Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jadi, kali ini saya mengalah juga. Pada pukul setengah dua belas malam setelah bergulat dengan perasaan gundah, akhirnya saya datangi Asrama Para Tokoh. Asrama itu sudah saya dirikan bertahun-tahun lalu dan bertahun-tahun pula tak saya kunjungi lagi. Terletak di tengah lapangan berumput, asrama yang lebih mirip bangsal rumah sakit itu tampak lengang. Hening di sana-sini. Lampu di serambi menyala dengan temaram tetapi hampir semua lampu di kamarnya padam. Di jam ini pastilah mereka sedang tidur.
Saya tekan bel di pintunya dengan keberanian membara, berharap Para Tokoh muncul dan menyapa. Namun, tak ada jawaban. Sekian menit kemudian pun sama. Ambisi saya perlahan memudar. Tak ada tanda-tanda pintu besi berlapis cat emas itu akan bergerak. Saya berjongkok sejenak di serambinya, lalu bangkit lagi. Saya tekan bel itu lagi. Semoga ada satu saja makhluk yang tinggal di pondokan itu sadar lalu membukakan pintu.
Di menit-menit terakhir setelah puluhan kali memanggil dan saya hampir memutuskan untuk pulang, akhirnya ada pergerakan. Kenop pintu itu bergoyang. Ya, bergerak-gerak, pertanda ada yang datang. Lalu, seseorang menampakkan batang hidungnya.
Marya, perempuan itu tersenyum sinis kepada saya. Saya terhenyak.
“Untuk apa malam-malam ke sini?” tanyanya dari bibir pintu. Dia hanya membuka pintunya sedikit, sekadar cukup untuk mengintip kehadiran saya.
“Aku lagi butuh sesuatu untuk ditulis, Mar. Besok! Besok deadline-nya.”
“Buat?”
“Lomba, Mar.”
“Hmmh! Pulang saja sana. Tak ada yang sempat meladenimu di sini.”
Marya hendak menutup pintu tanpa pamit. Secepat kilat, saya letakkan telapak tangan, menghalangi agar pintu itu tak tertutup habis.
Aww!!!
Saya berteriak manakala pintu itu nyaris rapat dengan kusen.
Marya segera menghentikan geraknya dan memandang saya lagi. Tak ada empati yang tersirat di wajahnya. Hanya tatapan jengkel.
“Awas... Aku mau tidur lagi,” ucap Marya datar.
“Tolonglah, Mar. Kali ini aja.”
“Selama ini kau telantarkan kami semua di sini tanpa perhatian. Saat butuh, baru kau cari-cari.”
“Tapi, Mar...! Tolong. Hanya tempat ini yang bisa kudatangi saat ini.”
“Pergi sana. Cari tokoh lain. Kau, kan, paling jago itu mendatangkan tokoh-tokoh yang luar biasa.”
Perkataan Marya itu langsung nyemplung ke dasar hati saya yang paling dalam. Akan tetapi, sebelum perempuan berambut gelap berombak itu benar-benar tidur lagi, saya harus berhasil membujuknya.
“Ok-Ok, Mar. Jadi apa maumu. Aku ikuti!”
“Tak ada. Sudah. Menyerah saja!”
“Kali ini tak bisa, Mar. Aku sudah daftar dan bayar pendaftarannya. Sayang uangnya.”
Marya melotot.
Cepat-cepat saya pasang ekspresi memelas. “Tolong, lah, Mar. Kamu enggak kasihan padaku? Sama siapa lagi aku bisa minta tolong?”
Marya menarik nafas panjang. Dia terdiam sejenak.
“Apa imbalan yang sepadan yang aku dapat?”
“Kamu mau apa?”
“Kau sanggup kasih apa?”
Saya berpikir. Ini adalah satu-satunya kesempatan agar Marya mau saya ajak kerjasama. Sekali saya salah memberinya imbalan, bisa-bisa dia akan merajuk seumur hidup. Imbalannya tentu bukan uang. Mana pulalah perempuan itu suka diberikan uang. Dia sudah pasti menolak.
“Kutuliskan cerita tentang kamu. Dua cerita. Lalu, kuposting di banyak tempat. Cocok?”
“Cuma dua?”
“OK. Tiga. Gimana?”
“OK. Ayok berangkat!”
“Berangkat ke mana, Mar?”
“Ke rumahmu, lah! Mesin ketikmu ada di sini rupanya?”
Ah, iya. Saya mendadak dungu.
“Begitu, kan, senang aku mendengarnya.” Marya mengulas senyum bulan sabitnya. Selagi tangannya menutup pintu, dia bersenandung kecil.
Berdiri di serambi dengan wajah semringah, Marya lalu menguncir rambutnya dengan sebuah karet yang entah dari mana dia dapatkan. Segera dia seka kotoran mata yang menempel. Setelah itu, digantungkannya anting bulat besar pada sepasang telinganya. Dia atur letak poni dengan sisir kecil. Tak lupa, sebuah kacamata merah muda yang berkilap. Terakhir, dikenakannya sebuah hoodie super longgar serta sandal bulu-bulu berwarna pink cerah. Di hadapan saya, Marya yang bernuansa merah muda itu tersenyum manis sekali.
“Yok!” Saya gandeng Marya di sebelah kiri saya. Kami berjalan menuju kereta kuda bersayap yang saya parkirkan tak jauh dari serambi asrama.
Saya tuntun Marya dengan hati-hati. Membawa dia pulang ke rumah artinya saya harus bertanggungjawab sepenuhnya kepada perempuan itu; memegang tangannya dengan penuh kelembutan, menyediakan sofa dan ruangan yang nyaman, makanan minuman pun harus sesuai dengan seleranya. Mau bagaimana lagi. Tak ada tokoh lain. Hanya dia yang bersedia membukakan pintu untuk membantu saya.
“Jadi, apa sebab ruang kerjamu bisa kacau begini?” tanya Marya menatap sinis. Pandangannya berpindah-pindah antara meja, lantai, rak buku, serta sofa yang dipenuhi sobekan kertas.
“Mana ada pekerja kreatif yang rumahnya rapi, Mar!”
“Bilang saja malas.”
“Aku harus segera cari istri agar ada yang mengurus kebersihan rumah.”
“Kau mau cari istri atau cari pembantu? Kalau kau yang pemalas, atasilah masalahmu sendiri. Jangan bawa-bawa orang lain untuk itu.”
Alamak!
Saya salah bicara. Mendadak tatapan judes Marya langsung menembak saya.
“Ehm ... jadi, gini, Mar. Lombanya itu deadline besok. Sebisa mungkin, pagi ini aku harus selesaikan draf kasarnya. Tinggal edit lalu posting.”
“Temanya apa?”
“Romansa di tengah kota di jam 4 pagi.”
“Tak pernah kudengar.”
“Itu, kisah cinta-cintaan yang berlatar di tengah kota di jam 4 pagi, Mar.”
“Maksudmu, aku harus beradegan cinta-cintaan begitu, wahai Aria Kamandeki?!” Marya langsung berdiri dan berjalan mendekati saya yang sedang menyusuri layar komputer.
“Kau mau membuat aku, perempuan baik hati ini berkeliaran di jam 4 pagi, di tengah kota, sama laki-laki?”
“Itu tema utamanya, Mar. Mau bagaimana lagi.”
“Tidak!”
“Mar ... Tolong!”
Marya mendesah.
“Kalau begitu, bikinkan aku 7 cerita sehabis ini. Tak mau aku kalau hanya 3. Aku sudah berkorban cukup besar, mengikuti maumu untuk berkeliaran di kota jam 4 pagi.”
Saya lemas. Membuat tujuh cerita? Dengan Marya sebagai tokohnya? Bukan main.
“Iya, deh, Mar. Aku ikuti maumu dan kamu juga ikuti mauku. Kali ini, aku butuh adegan putus cinta. Seorang perempuan yang diputuskan oleh tunangannya lalu putus asa. Itu romansanya. Romansa sedih.”
“Kenapa?”
“Karena lelaki itu tak suka.”
“Tak suka apa?”
“Marya yang kurang cantik.”
Marya menatap sinis. “Aku kurang cantik?”
“Bukan. Maksudku ceritanya. Aku butuh Marya menangis karena dia ditinggal kekasihnya ... karena kurang cantik.”
Duh!
Hati saya berdebar keras manakala mengucap kalimat terakhir itu.
Marya menggeleng berulang kali. “Adegan macam apa itu. Aku tak mau!”
“Kan, itu lumayan relate sama kisah anak muda sekarang, Mar. Diputuskan karena kurang ganteng, kurang cantik!”
“Ganti. Aku tak mau adegan itu. Masa diputuskan gara-gara fisik. Apalagi itu, menangis? Aduh ... Marya tak suka menangis. Tak akan. Aku lebih suka Marya tertawa bahagia karena berhasil memutuskan kekasihnya. Bukan Marya yang menangis karena diputuskan. Astaga!”
“Hmm ... Idemu boleh juga. Kita buat romansa yang berbeda. Marya yang berbahagia karena berhasil memutuskan tunangannya.” Saya lalu memainkan jemari di atas papan ketik. “Putusnya karena apa?”
“Karena apa, ya?” Marya yang duduk tak jauh dari saya menatap lekat-lekat.
“Selingkuh?”
“Tidak ... terlalu picisan.”
“Miskin?”
Marya menggeleng.
“Karena wajah jelek?”
“Kau kenapa berkutat sama harta atau fisik terus?”
“Jadi apa, dong, Mar?”
“Patriarki. Aku mau Marya putus dengan kekasihnya karena lelaki itu terlalu patriarki. Aku suka itu.”
“Itu ide yang sensitif, Mar! Kurang masuk akal kalau hubungan percintaan antara perempuan dan lelaki berakhir karena lelakinya terlalu patriarki?”
“Masuk akal, makanya ciptakan!”
“Apalagi penulisnya laki-laki. Justru makin seram kalau laki-laki sepertiku menulis tentang patriarki. Lebih cocok, perempuan.”
Marya tak menyahut. Dipandanginya saya sambil mencondongkan bibir. “Mau atau tidak? Atau antar aku pulang!”
Saya menghela nafas panjang sekali. Ah, Marya ... Marya. Sebenarnya saya sedang mabuk apa waktu itu saat menciptakan dia.
“Kamu mau yang begitu, ya, Mar? OK. Kita buat. Apa pun, asal kamu senang.”
“Yang namanya penulis itu seharusnya membiarkan tokoh-tokohnya menentukan nasib sendiri. Kalau semuanya dari awal sampai habis sesuai maunya kau, pakai saja kisahmu dan namamu sendiri.”
“Siap, salah! Ampun, Mar. Sekarang sudah bisa dimulai?”
Marya mengangguk. Saya mulai menyusun satu demi satu kalimat demi memenuhi kehendak Marya.
***
Di suatu malam yang indah karena cuaca yang hangat, tak terlampau dingin dan tak hujan, Marya berdiri membelakangi sebatang pohon beringin. Pohon yang rindang itu berhiaskan lampu berkelap-kelip, tumbuh di tengah kota, di area yang sudah dijadikan kafe malam hari. Marya berdiri menatap ke arah langit, memperhatikan setiap bintang yang berkelompok, lalu melafalkan nama-nama rasi bintang tersebut. Marya lalu tersenyum. Seorang lelaki setengah tampan duduk di bangku, bingung terhadap tingkah Marya yang tiba-tiba meninggalkan obrolan. Tak tahan dilanda oleh sikap aneh Marya, lelaki itu lalu menghampiri Marya dan langsung bertanya.
“Kenapa, Mar? Bintangnya bagus, ya!”
Marya diam.
“Tempat yang kupilih bagus, kan?”
Marya masih diam dan membelakangi lelaki itu.
“Mar... Kamu marah sama aku?”
“Sudah tau kenapa nanya!”
“Marah kenapa?”
“Nanya?”
“Iya, iya. Memangnya, salah, ya, kalau aku maunya kamu itu setelah menikah tinggal di rumah, tak usah bekerja dan hanya melayani aku?”
“Menurutmu?”
“Enggak yang salah. Toh, tugas istri kan harus patuh kepada suami.”
“Lantas, bagaimana kalau aku ternyata suka bekerja karena aku mendapatkan validasi, pertemanan, serta kemapanan finansial pribadi?”
“Lah, kan, udah aku yang kerja, Mar?”
“Bagaimana kalau aku mau punya uang, dari hasil kerjaku sendiri. Jadi bebas mau beli apa aja, tak perlu minta!”
“Kamu pegang uang banyak kali buat apa, Mar. Ekonomi dan uang belanja harian biar ibuku yang urus. Soal skincare dan perawatan kamu itu biar aku yang tanggung. Apalagi.”
Marya menarik nafas panjang sambil memejam. “Ternyata memang tak bisa, ya? Belum jadi istrimu pun kamu sudah mulai memegang kendali atas aku. Sebaiknya memang kita putus aja. Aku tak cocok dengan pemikiranmu itu!”
“Tapi kita kan sudah lama tunangan, Mar. Kamu bakalan nyesal sudah memutuskan aku. Bakalan susah move-on dari aku!”
Marya menunjukkan senyum sinisnya. “Sudah, ya. Aku mau pulang. Gak usah hubungi lagi. Nomormu aku blokir.”
“Maaar!!!”
Marya terus melangkah pergi menuju kendaraan roda empat miliknya. Tak dia pedulikan teriakan lelaki itu yang terus memanggil. Dia tersenyum puas.
Begitulah Marya bertingkah saat meninggalkan lelaki yang pernah jadi kekasihnya. Lelaki itu sebenarnya tak kurang apapun dalam hal fisik. Meski tidak tampan, dia cukup enak dipandang. Pekerjaannya juga sudah mapan. Cukuplah untuk memberi kehidupan yang nyaman untuk Marya.
***
“Tapi dia patriarki. Rasakan itu.”
“Kamu yakin cerita ini bakalan dibaca orang, Mar?”
“Yakin. Aku harus membuka pikiran banyak perempuan bahwa kita itu spesial. Luar biasa spesial untuk diperlakukan dengan baik. Bukan perlakuan patriarki.”
“Endingnya berarti tidak hepi, dong?”
“Tentu saja happy. Aku sangat happy meninggalkan lelaki itu!”
“Itu bukan hepi ending berarti, Mar. Di mana-mana hepi ending itu hubungannya berakhir bahagia. Entah menikah dan lain sebagainya. Bukan perpisahan. Perpisahan bukan ending yang bahagia.”
Ctaaak!
Tiba-tiba Marya menjitak kepala saya sangat keras.
“Sakit, tau, Mar!” Saya pegangi kening saya dengan perasaan campur aduk.
“Ini adalah happy ending versi aku. Perpisahan yang sempurna karena melepaskan lelaki patriarki. Sungguh ending yang membahagiakan.”
“Tapi aku mau menyenangkan pembaca. Aku mau bikin cerita yang indah.”
Marya mendesah panjang. “Kau itu penulis. Yang seharusnya kau tulis itu adalah pikiranmu sendiri. Buat pemikiran yang berbeda, lah. Jangan yang terlalu biasa, terlalu umum.”
Pikiranku? Sejak awal menulis tadi sepertinya Marya terus yang menuangkan pikirannya. Bukan pikiranku.
“Iya, iya. Aku ikuti idemu. Terima kasih, loh, karena sudi menolong penulis malang ini.”
Sebisa mungkin saya berusaha menghindar dari perdebatan apa pun dengan Marya atau taruhannya karya saya tak selesai. Meskipun nantinya tak berhasil menang, setidaknya harga diri saya terselamatkan karena sudah berhasil membuat karya.
“Habis itu antar aku pulang!”
Setelah hampir satu jam melengkapi seluruh isi tulisan dengan kisah tentang Marya, saya akhirnya selesai. Saya antar perempuan itu pulang ke kamarnya dengan kereta kuda yang sama. Jam empat pagi dan dia mulai mengantuk. Perjalanan pulang mengantar Marya menjadi momen yang mirip dengan cerita saya tadi. Sebaiknya memang perempuan sudah tak perlu lagi berkeliaran di jam segitu.
Asrama Para Tokoh tampak indah saat itu. Lampu serambi yang temaram bersinar begitu sendu, menyamankan mata saya.
“Dadah, Mar. Makasih bantuannya, ya!”
Marya mengangguk dan langsung masuk.
Saya tebak, dia pasti langsung terlelap di ranjangnya. Saya sendiri belum mengantuk. Jemari saya masih gatal. Habis ini, lelaki, yang disebut Marya sebagai tokoh patriarki itu harus diinterogasi. Nanti, saya buatkan dia kisah yang sepanjang kisah Marya tadi. Jika perlu, lebih panjang. Saya sungguh penasaran.
Jangan-jangan lelaki itu tidak betulan patriarki. Melainkan, Marya saja yang tak suka diatur-atur. Alias feminis garis tipis.
(*)