Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sinopsis Cerpen
Di lereng sunyi Lembah Raranggi, dua belas orang pendaki tersapu longsor besar. Hanya satu yang keluar hidup-hidup: Rahman.
Cerpen ini mengisahkan detik-detik genting saat alam menggulung tubuh dan keyakinan. Saat tanah bicara, dan sunyi menjelma menjadi saksi. Rahman tidak sekadar selamat—ia ditinggalkan untuk menyimak, menerima, dan memikul yang tak sempat disampaikan oleh sebelas jiwa lainnya.
Tragedi Lembah Raranggi adalah awal dari retakan jiwa, pertanda yang mencetak jalan bagi langkah-langkah sunyi di kemudian hari.
-------
Curugparay, Sepuluh Tahun Lalu
Awan mendung bergerak lambat, seperti selembar tikar kelabu yang malas digulung. Angin berhembus perlahan, membawa hawa dingin yang masih menyimpan sisa hujan semalam.
Hari sedikit ramai. Suara-suara terasa ringan.
Palu dari bengkel sebelah berhenti lebih cepat dari biasanya.
Langkah-langkah orang terdengar lebih pendek, seolah tak ingin mengganggu sesuatu yang belum terlihat.
Di pojok warung kecil, berdinding kayu dan beratap rumbia, tiga orang duduk melingkar. Tak ada yang memesan apa pun. Mereka datang bukan untuk makan, hanya untuk duduk.
Mang Sura bersila di atas bangku bambu yang sedikit melengkung di ujungnya.
Tangannya menumbuk pelan biji kopi dalam lesung batu hitam, gerak lambat tapi terasa penuh. Di depannya, Rahman masih muda—wajahnya belum ditandai oleh waktu, tapi diamnya sudah seperti orang yang sering kehilangan kata.
Satu lagi, Darma, memutar-mutar bara api dengan ranting. Senyumnya muncul dan hilang, antara menggoda dan menghibur diri sendiri.
“Mang,” katanya, sambil menyenggol bara, “kalau kopi ditumbuk pelan begitu... rasanya bisa ...