Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di lantai 27 gedung pencakar langit Jakarta, ada sebuah ruangan direktur yang terkenal bukan karena desain interiornya yang mewah, tapi karena penghuninya: Broto.
Brotoseno Kertoatmodjo, lengkapnya. Botak mengilap, perut buncit seperti hamil tua, dan volume suara setara pengeras suara masjid kampung. Kalau dia marah—yang mana terjadi setiap hari kerja—lantai 27 terasa seperti medan perang.
“Buyung! Ini laporan apa?! Excel-nya kayak disusun anak TK!” teriak Pak Broto
“Maaf, Pak. Saya akan perbaiki.”
“Jangan minta maaf, perbaiki!”
Buyung hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Ia sudah terbiasa. Selama tiga tahun kerja di bawah Pak Broto, ia tak pernah sekalipun melihat bosnya tersenyum tulus. Tapi anehnya, Buyung tidak pernah dendam. Ia selalu berpikir, "Mungkin Pak Broto marah karena tekanan. Mungkin dia sedang lelah. Siapa tahu dia hatinya aslinya baik.”
Buyung adalah lulusan universitas negeri dari jurusan manajemen yang tidak terlalu terkenal, tapi ia dikenal rajin dan tulus dalam bekerja. Lahir dari keluarga sederhana di pinggiran Bekasi, sejak kecil ia terbiasa hidup dengan nilai-nilai kesabaran dan kerja keras. Ayahnya seorang tukang servis elektronik, ibunya jualan nasi uduk di depan rumah. Buyung belajar untuk tidak mudah mengeluh dan selalu mencari sisi baik dari setiap orang, termasuk bosnya yang galak sekalipun.
Saat pertama kali diterima di perusahaan tempat Pak Broto memimpin, Buyung tak menyangka akan langsung berada di bawah komando seorang direktur yang katanya "legendaris" karena galaknya. Tapi Buyung tidak mudah terpengaruh omongan orang. Ia percaya bahwa semua orang punya alasan di balik sikapnya. Meskipun sering jadi sasaran semprotan kemarahan Pak Broto, Buyung tetap melaksanakan tugasnya dengan serius dan jarang membalas dengan emosi.
Pak Broto punya kebiasaan unik: dia hanya mau buang air di satu toilet tertentu—toilet kecil di pojok ruangannya yang bersih dan wangi, dengan tisu impor dari Jepang dan dudukan toilet yang menghangat otomatis. Tak ada yang boleh masuk kecuali dia. Bagi Broto, toilet itu adalah satu-satunya tempat damai di hidupnya.
Namun, semuanya berubah pada hari Senin yang tampaknya biasa-biasa saja.
Pagi itu, Broto masuk ke ruangannya sambil memarahi satpam di lobby karena telat membuka pintu. Ia duduk, membuka laptop, lalu seperti biasa, masuk ke toiletnya.
Tapi…
Begitu pintu toilet tertutup dan ia selesai "menunaikan tugas negara", terdengar suara aneh, “BLUK!”
Lampu toilet yang terang tiba-tiba redup. Suasana di dalam toilet menjadi gelap. Kejadian itu berlangsung dengan cepat. Kemudian lampu menyala, Broto ada di tempat lain, di toilet yang lain tepatnya.
Broto terlonjak. Ia buru-buru menyelesaikan urusannya, menyiram, dan keluar. Tapi yang dilihatnya bukan ruang kantornya.
Ia berada di toilet lain. Yang lebih tua, lebih sempit, dan lebih bau.
Di balik pintu, terdengar suara obrolan. Tiga orang pria. Broto masuk ke ruang toilet lagi, menempelkan telinga ke pintu.
“Eh, lo tau gak? Si botak ngamuk lagi pagi ini.”
“Hahaha, si Broto? Biasa lah. Heran gue, bisa-bisanya orang kayak dia masih dipercaya mimpin.”
“Gue sih yakin, tinggal nunggu waktu dia diganti.”
"Gue skeptis sih, bekingan Broto botak ini ngeri Bro. Dia lagi berada di gerbong yang kuat."
"Sekuat-kuatnya orang, kalo udah waktunya lengser sih Gue yakin lengser tuh doi."
Broto terdiam.
Dia menahan napas. Rasanya seperti menelan kapur barus. Bukan karena bau, tapi karena sadar: begini rupanya orang-orang menilai dirinya.
Begitu suara hilang, Broto mencoba membuka pintu lagi. Ajaib, ia sudah kembali di ruangannya. Tak ada yang berubah, kecuali matanya yang sedikit merah.
Broto kemudian berlari keluar ruangannya. Dia berjalan cepat menuju lift. Sapaan "Pagi Pak" dari orang-orang yang berpapasan dengannya ia hiraukan. Di dalam lift ia langsung menuju basement. Kepala Broto celingak-celinguk, kadang digoyang-goyang kepalanya. Matanya langsung tertuju pada satu titik, toilet karyawan.
Kebetulan saat itu tidak ada orang. Broto mengendap-endap masuk. Masuk ke salah satu ruangan. Dia sedikit shock, tempat ini sama persis dengan yang dia datangi tadi.
Hari-hari berikutnya, rasa penasaran membuat Broto kembali masuk ke toilet. Dan setiap kali itu pula, ia “dipindahkan” ke toilet lain—masih di dalam gedung yang sama—tempat para karyawan biasa ngobrol bebas. Obrolannya pun beragam, tapi sebagian besar… tentang dirinya.
“Dia tuh gak pernah bilang terima kasih.”
“Cuma Buyung doang yang tahan sama dia.”
“Gue sih kalo disuruh milih, mending resign daripada kerja di bawah Broto.”
"Tapi Lu gak resign juga?"
"Ya anak istri masih butuh makan Bos."
Broto mulai menyadari: selama ini ia bukan dihormati, tapi ditakuti. Beda tipis, tapi dampaknya dalam. Ia mulai diam lebih banyak, membaca laporan lebih hati-hati, dan memperhatikan siapa yang sebenarnya jujur padanya.
Hari Rabu, Broto kembali masuk ke toilet ajaib. Kali ini, suara yang terdengar familiar.
“Gue sih kasihan sama Pak Broto.”
“Hah? Kasihan? Lo waras?”
“Iya. Lo pikir gampang ya mimpin perusahaan di tengah kondisi ekonomi begini? Emang dia galak, tapi coba lo bayangin beban dia. Lagian, kalau gak ada dia, kita mungkin udah kena PHK pas pandemi.”
Broto mengenali suara itu. Buyung. Broto mengernyitkan dahi.
Ia terdiam. Matanya memanas. Suara-suara lain menimpali, tapi Buyung tetap tenang, membela tanpa menjilat.
“Gue percaya, kadang orang keras karena takut kelihatan lemah. Tapi kita bisa bantu, bukan cuma mengeluh.”
Broto tak sanggup mendengar lagi. Ia kembali ke ruangannya, duduk lama, memandangi meja kerjanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan sebagai direktur, tapi sebagai manusia.
Hari Jumat pagi, Broto memanggil Buyung ke ruangannya.
“Buyung,” katanya pelan.
Buyung langsung panik. “I-iya, Pak?”
“Terima kasih ya… laporan kemarin bagus. Dan… terima kasih juga sudah kerja dengan sabar.”
Buyung nyaris menjatuhkan map. Ini pertama kalinya Broto bilang “terima kasih”.
“Oh… iya, Pak. Sama-sama, Pak.”
“Mulai minggu depan, kamu saya tunjuk jadi kepala divisi analisis.”
“Eh?”
“Kenapa? Gak percaya?”
“Bukan, Pak. Saya... terharu aja.” Buyung senyum kecil. “Kalau boleh jujur… Pak Broto kelihatan beda. Kalau boleh saya tahu kenapa ya Pak?”
Broto menghela napas. “Kadang, untuk berubah, kita butuh... toilet.”
“Hah?”
“Sudah. Bekerja lagi sana.”
Perlahan tapi pasti, suasana lantai 27 berubah. Broto mulai menyapa karyawan lebih dulu, sesekali mengangkat alis sambil berkata, “Pagi,” tanpa nada mengintimidasi seperti dulu. Saat laporan masuk tepat waktu, ia mengangguk dan berkata, “Bagus.” Meski pendek, ucapan itu seperti hujan gerimis di musim kemarau—ringan tapi menyegarkan. Bahkan pada satu kesempatan, Broto membawa sekotak donat ke ruang rapat dan meletakkannya di meja begitu saja. Seluruh divisi saling pandang, ragu antara mengambil atau memfoto dulu untuk bukti sejarah.
Karyawan yang dulu berjalan cepat saat melewati ruang Broto, kini mulai melambat, bahkan ada yang memberanikan diri bertanya, “Pak, sehat hari ini?”, Broto, tanpa banyak gaya, hanya menjawab, “Lumayan.” Tapi senyum tipis yang muncul sesaat kemudian terasa lebih berarti daripada seribu kata motivasi. Broto mulai melihat bahwa setiap orang di kantornya juga punya potensi—asal diberi ruang, dan dihargai.
Buyung tetap seperti dulu—rajin, teliti, dan positif. Tapi kini ia punya lebih banyak alasan untuk tersenyum.
Sedangkan toilet ajaib?
Tak ada yang tahu keberadaannya, kecuali Broto. Suatu kali ia mencoba masuk lagi, tapi pintu hanya membuka ke toilet biasa. Broto sudah tidak bisa berpindah-pindah lagi. Mungkin toilet itu sudah menyelesaikan tugasnya.
Karena kadang, yang dibutuhkan manusia untuk jadi lebih baik… hanyalah tempat yang cukup sunyi untuk mendengar kebenaran.