sekilas, rumah ini nampak tak berpenghuni. Terdengar suara rebab yang merintih lirih.

"Permisi... Tuan Fana!"

Suara rebab itu berhenti. Dia membuka pintu. Aku melihat tubuhnya begitu kurus dan tidak terawat.

"Mahasiswa yang mau wawancara?" tanya Tuan Fana. Ia menggaruk-garuk sebelah tangannya.  

"Iya,"

"Oh, ya mari-mari silakan masuk!" ajaknya sambil tersenyum. Aku membuka sepatu. Jujur. Aku merasa takut jika tiba-tiba atap itu rubuh.

"Ah, maaf, tidak ada kursi."

Di tengah ruangan sudah ada alas yang terbuat dari bekas bungkus kopi. Kami duduk saling berhadapan. Sepertinya Tuan Fana sudah menyiapkan dua gelas air minum. Gelas dan wadah air itu terbuat dari tembikar. Rebab yang sedari tadi ku dengar, teronggok di sudut ruangan, dekat tumpukan rak buku. 

Udara di rumah ini begitu sejuk. Tidak seperti Jakarta atau Bandung. Aku memperhatikan sekitar, tidak ada perabot rumah tangga lain. Hanya ada dua kamar dan ruangan tengah yang melompong. Untungnya masih ada rak buku dan meja dengan mesin tik sebagai penghias.

"Yaaaah, seperti inilah kondisi saya dan rumah saya," tutur Tuan Fana sambil menghela nafas panjang. Ia membuka pembicaraan. Aku hanya bisa tersenyum sambil meyakinkan hal ini bukan suatu permasalahan.

"Sebelumnya, Tuan, jika nanti saya mengajukan pertanyaan yang menyinggung, Tuan bisa tidak menjawabnya."

Aku mencoba untuk sesopan mungkin—teringat pesan dari pria paruh baya itu. Lalu, aku menyerahkan surat pengantar dari prodi. Ia menerima dan langsung membaca secara seksama.

"Oke, silakan jika mau mulai sekarang," tawarnya.

Tiba-tiba gawai milik Tuan Fana berdering. Aku melihat reaksinya begitu berlebihan. Ia seperti ketakutan. Mengecilkan bunyi gawai itu sampai hening. Kemudian melemparnya ke lantai. Aku terkejut melihatnya. Pikiranku menerka-nerka. Membayangkan reaksi Tuan Fana saat pertama kali ditelpon olehku.

"Ah, maaf, maaf. Sampai mana kita tadi?"

Gelagatnya begitu menampakkan kecemasan. Aku mencoba menenangkannya. Tuan Fana menggaruk-garuk wajahnya sampai menimbulkan bercak merah. Setelah ku perhatikan, ternyata banyak sekali luka bekas cakaran yang sudah mengering pada bagian tubuhnya yang terbuka. Bisa saja luka itu ada di sekujur badannya.

"Sebelumnya, mohon maaf , Tuan, apakah Tuan tinggal sendirian?"

"Oh, ya, ya, sendiri..."

"Setelah memutuskan untuk jadi penulis, bagaimana tanggapan keluarga Tuan?"

Terjadi keheningan sejenak. Aku merasa salah melontarkan pertanyaan. Menelan ludah. Tetapi sesaat kemudian ia menjawab, "baik-baik saja." 

"Bagaimana hubungan Tuan dengan tetangga sekitar?"

"Cukup baik."

Matanya melihat sekeliling. Aku tidak yakin dengan jawaban itu. 

"Tuan, aku mohon untuk menjawab sejujurnya," pintaku. Aku memperhatikan gerak-gerik Tuan Fana yang gelisah. Ia menggaruk tangan dan lehernya terus menerus. Aku mengentikan sejenak wawancara ini dan memberikan ruang untuk Tuan Fana.

Ia meminta diri untuk melanjutkan naskah yang ditulisnya. Tidak apa-apa, batinku. Justru menjadi kelebihan dalam penelitianku karena bisa melihat secara langsung proses kreatif seorang sastrawan yang masih terbilang muda ini. Terpaut sepuluh tahun lebih tua dariku. Dan sepuluh tahun lebih muda dari pria paruh baya di Perpustakaan Nasional itu.

Suara mesin tik menggema di ruang tengah yang kosong ini. Sesekali terhenti. Tuan Fana menggaruk dengan keras wajahnya lagi. Sekarang ia mengacak-ngacak rambutnya. Nafasnya memburu. Berteriak. Aku menghentikannya saat dia mencoba mencekik lehernya. Mengelus-elus punggungnya. Ku suguhkan air minum dan menyuruhnya mengatur nafas.

“Tidak apa-apa, Tuan. Tidak apa-apa.”

*

Kegiatan wawancara ini tidak berlanjut. Saat menjelang sore kami berdua duduk di teras. Tanpa sepatah kata pun. Aku meminta diri untuk membeli rokok di warung. Hanya ada kretek di sana. Aku membeli dua bungkus. Satu untuk Tuan Fana.

Dia masih duduk di teras saat aku kembali. Tatapannya sangat kosong. Ku tawarkan sebatang rokok dari bungkus yang sudah dibuka. Matahari masih terik. Angin musim kemarau berhembus. Menerpa daun mahoni sehingga mereka nampak menari. Begitu kencang membawa debu ke wajah kami. Kami kesusahan menyalakan rokok.

Batang korek api sudah habis sepuluh. Rokok baru bisa menyala di hitungan yang ke dua belas. Asap yang di hembuskan sembarang dengan cepat terbawa angin. Lalu menghilang. Beberapa kali aku mendengar Tuan Fana mengambil nafas yang panjang. Lalu menghempaskannya.

Perlahan matahari mulai turun. Di langit muncul lembayung. Ia masih tidak mau bicara. Aku memutuskan untuk berpamitan. Tiba-tiba Tuan Fana menahanku.

“Tunggu sebentar!” pintanya.

Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Mengambil naskah yang tadi. Menyerahkannya kepadaku. Aku memeriksa sekilas setiap lembarnya. Seperti tulisan yang belum selesai. Angin menerpa dengan ganas kertas yang ringan itu. Kami pun berpamitan.

*

Aku tidak merasa kecewa. Setelah membaca isi naskah itu, aku mengerti apa yang Tuan Fana rasakan. Secara tidak langsung, naskah itu menjadi acuan penelitian tugas akhirku. Sehingga aku bisa lulus tepat waktu. Tentunya dengan beberapa revisi. Terutama terkait teori. Aku perlu menambahkan teori Sigmund Freud tentang Thanatos.

Oh, ya. Aku juga memberitakan kondisi Tuan Fana kepada pria paruh baya itu. Dan juga, Aku memberi pesan berdasarkan naskah itu.

“Kita bisa melihat jelas kondisi Tuan Fana seperti apa, tetapi sebenarnya dia menutup dirinya. Seperti jaringan kulit yang berada di bawah kuku. Jernih tetapi terlindungi. Jadi, Tuan, siapa tahu Tuan Fana akan terbuka kepadamu. Teman sekaligus gurunya dalam kesusastraan. Sungguh, naskah itu bercerita tentang keputusasaannya juga kerinduannya akan sosok dirimu yang dulu. Seorang Idealis tulen.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Pukuc Kadit Odlas
Muhaimin El Lawi
Cerpen
99.99% Headshot
Veron Fang
Cerpen
Bronze
By Your Side
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Dia Bukan Dia
Samanta Radisti
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Buruk Cermin Muka Dibelah
hyu
Cerpen
Ibu dan Segala Kompleksitasnya
Siti Aminatus Solikah
Cerpen
Jas Hujan Biru
aksara_g.rain
Cerpen
Seorang Asing
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Bronze
Mandi Lumpur
spacekantor
Cerpen
Bronze
FIRASAT EMAK
Efi supiyah
Cerpen
Bronze
Hampa
Arkina Melantri
Cerpen
Bronze
Conversation with Me
hyu
Rekomendasi
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa