Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Trilogi Imaji: Sidai
0
Suka
10
Dibaca

"Pulang, Nak."

Tubuhku yang melayang diembus angin malam mengingat kembali perkataan Ibu yang masuk ke indra pendengaran melalui teknologi gawai, kala kuberi tahu tentang kegagalanku mendapatkan beasiswa setelah melakukan ribuan langkah untuk memenuhi syarat yang diberikan, tapi nyatanya aku gagal mendapatkan beasiswa itu.

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat untuk mencegah seluruh amarah, kesedihan, kekecewaanku tumpah ruah tak terkendalikan. Kepalaku penuh dengan deretan angka yang wajib orang tuaku tunaikan karena kegagalanku seorang. Aku berbisik pada diriku bahwa keluargaku tak akan mampu menyanggupi nominal itu, apalagi hanya untuk seorang seperti aku, apalagi ini sepenuhnya kesalahanku.

Pula kuingat keringat dan air mata yang aku tumpahkan ketika penat mengenyam semua pengetahuan baru hanya untuk diuji selama durasi kurang dari lima jam. Perjuanganku yang bagiku sama dengan tumpah darah di medan perang untuk menggapai kemerdekaan. Aku tidak mungkin membiarkan darahku tertumpah sia-sia karena kegagalanku dan ketidakmampuan orang tuaku. Tapi aku sadar betul, kegagalanku adalah tanggung jawabku sendiri.

Ingat pula cita-cita yang sempat versi lalu dari diri ini bisikan pada langit melalui bumi. Mungkin bukan yang pertama, namun kedua pun tidak terlalu buruk. Lagi pula keduanya adalah pilihanku. Aku tidak bisa menyerah pada semua darah, air mata, keringat, dan doa yang aku limpahkan untuk ini. Hanya untuk kegagalanku ini, aku tidak bisa mengabaikan semua pengorbananku selama ini.

"Maaf, Bu," balasku dengan suara parau akibat tenggorokan yang tiba-tiba terasa begitu kering. Tenggorokanku kering, tapi hatiku yang terasa kerontang; sakit. Balasanku tersebut adalah belati dua mata, itu menyakiti hatiku serta Ibu. Tapi di antara pilihan lainnya, aku tetap memiliki belati ini sebagai balasanku terhadap permohonan Ibu.

Dari balik sambungan telepon, aku mendengar hela napas walau samar. Aku menebak Ibu sengaja menjauhkan telepon dari mulutnya agar aku tidak dapat mendengar perasaannya. Wajah Ibu yang memaksakan senyum hanya untuk meyakinkan anaknya bahwa semua akan baik-baik saja, terbayang jelas dalam benak, membuatku menggigit bibir lebih kuat untuk menjaga bendungan air mata yang sudah sampai pelupuk mata.

"Belajar yang rajin, Nak," pesan ibuku sebelum menutup panggilan telepon.

Aku mengembuskan napas gusar, meremas keras-keras benda pipis di tangan kemudian aku melemparnya asal untuk meluapkan perasaan marahku terhadap diri sendiri. Aku mengacak rambut untuk mengusir kegusaran itu. Menjerit satu tarikan napas dalam satu detik hingga serangga yang bernyanyi menjadi sunyi.

Gemuruh petir dari ujung langit menggantikan bunyi serangga-serangga yang mungkin menjadi diam karena sudah mengetahui bahwa air langit akan segera turun sehingga diperlukan tempat berlindung. Napasku terengah-engah setelah meneriaki angin tadi. Kembali aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Perasaanku yang campur aduk belum juga mereda atau menemukan titik terang.

Kilat yang kejar-kejaran di balik awan sangat menarik untuk ditonton, mengalihkan fokusku dari emosi yang meluap-luap itu. Tetapi fokus harus terinterupsi ketika sebuah suara keluar dari benda pipih yang telah aku lempar sembarang tadi. Tanpa hasrat aku tetap melangkahkan kaki untuk mengambil benda itu yang berada seberapa meter dariku berkat lemparanku.

Aku menunduk untuk mengambil benda itu, layarnya menyala. Sebuah pesan yang mengatakan bahwa akan ada kegiatan serupa dengan perkaderan untuk para mahasiswa baru—makrab. Artinya, melibatkan semua teman-temanku. Kita—aku dan teman-teman— harus merekat kembali walau kini tengah dalam keadaan pecah belah.

Aku mengambil benda itu dan menarik napas seraya menegakkan tubuh. Aku memejamkan mata. Tak ingin menampik kenyataan bahwa selain penderitaan perjuanganku masuk perguruan tinggi pilihan kedua, secuil memori tentang kita juga turut berperan untuk menahan hati. Aku merasa semua perjuanganku sedikit banyak telah dibayar kembali dengan adanya memori tentang kita itu.

Udara malam semakin dingin karena hujan mulai mengguyur Bumi. Aku menghirup banyak-banyak udara dingin itu, hanya untuk membuat dadaku terasa lega karena dinginnya. Dengan suara gemercik air yang turun berjuta-juta, kepalaku yang semula ditutupi oleh kabut emosi menjadi lebih jernih. Sehingga aku mampu memantapkan diri, bahwa pilihanku untuk menetap tidak salah.

Perkuliahan berjalan lancar. Sejauh ini, kata sesal akan jurusan yang aku pilih tidak pernah terbesit dalam benakku. Mungkin itu juga salah satu alasanku untuk tetap menetap. Mendekati tanggal makrab. Kegiatan yang akan dilaksanakan tiga hari dua malam. Kami menyewa sebuah vila tiga lantai bersama kolam renang yang besar. Aku yakin kita akan bersenang-senang.

Seminggu sebelum makrab, aku memaksa agar kita kembali bersua. Untuk sekedar berdialog mengenai kegiatan makrab kita kelak. Rencana apa yang akan kita buat. Pakaian seperti apa yang akan kita kenakan. Permainan apa yang akan kita lakukan. Makanan apa yang akan kita nikmati. Ke mana saja kita akan menjelajah. Cerita apa saja yang akan tercipta di sana.

Dengan antusias yang aku miliki, aku mendesak agar kita segera berjumpa. Aku memaksa agar kita berkumpul. Bahkan aku terkesan seperti memohon dan mengemis dengan paksa yang pasti terlihat begitu sangat menyedihkan. Namun hanya ada beberapa kita di sana. Sepertinya desakan, paksaan, permohonan, permintaanku yang menyedihkan itu tidak layar mendapat bayaran yang aku harapkan.

Tidak apa-apa. Kita tetap bersua seperti yang aku harapkan. Harapanku terkabul, walau hanya setengah. Kita masih bisa membicarakan rencana tentang kita. Namun kita yang tanpa aku sibuk membicarakan hal random. Aku memang menyukai kita karena obrolan kita yang sukar ditebak. Hanya saja, kita perlu merencanakan kegiatan bersenang-senang kita. Tidak apa-apa. Kita yang penting kita bersua dan berdialog seperti yang aku harapkan. Tidak apa-apa.

Aku pulang dengan tangan hampa, hal-hal yang sempat aku bayangkan tidak aku peroleh. Tidak ada rencana yang kita bahas. Tidak ada bicara tentang pakaian seperti apa yang akan kita kenakan. Tidak ada rencana permainan apa yang akan kita lakukan. Tidak ada bincang tentang makanan apa yang akan kita nikmati. Tidak ada pembahasan ke mana saja kita akan menjelajah. Nampaknya tidak akan ada cerita yang akan tercipta di sana.

Tapi aku menyukai pertemuan kita yang baru saja. Rasanya seperti kita yang sebelumnya.

Waktu berlalu. Hari terus berganti. Makrab semakin dekat. Banyak kita yang membicarakannya, tapi tidak ada kita yang utuh berkumpul untuk membicarakannya, hanya pecahan kecil kita. Seharusnya kita adalah utuh. Haruskah aku memaksa, memohon, mengemis, meminta lagi untuk kita berkumpul? Aku sempat menimbang hal itu berkali-kali, sampai aku mendengar sesuatu.

"Kau ingat dia memaksa kita untuk berkumpul?"

Aku langsung bersembunyi di balik pintu, seperti seorang pengecut yang lari dan tidak memilki keberanian untuk menghadapi realitas karena di depan mataku, ada kita yang menggosip dan itu tentang aku. Umumnya orang akan marah ketika mendengar orang lain membicarakannya begitu, tapi sadar diri. Ada yang salah denganku. Pasti.

"Kenapa dia sangat memaksa untuk kita berkumpul? Aku 'kan tidak nyaman dengan beberapa orang."

Ia yang berucap adalah orang yang sama dengan orang yang ketika berkumpul tempo lalu tampak bahagia dan sangat lepas saat tertawa. Tidak terlihat bahwa ada seorang yang membuatnya tidak nyaman. Ia pun berbicara dengan semua kita yang ada kala itu. Sama sekali tidak terlihat ketidaknyamanan atau kebencian seperti yang sedang ditunjukkannya kini. Aku tidak mengerti. Tapi ini pasti salahku.

"Aku juga tidak menginginkan berkumpul kembali."

Ia yang berkata, beberapa hari lalu mengaku padaku bahwa ia rindu kita. Ketika ia berkata demikian, aku merasa itu adalah dorongan untukku untuk berani kembali mengajak kita berkumpul, berdialog, seperti sebelumnya. Karena itu aku tetap tegar dan berusaha berani meskipun harus menjadi seorang yang menyedihkan, karena aku tahu ada yang mengharapkan kita pula. Tapi setelah mendengar kata-kata tersebut berasal dari mulut yang sama? Mana yang kenyataan dalam hatinya? Mana yang harus aku percayai?

Kontradiksi itu terus menari di dalam kepalaku. Aku tidak ingin berkata bahwa kita yang berkontradiksi adalah munafik, walau itu kenyataannya, aku tidak ingin mengakui bahwa aku hidup di dalam kemunafikan kita yang tidak dapat diterka mana wajah pertamanya. Aku sungguh sangat mencintai kita. Aku bisa terus tutup mata terhadap keburukan kita ini, selama kita tidak hilang dari permukaan Bumi. Sebab, aku akan sendiri.

Mungkin kita berkontradiksi karena satu pihak, yaitu aku. Ya, pasti aku, pihak yang bersalah untuk ini. Pihak yang selalu mendambakan keutuhan. Pihak yang menutup mata terhadap retak yang begitu terlihat. Pihak yang tutup telinga terhadap suara dentangan keras karena pecah tidak dapat menjadi utuh seperti sedia kala. Aku adalah pihak yang bersalah.

Mungkin semua kontradiksi itu hanya itu memenuhi ekspektasiku terhadap kita. Mungkin aku telah kerap mendengar dan melihat kontradiksi di antara kita, hanya saja aku tak acuh dan memilih memenuhi imajinasiku. Mungkin aku terlalu terobsesi terhadap potret kita yang ada di dalam kepalaku tanpa melihat bentuk nyatanya. Mungkin aku yang terlalu frustrasi mencari hadiah dari segala penderitaan dan pengorbananku selama ini. Bukan mungkin lagi, tapi aku yang salah.

Aku adalah penyebab semua kontradiksi ini. Aku adalah penyebab kotornya pertemanan kita. Aku adalah orang yang menyebabkan noda di antara pecahan kita. Aku adalah penyebabnya. Aku adalah biangnya. Aku yang salah.

Makrab tiba, tiba-tiba.

Kita yang tanpa aku tampak bersenang-senang. Kita yang terpecah-pecah terlihat lebih bahagia, daripada kita yang aku paksa rekat hanya demi imaji. Kita yang tanpa aku, lebih terlihat bahagia, sempurna, menyenangkan. Kita yang tanpa aku tampak lebih tulus. Kita yang tanpa aku, kita yang tanpa kontradiktif.

Aku berlari ke kamarku di lantai tiga. Aku tahu aku yang bersalah di sini. Tapi rasanya menyesakkan melihat kita tanpa aku. Kita tanpa aku terlihat sempurna, berarti aku bukanlah kita. Sakit. Ini begitu menyakitkan. Air mataku berurai yang menjadi jejakku selain telapak kaki. Tiba di kamar aku menjerit histeris. Pikiranku kacau. Sibuk menyalahkan diriku sendiri atas kemunafikan di antara kita. Pula marah karena imajiku tidak terwujud berkat usahaku sendiri.

Emosiku meluap-luap. Menangis meraung-raung untuk meringankan sesak di dada. Mengacak-acak kamar adalah ekspresiku selain menangis untuk menumpahkan semua perasaan kacau-balau yang aku rasakan sekarang. Seprei, selimut, handuk, pakaian, semuanya berserak di lantai. Kamar semula rapi, kini menjadi kapal pecah.

Napas yang tersengal-sengal dengan wajah dan rambut sudah berantakan. Aku menarik napas dalam-dalam untuk mencoba menenangkan diri, aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah sumber kenestapaan dari hidup aku yang sekarang. Kita yang tanpa aku adalah bukti nyatanya. Aku harus menerima kenyataan itu. Dengan penampilan yang sudah berantakan, aku menghapus jejak air mata yang belum berhenti, aku menarik napas lagi agar aku dapat memikirkan jalan keluar dengan pikiran yang lebih jernih.

Aku termenung dengan tatap mata kosong dengan air senantiasa mengalir menunjukkan duka dalam diri ini, sementara tanganku bergerak konstan tanpa aku sadari. Tanganku terus bergerak tanpa aku sadari, mengerjakan sesuatu yang tidak diketahui untuk apa gunanya. Tapi ini caraku menata pikiran untuk menemukan jalan keluar yang tepat untuk kita, aku, dan keluargaku.

Bila ingat kembali, alasanku menetap hanya karena keegoisanku. Orang tuaku tidak menuntutku untuk meneruskan pendidikan, itu adalah cita-cita diriku yang lama. Bahkan kita tidak ada yang menahan diriku untuk tetap di sini ketika sebagian kita mengundurkan diri. Aku tertawa, ternyata ini alasan kenapa nestapa yang senantiasa hadir mengiringi langkahku. Aku adalah manusia yang egois. Manusia egois tidak berhak memiliki kebahagiaan, bahkan sekedar mendambakan kebahagiaan.

Aku memilih menetap karena egoku sendiri. Semua alasannya untuk diriku sendiri. Aku menetap tidak memberi untung untuk siapa-siapa. Malah banyak yang dirugikan olehku. Sebab itu adalah egoku yang tidak akan membawa suka cita pada siapa pun. Seorang sepertiku tidak berhak memiliki ego, tidak berhak memperjuangkan egoku. Seorang sepertiku tidak pernah memiliki hak untuk apa pun.

Air mataku kembali meleleh, sontak aku mengusapnya. Mataku melihat sekelilingku, hingga menunduk dan mendaratkan perhatian pada tanganku yang masih terus bergerak di luar kendaliku. Kemudian aku sadar apa yang sedari tadi tanganku perbuat; membuat simpul, menyambung kain dengan kain, sehingga menjadi satu simpul yang panjang.

Ah, ini jalan keluarnya.

Aku mengikat salah satu ujung kain ke kaki tempat tidur. Pula membuat simpul bulat di ujung yang lainnya, kemudian memasangnya pada diriku. Ini adalah jalan keluar yang aku pilih, yang pasti akan membuat semuanya lebih baik. Setelah aku menempuh jalan keluar ini, yang hadir pasti hanyalah kebahagiaan, baik untuk kita, aku, maupun keluargaku. Demi kebahagiaan.

Ketika persiapan yang disiapkan secara mendadak itu siap. Bukan kalung, tapi leherku dihias indah oleh kain panjang yang telah aku buat simpul yang begitu kokoh. Aku membuka pintu dan melangkah ke koridor dengan cantiknya.

Inilah keadaanku sekarang menyidai diri, bergelantungan diembus angin malam.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bui Ibu
Gusty Ayu Puspagathy
Cerpen
Trilogi Imaji: Sidai
aicxyx
Novel
Gold
Tujuh Puisi Cinta Sebelum Perpisahan
Mizan Publishing
Novel
Penata Hati
Fani Fujisaki
Skrip Film
Rentang Kisah Paling Dalam
Embart nugroho
Skrip Film
abc
John Doe
Skrip Film
ANTAGONIS TOUCH (SCRIPT)
Redfile
Flash
TEGO
Martha Z. ElKutuby
Novel
Seperti awan,hujan dan ombak
athifsyaa
Novel
Kembali Pulih
Siti Halimah
Novel
Bintang & Bulan
Agung Gumara
Novel
Manusia Daur Ulang
Raz Aka Yagit
Skrip Film
Bahagia Untuk April
Yennie Soekanta
Skrip Film
EGO YANG BERSUARA
Masella Dwi Lestari
Skrip Film
GUS
diannafi
Rekomendasi
Cerpen
Trilogi Imaji: Sidai
aicxyx
Novel
SOJU
aicxyx
Cerpen
Trilogi Imaji: Lena
aicxyx
Novel
School : Begin
aicxyx