Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Tuan Kutukan dan Warisan Terakhir
1
Suka
11,806
Dibaca

Kalian pernah merasakan penyesalan yang teramat dalam? itu yang sekarang dirasakan Mula. Mula saat ini sedang duduk di depan sebuah minimarket swasta. Entah minimarket ada istilah swasta atau negeri, yang jelas ini adalah sebuah mini market kecil yang dimiliki oleh seorang yang bisa terbilang ‘Orang Kaya’ di daerah ini. Minimarket dengan beberapa buah meja kecil dan bangku untuk orang yang kebetulan ingin bersantai. Kata orang, si bapak pemilik ini sangat pelit bahkan dengan keluarganya sendiri tidak terlihat rukun. Mala yang pernah secara tidak sengaja bertemu dengan bapak si pemilik dan bertanya tentang minimarket ini. Katanya dia bangun ini untuk anaknya kelak, awalnya Mala sempat berfikir bahwa beliau orang tua yang baik, tapi ternyata,

“Saya mau buat kayak di drama–drama Korea atau Jepang gitu loh, Mba. Anak saya suka banget itu, biar dia kalo lagi susah mau ngeluh atau nangis–nangisan sambil teriak kayak orang kesurupan pas galau nggak di rumah. Pusing saya, kasian ikan peliharaan saya bisa depresi nanti. Stress itu katanya bisa nular loh, Mba. Mana dia kalau curhat ke ikan saya,” jelas si bapak itu Panjang lebar.

Kembali kepada Mala yang masih terduduk lemas di depan minimarket dengan atensi yang terfokus sempurnah pada meja didepannya. Dua buah ciki dengan ukuran kemasan yang kecil, satu wafer coklat yang berbentuk seperti pipa, kacang yang dibungkus dengan plastik tembus pandang sehingga berbentuk piramid, dan satu botol minuman isotonik. Tujuh ribu … Uang terakhir yang Mala punya dan ia gunkan untuk membeli semua jajanan ini. Mala suka jajan, semua orang cinta jajan.

“Tapi kenapa aku malah beli jajanan aneh semua. Minuman isotonik? Untuk apa juga malam-malam gini beli minuman isotonik,” keluh Mala kepada para jajanan. Pandangan Mala masih memandang minuman itu dengan tatapan yang kosong, bahkan aura kehidupan tidak terpancar dimatanya. Dia. Depresi. Berat. Kalau ada si bapak pemilik minimarket, pasti Mala akan diminta untuk menjauhi ikan peliharaannya. Walau Mala tidak kenal dengan ikan itu.

“Hidup kenapa selalu aneh, sih.”

“Kalau nggak aneh namanya bukan hidup.”

“tapi, kenapa hidup itu hidup.”

“Karena nggak mati. Soalnya kalau mati itu mati, mutlak.”

Bukan dengan siapa Mala berbicara, tapi dengan si isotonik menyebalkan di depannya itu. Ia mewakilkan si isotonik seolah botol minuman berenergi itu sedang menjawabnya. Mala menghela napas, memalingkan atensinya dari botol itu mendongak ke arah kabel listrik yang melintas di atas kepalanya dengan botol minuman yang masih di genggamnya.

“Kalau nggak mau diminum, mending buat saya aja mba,” ujar seorang pria dari arah belakang Mala. Ia duduk di pinggiran trotoar dekat bangku yang di duduki Mala. ‘Orang aneh’ itu kesan pertama Mala, masih banyak meja yang kosong -bahkan hanya dirinya yang mengambil tempat- tapi orang itu memilih duduk di pinggir trotoar dengan sebatang rokok di tangannya.

Pria itu menarik kursi yang berada di depan Mala dan duduk tanpa basa–basi permisi lebih dulu. Ia memandangi minuman yang masih di genggam Mala dengan tangannya itu,

“Buat saya aja, mba. Sayang loh itu kalo di jadiin bahan cuhat doang. Nanti khasiatnya ilang tertular energi negatif, ih.” Pria itu mengulurkan tangan untuk mengambil botol minuman yang di tahan oleh Mala dan saat akan menariknya Mala mengeratkan genggaman tangan pada benda wasiat dari uang tujuh ribu terakhirnya itu.

“Gini yah manusia asing, ini wasiat dari uang terakhir saya. Harus tetep saya minum, wasiat itu harus di jalanin kalau nggak bisa kena kutukan,” ujar Mala dengan nada yang lantang dan penuh keyakinan. Mata yang tidak bernyawa itu kini di dalamnya terdapat api yang bekobar menggebu-gebu.

“Loh, saya ini tuan dari para kutukan jajanan riangan. Harusnya kamu memberikan ini dengan suka rela ke saya. Kamu tau aturan tidak tercatat nomor tiga puluh setengah dari kutukan jajanan.” Pria itu menggebrak meja dengan kedua tangannya dan berdiri tegap meletakan tangan kanannya di depan dada kiri. “Kalau mereka yang di berikan wasiat itu tidak memberikan wasiatnya kepada si tuan kutukan, maka uang pemberi wasiat akan menghantuimu!” suaranya kini tidak kalah lantang dari Mala.

Mendengar pernyataan tentang peraturan wasiat dan kutukan, Mala menatap si pria asing dengat alis yang berkerut.

“Oke, ternyata bukan manusia asing biasa tapi alien.” Mala membuka tutup minuman isotonik itu, ia berdiri lalu menatap si pria alien dengan sengit dan meneguk minuman itu. “Lagian, kalau di hantui sama si tujuh ribu terakhir di hidup saya itu, saya mah mau. Di ikutin uang tujuh ribu kemana-mana, nanti kalau saya pake uangnya buat jajan uanganya juga bakalan balik lagi ngikutin saya, kan.” Mala kembali duduk dengan pandangan masih menatap pria itu sinis.

Mala membuka salah satu ciki yang dibelinya. Memakan satu demi satu isi dari ciki itu tanpa berniat menawarkan kepada si pria alien di depanya. Dengan atensi yang kini terfokus pada ciki di depannya itu, Mala sesekali mencuri pandangan pada pria di depanya ini. Ia kira cikinya akan menjadi incaran juga, tapi pria itu kini lebih tertarik untuk menghisap tembakau yang sudah terkikis api lebih dari setengah batang sembari memandang jalanan.

“Syukur tempatnya rame. Tapi Jadi malas buat beli kesana ketemu banyak orang gitu,” gumam si pria di depan Mala ini. Mala bingung, dan mengikuti arah pandang si pria itu. Bukan, bukan jalanan yang dilihatnya tapi tenda mamang pecel lele yang ada di seberang jalan mini market ini.

“Dih, cemen gitu doang takut.” Mala menatap dengan wajah yang mengejek seakan merendahkan pria di depannya itu.

“Siapa yang bilang takut? Saya ini kan tuan kutukan, yang saya takuti cuma udang goreng!” emosi pria itu, ia menghisap tembakau di tangannya dengan tarikan yang panjang, sampai

“UHUK! UHUK! UHUK!” Mala sedikit tertawa di buatnya, ia berdiri untuk membuang sampah dari ciki yang isinya hanya ada 12 buah. Bungkus masuk angin itu sudah jadi trend di kalangan ciki katanya.

“Sini!” Mala berdiri di samping pria itu sembari menyodorkan tangannya.

“Apa, nih? Mau malak saya si tuan kutukan. Kamu bisa kena karma-”

“Iya, iya. Tuan kutukan yang terhormat tapi takut sama orang banyak, sini biar saya yang beliin pecelnya. Tapi, saya udah nggak ada uang lagian saya nggak mau di sejarah hidup saya ada catatan mentraktir alien, nggak, makasih.” Mala kembali menyodorkan tangannya.

“Siapa yang takut sama orang -orang itu, mereka itu cuma makhluk pencaci, ngerendahin orang lain cuma buat naikin kepercayaan diri mereka, si paling bener padahal maksa benerin apa yang dia anggap bener aja.” Mala tersenyum di tengah ocehan pria itu karena tangan si tuan kutukan yang kini mengeluarkan beberapa lembar uang dan menghitungnya. “Pecel ayam. Jangan lele, males banyak duri. Gorengnya jangan kering gitu. Gak pakai nasi,” Mala hanya menjawab dengan mengacungkan jempol dan menyebrang ke tenda pecel.

Mala kembali dengan berlari–lari kecil dan kembali duduk di bangku yang ia tempati sebelumnya, kembali membuka ciki satunya lagi.

“Loh, kok udah balik? Ayam saya gimana kabarnya?” tanya atau lebih bisa dibilang protes si pria yang mengaku sebagai tuan kutukan itu.

“Kabarnya baik,” jawab Mala.

Si pria itu mengeluarkan batang tembakau baru dan membakarnya dengan tergesa. Ia berdiri dan kembali duduk di sisi trotoar. Bedanya dengan tadi, ia tidak duduk di belakang Mala lagi tapi di sisi sampingnya.

“Kutukan bisa ngambek, yah. Apanya yang tuan kutukan, malu kali tuh anak buah. Ayamnya ngantri, tapi udah saya pesan.” Menendang–nendang ringan si tuan hantu, mengisyaratkan agar pria itu kembali duduk di tempatnya.

“Rokoknya bisa nanti dulu, saya asma,” ujar Mala.

“Nggak bisa, pahit,” tolak tuan hantu mentah–mentah.

Mala melempar kacang piramid yang di belinya kedepan si tuan kutukan. Si yang sedang sibuk menghisap tembakau itu hanya memandang kacang berwarna coklat itu dengan bingung.

“Itu imbalan kalau mau matiin rokoknya, lebih enak kalau di ganti pakai yang asin – asin, kan.” Tuan kutukan menghela napas dan mematikan tembakaunya. Ia mengambil jajanan piramid itu dilempar dan tangkap di hadapan wajahnya terus berulang. Seperti tidak ada niatan untuk memakannya sama sekali.

“Makanan jangan di lempar–lempar, nanti pas di makan kita ketularan pusingnya,” kesal Mala yang memperhatikan tingkah pria aneh di depannya ini. Si tuan kutukan yang mendengar itu menghentikan kegiatan melemparnya dan mulai membuka si kacang piramit dan memakannya.

“UHUK! UHUK! UHUK!” Si tuan kutukan kembali terbatuk dengan ekspresi yang lebih dramatis dari sebelumnya, selesai dengan acara batuknya ia menggengam leher dengan kedua tangan dan menjulurkan lidahnya seakan ingin memuntahkan isi perutnya.

“Kalau emang nggak suka biasa aja, nggak usah se-akan saya racunin gitu.” Mala lagi-lagi kesal di buat pria aneh di depannya itu. Si tuan kutukan menyodorkan kacang yang baru saya di bukanya itu, mengisyaratkan agar Mala memakannya. Mala mengambil kacang itu masih dengan ekspresi yang kesal.

DUG!

Mala menjatuhkan kepalanya ke meja dengan keras. Manis, rasa kacang itu bahkan melebihi gula merah.

“Heee?!!! Jangan bunuh diri akibat di kecewain rasa kacang. Ngerusak headline berita!” Si tuan kutukan mengguncang–guncang kedua bahu Mala. “Ayo, kamu pasti bisa melawan kerasukan kacang ini. Lawan mba pecel, lawan!” Ampuh! Mala langsung mengangkat kepalanya menatap si tuan kutukan dengan tatapan tajam.

“Gawat dia kerasukan kacang!!” Si tuan kutukan yang ketakutan itu menaikan kedua kakiknya untuk di dekap dengan tangan kirinya dan jari–jari tangan kanan yang sibuk bergelut dengan giginya- dia gigiti-.

“Apaan tadi mba–mba pecel? Emang saya yang jual pecelnya apa?!” Kini meja itu menjadi sasaran dari gebrakan tangan Mala. Mala bejalan perlahan mendekati tuan kutukan. Dalam pandangan tuan kutukan tubuh Mala perlahan semakin besar, semakin mendekat Mala yang ada di pandangan pria itu adalah raksasa dengan api di menyala belakangnya.

“Mba, buntut lele! Pecelnya jadi, Mba!” teriak tukang pecel di sebrang sana sambil melambaikan tangan kearah dua orang itu.

“Buntut… lele?” bingung si tuan kutukan. Mala menatap taun kutukan dengan senyum terpahat di bibirnya.

“Oh, itu. Saya pernah ribut sama abang pecel di situ soalnya pas saya pesen pecel lele, buntutnya nggak ada. Tapi tenang, saya menang di pertarungan itu.” Mala berlari menghampiri tukang pecel dengan si tuan kutukan yang dari belakang menatap dengan raut ketakutan terpapar di wajahnya.

“Nih, pecel nggak keringnya.” Mala menyodorkan sebungkus plastik berisi pecel dan juga kembaliannya ke si pria aneh yang hanya menatap plastik itu. “Apa enaknya coba pecel tapi nggak di goreng kering.” Karena tak kunjung di ambil juga ia meletakannya di meja.

“Yaudah, saya pulang dulu deh. Sudah malam juga, nanti saya beneran ketempelan kutukan malah,” pamit Mala ke si pria aneh itu.

“Sebentar,” ujar si pria itu. “Saya mau kenalan, tapi gimana caranya?” tanya si pria itu.

Mala menatap pria itu dan terdiam, ia berpikir sejenak. “Gini,” Mala menatap si tuan kutukan dengan senyum lebar “dari yang saya baca di aplikasi yang suka bikin orang viral itu, tuh. Katanya kalau baru pertama kali ketemu jangan tanya umur, jangan tanya alamat, jangan tanya kepercayaan, sama jangan tanya nama,” jelas Mala.

Si tuan kutukan menatap Mala dengan malas. “Kenalan sama gagang pintu minimarket aja deh saya,” rajuk pria itu.

“Yaudah, gini deh,” Mala mengambil uang kembalian pecel lele yang masih tergeletak di meja. “Ini saya ambil, giamana?” tanya Mala.

“Ini bayaran buat info?” tanya tuan kutukan yang mendapat pukulan ringan di kening.

“Ini deposit.” Si tuan kutukan semakin kebingungan dengan apa yang di katakan Mala.

“Saya setiap pulang kerja lewat sini, kalau lagi nggak kerja juga kadang kesini. Kecuali lewat dari jam 8 saya nggak ke sini berarti saya lagi mager tingkat sultan. Ibarat tuh, pesen makanan depan rumah aja pake ojol saking magernya.” Tuan kutukan memiringkan kepala dengan wajah bingungnya.

“Pecelnya emang selalu rame, jadi tunggu sini aja nanti saya yang beliin lagi pake si deposit,” jelas Mala sambil melambai-lambaikan uang kembalian itu di depan wajah tuan kutukan. “Yaudah, saya pulang duluan tuan kutukan. Itu warisan wafer coklatnya dimakan aja, saya nggak suka makanan manis,” Mala meninggalkan si tuan kutukan sembari melambaikan tangannya.

Tuan kutukan menunduk, menatap kantong plastik berisi pecel ayam milikinya. “Tapi itu uang cuma cukup beli pecel ayam sekali aja. Apa bisa tambah uang deposit kan, ya?” tuan kutukan termenung memandang bungkus pecel ayamnya.

“Pulang sekarang, deh. Sampai rumah nanti minta saran ke si Reo deposit bisa di tambah apa nggak?” tuan kutukan segera menyambar bungkus pecelnya dan bergegas pulang ke rumah. “Semoga ayah nggak nyembunyiin akuarium si Reo lagi kali ini.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
TRIANGLE FROM THREE ANGLES
Ceko Spy
Novel
Yang Datang Kembali...
Amalia Suci Cahyani
Novel
Dreamelody
Nurul Fadilah
Novel
Chan and Lin
Oyenoyenmpus
Cerpen
Tuan Kutukan dan Warisan Terakhir
godok
Flash
JIKA RUMAH BISA NGOMONG....
Shabrina Farha Nisa
Flash
Bronze
BULAN
NUR FARKAN
Flash
Bronze
Bangku Taman yang Sama
Risti Windri Pabendan
Novel
SANDIWARA CINTA
Embart nugroho
Skrip Film
PRIVATE EDITOR
Esti Farida
Cerpen
Siapa Pacar Andre?
Sulistiyo Suparno
Novel
Peter & Natasha
Steffy Hans
Novel
Bronze
Couple goals?
catatanv
Novel
HO'OPNOPONO (I'M SORRY, FORGIVE ME, THANK YOU AND I LOVE YOU
chaidar asqolani achmad
Novel
Bronze
DI kejar Dosa Masa Lalu
Pricilia Zhany
Rekomendasi
Cerpen
Tuan Kutukan dan Warisan Terakhir
godok
Cerpen
Beras Orang Kaya
godok
Flash
Candala
godok
Cerpen
Figure Skating
godok
Cerpen
Yang Tetangkap
godok
Cerpen
Dua Sisi LainNya
godok
Flash
Nasi
godok
Cerpen
Kedai Suram
godok
Novel
Hunter for The Phantom
godok
Cerpen
Agnosia
godok
Novel
Gubuk Tengah Hutan
godok
Cerpen
Kemusnahan
godok