Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di malam yang cukup sunyi, tetapi beda dengan para hewan. Jangkrik bersahut-sahutan, kicauan burung yang merdu seperti di pagi hari, tidak terdengar di malam hari. Melainkan hanya suara dari burung hantu dan katak yang terdengar. Ada dua orang yang sedang berjaga di pos ronda di malam Jumat kliwon ini. Kedua orang itu bernama Kang Asep dan Karyo. Malam ini, mereka mendapatkan jatah piket untuk berjaga di pos ronda. Mereka sedang menikmati rokok, gorengan, dan kopi mereka untuk berjaga.
“Pekerjaanmu menjadi tukang parkir, bagaimana Yo? Lancar kah?” tanya Kang Asep pada Karyo.
“Alhamdulillah Kang Asep, lancar.”
“Wah, kapan-kapan bisa traktir saya dong.”
“kalau itu masih belum bisa Kang. Soalnya uang saya pas-pasan. Seharusnya Kang Asep yang mentraktir saya. Kang Asep sekarang kan sudah jadi juragan angkot,” Kang Asep pun tertawa karena omongan Karyo.
“Waduh. Uang saya juga terpakai untuk menggaji anak buah saya, jadi habis tak tersisa.”
Saat sedang asyik mengobrol, terdengar ada suara bayi yang menangis. Kang Asep dan Karyo pun mendengar suara tangisan bayi itu.
“Kang. Sampean dengar ada suara tangisan bayi tidak?”
“Iya, Yo. Dari mana suara itu berasal ya?”
Mereka berdua mencari sumber suara tersebut. Karyo pun melihat sesuatu.
“Itu Kang. Ada wanita yang sedang menggendong bayi,” Kang Asep menoleh ke arah yang ditunjuk Karyo. Memang benar, ada wanita yang sedang menggendong bayi, berjalan sendirian di tengah gelapnya malam.
“Sendirian saja sih neng. Itu bayinya kenapa? Kok menangis,” tanya Kang Asep ketika wanita tersebut lewat di depan mereka. Wanita itu pun berhenti.
“Ini bang. Anak saya sedang demam tinggi. Saya mau antar ke rumah sakit,” ucap wanita itu datar tanpa menoleh ke arah Kang Asep.
“Kalau begitu, bagaimana saya antarkan, neng? Kalau dari sini, rumah sakit masih jauh, apalagi kalau jalan kaki,” tawar Kang Asep disertai unsur godaan. Sebenarnya Kang Asep ini terkenal kegenitannya terhadap ibu muda.
Wanita itu hanya diam.
“Bagaimana, neng?” tawar Kang Asep lagi.
“Boleh bang.”
Kang Asep pun senang, dan segera menaiki motornya dan menghidupkannya.
“Karyo, tolong jaga kampung ini sebentar ya, saya mau nolongin orang dulu.”
“Siap Kang, bereslah pokoknya.”
“Yuk, neng.”
Wanita itu membonceng di belakang Kang Asep.
“Aku jalan dulu ya.”
“Iya Kang. Hati-hati.”
Karyo pun melihat Kang Asep dan wanita tadi berangkat. Tiba-tiba, Karyo dibuat terkejut akan hal yang dilihatnya. Karyo tidak menyangka kalau wanita yang menggendong bayi itu, sekarang terlihat seperti wanita yang mengenakan baju putih lusuh dan berlumuran darah. Karyo pun mencoba berteriak memanggil Kang Asep.
“Kang!! Kang Asep!!!”
Namun, sayangnya Kang Asep tidak mendengarnya. Karyo menjadi bingung, ia ingin mengejar Kang Asep dengan sepeda tuanya, tetapi ia juga diberi amanah oleh Kang Asep untuk menjaga kampung ini.
Kang Asep sudah lenyap dari pandangan. Karyo tambah bingung sekaligus khawatir, ia hanya mondar-mandir di pos ronda. Dirasa tekad sudah bulat, akhirnya Karyo pun menaiki sepedanya dan menyusul Kang Asep yang sudah jauh. Karyo khawatir Kang Asep terkena musibah.
*
Kang Asep menyusuri jalanan yang dikelilingi deretan pohon jati, dan tidak ada penerangan dari lampu jalan. Jalanan menjadi agak terang karena sebatas cahaya dari rembulan dan cahaya dari lampu motor Kang Asep. Hawa dingin mulai merasuk ke dalam tubuh Kang Asep. Apalagi Kang Asep merasakan tangan wanita di belakangnya yang tak sengaja menyentuh punggung Kang Asep. Tangan itu terasa sangat dingin seperti es.
“Neng. Abang kok merasakan tangan neng dingin. Neng sedang kedinginan ya?”
Tidak ada sahutan dari wanita itu. Kang Asep merasa agak jengkel.
“Ternyata bukan tangannya saja yang dingin, tetapi sifatnya juga.”
Saat fokus dengan jalan, Kang Asep melihat ada cahaya dari arah depan. Kang Asep menambah kecepatan motornya untuk mengecek sumber cahaya itu berasal. Saat berjalan lebih jauh lagi, Kang Asep menemukan sumber dari cahaya yang dilihatnya. Ternyata cahaya itu berasal dari gedung rumah sakit yang masih buka. Kang Asep heran.
“Sejak kapan ada rumah sakit di sini?”
“Turun di sini saja, bang,” tiba-tiba wanita itu berbicara.
“Oh, iya neng.”
Kang Asep memarkirkan motornya di depan gedung rumah sakit. Kang Asep melihat-lihat gedung rumah sakit di depannya. Ia menemukan plang nama yang bertuliskan,
RUMAH SAKIT KEMBANG JATI
Kang Asep tambah bingung.
“Rumah sakit kembang jati? Sepertinya aku belum pernah dengar tentang rumah sakit ini. Memangnya kampung ini punya rumah sakit?”
“Terima kasih ya, bang. Sudah mengantarkan saya ke rumah sakit,” wanita itu mengejutkan Kang Asep karena berada di sebelahnya secara tiba-tiba.
“Eh. Iya neng, sama-sama.(mengagetkanku saja...)”
“Saya boleh minta tolong lagi tidak, bang?”
“Boleh. Mau minta tolong apa ya, neng?”
“Tunggu saya sebentar ya, bang. Saya mau periksakan anak saya dulu.”
“Siap, neng.”
Kang Asep pun masuk ke lobi rumah sakit bersama wanita itu. Di lobi rumah sakit ini, ada banyak orang yang sedang berobat dan menunggu antrean mereka. Tetapi, mereka terlihat sedikit aneh. Mengapa tidak? Kulit yang pucat, ekspresi yang datar dan tingkah laku begitu dingin. Seperti tidak mempunyai perasaan.
Namun, Kang Asep tidak menyadari hal tersebut dan ia tetap berjalan dengan santai ke arah kursi antrean. Kang Asep melihat wanita yang tadi bersamanya, sedang berbicara dengan suster di meja administrasi. Setelah berbincang- bincang, wanita itu menghampiri Kang Asep di bagian kursi antrean.
“Saya masuk dulu ya, bang. Sudah di panggil dokter.”
“Silahkan neng. Tapi saya mau tanya, neng namanya siapa ya?”
Di balik wajah yang tertutup rambut itu, wanita itu menyeringai.
“Jamilah, bang.”
“Oh. Silakan neng Jamilah.”
Tanpa omongan, Jamilah langsung berbalik dan berjalan ke arah kamar pasien yang terletak tidak jauh dari meja administrasi. Rasa senang pun menyertai senyuman Kang Asep. Akhirnya ia tahu juga nama dari wanita yang bersamanya tadi. Kang Asep pikir, Jamilah adalah wanita yang ditinggal suaminya pergi merantau. Sampai-sampai ia rela berjalan kaki menuju rumah sakit sendirian yang jaraknya sangat jauh dari perkampungan demi buah hatinya. Mungkin Kang Asep bisa mendekati Jamilah.
Malam telah berganti dini hari, Kang Asep mulai merasa bosan menunggu karena tidak ada yang menemaninya, Jamilah juga tak kunjung keluar dari ruang dokter. Hawa kantuk mulai merasuk ke tubuh Kang Asep. Karena tak kuat menahan kantuk, Kang Asep tertidur dalam posisi duduknya di atas kursi antrean.
Saat Kang Asep tertidur pulas, tiba-tiba, ada banyak warga yang mengerumuninya. Yang awalnya mereka terlihat normal di mata Kang Asep, sekarang mereka berubah wujud seperti mayat hidup yang berlumuran darah. Mereka hanya diam menatap Kang Asep yang sedang tertidur.
*
Dengan sekuat tenaga, Karyo mengayuh sepeda tuanya. Ia sangat khawatir dengan keadaan Kang Asep, yang tadi Karyo lihat sedang memboncengkan sosok hantu. Jalanan yang gelap ia tempuh sendirian dan hanya bergantung pada cahaya rembulan. Keringat membasahi kaos Karyo. Tapi ada hal yang membuat Karyo merasa lebih lega. Ia menemukan motor Kang Asep yang terparkir di hamparan rumput.
Karyo menepi dan turun dari sepedanya. Ia mengecek motor Kang Asep. Jikalau ada kerusakan, berarti Kang Asep terkena musibah. Ternyata keadaan motornya baik-baik saja, pasti Kang Asep juga tidak apa-apa. Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama, rasa lega berubah menjadi rasa takut yang amat besar.
Karyo melihat ke arah depan motor Kang Asep. Ia melihat ada gapura yang berdiri kokoh tapi terlihat sangat tua. Karyo merogoh saku celananya untuk mengambil sebuah senter. Ia menghidupkan senternya dan menyorotkan cahayanya ke arah plang nama yang tergantung di gapura tersebut. Plang nama tersebut bertuliskan,
KUBURAN KERAMAT KEMBANG JATI
Bulu kuduk merinding, kepala agak pusing, Karyo hanya diam tidak bergeming. Mungkin hantu wanita tadi yang telah mengantarkan Kang Asep ke sini. Ada hati ingin maju ke depan, tetapi pikiran ingin mengurungkan niatnya karena sendirian. Karyo bingung harus berbuat apa. Kalau ada banyak orang di sekitarnya, mungkin ia akan masuk ke dalam kuburan. Karyo mencoba menguatkan tekad demi Kang Asep. Ia pun masuk ke dalam kuburan sendirian.
Sesampainya di dalam, ketakutan Karyo memuncak. Pemandangan gundukan tanah dan batu nisan, membuat nyalinya menciut. Ia memberanikan diri untuk menerangi area kuburan dengan senternya, tetapi ia tidak melihat keberadaan Kang Asep. Karyo pun mencoba untuk masuk lebih jauh lagi. Sudah 10 menit berlalu, tetapi Karyo belum menemukan Kang Asep. Ia mulai berpikiran bahwa Kang Asep telah dibawa ke alam gaib bersama hantu wanita tadi. Karyo mulai pasrah dan ingin pulang.
Saat berjalan pulang, Karyo tidak sengaja tersandung oleh salah satu batu nisan yang tertanam. Karyo pun jatuh tersungkur. Ia mengaduh kesakitan karena rasa sakit di kaki kirinya. Saat ia mendongak ke atas, terlihat ada bayangan hitam cukup besar yang tengah duduk beberapa meter di depannya. Napasnya tersengal, dan tubuh Karyo tidak bisa digerakkan. Keberanian Karyo telah sepenuhnya dilahap oleh ketakutan.
Napas dari sosok bayangan itu terdengar. Di pikiran Karyo, mungkin kematiannya sudah dekat. Tubuh Karyo pun bisa digerakkan kembali. Ia segera mundur ke belakang, menjauh dari sosok bayangan hitam yang berada di depannya. Karyo melihat dengan seksama makhluk di depannya, tapi makhluk itu tidak bergerak sedikit pun.
Ia memberanikan diri untuk menyorotkan cahaya senter ke arah makhluk hitam di depannya. Betapa terkejutnya Karyo. Karena yang ia lihat bukanlah sosok hantu, melainkan Kang Asep yang duduk tertidur di atas batu nisan. Karyo pun segera membangunkannya.
“Kang! Bangun Kang!”
Kang Asep masih belum bangun juga.
“Kang! Bangun Kang!! Coba lihat, Kang Asep ini di mana?”
Akhirnya Kang Asep pun bangun. Ia terkejut dengan pemandangan sekitarnya yang telah berubah.
“I...ini di mana, Yo? Kok aku bisa di sini?” Kang Asep bingung dan mulai ketakutan.
“Kang Asep berdiri dulu. Coba lihat, apa yang sampean duduki ini?”
Kang Asep berdiri dan terkejut melihat tempat duduknya yang telah berubah menjadi batu nisan. Ia pun mengecek siapa nama pemilik batu nisan yang telah ia duduki.
Jamilah Binti Karsono
Kang Asep pun kaget, sampai ia melompat ke belakang dan hampir jatuh. Dia teringat nama wanita yang bersamanya tadi.
“I...itu...itu kan...”
“Sudahlah, Kang. Mendingan kita keluar dulu,” Karyo memotong pembicaraan Kang Asep.
Kang Asep yang masih gemetar pun dibantu berjalan oleh Karyo, mereka berdua buru-buru keluar dari kuburan keramat ini. Karyo menyuruh Kang Asep untuk menaiki sepeda tuanya, sedangkan Karyo menaiki motor Kang Asep agar bisa mendorong sepedanya yang dikendarai Kang Asep.
Soalnya Kang Asep masih gemetaran, mungkin dia trauma berat. Jadi Karyo takut jikalau Kang Asep mengendarai motor, nanti bisa-bisa Kang Asep malah terjatuh dari motornya. Mereka akhirnya pulang ke rumah masing-masing dan mengabaikan jaga malam di pos ronda.
*
Di malam berikutnya. Kang Asep dan Karyo bertemu di warung kopi milik Mbah Cipto, langganan mereka. Kang Asep menceritakan semua kejadian yang telah ia alami kemarin malam. Ia baru sadar, jikalau warga yang berada di lobi rumah sakit itu bukanlah manusia. Kang Asep juga baru sadar kalau tingkah mereka terlalu datar seperti tidak punya perasaan. Kang Asep berharap tidak ingin kejadian seperti kemarin malam terulang kembali.
“Kang, sampean dengar tidak? Ketika saya teriak panggil sampean waktu berangkat menuju rumah sakit itu.”
“Tidak, Yo. Saya tidak mendengarnya.”
“Wah, ini pasti ulah hantu Jamilah yang membuat Kang Asep tidak dengar teriakan saya waktu itu.”
Ungkapan Karyo terdengar ke telinga Mbah Cipto. Mbah Cipto pun ikut mengobrol dengan Karyo dan Kang Asep.
“Kalian diganggu arwah Jamilah?”
“Iya Mbah. Mbah tahu, siapa itu Jamilah?”
“Ya jelas. Jamilah itu tetangga saya, rumahnya saja bersebelahan dengan saya.”
“Terus Mbah tahu, penyebab kematian Jamilah?”
“Jujur saja, Mbah adalah saksi atas kematian Jamilah.”
Kang Asep dan Karyo pun terkejut.
“Apa Mbah bisa menceritakan tentang kematiannya Jamilah kepada kami, Mbah?”
“Bisa. Jadi begini...”
Di siang hari, Jamilah sedang berada di rumah. Tetapi ada pertengkaran yang terjadi antara Jamilah dan suaminya. Karena suami Jamilah selalu bermain judi setiap malam, dan Jamilah ingin suaminya itu berhenti.
“Kenapa mas selalu bermain judi sih?”
“Sesuka hatiku lah. Kamu itu tidak pernah mencari uang, kebiasaannya hanya ceramah saja.”
“Tetapi, uang hasil bermain judi kan haram, mas. Kamu rela, memberi makan istri dan anakmu ini dengan hasil uang haram?”
“Aku tidak peduli, kalau kalian mau makan dari mana. Sudah, aku mau pergi.”
“Mau kemana lagi sih, mas?”
“Mau cari uang. Kalian butuh makan apa tidak?”
“Kami tidak mau makan hasil dari uang haram, mas.”
“Oh. Kalau begitu, akan kuceraikan kamu. Akan kuurus semua surat perceraiannya besok.”
Suaminya pergi meninggalkan Jamilah bersama anaknya. Mbah Cipto turut sedih mendengarnya dari kamarnya.
“Oh. Berarti Jamilah ini baru diceraikan suaminya sebelum meninggal, Mbah?”
“Iya, Kang.”
“Terus, Jamilah meninggal karena apa Mbah?”
“Nah, malamnya...”
Mbah Cipto baru saja pulang dari warung. Mbah Cipto bertemu Jamilah di depan rumahnya.
“Mau kemana, nduk?”
“Ini Mbah. Anak saya badannya panas. Saya mau membawanya ke rumah sakit.”
“Sendirian jalan kaki, nduk?”
“Iya Mbah, mau bagaimana lagi. Suami saya masih bekerja dan belum pulang.”
Jamilah masih menutupi kabar tentang perceraiannya dengan suaminya. Tetapi Mbah Cipto telah mengetahui hal tersebut.
“Maaf ya, nduk. Mbah tidak bisa bantu kamu.”
“Iya, Mbah. Tidak apa-apa kok. Saya permisi dulu.”
“Hati-hati ya, nduk.”
Jamilah pergi sendirian sambil menggendong anaknya yang demam tinggi. Mbah Cipto turut prihatin atas tindakan Jamilah, yang rela berjalan ke rumah sakit sendirian demi anaknya. Mbah Cipto pun berinisiatif untuk membuntuti Jamilah dari belakang.
Jalanan gelap, pohon jati berjajar, hawa dingin berhembus dari segala arah. Jamilah masih kuat berjalan demi anaknya, begitu pula dengan Mbah Cipto yang khawatir dengan keadaan Jamilah yang berjalan sendirian. Mbah Cipto masih membuntuti Jamilah dari kejauhan.
Di tengah perjalanan, Jamilah dihadang oleh dua pria yang bertubuh agak besar dari Jamilah. Mbah Cipto langsung bersembunyi di balik salah satu pohon jati.
“Sendirian saja sih, neng? Mau kemana, malam-malam begini? ” tanya salah satu pria di depan Jamilah.
“Ini bang. Anak saya sedang demam tinggi. Saya mau antar ke rumah sakit.”
“Kalau begitu, bagaimana saya antarkan, neng? Kalau dari sini, rumah sakit masih jauh, apalagi kalau jalan kaki.”
“Memangnya boleh, bang?”
“Ya boleh lah. Tapi sebelum itu, layani kami dulu.”
Pria itu pun langsung mencengkram Jamilah, dan ingin memperkosanya.
“Tolong jangan ganggu saya!! Saya mohon!!”
Karena Jamilah memberontak, teman si pria itu merebut bayi yang berada di gendongan Jamilah.
“JANGAN!! Jangan ambil bayi saya!!”
Akhirnya teman dari si pria tersebut berhasil mengambil bayi Jamilah, karena tenaganya lebih kuat dari pada Jamilah. Tapi, ada hal yang membuat hati Jamilah hancur. Saat teman pria tersebut berhasil merebut bayi dari Jamilah, tak sengaja bayi itu terlempar ke tengah jalan dan kepalanya terbentur keras. Sehingga bayi Jamilah mengalami pendarahan di bagian kepalanya. Jamilah menangis sekuat-kuatnya. Mbah Cipto juga ikut menangis karena tidak bisa membantu dengan tubuhnya yang pendek dan kecil.
Saat Jamilah sedang menangis, kedua pria tersebut menarik Jamilah dan membawanya ke dataran rumput. Kedua pria itu memperkosa Jamilah secara bergiliran, tanpa memikirkan perasaan Jamilah yang sedang hancur. Mbah Cipto melihat semua kejadian yang menimpa Jamilah. Beliau hanya bisa diam tanpa bisa membantu Jamilah. Setelah memperkosa Jamilah, mereka berdua tertawa karena puas, menikmati tubuh Jamilah.
“KALIAN SETAN!! DASAR MANUSIA TAK BERADAB!!!”
Jamilah meneriaki kedua pria yang telah mengotorinya. Salah satu pria itu mengambil sebuah balok kayu yang cukup besar di motor mereka.
“DIAM KAU!!”
Pria itu pun memukul kepala Jamilah dengan balok di tangannya agar menutupi jejak mereka. Alhasil, kepala Jamilah mengalami pendarahan seperti yang terjadi pada anaknya.
Mbah Cipto yang melihat pembunuhan Jamilah yang tragis di depannya, membuat tubuhnya terkulai lemas. Mbah Cipto ingin tahu, siapa pemilik dari wajah yang telah keji membunuh korban pemerkosaannya tanpa rasa bersalah. Tetapi, wajah mereka tidak terlihat karena gelapnya malam, jadi identitas mereka tidak diketahui.
Setelah membunuh Jamilah, mereka langsung pergi begitu saja, dan meninggalkan jasad Jamilah dan anaknya di jalan. Mbah Cipto menghampiri jasad Jamilah dan menangis di sampingnya. Mbah Cipto merasa bersalah karena telah membiarkan nasib buruk menimpa Jamilah.
Mbah Cipto pun pulang, dan mengabari semua warga kampung tentang kematian Jamilah dan memerintahkan semua warga untuk membawa pulang jasad Jamilah dan anaknya. Pada akhirnya, Jamilah dan anaknya dikuburkan di Kuburan Keramat Kembang Jati.
“Begitu Kang, kurang lebih ceritanya.”
Kalau diperhatikan, keringat dingin berkucuran dari wajah Kang Asep dan Karyo. Sepertinya ada hal yang mereka takutkan.
“Ka...Kang Asep. Se...sepertinya kita pulang saja. Sudah larut malam,” ucap Karyo terbata-bata.
“Be...benar, Yo. Mbah, kami pamit dulu ya. Sudah larut malam.”
“Iya, Kang. Hati-hati.”
Kang Asep dan Karyo segera pulang ke rumah masing-masing. Mereka berboncengan saat pulang, karena Karyo tidak membawa sepedanya. Mbah Cipto tidak menyadari, kalau ada yang aneh terhadap mereka berdua. Mbah Cipto pun akan menutup warungnya.
*
Kang Asep mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Wajah mereka terlihat panik. Kira-kira apa yang disembunyikan oleh mereka?
“Kang. Ternyata kita yang bunuh Jamilah, pada waktu itu.”
“Iya, Yo. Saya juga baru sadar. Jamilah pasti ingin membalaskan dendamnya.”
“Kang! Kang!!”
Tiba-tiba Karyo berteriak sambil menunjuk ke arah depan mereka. Kang Asep pun berhenti mendadak. Kang Asep dan Karyo hampir saja terjungkal dari motor.
Wajah mereka terlihat ketakutan sekarang, saat melihat ke arah depan mereka. Ternyata di depan mereka, tepatnya di tengah jalan. Ada sosok wanita berbaju putih lusuh dan berlumuran darah. Itu adalah hantu Jamilah.
Hantu Jamilah terlihat murka, ketika melihat Kang Asep dan Karyo. Nyali mereka berdua pun menciut.
“Ampun...Jamilah. Kami khilaf, kami minta maaf.”
“TIDAK ADA AMPUN UNTUK KALIAN BERDUA! KALIAN HARUS BERTANGGUNG JAWAB!!”
Hantu Jamilah mulai melayang ke udara. Tawa seram keluar dari mulutnya, sampai memekakkan telinga Kang Asep dan Karyo. Dengan tangan terjulur ke depan, seperti hendak mencekik seseorang. Hantu Jamilah melayang ke arah Kang Asep dan Karyo dan membalaskan dendam mereka.
~TAMAT~