Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Satu
20 Januari 1966
Setelah rumah kami habis dibakar massa, kami pergi mengungsi ke sebuah kampung nelayan. Mas Har, aku, dua adikku, dan nini Sumi berjalan kaki sejauh puluhan kilometer. Sungguh, ini bukan perjalanan ringan untuk anak perempuan seusiaku yang belum genap duabelas tahun. Nini Sumi bilang rumah saudaranya dekat, hanya dua jam perjalanan. Kenyataannya, hampir setengah hari kami berjalan belum juga sampai.
Tapi mungkin bisa dimaklumi, karena beberapa kali kami mesti beristirahat di tengah jalan. Neni dan Tin, dua adikku yang masih kecil-kecil beberapa kali rewel. Mereka sebenarnya tidak terlalu capek, karena bergantian digendong nini Sumi dan Mas Har. Hanya saja cuaca panas di bawah terik matahari membuat mereka gerah. Mereka rewel minta makan dan beberapa kali menanyakan Ibu. Aku cuma bisa menggerutu.
Sungguh, aku masih belum mengerti kenapa semua ini harus terjadi. Begitu cepat semuanya berubah. Masih teringat jelas dalam ingatanku awal mula bencana itu datang. Pada tengah malam buta, tiba-tiba pintu rumah kami digedor keras. Semuanya jadi terbangun. Aku yang tidur di kamar bersama kedua kakak perempuanku ikut terjaga. Kami mengintip lewat tirai pintu. Dengan kedua mata setengah mengantuk aku melihat di ruang tengah ayah bercakap-cakap dengan beberapa orang berseragam yang membawa senapan.
Aku tercekat kaget. Aku baru sadar kalau mereka tentara. Sebenarnya tak terlalu aneh melihat tentara bertamu di rumah kami. Sebagai pejabat kabupaten ayahku memiliki banyak kenalan dari berbagai kalangan, tak sedikit dari mereka yang berseragam militer. Tapi yang tidak biasa, mereka datang pada tengah malam, membawa senapan, dan berbicara tanpa duduk di kursi. Ketegangan tersirat di wajah mereka. Aku tak begitu jelas mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun dari ekspresi wajah Ibu yang tampak sedih saat mendampingi ayah, aku tahu ada hal buruk telah terjadi. Ayah kemudian pergi bersama para tamunya diiringi pandangan mata Ibu yang rebak oleh air mata.
Malam itu juga Ibu membangunkan kami semua yang sebenarnya sudah terbangun. Dengan suara gemetar diliputi kecemasan ibu meminta kami semua mengemasi barang-barang. Kami diperintahkan untuk segera pergi dari rumah. Keempat kakakku yang sudah dewasa sepertinya mengerti apa yang telah terjadi, mereka pun tak banyak bertanya dan segera mengemasi barang-barangnya. Sementara aku masih dibuat bingung dan tak mengerti.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa kita harus pergi dari rumah?” Pertanyaan polosku tak mendapat tanggapan saudara-saudaraku. Ibu yang kemudian memberitahu.
“Tidak ada apa-apa, Nis. Kita memang harus segera pindah. Demi keselamatan kita semua. Kamu nanti ikut ke rumah saudara nini Sumi. Sama kakakmu Har, Neni, dan Tin. Untuk sementara kita akan berpisah. Kamu bantu jaga adik-adikmu,” kata Ibu dengan suara sengaja ditekan dalam agar tak kentara kecemasan yang sedang melanda hatinya.
“Lalu, Ibu sendiri mau ke mana? Ayah tadi mau ke mana?”
“Ayah ada keperluan penting sebentar. Ibu akan ke rumah nenek di Wangon bersama adik bayi. Nanti Mbak Rum dan Mbak Sari yang menemani Ibu. Sedang Mas Budi akan menyusul Mas Ruslan di Semarang!”
“Apakah ayah akan dipenjara, Bu?”
Ibu tidak menjawab, hanya menggigit bibir. Kulihat wajahnya terlihat lebih tua. Padahal usia ibuku terbilang masih cukup muda. Ia menikah pada usia enambelas tahun, dan selama duapuluhlima tahun perkawinannya telah menghasilkan sembilan anak, ditambah lagi satu anak yang masih dalam perutnya yang baru berusia empat bulan. Kelak, aku akan mengenangnya sebagai perempuan luar biasa yang tiada bandingannya.
Tak terbayangkan, ada seorang ibu dengan beban sepuluh anak yang semuanya bergantung padanya. Padahal ia cuma perempuan biasa, tak berpendidikan, dan sederhana. Tapi dengan kekuatan kelembutan dan kasih sayangnya, beliau mampu mengayomi semua anak-anaknya. Bahkan ketika kemudian sang suami tak pernah kembali lagi. Seorang diri ia berjibaku menghidupi anak-anaknya yang masih kecil. Ia tegar bagai karang di tengah lautan, kuat bak baja tak tembus peluru. Tak pernah terdengar keluh dan penyesalan dari bibirnya.
“Sudah, Nis! Tidak usah banyak tanya! Ayo, cepet beresin barang-barangmu. Jangan ganggu ibu!” tukas Mas Har dengan nada keras, setengah menghardikku.
Ak...