Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tragically Yours
0
Suka
843
Dibaca

Deru mobil Raka membahana menerobos keramaian jalan raya Jakarta, berebut jalur dengan berbagai jenis kendaraan bermotor lainnya. Raka sendiri sudah lebih kurang satu jam ini berputar-putar mengukur jalan dengan mobilnya. Setelah puas main game di rumah, lanjut ke mall buat nonton, makan dan dilanjut dengan shopping window lihat-lihat buku atau alat-alat music yang tidak ada rencana untuk dibelinya, sekarang dia bingung mesti kemana lagi. Yang jelas dia belum ingin pulang. Sekarang baru jam 2 siang, kalau pulang sekarang paling-paling dia hanya akan menemui bibik dan mamang yang lagi sibuk beres-beres rumah. Sementara papa mama, hmm… jangan harap deh, paling cepat Isya baru sampai rumah, itu pun kalau nggak pada lembur.

‘Hhh….!!’ untuk yang kesekian kalinya Raka menarik nafas panjang. Untuk yang kesekian kalinya juga ia menyesali nasibnya yang malang. Bayangkan, seorang anak cowok umur 17 tahun nggak punya kegiatan apa-apa untuk mengisi liburannya. ‘What a nightmare!’. Dan itulah yang tengah dialami Raka sekarang. Padahal biasanya ia tak pernah sepi aktivitas kalau sudah liburan. Mulai dari pergi kemping, ikut kelompok sispala hiking, tanding basket persahabatan, sampai latihan band bareng genk-nya yang walaupun belum pernah manggung, tapi lumayan untuk mengisi liburan. Tapi kali ini benar-benar berbeda. Nggak heran baru tiga hari liburan dia sudah merasa suntuk dan bosan dirumah. Diam-diam Raka merasa menyesal juga waktu tiga hari yang lalu dia nolak ajakan Bimo untuk kemping di villa bokapnya yang ada di Puncak (kemping koq di villa). Waktu itu Raka emang masih merasa letih habis jadi ketua panitia acara perpisahan anak kelas 12. Jadinya dia benar-benar malas mau melakukan apapun dan memutuskan untuk benar-benar liburan sambil istirahat dirumah.

 Awalnya dia memang merasa damai dan nyaman sekali istirahat dirumah tanpa gangguan kegiatan sedikitpun. Bagaimana tidak, rumahnya begitu tenang, papa dan mama seperti biasa sibuk sendiri dengan pekerjaannya masing-masing. Sedangkan dua orang adik ceweknya yang suka dia jahilin, sejak hari pertama liburan sudah langsung cabut kerumah nenek mereka di Jogja. Tapi ternyata kedamaian dan ketenangan itu hanya bertahan dua hari, sisanya ya itu tadi, bosan dan totally suntuk.

Makanya berhubung cuaca siang itu lumayan cerah, Raka lalu memutuskan untuk jalan-jalan sendirian dengan mobilnya. Dan setelah bosan putar-putar nggak jelas, akhirnya cowok itu pun memutuskan untuk memdatangi rumah Ivan yang memang paling dekat dari tempatnya sekarang. Walaupun agak-agak nggak yakin Ivan ada dirumah, Raka tetap ingin mencobanya. Dia pun berbelok arah memasuki komplek perumahan rumah Ivan. Dan seperti yang sudah diduganya, Ivan memang tidak ada dirumah. Bahkan kucingnya pun ikut liburan ke Solo.

Dengan membawa perasaan sirik terhadap kucing tersebut, Raka langsung tancap gas meninggalkan rumah temannya itu. Dengan perasaan sirik juga dipandanginya rumah-rumah komplek itu yang begitu tenang dan sepi. Sebagian besar penduduknya pasti juga sedang berholiday-ria. ‘Hhh.. kasihan deh gue!’ bathinnya dalam hati. Mungkin hanya dirinya seorang didunia ini yang begitu bete mengisi liburan. Ingin rasanya dia pergi keluar kota barang sehari dua. Tapi tentu saja nggak asyik kalau pergi sendirian. Raka lalu mulai berpikir mengingat-ngingat siapa kira-kira temannya yang bisa diajak jalan-jalan keluar kota. Atau mungkin dia bisa menyusul teman-temannya ke Puncak? Disaat sedang sibuk dengan pikirannya itulah, Raka dikejutkan dengan sesosok tubuh yang tiba-tiba melesat keluar dari pagar sebuah rumah besar.

 Raka kaget setengah mati. Secepat kilat ia lalu menginjak pedal rem kuat-kuat, sehingga mengakibatkan tubuhnya tercondong kedepan. Raka menarik nafas panjang sambil berusaha menenangkan dirinya. Matanya yang masih membelalak kaget menatap tajam kearah seorang cewek yang tengah berdiri terpaku tepat didepan mobilnya. Cewek itu tampak masih kaget. Tubuhnya gemetar, sementara kedua tangannya menutupi wajahnya. Setelah beberapa detik kemudian mampu menguasai dirinya, gadis itu pun menurunkan tangan yang menutupi wajahnya, hingga terlihatlah paras manisnya. Raka sendiri yang juga sudah mulai tenang, segera membuka pintu mobil hendak menghampiri gadis itu. Tapi sebelum ia benar-benar keluar dari mobil, gadis itu sudah mendahuluinya. Sesaat dia menoleh kearah rumahnya dan kemudian secepat kilat dia langsung masuk ke mobil Raka. Cowok itu kaget seraya terheran-heran, tanpa mengucap sepatah kata pun gadis itu tiba-tiba telah ada disampingnya. Dan belum sempat ia bertanya apa-apa, gadis itu langsung memberi komando.

“Hhh.. aku numpang ya... numpang mobilnya, ayo jalan!” pintanya terengah-engah sambil terus memandangi rumahnya. ‘Idih,asal banget sih nih cewek, emangnya gue supir taksi apa?’ protes Raka dalam hati. Tapi demi melihat ekspresi aneh bercampur ketakutan diwajah gadis itu, Raka yang merasa seperti di hipnotis, kontan menurut juga. Sembari menyimpan keingintahuannya, dia langsung tancap gas meninggalkan tempat itu.

 Sekitar lima menit pertama Raka masih diam. Walaupun sebenarnya penasaran sekali, tapi dia menunggu biar cewek itu sendiri yang cerita tentang maksud dan tujuannya membajak mobilnya. Namun sepertinya cewek itu tidak peduli kalau supirnya tengah penasaran berat. Dia tetap diam. Hanya memeluk erat ransel mungilnya sambil sesekali menyeka wajahnya yang masih tampak tegang. Bosan menunggu, akhirnya Raka menyerah. Dia lalu menghentikan mobil tepat dibawah rindangnya sebuah pohon besar dipinggir jalan.

 “Oke, sekarang ceritain ada apa, kamu mau ikut aku sampai mana?”, tanyanya to the point. Cewek itu menoleh kearah Raka, memamerkan wajahnya yang sekarang kelihatan memelas. Dia nggak langsung menjawab, tapi beberapa detik kemudian dia langsung terisak dan mulai bercerita.

“Maafkan aku.. aku terpaksa ikut kamu tadi.. hhk.. kalau nggak, pamanku pasti..," susah payah cewek itu bercerita disela isak tangisnya.

“Paman kamu kenapa? Pasti apa?” desak Raka tak sabar. Gadis itu semakin terisak.

“Pamanku.. hhk.. dia pasti.. dia pasti akan menyeretku masuk rumah itu lagi.. aku nggak mau!” jawabnya sambil geleng-geleng kepala. Raka semakin bingung, ada apa sih sebenarnya dengan gadis ini. Tapi demi mendengar isak tangisnya yang belum reda itu, ia pun tak tega untuk terlalu mendesak.

“Kenapa? Kenapa kamu nggak mau masuk kerumah itu lagi, emang itu rumah siapa?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut. Tapi biar kata sudah lembut, gadis itu masih belum tenang.

“Itu.. itu rumah pamanku, aku tinggal sama dia,” jawabnya masih terbata. Raka mengernyitkan dahi.

 “Terus, emang kenapa? kenapa kamu nggak mau masuk ke rumah itu lagi?” tanyanya kemudian. Pertanyaan Raka rupanya menggali isak tangis gadis itu lebih dalam.

“Aku.. aku nggak mau, aku takut diperkosa sama dia!!” dan tangisnya pun pecah. Raka tersentak cukup hebat. Diperkosa!? Gadis ini… oh Tuhan…! Seketika Raka jadi trenyuh. Kala dilihatnya tangis gadis itu, perasaannya jadi tak karuan. Kaget, bingung, sedih, terharu, nggak tahu mesti ngapain. Dengan perasaan gundah, dia pun memberanikan diri untuk memegang pundak gadis itu dan menarik tangannya dari wajahnya.

“Maaf.. maafin aku, aku nggak tahu kalau..,” katanya gugup. “Tenanglah, kamu udah jauh dari rumah itu, oke !” bujuknya kemudian.

Ternyata Raka tak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa detik kemudian, gadis itu akhirnya tenang juga. Buru-buru dia mengusap air mata dipipinya.

“Sorry aku nggak sengaja, aku emosi !” katanya masih terisak. Raka lalu melepaskan tangannya dari pundak gadis itu.

“Nggak apa-apa aku ngerti, kejadian kayak gitu memang mengerikan. Kamu berhak sedih,” hiburnya dengan suara yang kedengaran lembut. Walaupun belum tahu keseluruhan ceritanya, tapi Raka sudah merasa jatuh simpati pada gadis itu. Apa yang dialaminya memang menyedihkan sekaligus mengerikan, pantas mendapat simpati. Beberapa saat Raka terdiam. Dia tidak ingin mendesak gadis itu, sehingga dia hanya menunggu gadis itu sendiri yang bercerita padanya.

Setelah merasa agak tenang, gadis itu pun menyeka air matanya. Seperti menyadari bahwa Raka menunggu kata-katanya, ia pun mulai kembali bercerita tentang kisah hidupnya.

“Sebenarnya, bukan cuma kali ini saja pamanku itu mau ngejahatin aku, tapi sejak sebulan yang lalu dia sudah mulai menggangguku,” tuturnya mulai bercerita. “Tapi untungnya waktu itu aku selalu bisa menghindar. Aku juga tidak mau mempersoalkannya, karena aku nggak enak sama tanteku yang selama ini sudah baik banget sama aku!” sambungnya. Raka mendengarkan dengan seksama.

“Jadi sekarang sudah yang..,” tanyanya menggantung.

“Yang ketiga, ini udah yang ketiga kalinya!” jawabnya tegas. “Dan aku udah nggak tahan lagi. Mungkin aku masih bisa lolos saat ini, tapi sampai kapan aku bisa terus menghindar kalau setiap hari aku sering ditinggal berdua dengannya??” tambahnya menggebu-gebu. Raka mengernyitkan kedua alis matanya.

“Emang tante kamu kemana?” tanyanya lagi. Gadis itu mengatur nafasnya sembari berusaha menenangkan diri.

“Tante bekerja disebuah perusahaan swasta dan baru pulang menjelang maghrib. Sementara anak tunggal mereka yang baru berusia sepuluh tahun, lebih sering main sama anak tetangga. Sedangkan om-ku nggak punya pekerjaan tetap sehingga lebih sering berada dirumah. Jadi otomatis aku sering berdua aja sama om-ku dirumah,” ceritanya panjang lebar yang disambut anggukan kepala oleh Raka.

“Terus apa yang udah terjadi tadi sampai kamu bisa kabur dari rumah?” tanyanya lagi. Gadis itu menarik nafas panjang sambil matanya menerawang kedepan.

“Tadi aku sedang..,” dia berhenti sejenak sambil berpikir. “Aku sedang mencuci piring,” lanjutnya, “Tapi tiba-tiba om-ku datang dan dia langsung memeluk pinggangku dari belakang!” ceritanya lengkap dengan peragaan tangan segala.

“Terus?” desak Raka semakin was was.

“Terus.. ya aku kaget, lalu aku tampar dia, karena aku udah betul-betul muak melihat perlakuannya padaku. Tapi rupanya dia nggak terima ditampar begitu dan langsung menyerangku lebih ganas. Aku berusaha meronta sekuat tenaga. Dan begitu bisa lepas dari dia, aku langsung lari keluar rumah, dan ketemu sama kamu,” katanya menjelaskan. Sambil menelan ludah Raka mengangguk, kejadian selanjutnya sudah tidak perlu diceritakannya lagi.

Dalam beberapa saat Raka tercenung. Mencoba membayangkan apa yang sudah dialami gadis itu. Ditengah diamnya, Raka tiba-tiba dikagetkan oleh suara gadis itu.

“Aku mohon tolongin aku, aku betul-betul nggak mau kembali kesana lagi!” pintanya. Raka memandangnya sembari menarik napas panjang.

“Aku ngerti,” katanya menenangkan. “Tapi apa nggak sebaiknya kamu kembali kesana dan menyelesaikan masalah ini baik-baik. Mungkin kita bisa menunggu sampai tantemu pulang kerja?” usul cowok itu hati-hati. Dengan cepat gadis itu menggelengkan kepalanya.

“Nggak, jangan, tanteku jangan sampai tahu, aku nggak mau nyakitin perasaannya, apalagi sampai menghancurkan rumah tangganya. Biarlah cuma aku yang tahu masalah ini!” jawabnya seraya memohon agar Raka tak terus mendesaknya untuk pulang. ‘Alasan yang masuk akal !’ batin Raka.

“Terus, kamu mau kemana sekarang?” tanya Raka setelah berhasil meyakinkan gadis itu bahwa dia tidak akan mendesak lagi.

“Kalau kamu nggak keberatan, aku minta tolong diantar sampai ke terminal depan. Aku mau pulang kerumah orang tuaku di Semarang,” jawabnya berharap.

“Tapi gimana dengan tantemu, apa katanya nanti kalau kamu nggak pulang kerumah?” tanya Raka kemudian. Setelah agak terdiam sejenak, gadis itu pun menjawab,

“Aku akan telepon dia dari terminal nanti. Aku akan bilang kalau aku mau pulang ke Semarang karena ada hal yang mendesak. Yah.. kita lihat aja nanti, mudah-mudahan aku bisa meyakinkan tanteku,” jawabnya tampak tak yakin. Walau masih sedikit ragu, Raka akhirnya mengangguk setuju.

“Oke, aku antar kamu ke terminal,” jawabnya tersenyum. Cowok itu baru akan menyalakan mesin ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu,

”Oh ya, kita kan belum kenalan, namaku Raka,” katanya sambil mengulurkan tangan. Gadis itu tertawa kecil. Mengingat betapa dalam dan personalnya perbincangan mereka tadi, lupa memperkenalkan nama masing-masing memang terasa konyol. Sambil menerima uluran tangan Raka, dia lalu menyebutkan sebuah nama yang manis.

 “Aku Alina,” katanya lembut. Raka pun tersenyum. Tak berapa lama kemudian, mesin mobilnya pun menderu membawa mereka pergi dari situ.


***


Dalam perjalanan menuju terminal, mereka berdua lebih banyak diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan dalam kebisuan itu, Raka tiba-tiba merasa mendapat ide yang menurutnya sangat brilian. Dia mencoba menghubung-hubungkan apa yang sudah dialaminya seharian ini. Tuhan tahu apa yang dirasakannya dan apa yang diinginkannya. Dia merasa bosan dengan liburannya kali ini dan ingin sekali pergi keluar kota bersama seseorang. Tuhan sepertinya memang sengaja mengatur pertemuan mereka. Seketika itu juga Raka merasa yakin bahwa ia ingin dan harus mengantarkan Alina sampai ke Semarang. Apalagi gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang begitu mengerikan. Dan dalam keadaan rapuh seperti ini, alangkah lebih baik jika ia bersama seorang teman.

Setelah mempertimbangkan masak-masak tentang idenya tersebut, akhirnya Raka mengutarakannya pada Alina. Awalnya Raka merasa ragu, namun ternyata Alina adalah gadis yang terbuka dan sama sekali nggak berprangsangka buruk terhadapnya.

“Benar nih nggak ngerepotin kamu?” tanyanya meyakinkan Raka. Cowok itu menggeleng cepat.

“Nggak, sama sekali nggak. Malah bagus aku ada kegiatan ngisi liburan, sekalian aku mau ngunjungin adik nenekku yang ada di Semarang,” jawab Raka pasti. Alina terdiam sejenak, mengurai ragu, dan kemudian tersenyum.

“Oke deh kalau gitu, thanks ya” jawabnya mantap. Raka merasa lega, ia pun menghentikan mobilnya sejenak dipinggir jalan untuk menelepon Papa dan Mamanya.

Ditelepon, Raka menceritakan secara ringkas apa yang telah dialaminya kepada kedua orang tuanya itu. Bersyukur bahwa ia mempunyai orang tua yang tergolong santai. Mereka memang tidak ingin mengekang anaknya, apalagi anak cowoknya semata wayang itu. Mereka percaya Raka sudah dewasa dan dapat menjaga dirinya sendiri. Hingga akhirnya mereka pun mengijinkan Raka untuk pergi ke Semarang, dengan tentu saja disertai nasehat-nasehat khas orang tua yang dijanjikan Raka akan dipatuhinya. Begitu selesai menelepon, cowok itu langsung menyetir mobilnya kembali menuju jalan yang akan membawa mereka keluar dari kota Jakarta menuju Semarang.


***


Satu hal yang membuat Raka merasa semakin menikmati perjalanan ini adalah sikap Alina yang begitu hangat dan bersahabat, sehingga dalam waktu dekat mereka sudah menjadi akrab. Sikap Alina kali ini sangat jauh berbeda dari apa yang ditunjukkannya ketika pertama kali mereka bertemu tadi. Saat ini dia terlihat lebih ceria dan semakin banyak bercerita. Raka sendiri merasa senang bersyukur gadis ini bisa sedikit melupakan kejadian buruk yang baru saja menimpanya.

Alina kali ini banyak bercerita tentang diri dan kehidupannya. Bercerita tentang bagaimana dia bisa tinggal dengan om dan tantenya di Jakarta. Bercerita tentang kesulitan hidup orang tuanya di Semarang, sehingga dia harus rela dititipkan pada paman dan bibinya di Jakarta. Bahwa ayahnya hanya seorang buruh pabrik biasa dan ibunya yang hanya seorang tukang cuci.

“Begitu aku tamat SMP, aku sempat berniat untuk nggak melanjutkan ke SMU. Karena aku pikir, mereka pasti akan semakin sulit membiayai sekolahku. Sementara aku masih punya dua orang adik yang lebih membutuhkan biaya!” ceritanya waktu mereka mampir untuk makan siang yang agak tertunda disebuah rumah makan pinggir jalan.

Sambil terus menikmati hidangan, ia terus bercerita tentang ibunya yang tidak ingin jika dia putus sekolah.

“Kebetulan adik ibu yang tinggal di Jakarta juga merasa prihatin dengan keadaanku. Dan karena dia cuma punya satu anak, maka dia memintaku untuk ikut dengannya ke Jakarta, sambil melanjutkan sekolah disana!” ceritanya disela-sela dentingan lembut sendok garpunya.

Selanjutnya Alina mengisahkan bahwa selama tiga tahun tinggal bersama om dan tantenya, ia merasa kerasan karena mereka memperlakukannya dengan baik. Dia bahkan punya niat untuk terus tinggal dan mencari kerja di Jakarta setamat SMA. Namun ternyata memang untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Belum lagi dia tamat SMU, bahkan ketika dia tengah berkonsentrasi menghadapi ujian akhir, pamannya justru mulai mengganggunya dengan perbuatan yang nggak senonoh. Ia hanya bisa bertahan hidup dalam rasa was-was selama ini demi bisa menyelesaikan sekolahnya dan mendapatkan ijazah SMA.

Dengan apa yang sudah dialaminya, sangat wajar apabila gadis ini tidak ingin pulang kerumah tersebut. Walaupun dengan begitu dia untuk sementara harus mengubur segala keinginan mulianya untuk membantu orang tuanya. Tapi lebih dari itu, tindakannya memang sudah tepat. Karena lelaki bejat seperti pamannya itu bisa saja berbuat nekad pada suatu hari nanti. 


***


Karena memang perjalanan mereka tadi dimulai agak kesiangan, plus jalanan yang agak macet karena musim liburan, maka seperti sudah diduga, malam sudah mulai larut ketika mereka masih jauh dari perbatasan kota Semarang. Maka atas saran Alina dan kekhawatiran Raka juga berkendara pada malam hari, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti di Pekalongan. Di kota batik itu mereka menginap disalah satu penginapan murah disana, tentu saja mereka masing-masing menyewa satu kamar. Awalnya Alina bersikeras membayar sewa kedua kamar tersebut. Tapi demi mendengar ceritanya tadi siang, tentu saja Raka jadi nggak tega, dia pun ngotot untuk membayar sewanya nanti. Setelah berdebat sedikit, akhirnya Alina setuju Raka yang akan membayarkan ongkos sewanya.

Malam itu sebelum istirahat dikamar masing-masing, mereka memutuskan untuk mencari makan sambil berjalan-jalan santai menyusuri trotoar. Kota Pekalongan yang sebenarnya tampak seperti biasanya itu, entah kenapa malam itu terlihat begitu romantis bagi Raka. Yah maklumlah, untuk seorang cowok yang sudah cukup lama menjomblo seperti dirinya, berjalan berdua dengan seorang cewek cantik dibawah remang-remang cahaya bulan seperti ini, tentu mau tak mau menimbulkan chemistry yang berbeda. Terbawa oleh suasana, Raka pun seperti ingin menganggap bahwa gadis yang disebelahnya ini adalah kekasihnya. Terlebih lagi dirinya sudah mulai merasa kagum pada gadis ini, kagum akan ketegarannya menjalani hidup. Ditambah lagi dia juga goodlooking. Cocok!

Ingin sekali rasanya ia berjalan bergandengan atau bahkan sembari merangkul pundak gadis itu. Tapi tentu saja ia tak bisa senekat itu. Apa kata Alina jika tiba-tiba ia bersikap norak seperti demikian. Bisa-bisa ia bakal kena damprat atau bahkan mungkin bogem mentah. Jadi ya sebaiknya pikiran-pikiran sentimentil seperti itu dibuang saja jauh-jauh. Paling nggak sekarang, momen-momen seperti saat ini sudah cukup membuatnya senang.

“Ka, kayaknya warung sate itu boleh juga tuh!” kejut Alina ditengah perjalanan. Jarinya menunjuk kearah sebuah warung diseberang jalan. Mereka lalu memutar badan hendak menyebrang. Alina yang sudah keburu nafsu, segera menyeret langkahnya tanpa terlalu memperhatikan kiri kanan. Dan Raka tidak menyangka adegan klasik ala FTV yang sering ia cemooh itu benar-benar terjadi padanya. Sebuah sepeda motor yang tiba-tiba saja keluar dari mulut gang, seketika melintas didekat mereka. Raka yang tepat melihat kearah motor itu langsung menarik tangan Alina, mencegah tabrakan yang tak diinginkan tersebut. Alina yang awalnya belum menyadari bahaya yang mengancam, tersentak kaget ketika tangannya ditarik oleh Raka, apalagi ketika sejurus kemudian sebuah sepeda motor melintas hanya beberapa inci didepannya.

Refleks Alina membalikkan badannya, dan langsung terjatuh dipelukan Raka. Untuk beberapa saat gadis itu membiarkan Raka memeluknya sembari ia sendiri menenangkan diri. Sadar akan posisi mereka, Alina melepaskan pelukan Raka perlahan. Ucapan terimakasih mengalir lembut dari bibirnya. Raka sendiri hanya mampu menganggukkan kepala sambil mengusap tengkuk lehernya salah tingkah. Untuk beberapa saat suasana canggung menyergap mereka. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga akhirnya Alina mencoba mencairkan suasana. Ia pun mengajak Raka untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka. Dan ketika menyebrangi jalan, Alina sedikitpun tak memprotes ketika Raka menggenggam tangannya.

Sekembalinya ke hotel, Raka segera memasuki kamarnya dengan wajah sumringah. Dihempaskannya tubuhnya ke tempat tidur sembari terus menerawang mengingat-ingat kembali kejadian sepanjang siang hingga malam ini. Alhasil Raka pun tertidur sambil tersenyum.

Di kamar Alina pemandangan tak jauh berbeda tersaji. Gadis itu memandang langit kamarnya dengan pikiran resah. Tangannya tiba-tiba terangkat menyentuh kancing-kancing jaketnya.

’Hentikan!’     

’Lanjutkan..’

’Hentikan!’

’Lanjutkan..’

’Hentikan!’

Hentikan? Haruskah? Alina terus bertanya dalam hatinya. Namun kemudian wajah sedih sang ibu kala melihat reotnya rumah tua mereka di kampung, membuat Alina mengabaikan bisikan kancing terakhir. Lanjutkan! Ia harus lanjutkan. Toh bukan dia yang datang pada Raka. Tapi Raka yang tiba-tiba datang padanya. Mengantarkan diri untuk menjadi Knight in Shining Armor-nya. Tidak ada salahnya jika ia terus bertindak sebagai penyelamat, kan?

”Ini takdir!” yakin Alina dalam hati. Bahkan orang seperti dia pun pantas untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan. Soal bagaimana nanti.. bagaimana nanti!


***


Keesokan paginya Raka terbangun oleh sederet ketukan dipintu kamarnya. Refleks ia melirik jam tangannya, 06.30.

“Hh.. kenapa sih nih room service, pagi-pagi udah ganggu aja!” gerutunya sambil bangkit malas-malasan. Dan ternyata setelah pintu dibuka bukan tampang room service yang dilihatnya disana, melainkan wajah manis Alina.

“Hei, sorry ganggu. Aku cuma mau ngajakin kamu sarapan lebih pagi. Jadi kita bisa segera berangkat setelah itu,” kata Alina yang kelihatan sudah sangat rapi. Raka hanya bisa nyengir, gimana dia bisa marah pada gadis semanis Alina.

“Oke deh, kalau gitu aku mandi dulu!” jawab Raka sembari menyambar handuknya.

“Oke!” seru Alina mengacungkan jempolnya.

 

Selesai mandi buru-buru Raka berpakaian. Sambil mencatut diri dicermin, Raka masih sempat memperhatikan tayangan berita kriminal pagi yang ditayangkan di televisi. Dan betapa kagetnya ia ketika disalah satu berita terpampang jelas foto Alina. Raka bertambah kaget waktu mendengar berita yang nggak mengenakkan mengenai foto tersebut. Alina ternyata adalah seorang baby sitter yang telah berusia 21 tahun, dan saat ini tengah dalam pengejaran polisi karena telah membawa kabur uang dan perhiasan majikannya yang mencapai harga 50 juta-an rupiah kemarin.

“Dan bagi pemirsa yang saat ini mengetahui keberadaan Alina alias Nina, diminta agar segera melapor ke pos polisi terdekat!” kata pembaca berita itu mengakhiri beritanya.

Raka melongo. Ini benar-benar mengagetkannya. Alina.. gadis itu.. bagaimana mungkin..?!! Raka benar-benar tidak bisa mempercayainya. Tapi berita di TV itu benar-benar nyata. Gadis yang difoto itu memang Alina, dan rumah majikan yang ditayangkan itu sama persis dengan rumah tempat dia pertama kali bertemu dengan gadis itu. Dan saat ini dia hanya ingin menemui Alina dan meminta penjelasan darinya. Dengan cepat Raka bangkit dan segera menyambar dompetnya. Namun tiba-tiba Raka merasa aneh dengan posisi dompetnya yang terkuak lebar. Dengan perasaan yang mulai tak enak, diperiksanya dompet tersebut. Dan ternyata kekhawatirannya terbukti, tak ada selembar uang pun disana. Semuanya hilang, yang tersisa hanyalah KTP dan kartu ATM.

“Oh God!” tanpa sadar Raka terduduk disudut ranjang. Seketika ia mulai panik, lebih panik lagi ketika dia memperhatikan meja kecil di dekat tempat tidurnya dan mendapati bahwa kunci mobil dan HP-nya sudah tak ada disana. ‘Ya Tuhan…apa yang sebenarnya terjadi??’ bathin Raka cemas. Buru-buru dia keluar kamar dan langsung menemui resepsionis hotel.

“Nona Alina sudah check out kira-kira 25 menit yang lalu, dan katanya semua tagihan dimasukkan kedalam rekening kamar 305.” Kata-kata resepsionis itu semakin membuat lemas kedua lutut Raka. Dengan perasaan yang semakin tidak karuan Raka segera berlari keluar hotel. Dan di pagi hari yang cerah itu Raka benar-benar mengalami mimpi buruk. Mobilnya yang diparkir tak jauh dari pintu masuk, kini sudah tak ada ditempatnya. Raka terdiam, tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akan segera ambruk ketanah. Sekuat tenaga ditahannya kedua matanya agar tidak mengeluarkan bulir-bulir bening. Pikirannya kacau. Hingga akhirnya ia hanya bisa bersandar di salah satu tiang penyangga teras dan larut dalam penyesalan yang teramat sangat tentang ketololannya.

 

TAMAT







 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Drakula Bertato Celurit
Mulia Nasution
Novel
Berjuang Dari Rasa Sakit!
Dhe Wie S
Skrip Film
A Million Dreams
Sastra Bisu
Cerpen
Tragically Yours
Reni Refita
Flash
Bronze
Gagal Jadi Tentara
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Sebuah Kisah yang Tertinggal
Nabil Bakri
Cerpen
Toilet Kemanasaja: Dua Teman Lama
Ega Pratama
Novel
Bronze
Camy yang Tak Bicara
Amarta Shandy
Novel
Jika Istana Penuh Bara Tak Pernah Ada...
Shabrina Farha Nisa
Skrip Film
Bintang SMA 107
Yorandy Milan Soraga
Flash
Bronze
Yang Kau Sebut Rumah
Febby Arshani
Cerpen
Memahat Jalan
Ron Nee Soo
Skrip Film
AT MY 20+
RATIH MILAWATI NINGRUM
Flash
Pagi yang Damai
Bima Kagumi
Skrip Film
Happy Ending
latifaahhnf
Rekomendasi
Cerpen
Tragically Yours
Reni Refita
Cerpen
Mori Dan Tetangga Depan
Reni Refita
Cerpen
Heart And Soul
Reni Refita
Cerpen
Bronze
Secarik Kertas Dalam Tas
Reni Refita
Flash
Tawa Yang Terlepas
Reni Refita