Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Toilet Kemanasaja: Dua Teman Lama
7
Suka
1,194
Dibaca

Setiap orang pasti pernah mengalami momen penentu dalam hidup. Sebuah titik di mana satu keputusan, satu langkah, atau bahkan satu detik keterlambatan bisa mengubah segalanya. Bagi Bagas, hari itu adalah hari penentuan. Hari ketika ia berdiri di ambang pintu kantor LuxaGlow, sebuah perusahaan kosmetik terkemuka yang dikenal dengan produk-produknya yang selalu viral dan strategi pemasarannya yang penuh kejutan. Hari ketika ia berjuang bukan hanya dengan kompetisi, tapi dengan tubuhnya sendiri.

Bagas bukan orang yang asing dengan tekanan. Ia pernah menghadapi presentasi klien besar, menyelamatkan kampanye digital yang nyaris gagal, dan memimpin tim yang anggotanya lebih tua darinya. Tapi tidak ada yang mempersiapkannya untuk kombinasi maut antara wawancara kerja final dan... perut mules yang datang tanpa aba-aba.

Sementara itu, Nadia, rekan seperjuangannya sejak tahap seleksi awal, tampil percaya diri dan terencana. Ia seperti personifikasi dari kata "siap." Rambutnya disisir rapi, blazer pastel yang pas di badan, dan presentasi yang sudah ia latih seminggu penuh. Tak ada yang tampak bisa menggoyahkan fokusnya.

Kisah ini bukan hanya tentang siapa yang lebih pintar, siapa yang lebih cepat, atau siapa yang lebih kreatif. Ini adalah cerita tentang momentum. Tentang bagaimana kehidupan kadang memberi kita panggung, tapi lupa memberitahu bahwa panggung itu bisa roboh sewaktu-waktu.

Dan seperti banyak kisah lainnya, ini bukan kisah pahlawan super. Ini kisah manusia biasa. Dengan harapan besar, keinginan kuat, dan... sistem pencernaan yang kadang tak mau diajak kompromi.

Di hari itu, ketika pintu lift terbuka dan aroma parfum kantor menyeruak, dua nama ditulis dalam jadwal wawancara: Bagas dan Nadia.

Dan saat itulah, segalanya dimulai.

Begitu masuk ruangan, ia disambut dua pewawancara HR. Bagas menarik napas dalam-dalam dan mulai menjelaskan pengalamannya di bidang marketing dan media sosial.

"Saya pernah memimpin kampanye digital untuk produk UMKM lokal. Strategi yang saya pakai adalah kombinasi konten autentik dan challenge di TikTok. Hasilnya, engagement naik 170% dalam seminggu."

HR mengangguk, tampak terkesan. Bagas keluar ruangan dengan percaya diri.

Giliran Nadia. Ia membuka presentasi portofolionya dengan tenang. "Saya percaya bahwa produk kosmetik bukan sekadar produk, tapi bagian dari cerita hidup seseorang," katanya membuka.

Ia memaparkan konsep storytelling untuk kampanye lotion dengan pendekatan emosional dan data yang kuat. Hasilnya: brand awareness meningkat signifikan dan viral di kalangan Gen Z.

Hasilnya, dua-duanya lolos lagi. HR menghubungi mereka beberapa hari kemudian untuk tahap akhir: wawancara dengan user, alias manajemen senior.

***

Waktu menunjuk pukul 09.30 pagi ketika mereka tiba di lantai 29 gedung LuxaGlow. Ruang tunggu terasa seperti ruang audisi film. Kursi empuk, aroma ruangan wangi, dan pemandangan kota yang megah dari balik jendela.

"Tinggal satu langkah lagi," kata Nadia.

Bagas mengangguk. Tapi mendadak...

GGRRRRRRRKK.

Perut Bagas berbunyi nyaring. Ia duduk lebih tegak, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba datang.

"Bagas dan Nadia, selamat pagi. Kami akan mulai wawancaranya satu-satu. Mbak Nadia dulu, ya."

Nadia berdiri dan masuk ke ruangan. Bagas tersisa sendirian.

Peluh mulai keluar dari pelipis. Perutnya mulai mules. Ia mencoba berdiri, lalu duduk lagi. Hatinya berkata: tahan sebentar lagi.

Lima menit. Sepuluh menit.

Rasa mulas semakin menjadi-jadi.

Bagas menghampiri salah satu staf.

"Maaf, Mas. Toiletnya di mana, ya?"

"Di ujung lorong, tapi lagi ada perbaikan. Mungkin bisa ke lantai atas, ke lantai 30."

Bagas setengah berlari ke lift. Sampai di lantai 30, baru lima langkah keluar lift, seorang security menghadangnya.

"Ini area direksi. Ada keperluan apa, Mas?"

"Toilet, Mas. Yang bawah rusak katanya."

Security menggeleng. "Maaf, Mas. Gak bisa. Peraturan."

Bagas menelan ludah. Ia kembali ke lift. Tapi ternyata, saat itu jam makan siang. Orang-orang dari berbagai lantai juga turun. Lift penuh.

Ia menunggu sebentar. Tapi tak kuat. Ia memutuskan pakai tangga. Turun. Lantai demi lantai. Setiap langkah seperti perjuangan.

Sampai lantai dasar.

Masuk toilet... Antri.

Semua bilik penuh.

Bagas menatap langit-langit. Ia memutar badan, lari keluar gedung.

Di seberang jalan, sebuah masjid dengan papan hijau muda menyambutnya.

Tanpa pikir panjang, Bagas melepas sepatu, masuk toilet masjid, dan...

Plong.

Itu adalah detik paling membebaskan dalam hidupnya. Ia menunduk, bersyukur. Tapi juga mulai panik: "Gue harus buru-buru balik."

Sementara itu, di dalam gedung, Nadia baru saja keluar dari ruang wawancara. User yang mewawancarainya sangat terkesan.

"Sangat menarik. Saya suka pendekatannya. Silakan tunggu sebentar, ya. Kami mau wawancara Mas Bagas sekarang."

Namun...

Bagas tidak di tempat.

User turun ke beberapa lantai. Bertanya ke staf. Tak ada yang tahu. Akhirnya, ia ke resepsionis.

"Tadi saya lihat Mas Bagas keluar gedung, Pak," kata resepsionis.

User menghela napas. "Kita gak bisa tunggu terlalu lama."

Bagas kembali ke gedung LuxaGlow dengan napas lebih ringan. Ia langsung menuju resepsionis.

"Saya mau lanjut wawancara. Tadi ada urusan sebentar."

Resepsionis menatapnya dengan raut menyesal. "Maaf, Mas. Pak User barusan memutuskan. Posisi itu... sudah diberikan ke Mbak Nadia."

Bagas terdiam. Seluruh tubuhnya dingin. Ia mengangguk pelan. "Oh, baik. Terima kasih."

Ia berjalan ke luar. Menatap gedung itu sekali lagi. Perasaan kosong menyelimutinya.

***

Beberapa bulan kemudian, Bagas duduk di sebuah kafe kecil. Di depannya laptop terbuka. Ia menulis email ke HR LuxaGlow:

Terima kasih atas kesempatannya. Meski saya belum sempat menunjukkan kemampuan saya di tahap akhir, saya harap ada kesempatan lain di masa depan.

Salam hangat,

Bagas

Ia menambahkan di akhir:

Kadang, peluang besar datang bersamaan dengan ujian... di perut.

Di meja sebelah, seorang pria menyapa.

"Mas yang kemarin di LuxaGlow, ya? Yang lari-lari?"

Bagas menoleh. Pria itu tersenyum. "Gue satpam lantai 30. Inget banget Mas panik mau ke toilet."

Bagas menutup laptopnya dan tertawa. Setelah tawa itu, tiba-tiba perut Bagas berkontraksi. Bagas menutup percakapan buru-buru masuk ke toilet café. Perutnya masih mules sejak tadi. Mungkin sarapan yang kurang yang tertimpa long black.

Begitu dia mengunci bilik toilet, ia terduduk di kloset sambil menghela napas berat. Sekelilingnya sunyi. Padahal café tadi cukup ramai. Tapi toilet ini aneh: dindingnya bersih berkilau, aromanya seperti lemon, dan lampu LED di langit-langit memantulkan cahaya keemasan. Lebih mirip toilet kantor elite ketimbang toilet café biasa.

Beberapa menit berlalu. Bagas menyandarkan kepala ke dinding.

Tiba-tiba...

Klik.

Lampu berkedip sebentar. Lalu suara pintu terbuka terdengar. Tapi bukan pintu café, melainkan... entah. Suaranya berbeda. Lebih berat, seperti pintu besi.

Kemudian terdengar suara langkah kaki masuk. Hak sepatu perempuan. Lalu... isakan pelan.

Bagas terdiam.

Dia menahan napas, menunduk agar tidak kelihatan dari celah pintu bilik.

Isakan itu semakin jelas. Suara perempuan, menangis pelan di depan wastafel. Bagas nyaris bersuara, ingin bertanya, tapi suaranya tercekat.

"Lagian... buat apa aku bertahan di sini..."

Isakan.

"Kerja siang malam, ide diambil, aku cuma pelengkap tim."

Bagas membuka matanya lebar. Suara itu familiar.

"Nggak ada yang ngerti aku... bahkan di tim kreatif pun aku cuma kayak asisten. Asisten dari asisten."

Dia yakin itu suara Nadia.

Darah Bagas seperti berhenti mengalir.

Kenapa Nadia ada di toilet café? pikirnya. Tapi begitu ia menengok ke pintu bilik, ia sadar... ini bukan toilet café. Tidak lagi. Pintu dan dindingnya berganti. Logo kecil bertuliskan “LuxaGlow Corporation” terukir di atas dispenser sabun. Bagas menatap sekeliling. Ini toilet kantor.

Dia memejamkan mata. Oke. Gue berhalusinasi. Ini pasti karena stress.

Sementara itu Nadia masih menangis, membasuh muka, lalu berkali-kali menarik napas dalam-dalam. Bagas tak berani bergerak.

Beberapa menit kemudian, Nadia keluar dari toilet. Sepi kembali menyelimuti ruangan.

Bagas keluar perlahan dari bilik.

Toilet itu benar-benar toilet kantor. Sink dan cermin besar berbingkai hitam, sabun cair wangi mewah, dan pintu keluar berlapis kaca buram.

Dia menarik napas dalam dan keluar dari toilet.

Saat ia melangkah ke lorong kantor, sebuah pintu lift terbuka.

Di sanalah Nadia berdiri.

Mereka saling bertatapan.

Nadia tampak terkejut.

"Bagas?" tanyanya, seperti tak percaya.

Bagas membeku. Pintu lift nyaris menutup kembali, tapi Nadia menahan dengan tangan dan melangkah cepat keluar.

Mereka berdiri hanya beberapa meter di depan lobi utama LuxaGlow.

“Nadia…” Bagas berbisik. “Maaf, aku… ini…”

Tapi sebelum ia bisa menjelaskan sesuatu, Nadia langsung melangkah mendekat dan… memeluknya.

Pelukan hangat, tak terduga, membuat Bagas kaku beberapa detik. Pelan-pelan ia mengangkat tangan dan membalas pelukan itu.

"Aku capek, Gas," bisik Nadia. "Aku capek banget."

Bagas hanya membisu. Ia merasakan tubuh Nadia sedikit gemetar.

Beberapa karyawan lewat memandangi mereka, tapi keduanya tak peduli. Di antara mereka, waktu seolah berhenti.

Akhirnya, Nadia melepas pelukan. Matanya masih merah, tapi senyumnya mulai mengembang. Ia mengusap pipinya.

"Maaf ya. Aku... kelihatan drama banget."

“Enggak,” jawab Bagas pelan. “Enggak sama sekali.”

Mereka duduk di sofa kecil di sudut lobi. Tak ada yang bicara selama satu menit penuh. Hanya suara lift dan sapaan sopan dari karyawan yang lewat.

Kemudian Nadia bersuara.

"Aku pengen resign, Gas."

Bagas menoleh, tak terkejut.

“Kerja di sini... bukan seperti yang aku bayangkan. Pas awal masuk sih semangat. Tapi makin ke sini... aku ngerasa kayak... kayak nggak dihargai.”

Dia memandang ke langit-langit, seolah mencari jawaban di sana.

“Ide-ideku diambil manajer. Aku kerja sampai malam, revisi berkali-kali, tapi yang dipuji orang lain. Aku nggak bisa berkembang. Setiap hari rasanya kayak bertahan demi gaji. Bukan demi mimpi.”

Bagas mengangguk pelan.

"Aku pernah ngerasa gitu juga," jawabnya. "Dulu pas magang di biro desain, tiap hari cuma nyari gambar referensi. Padahal aku punya banyak konsep. Tapi ya… waktu itu aku diem aja."

Nadia tersenyum lemah. “Kadang aku iri sama orang yang bisa bilang ‘nggak’ di kerjaan.”

“Hm,” gumam Bagas. “Bilang ‘nggak’ itu mahal. Apalagi di kantor yang nganggap lo harus selalu ‘iya’.”

Hening lagi. Tapi hening yang nyaman.

Kemudian Nadia bicara, pelan, ragu-ragu. “Gas…”

“Hmm?”

"Aku udah lama suka sama kamu."

Bagas terdiam. Dadanya berdegup keras. “Serius?”

Nadia mengangguk. “Dari dulu, waktu kita masih bareng di komunitas desain. Kamu yang selalu semangat bikin poster acara, yang rela naik motor malem-malem demi ngeprint banner. Yang ngajarin aku ngedit video, padahal kamu sendiri belum ahli. Tapi kamu... nggak pernah angkuh.”

Bagas memandang mata Nadia. Ada kejujuran di sana. Dan keberanian.

"Aku kira kamu suka sama si Dita," lanjut Nadia. “Soalnya kalian sering bareng.”

“Enggak,” jawab Bagas cepat. “Aku… emang deket sama Dita. Tapi nggak kayak gitu. Kita cuma ngerjain proyek bareng waktu itu.”

Nadia mengangguk. “Ya. Tapi aku nggak pernah berani ngomong. Sampai sekarang.”

Bagas menelan ludah. “Aku juga sebenernya… selalu ngerasa nyaman sama kamu. Tapi aku pikir kamu terlalu keren buat aku. Kamu udah kerja di kantor gede, punya portofolio kece…”

“Keren?” Nadia tertawa kecil. “Gas, aku barusan nangis di toilet kantor. Kayak anak magang yang diomelin atasan.”

Bagas ikut tertawa. Lalu ia menatap wajah Nadia dengan lebih lembut. “Aku nggak tahu kenapa aku bisa tiba-tiba muncul di toilet kantor kamu. Tapi... mungkin ini semesta yang ngasih kita kesempatan buat jujur.”

Nadia menatapnya lama.

“Kalau aku resign,” katanya, “kamu mau nemenin aku bikin proyek sendiri?”

Bagas mengangkat alis. “Bikin apa?”

“Studio desain kecil-kecilan. Buat bantu UMKM. Biar kita kerja sesuai nilai yang kita percaya. Biar kita bikin karya yang kita banggakan. Kamu mau?”

Bagas tak menjawab langsung.

Ia hanya tersenyum.

Pelan-pelan, ia menggenggam tangan Nadia.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, perutnya tak lagi mules.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
StarLight
Vidharalia
Skrip Film
Before Tomorrow (SCRIPT)
Noor Cholis Hakim
Cerpen
Toilet Kemanasaja: Dua Teman Lama
Ega Pratama
Novel
Bronze
No More Utopia
Vera Herawati
Flash
Bronze
SECANGKIR CARAMEL MACCHIATO
Christin Meirdhika
Novel
Bronze
Tuan September
DameNingen
Cerpen
Bronze
Sora dan Keputusannya
Moycha Zia
Novel
Bronze
Beranda ( Kitab Puisi Asmaradhana )
RENDRA ABIMANYU
Skrip Film
The Rising Legacies
Gadhinia Devi Widiyanti
Novel
PLOT HOLE
Ade Agustia Putri
Novel
Gold
KKPK Hidden, Gadis Tersembunyi
Mizan Publishing
Skrip Film
Breath & Brave (Script)
Putriyani Hamballah
Flash
Jam Pelajaran
Fatimah Ar-Rahma
Novel
One Suku
Lisa
Novel
Gold
PBC My Brother and A Flower
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Toilet Kemanasaja: Dua Teman Lama
Ega Pratama
Cerpen
Bronze
Anak Perempuan Ayah & Ruang Angkasa
Ega Pratama
Cerpen
Dua Orang Penggali Tanah
Ega Pratama
Cerpen
Bronze
Toilet Kemanasaja: Marah-Marahnya Broto
Ega Pratama
Cerpen
Bronze
Bayangan Akuntan Publik
Ega Pratama