Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sial, sungguh sial. Semua pikiran burukku memuncak. Hari ini, hari yang membuat 8 hari kebelakangku tidak tenang. Kulewati semua dengan tidur kurang dari 3 jam, mata terbuka dan tubuh bergerak layaknya zombie. Malam tadi pun tak berbeda, semalaman mata tak mau terpejam, tubuhku tegang, tak bisa beristirahat. Jam 4 pagi, kelopak mataku mulai berat dan aku pun tertidur. Jam 3 pagi aku baru tertidur dan aku memiliki kereta yang berangkat jam setengah 5 yang harus kukejar. Kau tentu bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Aku ketiduran dan hampir saja telat. Tuhan, mengapa kau melakukan ini padaku?
Aku hanya bisa meluangkan waktu 10 menit di stasiun padahal biasanya minimal aku sampai di stasiun 30 menit sebelum keberangkatan kereta. Berangkat terlalu tepat waktu hanya membuatku semakin panik, entah ada barang yang ketinggalan atau kereta yang berangkat terlalu tepat, skenario terburuk seperti itu membanjiri kepalaku jika aku telat seperti ini. Dan skenario yang hanya hidup di kepalaku itu terwujud dalam kenyataan. Barang yang selalu kubawa tertinggal. Liontin dari ibuku. Aku menganggapnya sebagai jimatku. Aku tak pernah memakainya tapi aku selalu membawanya dalam tasku. Liontin itu berisi foto ibuku dan pria asing. Ibu berkata bahwa pria itu adalah cinta pertamanya. Orang pertama yang menanamkan arti cinta dalam kepala ibuku. Ibuku tak mengatakan dimana keberadaan pria itu, ibu hanya mengatakan jika ibu bisa hidup sekarang, berkat jasa dari pria itu. Aku tak bisa pulang kembali untuk mengambilnya, perlu 20 menit untuk bolak balik dari stasiun ke rumah. Jika saja hariku normal seperti biasanya. Tuhan, mengapa kau melakukan ini padaku?
Tak ada waktu untuk memikirkan jimat itu, mesin kereta sudah terdengar dari kejauhan. Penjaga stasiun sudah membukakan pagar, penumpang berhamburan mendekati rel, mengecek di gerbong mana dan kursi nomor berapa mereka akan duduk. Sesampainya kereta, penumpang masuk dengan berdesakan karena ada saja yang tak mau antri, takut jika kereta berjalan sebelum dirinya sempat masuk kereta. Aku takkan berbohong, aku salah satu orang itu. Masih mencari tempat duduk ketika kereta sudah berjalan bukan hal yang menyenangkan. Harus berjalan di gerbong yang sempit di kereta yang bergoyang, kemungkinan untuk jatuh tersungkur, mempermalukan diri. Tidak, tidak, tentu aku tidak mau itu terjadi, sedikit menjadi orang tidak beradab lebih baik daripada itu.
Gerbong 4 kursi nomor 31D. Kursi satu-satunya yang tersisa ketika aku memesan. Aku masih cukup beruntung untuk mendapatkan kursi. Aku sudah mengalami menaiki kereta tanpa kursi dan itu bagai neraka. Kebingungan mencari tempat, diusir sana sini, tak tahu harus duduk atau berdiri, kepanasan karena tak mendapat udara dingin dari AC. Sekarang, aku berharap jika gerbong yang kunaiki tak ada orang tua yang membawa bayi atau balita, tak ada orang yang menelpon atau menyetel video dengan suara keras layaknya berada di rumah sendiri, dan yang terpenting tak ada orang yang mengajakku berbicara. Salah satu harapanku terwujud, orang yang duduk berdekatanku adalah pekerja yang sudah tertidur pulas, telinga akan bahagia, aku juga tak perlu bersusah payah berpikir bagaimana menjawab pertanyaan jika ditanya-tanya. Tuhan, apa yang kau rencanakan?
Satu persatu harapanku terwujud, gerbong telah terisi penuh dan tak ada satupun penumpang yang membawa anak, berbicara atau menyalakan video dengan suara keras. Rasa-rasanya ini bahkan terlalu tenang jika dibayangkan bagaimana kereta yang biasanya kunaiki. Apakah penumpang gerbongku semua adalah pekerja kelelahan seperti orang yang terlelap di sampingku? Kesunyian ini membuat kelopak mataku menjadi berat dan semakin berat. Dalam hitungan menit, aku pun berlayar ke pulau mimpi. Aku memimpikan hidupku di dunia dimana aku tak menjadi diriku, aku menjadi seorang penakluk dunia, tidak terjebak dalam rantai hutang yang dikalungkan orang tuaku, kepalaku penuh dengan bunga, bukan duri. Mimpi itu sangatlah indah sampai sampai mampu menitikkan air mataku. Aku pun terbangun. Kereta berhenti, suasana masih sepi, aku melihat ada beberapa penumpang turun, tak ada penumpang yang berdiri di penghubung gerbong. Suara mesin kereta mendengung hingga sampai di telingaku. Instingku berkata ada yang aneh. Tuhan, apa yang kau rencanakan?
Aku adalah orang yang sangat penakut sekali. Aku selalu menuruti bagaimana insting dan kepalaku berbicara. Mereka memang menghindarkanku dari masalah, tapi mereka juga yang mengurungku dari dunia. Saat ini, instingku berkata cepat keluar dari kereta ini. Kepalaku juga berkata kau akan menyesal jika kau tak melakukannya. Badanku bergerak tanpa seizinku. Berjalan lambat agar tak membangunkan penumpang lain. Berjalan menuju pintu keluar kereta. Tanganku telah berada di gagang pintu kereta. Hanya tinggal membuka slot pintu saja dan aku bisa melangkah keluar dari kereta itu. Hati kecilku pun memecah perintah insting dan kepalaku. Dia berkata mengapa kau keluar dari kereta ini?
Kepalaku menunduk, tanganku masih memegang gagang pintu. Mengapa aku harus keluar dari kereta ini? Itu hanya suara mesin kereta yang mendekat, tidak ada hal aneh tentang itu. Sampai kapan aku akan dikendalikan ketakutanku? Sampai kapan aku hidup seperti ini? Sampai kapan aku harus terus hidup? Aku pun membalikkan badanku, berjalan kembali ke bangku yang sempat kutinggalkan. Satu pertanyaan kembali menguncang pikiranku. Jika memang insting dan kepalaku benar, apakah ini namanya bunuh diri? Tuhan melarang bunuh diri dan membunuh. Tapi apa sebelum batas bunuh diri dan membunuh. Orang bunuh diri karena masalah di keluarga, sekolah, atau tempat kerja. Aku melihatnya seperti mereka, entah orang tua yang menganiaya anaknya, siswa yang membully, atau atasan yang tidak manusiawi memojokkan orang itu hingga tempat tersisa untuk berpijak hanyalah selangkah maju menuju alam baka. Mereka memang tak membunuhnya, orang itulah yang mengambil langkah itu. Tapi apa itu berarti mereka tak bertanggung jawab akan itu? Apa mereka tak mengambil bagian dari kasus "bunuh diri" itu? Atau mungkin pantaskah itu dikatakan sebagai pembunuhan tidak langsung? Tentu, kita tak bisa bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan orang lain. Kita juga tak bisa mengetahui kata apa dan tindakan mana yang bisa memicu tangis dan derita orang lain. Mungkin apa yang kita maksud dan niatkan tidak tersampaikan atau disalah artikan orang lain. Aku memiliki kasus lain. Bagaimana dengan kecelakaan? Bukan sembarang kecelakaan, tabrakan karena kecepatan terlalu tinggi, mengantuk, atau mengemudi sambil menggunakan telepon. Itu semua dilakukan dengan sengaja, dengan sadar dan tahu bahwa sedikit saja kesalahan, nyawa lagi bayarannya. Mengapa itu disebut kecelakaan padahal jelas-jelas ada pengabaian terhadap keselamatan nyawa sendiri disana? Apakah bunuh diri hanya spesifik pada cara tertentu, entah mengantung diri, melompat dari gedung, atau memotong urat nadi? Ya, jadi dimana batas bunuh diri dan pembunuhan? Jika aku tetap di kereta dan ternyata insting dan kepalaku benar, apakah hatiku membunuhku atau aku bunuh diri? Ini hanya racauan tanpa arah. Entah itu hati, kepala, atau insting, itu semua adalah bagian dari diriku. Tidak penting mana yang benar dan salah, yang terpenting sekarang aku mencoba melangkah maju tuk menolak ketakutanku.
Ini pertama kalinya, benar benar pertama kalinya aku tidak mendengarkan apa yang kepalaku katakan. Badanku tegang, jantungku berdegup kencang, mataku tak bisa kembali terpejam, suara penumpang lain masuk ke telingaku seenaknya, aku tak bisa fokus menenangkan kepalaku yang masih menyuruhku segera keluar dari kereta. Bunyi lonceng kereta mengaung di udara. Cukup 3 kali bunyi itu untuk menenangkan otot dan syarafku. Mataku mulai memejam. Kesadaranku perlahan menghilang. Suara kereta itulah hal terakhir yang kudengar sebelum aku kembali tertidur. Tuhan, apakah aku akan menemuimu?
-----
Breaking news, hari ini pada pukul 06.45 pagi ini, terdapat tabrakan antara dua kereta di stasiun ****. Tabrakan ini diduga disebabkan kesalahan mesin pada kereta jurusan **** - *****. Berikut ini adalah video amatir detik detik terjadinya tabrakan kereta.