Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Tiwah
2
Suka
513
Dibaca

Tak ada Tiwah[1] lagi tahun ini, begitu ucap Damang[2] beruban dan bertato banyak itu. Dua puluh dua kepala keluarga, dua belas tua-tua, dan satu orang tamuei adalah hadirin musyawarah desa bulan ini. Aku orang dengan status si tamuei itu, dengan kata lain tamu. Sekarang desa ini sedikit orangnya. Kata warga, dusun ini pernah ramai. Entah sejak kapan, satu persatu merantau ke kota baru, ke proyek pemerintah itu. Taraf hidup orang memang harusnya meningkat terus, bukan? Alasan yang bisa dimengerti.

Indonesia memang negara pemimpi: sarat akan proyek-proyek besar padat agenda oligarki yang dibungkus cita-cita mulia, serta angan-angan para investornya yang lebih suka menjilat pantat pejabat daripada bayar pajak. Banyak proyek seperti itu, mungkin karena sudah dekat seratus tahun pemerintahan mereka jadi lebih heboh bikin-bikin proyek. Contoh nyata produk proyek seperti itu adalah aku: guru yang ikut dalam program Bakti Desa. Sayang memang, aku cuma bisa jadi guru. Apa daya otak cuma segini. Setelah lulus kuliah dan kerja setahun, aku dikirim dalam misi mengajar anak-anak pedalaman. Mereka sangka karena aku darah Dayak, tak akan ada yang memakanku di sini. Orang-orang Jawa sok pintar itu memang betul prasangkanya, karena pun aku masih bisa-bisa saja jalan-jalan keliling kampung tanpa takut. Pun begitu status tamu yang kusandang itu, berbicara lebih keras lewat tatapan orang-orang saat melihatku: orang asing.

Ironisnya, aku anak muda dari kota yang mengabdi demi cita-cita negara yang tertulis di pembukaan UUD itu. Sedangkan anak-anak muda sepantaranku yang asalnya murni dari desa ini malah berbondong-bondong ikut proyek urbanisasi kota baru itu dan sebagian lain jadi buruh outsourcing di perusahaan tambang yang izinnya mirip-mirip izin siswaku kalau lagi sakit.

“Kita harus lebih banyak basarah[3]. Itah maimbit behas ka Pasah Patahu[4] akan Ranying Hatalla[5][6],” ujar seorang nenek yang ikut dalam musyawarah.

“Semoga kemarau balasut[7] ini terai[8],” ucap seorang tua-tua desa dengan mata sipit yang kosong. Damang meminum Baram[9] terakhir dari gelas kayu bambu adat yang dulu sering digunakan ayahnya saat menjabat, lalu meletakannya di lantai. Daun telinganya yang melar karena berat anting-antingnya bergoyang saat ia berkata, “Pasti karena kita belum Tiwah, makanya kita gagal panen. Liaw [10] yang tak bisa naik mengutuk kita dan mau kita segera siapkan.”

Aku menguap karena bosan mendengar teori Damang. Kupandangi pohon ulin tua yang tumbuh di luar balai. Tahu-tahu, kudengar pohon kramat itu mengucap lewat bahasa yang lain. Ia bak kuda liar melalui suara yang menggesek telinga, juga lewat ratapan dari suara-suara purba ribuan tahun lalu. Kemudian mataku menyaksikan pohon yang lebih muda yang tumbuh di sebelahnya menggoyangkan dahan dan pada batangnya timbul wajah memelas mirip wajah gelandangan jalanan yang dulu sering kulihat waktu aku masih di Jawa.

Aku mengucek mata. Dua pohon itu bisu lagi seperti sediakala. Seperti julukannya si kayu besi, diam bak seonggok besi tua. Aneh, yang minum alkohol bukan aku tapi aku yang sepertinya mabuk.

Tapi, oh tapi! Setelah kupikirkan lagi, hal teraneh dari semua ini adalah ucapan dari Damang tua itu. Bisa kurasakan Tan Malaka menjilati kupingku seolah meledek, “Madilog masih relevan, bukan?”

Kusadari juga para suami mengerutkan kening, melayangkan komentar lewat bisik-bisik, “bukannya gagal panen kita akibat tambang-tambang milik swasta-swasta Tiongkok itu? Tambang yang bau solar dari truk-truknya dan limbah-limbah kotornya mengalir hingga ke sini?”

Komentar yang lahir dari logika, tapi tak berani disuarakan terbuka. Memang tak hanya padi yang tak tumbuh subur di sini. Baik logika dan keberanian, dua-duanya tersunat saat berhadapan dengan Damang dan dua belas tua-tua.

Hari-hari berjalan hingga berminggu-minggu selanjutnya. Masih belum Tiwah. Orang-orang desa melakukan sembayang wajib mereka. Rutinitas petani masih berjalan seperti biasa. Bedanya kali ini, diikuti komat-kamit sambil menengadah. Langit tetap panas tak kasihan. Aku yang kasihan. Beberapa petani sudah terlalu tua untuk bicara pada awan dan matahari. Walau aku tidak suka di sini, tapi melihat ini setiap hari juga membuat masygul hati.

Usai mengajar anak-anak mereka di balai, aku berjalan dua setengah jam ke arah timur berbekal sebotol air, uang ratusan ribu, dokumen-dokumen penting, dan minyak urut Dayak. Di tepi jalan raya, aku mengangkat ibu jari sambil berharap tidak disangka begal. Kota baru itu jaraknya cukup jauh bahkan dengan mobil sekalipun. Aku tiba saat senja.

Saat kuamati keadaan kota, kepalaku migrain. Mungkin karena culture shock atau bisa jadi juga karena jetlag. Mataku menatap jalan beraspal, taman-taman bersih, robot-robot terbang, kendaraan listrik yang bergerak dalam senyap, dan kerlap-kerlip lampu jalananan bertenaga surya yang mulai menyala. Ini seperti negara lain. Hal yang masih sama cuma tatapan orang-orang yang melihatku asing, tak beda dengan di desa. Gedung-gedung tinggi mendominasi dengan gaya arsitektur gaib seperti Museum Gugenheim[11] karya Gehry. Di kejauhan, aku bisa melihat gedung dengan atap seperti jubah tudung berlumut. Aku bertanya pada beberapa orang dan pergi ke gedung yang aku tuju.

“Saya mau ajukan permohonan,” ucapku sembari mengelap keringat yang sudah menumpuk di dahi. Pendingin udara di gedung ini terasa menyegarkan. Kujelaskan secara singkat maksud tujuanku ke sini.

“Silakan bisa isi formulir ini,” ucap perempuan paruhbaya di belakang kaca, sembari memberikanku kertas. Itulah ultimatumnya untuk menyudahi percakapan.

Ada banyak kertas yang disodorkan. Otak guruku mencak-mencak dalam hati. Zaman berubah tapi Indonesia masih butuh kertas, seolah seluruh hutan di Kalimantan tak punya fungsi lain kalau bukan untuk ditebang. Tapi apa boleh buat. Jika kertas ini bisa mengubah sesuatu, tentu kuisi semua lembarnya. Hari berganti malam dan aku kembali ke desa setelah disuruh menunggu.

Bulan-bulan bergulir cepat. Bibit yang ditanam tak ada yang bertunas. Pepohonan juga rasanya mulai berkurang seiring digembar-gemborkannya pembangunan kota-kota baru lainnya. Bersamaan dengan hilangnya pohon-pohon, masyarakat desa juga ikutan. Ada yang pindah ke kota baru, ada yang pindah ke desa sebelah, ada juga mereka yang ikut-ikut di proyek kota baru dan pertambangan Tiongkok itu. Sisa para petani, beberapa keluarga, dua belas tua-tua, dan Damang.

Petani-petani terus setia menengadah ke langit, komat-kamit minta hujan walau mata mereka justru yang hujan duluan. Kertas formulirku tak berbuah hasil. Setidaknya aku mengharapkan agar ada bantuan. Mungkin dengan mengirimkan kami teknologi-teknologi pertanian yang mutakhir. Itu mudah pasti. Mungkin bisa juga kirimkan ahli-ahli pertanian ke sini. Atau paling tidak kasih sembako. Tapi pemerintah diam. Tak ada yang terjadi. Lalu aku merasa konyol karena sempat kasihan pada petani-petani di luar yang meminta hujan itu.

Baru saja aku memutuskan akan kembali lagi ke kota baru, hujan tahu-tahu turun. Harapan petani terkabul, mereka lompat kegirangan. Damang tersenyum. Ini pertanda baik. Mereka adakan syukuran ke Ranying Hatalla. Ternyata pemerintah pusat yang kusangka lebih dekat dari Ranying Hatalla, sekarang jadi terasa lebih angker dan jauh. Lebih-lebih gaib dari Kuyang.

Sayangnya, hujan yang turun mengalirkan berita duka juga. Akibat hujan lebat, banyak warga desa proyek tambang mengalami kecelakaan. Sepuluh anak muda asli desa terjebak dalam gua tambang dan terkena longsor. Jasad mereka dibawa kembali untuk dikubur. Uang santunan dari perusahaan tambang diberikan seadanya. Cuma cukup untuk beli peti dan adakan acara duka. Kemudian kalimat-kalimat kedukaan bergulir menjadi satu kata: Tiwah.

“Kita harus Tiwah. Ini sudah lewat sepuluh tahun,” begitu ucap Damang.

“Tapi Tiwah itu mahal. Kita belum bisa memanen hasil tana[12].”

Rapat itu tidak aku ikuti lagi ketika mendengar kata Tiwah. Betapa kusesali keputusan itu.

Keesokan harinya, saat aku menyiapkan diri untuk mengajarkan anak-anak pertambahan, kusadari bahwa muridku tidak ada yang datang. Kukira itu karena hujan lebat yang turun terus dari pagi. Tapi saat kutanya pada semua orang di desa, mereka diam. Bagus juga sebenarnya, aku jadi bisa libur. Tapi entah apa yang merasukiku, aku hendak mencari tahu.

Kebetulan Pujon lewat. Muridku itu sedang celingak-celinguk. Sampeq[13] di tangan. Kuintai dia dari belakang. Ia berjalan masuk ke dalam hutan, melewati sungai tercemar, lalu jalan berlubang serta berlumpur, kemudian lahan dengan tunggul-tunggul kayu, berakhir dengan jalan hutan yang terpotong jalur truk-truk tambang. Jalanan ini kukenali karena berbulan lalu aku lewat sini.

Tebakanku betul. Ia berhenti di tepi jalan raya dan menunggu mobil lewat di tengah hujan gerimis. Aku mencegatnya.

“Pujon! Kenapa tidak sekolah?”

“Eh!” Ia terkejut bukan main.

“Saya mau ke kota baru, pak guru.”

“Kota baru? Mau apa?”

“Main ini,” ujarnya sembari memamerkan alat musik yang sudah agak kotor itu. Ukurannya kecil, cocoklah untuk dia.

“Buat apa? Ada acara?”

Pujon tidak langsung menjawab. Ia menggeleng, lalu menjawab malu-malu, “lagi mau ke sana saja.”

Barulah aku tahu maksudnya.

“Saya ikut.”

Kami sampai saat senja. Kutelusuri jalan-jalan kota itu. Lagi kulihat pemandangan yang sama: mobil listrik, robot terbang, gedung meliuk-liuk, dan tatapan penuh curiga.

Saat aku sibuk memindai sudut-sudut kota, Pujon berteriak di belakangku.

“Lepaskan! Lepaskan saya!”

“Ikut saya sekarang. Ikut!”

Aku menoleh. Ternyata aparat. Ia memegang tangan Pujon dan sudah siap mementungnya.

Aku menghardik, “hei! Kenapa mau tangkap anak ini?”

Melihatku, si aparat berubah ciut. Dia menjelaskan, sejak siang tadi banyak laporan bahwa ada anak-anak pengamen berseliweran di kota. Mereka terlihat seperti dari hutan. Sebagian besar sudah diamankan dan dimasukkan ke bangsal sementara. Ia sangka, anak ini juga salah satunya.

Mataku berkedut, demikian juga urat pada dahi.

Hari itu panjang bukan main. Aku mengurus ini dan itu. Lagi-lagi kertas ini dan itu. Pada akhirnya, aku hanya bisa membawa pulang Pujon. Ada lima belas anak muridku yang tertangkap aparat. Mereka baru bebas kalau orang tua sahnya datang ke sini. Kujelaskan keadaan bahwa orang tua mereka tinggal di desa yang jaraknya jauh dari sini. Sepanjang jalan telingaku berdengung hebat karena kalimat terakhir petugas sipil itu.

“Kalau anak-anaknya saja bisa datang ke sini, masa orang tuanya tidak bisa?”

Aku diam sepanjang jalan saat naik mobil bak terbuka. Pujon di sebelahku bermain Sampeq mencoba menghibur. Angin malam bertiup.

Bau busuk menyeruak. Bau mayat yang begitu busuk. Mungkin bau dari sesuatu yang tak sempat pergi dari bencana, atau bau yang timbul akibat kepongahan merasa bisa menghadapinya.

“Memang punya adiknya?”

“Ya, betul. Walau embel-embelnya swasta, akhirnya tetap aja pemerintah main. Pohon banyak gini nggak dibuat jadi duit? Nggak mungkin!”

Percakapan sopir dan kernetnya di depan terdengar jelas. Aku diam.

Di tengah jalan, si sopir berhenti. Aku dan Pujon bersitatap. Si sopir turun dari mobil dan menghampiri kami.

“Ada banjir,” ucapnya singkat.

Kami segera tahu maksudnya.

Dari tepi jalan raya, kami berjalan kembali. Banjirnya memang tidak tinggi, tapi cukup untuk membuat gila.

Sampai di desa, penduduk sudah berkumpul. Padahal ini jam dua subuh. Para istri kebingungan karena anak belum pulang. Para petani ikut hilang saat tahu akan gagal panen lagi. Atas perintah Damang, sisa laki-laki yang ada diminta berburu babi hutan. Damang khawatir tidak ada babi lagi untuk Tiwah. Semua karena banjir.

Semua orang menyadari kedatanganku. Mereka menatapku dengan tatapan itu lagi.

“Sudah datang? Mulailah berburu babi,” ucap Damang padaku.

Urat kepalaku menegang.

Aku mendengar sesuatu. Kupandang pohon sakral yang sudah terendam banjir itu. Pohon muda disampingnya sudah hanyut, lewat. Kambium pohon sakral itu terkelupas dan terlihat garing sekali. Oh, jadi ini kenapa pengetahuan itu dosa. Suara pohon itu datang lagi, bersama dengan bau busuk dari akar-akarnya. Ya, aku paham sekarang. Pohon kehidupan itu menghasilkan buah pengetahuan, bukan? Terlarang, bukan?

Aku mengambil mandau. Apalah fungsi telinga selain mendengar? Apalah fungsi mata selain melihat? Apalah fungsi hidung selain mencium? Apalah fungsi hati selain merasa? Apalah fungsiku?

“Betul juga,” Damang menghampiriku bersama sisa penduduk desa.

“Tidak ada waktu lagi. Kita ikat dia di Sapundu[14].”

 

 

***

 

  

 

[1] Tiwah adalah tradisi upacara pasca kematian dari suku Dayak. Tulang belulang dari orang yang sudah meninggal akan diambil kembali dari makam dan dipindahkan ke wadah lain agar roh orang yang sudah meninggal bisa naik ke langit ke tujuh.

[2] Damang adalah sebutan kepala adat di suku Dayak Ngaju.

[3] Basarah artinya beribadah atau berserah diri kepada Tuhan dalam kepercayaan Kaharingan.

[4] Pasah Patahu adalah sebuah tempat seperti rumah kecil untuk peletakkan sesajen seperti beras, telur, dan persembahan lainnya dalam kepercayaan Kaharingan.

[5] Tuhan dalam kepercayaan Kaharingan.

[6] Kita bawa beras ke Pasah Patahu untuk Ranying Hatalla (bahasa Dayak Ngaju).

[7] Balasut artinya panas (bahasa Dayak Ngaju).

[8] Terai artinya berhenti (bahasa Dayak Ngaju).

[9] Arak khas Dayak Ngaju.

[10] Liaw adalah sebutan untuk roh orang yang sudah meninggal.

[11] Museum Gugenheim di Bilbao adalah karya arsitektur terkenal bernama Frank Gehry. Bangunan itu dibuat menggunakan bahan yang sama seperti pada pesawat ruang angkasa agar bisa dibuat melengkung.

[12] Tana artinya sawah atau ladang (dalam bahasa Dayak Ngaju).

[13] Alat musik tradisional dari Kalimantan. Dimainkan dengan cara dipetik.

[14] Sapundu adalah tiang tempat mengikatkan hewan kurban untuk tradisi Tiwah. Hewan yang biasanya dikurbankan adalah sapi, babi, dan kerbau.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Tiwah
Astromancer
Novel
BUKAN KISAH SINETRON
Rudie Chakil
Novel
Gosh Stalker
TF Nasution
Novel
The Immigrant
tri wahyu dono
Novel
Bronze
WHO
ammar kazhim mukhtar
Novel
Pramuria (Waitress)
Awang Nurhakim
Flash
Invisible Prick
Syashi Ammar
Novel
Gold
Angels and Demons (Republish)
Mizan Publishing
Novel
Beautiful Liar
Berthy Adiningsih
Novel
Ritual Sugih Ni Putri Anjani
E. N. Mahera
Novel
Gita and Mey - Ariana Day
Cancan Ramadhan
Novel
Z FLAKKA 20
Adine Indriani
Komik
Stick on you
keni suriya
Flash
Bronze
SURAT BALASAN
Mxxn
Novel
Bronze
Saat Reuni Usai
Erva Eriyanti
Rekomendasi
Cerpen
Tiwah
Astromancer
Cerpen
Cewek itu Gula
Astromancer
Flash
Selamat Natal
Astromancer
Cerpen
Lampu Merah
Astromancer
Skrip Film
-Gelombang-
Astromancer
Cerpen
Lebih dari Seragam
Astromancer
Novel
Sampah dan Bertuah
Astromancer
Cerpen
Manusia Bermain Tuhan
Astromancer
Novel
Gelombang°°
Astromancer
Flash
Tabula Rasa
Astromancer
Flash
Pergumulan Pohon Cemara
Astromancer
Cerpen
Mesin Tik Tua
Astromancer
Cerpen
Stranger's Jacket
Astromancer
Cerpen
Senggol Tonjok
Astromancer
Cerpen
Panjang Umur Perjuangan
Astromancer