Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Lu pernah ke Merapi, Core?” tanya Helmy pada bocah lelaki teman adiknya itu ketika mereka sedang memasukkan logistik ke carrier.
“Pernah dulu… sekali, via Sapuangin,” jawab Corey santai. Padahal dalam hatinya dag-dig-dug sebab Helen lagi ada di kamar sebelah. Entah tidur atau sedang baca buku romansa SMA seperti yang Helmy bilang.
“Lu pernah ke Merbabu?” tanya Helmy lagi. Dilihatnya Corey mengangguk. “S3?”
Corey mengerutkan dahi sejenak. “Sindoro-Sumbing-Slamet?”
Helmy mengangguk. Dilipatnya sebuah jas hujan sebelum dimasukan ke carrier. Kemudian matanya kembali merhatiin Corey.
“Itu mah pernah,” ucap Corey. Dia ga banyak ngomong. Takut Helen tahu kalo sekarang dia lagi ada di kamar abangnya. Dipaksa nginep soalnya udah kemalaman.
“Kalo Ciremai?”
“Udah.”
“Gede-Pangrango? Salak?”
“Sering”
“Rinjani? Rinjani?” tanya Helmy berharap jawabannya belum.
“Sekali doang. Pas lulus SMP.”
“Lo pasti belom ke Andong atau Papandayan, kan?” Helmy mulai greget.
“Pernah juga, sih….”
“Anjir….” Helmy menggigit pelan bibirnya. Kesal sebab bocah satu itu udah punya pengalaman hampir sama dengannya soal naik gunung.
“Gunung yang belom pernah tapi pengen banget lo ke sana, deh… ada?” tanya Helmy hampir putus asa. Padahal niatnya mau pamer kalo dia udah banyak naklukin gunung. Tapi ternyata Corey bukan bocah ingusan.
“Gue…” Corey mikir bentar, ”pengen ke Prau, sih, Bang.”
Helmy makin dongkol. Kayaknya emang ga salah kalo Helen tuh suka snewn sama nih bocah. Corey emang ga nyebelin tapi bikin frustrasi karena di luar ekpsektasi. “Lu belum ke Prau, Core? Serius???” tanya Helmy ga habis pikir. Dia kira Corey bakal jawab Gunung Binaiya atau Puncak Carstensz gitu.
Prau? Gunung yang ga seberapa tinggi itu? Yang selalu penuh sama pendaki pemula sebab effort minimal hasil maksimal. Kayaknya Corey langsung nyobain tingkat medium pas nyoba naik gunung. Ga ada kata pemula di lexiconnya.
“Serius, Bang. Gue pengen liat gunung berjejer. Pasti bagus banget,” gumam Corey.
Helmy melempar sebuah jaket pada Corey. “Lu pake itu aja entar.” Kemudian dibaringkannya tubuh di kasur sambil menatap langit-langit kamar. “Kok lu bisa ngelewatin Prau?”
“Soalnya tiap mau ke sana ada aja halangannya. Ga tau kenapa,” jawab Corey. Matanya keliatan udah spaneng.
“Yaudah… Nanti kita ke sana. Bertiga… sama Helen.” Helmy nyengir sambil mainin alis ngeledek Corey. Entah kenapa dia senang melihat bocah itu atau adeknya jadi salah tingkah kalo diledekin. Lucu aja gitu.
Corey cuma buang napas. “Dia ga bakal mau, Bang,” kata Corey getir. Matanya ngelirik dinding yang misahin kamar Helmy sama Helen sebentar.
“Jangan pesimis, dong!” seru Helmy. Agak kasihan juga dia melihat Corey yang dijutekin Helen.
Corey mengangkat bahu. Kemudian dia ikut tiduran di samping Helmy sambil nyoba ngusir Helen jauh-jauh dari pikirannya.
“Menurut lu Helen di sebelah lagi apa?” bisik Helmy pada Corey yang udah mau merem.
“Ga tahu, Bang!” jawab Corey. Tiba-tiba aja pikirannya jadi penuh dengan Helen lagi. Helen pasti tidur. Helen tahu ga kalo gue di sini? Gila… satu atap sama Helen! Muka Corey jadi kayak udang rebus.
“Mau gue bangunin dia, ga?”
“Bang!” Corey berguling ke tepi kasur sambil nutup rapat telinga pake kedua tangan. “Gue mau tidur.”
Helmy cekikikan terus ngelempar bantal ke tubuh Corey. Corey tidak bergerak jadi Helmy memutuskan untuk segera tidur juga karena ternyata udah jam dua dini hari. Helmy melototin punggung Corey bentar sebelum merem. Dalam hati ngerasa kalo nih bocah bisa diandalkan gantiin dia buat jagain Helen.
***
Dari kejauhan, Merapi merekah. Puncaknya terbelah menganga menciptakan jurang abu yang dalam dan labil, tempat aliran lahar. Tapi para pendaki tidak akan gentar hanya karena itu. Bahkan ketika jalur pendakian ditutup karena aktivitas vulkanik yang terjadi, selalu aja, ada yang naik ilegal.
Namun, Helmy dan Corey naik via Selo dengan legal. Mereka naik berdua aja. Duet ceritanya. Perjalanan naik lancar meski ketika sampai di Pasar Bubrah kabut sedikit naik.
Beruntungnya, di puncak cuaca cerah. Helmy naik ke sisa puncak garuda dan difotoin Corey. Corey ga ikut sebab sadar kalo itu daerah berbahaya. Dia masih belum dapat maaf dari Helen jadi ga bisa mati gitu aja hari ini.
Masih jam tujuh, jadi mereka menyempatkan diri untuk menyeduh kopi dan menikmati pemandangan gulungan ombak awan yang terhampar luas.
“S3, Core!!!” Helmy menunjuk dua gunung yang menjulang di kejauhan, serta satu gunung yang terlihat lebih tipis tapi sangat gagah.
Corey berdecak kagum. Dia mengabadikan momen itu dengan ponsel. “Keberuntungan gue setahun kepake, nih, kayaknya, Bang!” seru Corey.
Helmy nyengir lebar. Sambil ngabisin kopi dia terus menatap pemandangan di depan mata dengan takjub. Rasa lelah naik gunung 2930 mdpl itu sirna.
“Bang… boleh minta air panas, ga?” tanya seorang pendaki gondrong berkumis nyemperin Corey.
“Boleh, Bang. Ini pake aja!” Corey nyerahin termos kecilnya sama pendaki yang juga mau nyeduh kopi itu.
“Makasih, ya, Bang!” Si pendaki gondrong menepuk bahu Corey pelan dan mengangguk pada Helmy.
“Darimana, Bang?” tanya pendaki itu sambil duduk di samping Helmy.
“Dari Bekasi,” jawab Helmy. Mereka pun akhirnya ngobrol akrab sampai kopi habis.
“Bang… saya turun duluan, ya. Temen-temen udah pada mau turun,” kata si pendaki gondrong kemudian pamit kembali ke teman-temannya yang ternyata mereka dari Jakarta.
“Core… kita juga kayaknya harus cepet turun. Udah siang, nih!” seru Helmy.
Corey membereskan sampah dan barang lain. Kemudian dia ngikutin Helmy turun. Jalanan berdebu dan berpasir sehingga jejak mereka tertinggal. Tapi sesekali angin berembus menghapusnya perlahan.
“Core… Lu tahu apa tujuan naik gunung?” tanya Helmy tanpa nengok ke belakang.
“Pulang ke rumah dengan selamat,” jawab Corey berusaha nyusul Helmy yang berjalan cukup cepat.
“Gue demen, nih, sama lu!” ujar Helmy.
“Sorry, Bang. Gue demennya sama adek lu, bukan lu!” seru Corey sambil terkekeh.
Helmy berhenti mendadak. Corey telat ngerem dan menubruk Helmy. Untungnya, abang Helen itu cekatan sehingga mereka ga jatuh. “Ngaku akhirnya, ya?”
Corey cuma cengengesan tapi pipinya merah juga. Kayaknya ga guna terus ngelak dari Bang Hel.
“Kalau lu tugas lagi di sekolah, tolong jagain Helen, ya?” Helmy melirik Corey yang mengangguk. Terus dia berbalik dan kakinya kembali melangkah turun lagi. Sepatunya udah belepotan abu sama pasir. “Gue ga berhasil bujuk dia keluar Sintas. Apa udah takdir kali, ya, kalo Helen bakal ngadepin bahaya terus?”
“Kayaknya lu paranoid, Bang. Tapi tanpa lu suruh pun, gue bakal jagain Helen terus, kok. Selama gue sama dia, gue gak bakal biarin dia celaka,” ucap Corey yang ga lama heran sama dirinya sendiri yang bisa ngomong jujur.
“Gue bisa ngandelin lu, kan?” Beberapa detik tidak ada jawaban. Helmy menengok ke belakang. Corey lagi nunduk ngambil sesuatu di antara bebatuan. Kaki Helmy bergerak mendekati Corey. “Apaan, tuh?”
Corey menarik sehelai kain yang ternyata adalah buff. Kemudian dia melirik jejak di pasir. Nggak terlalu jelas, tapi kayak jejak sepatu. Herannya jejak itu menuju arah yang melenceng dari jalur pendakian. “Bang?” Corey mendongak dan mendapati Helmy tengah menatap jejak yang tersapu angin itu.
“Kita terus turun aja, Core. Kalo nanti ada yang ga beres kita balik,” ucap Helmy.
Corey diam-diam menandai jejak itu dengan beberapa batu yang dibentuk panah mengarah ke jejak kaki itu tertuju biar mudah ditemukan lagi.
Setelahnya mereka kembali turun. Pasar Bubrah udah rame banget sama pendaki yang istirahat dan mengemasi tenda mereka. “Kita pasang telinga baik-baik, Core. Siapa tahu ada temen mereka yang ilang,” bisik Helmy.
“Gue laper, Bang!” Corey mengelus perut. Dia masuk ke tenda buat nyari makanan. Ada dua potong roti dan dua bungkus mi instan. Tapi air mereka udah mau habis, jadi Corey ngambil roti. “Nih, Bang!”
“Bukannya masih ada mi?” tanya Helmy dengan dahi sedikit berkerut.
“Mi-nya ada. Airnya ga ada,” jawab Corey.
Helmy mengangguk ngerti. Merapi emang ga punya sumber mata air jadi harus pinter-pinter pake air di sini biar ga dehidrasi. Helmy membuka bungkus roti dan duduk samping Corey. “Buat minum aman?”
“Aman,” jawab Corey. Jempolnya terangkat.
Seorang pendaki yang tidak asing mendekati mereka pelan. “Bang! Pada mau mi, ga?” tanya Deri, pendaki gondrong yang sempet minta air panas di atas. “Tim saya bikin kebanyakan,” katanya.
Helmy dan Corey tatap-tatapan sedetik kemudian keduanya nyengir lebar. “Rejeki emang ga kemana, Core!” Helmy merangkul bahu Corey dan mengikuti si gondrong menuju tenda timnya.
***
Cuaca di atas merapi memang kadang ga bisa ditebak. Sebentar cerah, sebentar mendung. Kadang juga seperti saat ini. Badai dengan angin yang hebat. Untungnya Helmy dan Corey sudah selesai membereskan tenda ketika tiba-tiba kabut tebal turun disertai angin. Mereka bergegas turun agar segera sampai di batas vegetasi. Padang pasir terbuka bukanlah medan yang aman di cuaca seperti ini.
Para pendaki lain sudah turun dari tadi, termasuk tim Deri. Helmy dan Corey lambat karena habis makan mi mereka malah lanjut ngobrol soal gunung se-Jawa.
“Hati-hati, Core!” teriak Helmy. Ia memastikan kalo Corey ada di belakangnya.
Suhu semakin turun. Batas vegetasi masih jauh. Dan yang ditakutkan Helmy terjadi. Petir menggelegar di udara. Menyambar tanah berabu yang memenuhi atmosfer. “Core… kita tunggu badai berhenti aja!” teriak Helmy. Dengan jarak pandang terbatas ia mencari ceruk kecil untuk berlindung. Helmy melongok ke belakang sebentar. Corey ga ada!
“Sial!” maki Helmy. Dia melihat sekeliling. Cuma pasir dan abu terbang. Petir kembali menyambar. Helmy masuk ceruk, meletakkan carrier dan menginjaknya. kemudian ia jongkok dan berdoa semoga badai ini ga berlangsung lama. Dan semoga Corey ga kenapa-napa. Helmy yang ngajak tuh bocah dan Helmy juga yang bertanggungjawab atas keselamatannya.
Jantung Helmy hampir loncat ketika petir bercahaya dan guntur menggelegar hampir barengan. Deket banget. Batas hidup dan mati ternyata ga sejauh yang dibayangin. Dia berusaha untuk tetap bisa bernapas normal dan berpikir dingin.
Selama kurang lebih dua puluh menit jongkok menutup telinga, akhirnya badai mereda. Angin berhenti, kabut terangkat dan suhu udara perlahan naik.
Helmy melihat sekeliling. Cuma ada dia yang mencoba berdiri tegak. Dibersihkannya jaket dan celana dari abu.
“Corey?!” Helmy teriak sekencangnya. Telinganya berusaha menangkap suara-suara yang mungkin bisa ditangkap. Tapi hanya semilir angin dan gesekan pasir yang berbisik.
“Core!!!” Helmy teriak lagi. Dia berusaha mencari jejak yang Corey tinggalin tapi ga ada apa-apa. Helmy mendesah. Ditatapnya sabana pasir dengan lesu. Kalo sampe apa yang ditakutkannya terjadi, dia harus bilang apa sama adeknya?
Bilang kalo Corey bukan mati ditubruk babi terus jatuh ke jurang, tapi, hilang kesapu badai Merapi?
Helmy meninju udara. Harusnya tadi dia ikat tali di pinggang dan menghubungkannya dengan pinggang Corey. Atau harusnya tadi dia biarin Corey jalan duluan. Tidak. Harusnya tadi mereka langsung turun dari Pasar Bubrah.
Penyesalan tiba-tiba merasuki hatinya. Tapi bagaimana pun, Helmy yakin kalo Corey ga akan mati segampang ini. Bocah itu pasti tahu apa yang harus dilakukan saat kondisi berbahaya seperti tadi.
Setelah menimbang-nimbang, Helmy memutuskan untuk turun dan mencari bantuan. Dalam situasi seperti ini, waktu adalah kunci. Tapi baru lima langkah, Helmy mendengar siulan. Tiga kali.
“Core!” seru Helmy sembari mendekati asal suara. Berharap itu Corey.
Siulan itu kembali terdengar.
Dengan degup jantung yang abnormal, Helmy terus mencari arah siulan. Begitu yakin dengan arahnya, Helmy langsung buru-buru nyamperin.
“Core?!”
Corey lagi meringkuk di ceruk tapi badannya ketumpuk bebatuan yang untungnya ga menindihnya. Batu-batu itu bertumpuk mengurung Corey. Dia terjebak di antara bebatuan dan carrier yang dia injak.
Helmy mengembuskan napas lega. Paru-parunya penuh oksigen lagi. Pelan tapi pasti tangan Helmy menyingkirkan bebatuan satu per satu. Untung ga ada batu besar.
Begitu bisa keluar, Corey langsung rebahan di pasir dengan napas cepat. “Gila! Badan gue pegel banget, Bang!”
Helmy cuma duduk di sebelah Corey. Lega tapi capek juga ngangkat batu. “Tadinya gue mau langsung ke tim SAR buat nyari lu, Core.” Helmy ketawa pelan.
“Thanks, Bang!” Corey ikut tertawa. “Tadi itu badai terdahsyat dalam hidup gue.”
“Lu ada yang luka, ga?” Helmy mulai melihat Corey dari ujung kaki sampe rambut.
Corey bangkit dan berdiri, meregangkan tangan. “Gue cuma pegel aja nahan posisi meringkuk terus,” jawab Corey. “Turun, yuk, Bang! Gue ngeri ada badai lagi.”
Helmy mengangguk kemudian memakai tas-nya lagi di pundak. “Hati-hati, Core. Gue ga mau nanti Helen nangis liat lu celaka!”
Corey yang denger cuma senyum kecut. Apanya yang nangis? Orang Helen masih sakit hati.
Mereka kembali menapaki padang pasir yang tinggal sedikit lagi. Kali ini Corey jalan di depan. Di bawah sana hutan pinus mulai kelihatan. Batas vegetasi udah di depan mata.
“Core. Lu serius sayang sama adek gue?”
Corey menoleh ke belakang sebentar tapi terus lanjut jalan. Kayaknya Helmy ngajak ke Merapi emang buat bahas Helen doang. “Serius, Bang.”
“Tapi kenapa Helen jadi ngehindarin lu mulu?” tanya Helmy lagi. Batas vegetasi sudah terlewati. Rumput mulai menghiasi tanah dan satu dua pohon kecil tumbuh mencuat.
Corey menarik napas dan menahannya sebentar sebelum melepasnya pelan. “Ceritanya panjang, Bang. Tapi itu emang 100% salah gue.” Corey buka buff yang sedari tadi nutupin sebagian wajahnya. Tiba-tiba aja dia ngerasa sesak.
“Ceritain aja, lagi. Pos dua masih jauh ini,” kata Helmy yang udah siap mendengarkan apa aja yang terjadi sama adeknya di Gunung Salak.
Semakin rendah ketinggian, rumput semakin tinggi berganti semak. Kemudian pohon pinus mulai terlihat dan semakin rapat.
Corey duduk di batu besar, menunduk dalam. Semua cerita di Gunung Salak sudah selesai. Di sebelahnya Helmy melempar kerikil kuat-kuat ke arah tebing.
“Bajingan, lu, Core!” Helmy mengepalkan tangan kuat kemudian pelan-pelan melepasnya. Diliriknya Corey yang masih nunduk melihat rumput-rumput bekas terinjak.
Helmy menarik napas, menahannya sejenak dan melepasnya perlahan. Pantas saja Helen ga mau lihat Corey. Tapi Helmy cukup peka untuk tahu kenapa adeknya sakit hati banget.
Corey… bocah GBLK di sampingnya ini ternyata emang tipe yang ga tahu caranya mengungkapkan perasaan. Corey adem di dalam tapi di luarnya kayak neraka. Bikin orang tersiksa.
Tapi Helmy ingat pepatah atau ucapan bijak entah dari siapa yang berbunyi, kalau mau tahu sifat asli seseorang, ajak naik gunung.
Kalimat itu yang bikin dia ngajak Corey ke sini. Buat tahu sifat asli cowok yang udah bikin adeknya trauma bolak-balik RS pasca jatuh ke jurang.
Sepanjang jalan, Corey asik-asik aja meski beberapa kali Helmy memancing emosinya. Bocah itu santai dan kepalanya tetap dingin bahkan abis kena terpaan badai tadi.
Sekarang, malah Helmy yang dibikin emosi. Tapi Helmy ga bisa marah sama bocah itu. Sebab Corey jujur. Cuma emang kontrol emosinya aja minus banyak.
“Gue minta maaf, Bang,” ucap Corey setelah keheningan menguasai mereka.
Helmy terlanjur menyukai bocah itu. Jadi, dia memutuskan untuk membantunya. Ditatapnya Corey cukup lama.
“Kalo lo serius sama Helen, hal pertama yang harus lu lakuin adalah berusaha nahan mulut lu!” kata Helmy. “Lu marah sama Helen karena deket sama cowok lain, kan?”
Corey mengangkat wajah pelan. Dia udah siap kalo Helmy menyuruhnya untuk jauhin Helen.
“Perasaan lu tuh masih mentah, Core! Lu terlalu sibuk sama perasaan lu sendiri. Coba deh, lu perhatiin perasaan Helen juga. Terutama pas dia lagi sama lu. Dia nyaman ga sama lu? Dia perhatian ga sama lu?”
Helmy merogoh saku jaket, mengeluarkan sebatang coklat dan membaginya menjadi dua bagian yang sama.
“Nih!” Disodorkannya satu bagian pada Corey. Tapi bocah itu cuma bengong. Helmy meraih tangan Corey dan meletakkan coklat ke dalam genggamannya.
“Helen tuh emang harus dikasih fakta terang benderang. Dia ga bakal terang-terangan kalo belum dikasih lampu ijo.” Helmy mengunyah coklatnya pelan. Menikmati manis dan pahit khas coklat yang menenangkan. “Lu harus lebih agresif. Tunjukkin kalo lu itu suka sama dia. Kalo dia itu istimewa buat lu. Jangan kayak bocah yang tau-tau ngambek, tau-tau nyinyir tanpa ngasih tau alasan lu kayak gitu tuh apa. Ga semua orang bisa tahan sama orang kayak gitu, Core,” ucap Helmy panjang.
Corey menahan napas karena ternyata Helmy ga marah atau nyuruh jauhin Helen. Dipandanginya coklat di tangan. Kemudian dibuka bungkusnya dan dimasukkan ke mulut.
“Ini kesempatan lu yang terakhir, Core. Kalo lu ga berubah, gue ga bisa ngomong apa-apa lagi.” Helmy menepuk bahu Corey kemudian berdiri bersiap melanjutkan perjalanan turun.
“Bang…” Corey membuka mulut, ”Lu ga nyuruh gue jauhin Helen, kan?”
“Tadi gue ngomong kayak gitu ga?” Helmy balik nanya. Dia terus jalan tanpa noleh. Sementara Corey kayak kehabisan kata. Hutan itu sunyi, kecuali suara angin yang meniup jarum-jarum pinus. Helmy membiarkan Corey mencerna nasihatnya yang udah dia kasih clue.
“Hel!”
Dari bawah keliatan beberapa orang berseragam jingga terang sedang naik. Mereka membawa beberapa carrier yang Helmy tahu isinya peralatan penyelamatan. Salah satunya berteriak memanggil Helmy.
“Bang Jum!” seru Helmy girang. Dia langsung nyamperin bapak-bapak berkumis itu dan mengadukan kepalan tangan. “Ada apaan, Bang?” tanya Helmy melihat tim SAR itu memakai peralatan safety.
Corey pasang telinga baik-baik. Bukannya Bang Jum temen Bang Hel yang ga jadi naik Merapi gegara lagi sakit?
“Ada pendaki dari Jakarta hilang tadi subuh. Terakhir kontak di Pasar Bubrah,” jawab orang yang dipanggil Bang Jum itu. Dia adalah salah satu tim SAR yang biasanya siaga di Semeru. Entah kenapa sekarang malah ada di Merapi.
Helmy yang sadar kalo kening Corey berkerut jadi berbisik pada Jum, “Kok, lu di sini Bang?”
“Lah… lu juga ada di sini, Hel. Masa lu boleh di sini tapi gue nggak?” kata Jum yang cara ngomongnya betawi tulen itu.
“Eee, Bang Helmy, Bang Corey….” Itu adalah suara si Deri. Mukanya terlihat kusut dan lelah. “Lihat temen saya ga, Bang? Dari tadi kita tungguin turun ga ada juga. Kita kira dia udah turun duluan. Tapi ternyata ga ada di bawah. Dia pake tas Einer hitam, jaket kuning sama buff Dandandan.”
“Dandandan?” tanya Helmy sedikit mengernyit.
“Kayak gini, bukan, Bang Deri?” Corey ngeluarin buff yang dia temukan di sabana. Buff hitam bergambar gigi besar sepanjang rahang.
Deri langsung merebutnya dari Corey. Setelah memeriksa saksama dia ngomong, “Iya! Ini punya Okarun!” seru Deri. Rambut gondrongnya acak-acakan ketiup angin.
“Kamu menemukan itu dimana?” tanya Bang Jum pada Corey. Tatapan tim tertuju semua ke Corey.
“Di jalan pas turun dari puncak,” kata Corey.
“Hel… lu sama anak ini ikut kita, deh. Tunjukkin tempat nemu buff ini dimana,” kata Bang Jum pada Helmy yang masih mikir Dandandan itu apaan.
Helmy menatap Corey dan mengangguk. Corey juga balas ngangguk. “Carrier kita taruh di sini aja, Core.” Helmy mengambil tas kecil dan air.
“Bang Jum, kayaknya kita harus bawa sleeping bag buat jaga-jaga. Tadi sempet ada badai di atas,” ucap Helmy. Dia khawatir kalau si Okarun ini kena hipotermia.
Bang Jum mengangguk dan memerintahkan salah satu timnya bawa sleeping bag. “Lu abis kena hajar angin?” bisik Jum ke telinga Helmy.
“Iya… badai petir. Berdua aja ama tuh bocah!” jawab Helmy sambil menatap Corey yang lagi ngobrol sama Deri.
“Tuh anak kaga trauma?” tanya Jum.
“Lu liat aja sendiri, Bang!” sahut Helmy.
Jum tersenyum kecil sambil lirik Corey. Terus dia nge-brief timnya. Mereka naik setelah persiapan selesai.
Untungnya mereka sampai ke sabana pasir dengan cuaca cerah. Corey celingak-celinguk merhatiin ceruk, mencari ceruk mana yang tadi ia singgahi untuk menghindari badai. “Itu ceruk tadi yang gue pake berlindung,” ucapnya pada diri sendiri ketika telah menemukan ceruknya, “berarti gue nemu buff itu di….” Corey mengeluarkan kompas dan mengukur sudut.
“Harusnya sebelah situ, Bang!” seru Corey. Kakinya melangkah pelan. Pasca badai tadi batu-batu kecil ga keliatan lagi. Jadi dia gunain kakinya buat meraba batu yang mungkin terkubur abu.
“Lu yakin daerah sini?” tanya Helmy seraya mendekati Corey.
Corey ngangguk. Kakinya masih terbenam beberapa senti dalam abu vulkanik. Bau belerang tercium tipis. Semua tim menggunakan masker masing-masing. Corey menaikkan buff-nya yang masih menggantung di leher. Begitu juga Helmy.
“Ini dia, Bang!” teriak Corey. Dia jongkok, terus tangannya gali pasir dan abu. Batu-batu kecil yang disusun membentuk tanda panah terlihat.
“Wah, gila sih, lu, Core! Kok, kepikiran,” gumam Helmy kagum. Buru-buru Helmy memberitahu Bang Jum dan timnya.
Mereka bergerak menuju arah panah yang Corey buat. Bau belerang semakin pekat.
“Okarun!” teriak Deri tampak sekali gelisah. Suaranya bergetar kebawa angin.
“Namanya beneran Okarun, Bang?” tanya Corey pada Deri. Heran, sebab nama itu ia ketahui dari anime.
“Namanya Oka. Tapi sejak dia ngomongin Dandandan terus, kami panggil dia Okarun,” jelas Deri.
“Oh,” gumam Corey. Rasa penasarannya cukup terpuaskan. Corey tahu anime itu sebab viral beberapa waktu lalu. Tapi dia ga ngikutin, premisnya absurd.
“Di sini!” teriak salah satu tim SAR sambil melambaikan tangan di dekat batu cukup besar.
Semua orang langsung tertuju ke sana. Tim SAR sigap menangani Okarun yang hipotermia. Dia udah setengah telanjang. Bang Jum mengecek tanda vital kemudian menggelar sleeping bag yang sudah dialasi karpet plastik kecil. Dibantu timnya, Jum memasukkan tubuh Okarun ke dalam sleeping bag.
Untungnya Okarun masih sadar. Jadi seorang tim SAR memberinya teh manis hangat. Mereka menunggu kondisi Okarun stabil untuk evakuasi.
"Untung ada lu sama bocah itu, ya, Hel," kata Jum setelah melihat kondisi Okarun membaik.
"Iya, Bang. Gue ga nyangka bakal nemu kejadian gini." Helmy menarik napas lega.
Setelah kondisi terlihat stabil, tim SAR mengeevakuasi Okarun ke basecamp Barameru. Butuh waktu agak lama karena tim harus memilih jalur paling mudah dan minim guncaangan. Ga lama sampai di Barameru, ambulans datang dan mengangkut Okarun.
“Makasih, Bang Corey. Berkat abang, Okarun cepat ketemu,” ucap Deri sebelum menutup pintu ambulans. Mukanya capek tapi kelihatan lega banget karena temannya selamat.
Corey cuma ngangguk kecil. Wajahnya juga keliatan lega. Cuma perutnya bunyi dikit.
Helmy memperhatikan Corey dari kejauhan. Kayaknya Helen emang cocok kalo sama bocah itu. Helmy senyum kecil. Kakinya berlari menghampiri Corey. Dia mau mengatakan sesuatu tapi beberapa orang wartawan langsung menyerbu mereka dengan mikrofon dan lampu flash yang silau. Mau tidak mau, Helmy ikut menjawab beberapa pertanyaan dari mereka.
***