Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku ingat sore itu menjadi hari yang tidak aku tunggu-tunggu. Padahal itu adalah hari penentuan dari hasil jerih payahku selama setahun belakangan ini. Hal yang aku dambakan selama empat tahun. Tapi aku tidak menantikan hari penentuan itu.
Sejak memasuki jenjang sekolah menengah atas, aku langsung bertekad untuk meneruskan pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Oleh sebab itu, aku rela mempelajari pelajaran yang tidak aku tekuni selama masa putih abu-abu karena aku memilih sekolah kejuruan.
Dalam waktu satu tahun, aku bergelut dengan pengetahuan-pengetahuan yang seharusnya dapat dipelajari selama tiga tahun. Rasanya berat dan enggan. Tapi aku lakukan hanya untuk memenuhi keinginanku dari tiga tahun silam.
Aku rela menahan kantuk saat membaca buku. Aku rela menahan diri dari hasrat membaca kontroversi antara artis-artis viral sesaat. Aku rela menolak ajakan nongkrong dari teman-teman. Bahkan aku rela mengabaikan notifikasi dari artis Korea Selatan favoritku.
Semua hal tak menyenangkan itu aku lakukan hanya untuk memenuhi ambisiku. Ambisi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Walaupun aku dihadapkan dengan hambatan berupa sulitnya biaya untuk itu. Aku tetap mengusahakan hal itu. Aku tidak membeli buku tebal untuk belajar seperti anak-anak lain yang berambisi masuk perguruan tinggi ternama. Aku juga tidak mengikuti les online via aplikasi. Bahkan aku tidak bisa mendaftar try out karena berbayar.
Akan tetapi, kepastian bahwa semua usahaku sia-sia atau tidak, aku sama sekali tidak antusias, apalagi sampai menantikan hal itu. Iya, aku hilang hasrat ketika pengumuman kelulusanku diumumkan.
Dengan alasan 'menguatkan mental' aku berdalih pada teman saat ditanya perihal kelulusanku. Sementara temanku sudah menangis karena ambisinya tidak tercapai, aku menangkan dirinya.
Kala itu berpikir, jika pengumuman ini berarti usahaku tak bernilai, akan kah aku bersedih seperti dirinya? Karena aku telah merasa kosong. Layaknya sepasang kekasih yang telah lama mengejar impiannya—langgeng— tapi di tengah jalan rasa di antara mereka telah hilang yang jika diteruskan hanya akan terasa hambar, karena sudah tiada lagi rasa.
Kemudian aku terdesak. Bukan hanya satu atau dua teman yang bertanya, melain seolah seluruh dunia ikut menanyakan pengumuman tersebut.
Pengumuman itu aku buka. Aku mengetik nomor pendaftaran dan kata sandi untuk mengakses portal yang memuat hasil pengumuman itu. Ternyata lama tersebut sulit diakses karena pula orang yang mengakses dengan tujuan yang sama denganku.
Mengingat banyaknya sainganku di luar sana, aku semakin tidak menantikan pengumuman itu.
Aku tidak menantikan itu karena mataku melihat, telingaku mendengar, tubuhku merasakan bahwa keluargaku tidak lagi sanggup menahan pasak kebutuhan hidup sehari-hari. Pasak itu lebih besar daripada lubang.
Portal berhasil diakses. Hatiku bimbang ketika hendak mengarahkan jari untuk menyentuh layar gawai. Aku menarik nafas dalam-dalam. Meyakinkan diri bahwa harus aku lakukan. Dengan mata terpejam, jariku memberi sentuhan ringan pada layar. Lama aku memejam walaupun aku yakin halaman pengumuman pasti sudah berhasil dibuka.
Aku menarik napas sesaat dan mengembuskannya melalui mulut. Kemudian perlahan membuka mata. Dengan mata sayu, aku membaca pengumuman itu.
Lulus. Pada pilihan kedua.
Mungkin, doaku diijabah. Aku berdoa agar tidak lulus pada pilihan pertama yang membutuhkan biaya lebih besar. Tapi aku tidak berdoa agar lulus di pilihan kedua. Oleh sebab itu, persentase rasa senangku tidak mencapai 10% dari rasa senang ketika menceplok telur dengan kuning yang sempurna.
Pilihan pertama adalah idamanku. Sedangkan pilihan kedua adalah hasil bujuk rayu seorang teman.
Dengan perasaan yang masih mengambang, dunia berjalan cepat. Dalam waktu dua minggu aku telah merapikan barang-barang dan dua hari lagi aku berangkat ke pulau seberang. Ya, si Pilihan Kedua ada di pulau seberang.
Tiba-tiba saja aku sudah berada di tengah-tengah keasingan. Tinggal di tempat asing. Bahasa yang asing. Adat yang asing. Orang-orang asing. Bahkan indomie terasa asing. Aku tidak mau, tidak bisa beradaptasi dengan itu semua. Sebab hatiku masih mengambang.
Ini bukan yang aku harapkan. Tapi ini harapanku.
Dan mereka hadir. Alasanku menerima semua keasingan ini. Alasanku menapakan hati yang kelak akan berjalan gagah seolah tak pernah merasakan ragu sedikit pun.
Kita duduk di kursi kantin, memesan makanan, dan tertawa terbahak-bahak sampai semua pasang mata menatap meja kita yang telah berguncang akibat tawa kita yang jauh dari kata normal. Hal penting, hal serius, sampai hal yang sama sekali tidak layak dibahas di tempat terbuka seperti kantin, kita bicarakan keras-keras sampai menjadi perhatian telinga-telinga di sekeliling.
Hanya butuh waktu beberapa jam yang membuat kita semenyenangkan itu. Tidak satu pun dari kita yang menyangka bahwa perbedaan kita akan cepat menyatu dan saling menemukan kecocokan di antaranya.
Luar biasa membahagiakan rasanya, memiliki sesuatu yang membuatku nyaman di antara ketidaknyamanan atas keasingan ini. Bahkan aku mampu menyenangkan kehidupanku sebagai perantau paling jauh, aku menikmati sesuatu yang paling banyak dikeluhkan. Itu semua karena kita terasa menyenangkan.
Hari-hari aku jalankan sampai aku tidak sadar bahwa tiga bulan telah berlalu. Kita mulai terpecah. Yang telah membuat rekatan baru dari pecahan itu. Kita utuh namun tak lagi menyatu. Rasanya hampa. Aku pun enggan menyatu jika bulat kita tak lagi sempurna, hasilnya adalah sendirian.
Di tengah kesendirianku itu, beasiswa yang selama ini menggantung harapanku, memberi sinyal ingin memberi kepastian dari harapku itu. Hal itu membuatku merasa dejavu. Perasaan ini telah pernah aku rasakan. Bahkan mungkin kerapkali.
Seperti seorang yang mendambakan sesuatu tetapi tak mengantongi kemampuan memiliki itu, maka sebuah solusi mudah adalah mengikuti give away. Ketika itu ia sangat yakin akan mendapatkannya karena semua persyaratan telah dipenuhinya. Namun ada 10 ribu orang lainnya sepertinya. Hal itu membuatnya menaruh harap, namun tak berharap. Karena kesempatannya bahkan tidak datang satu kali.
Itu yang aku rasakan.
Aku yakin akan mendapatkan beasiswa itu, namun keadaan di tempat asalku dengan di sini sangat berbeda. Hanya saja, aku disamaratakan dengan teman-teman yang tempat asalnya sama dengan tempat kampusku; alasannya adalah adil.
Nyatanya, jika didefinisikan, adil bukan memukul rata semuanya. Tapi kenyataan yang yang ada dihadapanku adalah pemukulan rata pada semua orang itu sendiri. Hasilnya, adil jauh dari mukaku.
Keputusannya final. Aku dinyatakan tidak layak menerima beasiswa itu. Hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah jumlah pembayaran yang harus aku, bukan, yang harus orang tuaku tunaikan. Pikirku berkata, aku tak mampu.
Keputusasaan melanda. Namun ada hal baik yang membuatku berpikir bahwa aku dapat bangkit dari semua ini. Adalah kita kembali berbicara. Kita kembali memesan makanan, bercerita, tertawa lagi. Hari itu sungguh membahagiakan.
Jumpa kita sampai larut malam, mengabaikan jam malam yang harus dipatuhi. Pertemuan kita membahas banyak hal. Tapi ada yang lain. Salah satu dari mereka ada yang pamit, hendak mencabut berkas untuk mengundurkan diri dari perguruan tinggi ini. Alasannya karena tidak sanggup menanggung biaya pendidikan.
Hari-hari berlanjut. Aku bergeming. Menyaksikan satu-persatu dari mereka yang pergi dengan alasan yang sama. Kegagalan mendapatkan beasiswa itu berdampak dahsyat pada kita.
Mereka yang menetap sibuk berkelahi. Pertikaian karena lawan jenis. Perdebatan karena ideologi. Perselisihan karena karakter.
Kita tak lagi retak. Kita telah pecah.
Tiga bulan bersama mereka sama sekali tidak berharga bagiku. Buktinya aku tidak menangisi perpecahan ini. Aku hanya melihat pecahnya bulat kita tanpa mencoba merekatkan kita kembali.
Akhirnya malam ini. Malam yang tenang bersama suara serangga-serangga dari hutan dekat tempatku tinggal di kota orang ini. Malam berembus angin sejuk yang mampu membuat tubuhku meremang. Aku menghubungi orang tuaku.
Kuhubungi orang tuaku untuk memberitahu kegagalanku mendapatkan beasiswa dan kewajiban yang harus mereka tanggung karena itu. Rasanya berat. Lebih berat dari salam perpisahan ketika aku pergi meninggalkan mereka.
Aku menjelaskan kemungkinan alasanku tidak layak mendapatkan beasiswa itu karena 'perlakuan adil'.
Orang tuaku tidak menghibur. Bukan karena berhati dingin. Tapi karena mereka tidak mampu berjanji. Begitu pula aku yang tidak mampu menenangkan hati orang tuaku.
Guntur bergemuruh. Serangga-serangga di hutan yang tadi bernyanyi, serentak menghentikan nyanyiannya. Malam itu jadi sunyi. Baik aku, orang tuaku, dan serangga-serangga itu tak mampu mengeluarkan suara.
Aku menggigit bibirku sendiri. Bertanya-tanya di mana letak kesalahan pada langkahku. Padahal semuanya sudah aku perkirakan dengan detail. Namun memang, sejak awal perkiraan itu telah gugur. Karena si Pilihan Kedua.
Aku mendengar ibuku menghela napas dari seberang sana. Aku pun turut melakukannya. Ini dia keputusannya, pikirku saat menatap kilat-kilat di balik awan pada langit malam yang gelap.
"Pulang, Nak," ucap ibuku singkat.
"Baik, Bu."
Aku menggigit bibir kuat-kuat kala hujan turun dengan suara petir bersahutan. Bersama dengan bulir darah mengalir dari ujung bibir, air mata pun tumpah dari pelupuk.
Ini salahnya.
Ambisiku hilang. Antusiasku sirna. Syukur kulupakan.