Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Titik Kembali
5
Suka
2,162
Dibaca

Rangga memandang sekelilingnya, bingung. Semua hal terasa asing, meskipun rumah ini sudah dikenal sejak kecil. Dinding rumah kayu yang dulu begitu hangat kini terlihat tua dan rapuh. Di luar, angin musim hujan membawa aroma tanah basah, yang mengingatkannya pada kenangan masa kecilnya—kenangan yang ia coba lupakan.

Dua belas tahun. Waktu yang cukup lama untuk merubah banyak hal. Rangga pergi meninggalkan kampung halamannya saat ia masih berusia 18 tahun, meninggalkan segala kenangan tentang keluarga, teman-teman, dan masa lalu yang penuh konflik. Kini, setelah semua waktu berlalu, ia kembali. Kembali karena alasan yang tak bisa ia elakkan—ayahnya sakit keras.

"Saya sudah menelepon dokter, Pak. Tapi, Ayah belum menunjukkan tanda-tanda membaik," suara ibu Rangga terdengar dari dalam rumah. Rangga mengenali suara itu, meskipun ada ketegangan yang menguar di antara mereka. Sari, ibunya, masih terlihat sama seperti dulu, dengan rambut hitam panjang yang mulai beruban dan wajah yang lelah.

Rangga mengetuk pintu dengan hati yang berat, lalu masuk. Memandang ibu yang sedang sibuk dengan surat-surat obat di meja makan, matanya berusaha menghindar dari tatapan ibu yang penuh pertanyaan.

"Ibu...," Rangga memulai kalimat, tetapi ia terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan segala yang ia rasa setelah sekian lama pergi dari rumah ini.

Ibu Rangga berhenti sejenak, matanya tertuju pada anaknya. Sebuah tatapan yang tajam, penuh perasaan campur aduk. Ada rasa marah yang lama terpendam, ada rasa khawatir yang tak terucapkan, namun juga ada keinginan untuk memahami. "Kau datang hanya karena ayah, kan?"

Rangga terdiam lagi. Bagaimana mungkin ia menjawab pertanyaan itu? Apakah ia benar-benar datang hanya karena ayahnya? Mungkin... tapi perasaan lain pun muncul. Seperti sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang harus diselesaikan sebelum terlambat. "Iya, Bu," jawabnya singkat, meskipun ada rasa bersalah yang menekan di dadanya.

Sari menundukkan kepala, lalu kembali sibuk dengan obat-obatan. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar. Hanya ada suara hujan yang semakin deras, dan suara detak jam yang semakin menambah kesunyian di antara mereka.

Rangga berjalan menuju kamar ayahnya. Pintu kamar itu terbuak sedikit, dan ia bisa melihat sosok lelaki tua yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Ayahnya, Pak Surya, masih mengenakan pakaian tidur yang sudah kusut. Wajahnya tampak sangat kurus dan pucat. Tak ada lagi aura kekuatan yang dulu ia kenal pada pria yang dulunya tampak perkasa ini.

Rangga menatap ayahnya dengan hati yang penuh kesedihan. Dulu, ketika ia memutuskan untuk pergi, ia tak pernah berpikir bahwa suatu hari ia akan kembali ke tempat ini dalam keadaan seperti ini. Seharusnya, Rangga berada di luar sana, mengejar impian-impian yang ia tulis dalam catatan kecilnya. Seharusnya, ia tak pernah harus kembali.

Namun, kenyataan berbeda.

Hujan di luar semakin deras, menyiramkan air ke tanah yang sudah lama kering. Angin yang berhembus membuat pohon-pohon di halaman rumah berayun lembut, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti rumah ini. Rangga mendekati tempat tidur ayahnya, lalu duduk di sampingnya. Tangannya terulur, menyentuh tangan ayah yang dingin dan kurus.

“Ayah...," suara Rangga terhenti. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan. Tak ada penjelasan untuk waktu yang telah hilang begitu saja.

Setelah beberapa lama, Rangga teringat pada sesuatu. Sesuatu yang pernah dijanjikan oleh ibunya sebelum ia pergi—janji yang sampai sekarang belum pernah ia tepati. Sebuah janji yang mungkin hanya bisa dipenuhi saat ia kembali.

"Ibu...," Rangga berbalik dan memanggil ibunya yang berada di dapur. "Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Tentang ayah... dan... tentang kita."

Ibu Rangga hanya mengangguk, meskipun tatapannya tidak bisa ia hindari. Tidak ada kata-kata yang muncul. Hanya ada keheningan yang terasa semakin berat seiring waktu yang terus berlalu.

Rangga tahu, kepergiannya dulu meninggalkan banyak luka yang belum sembuh. Kini, ia kembali, dan entah bagaimana ia bisa menyembuhkan luka-luka itu.

Rangga duduk di kursi di samping ranjang ayahnya, masih memegang tangan yang terasa kaku dan dingin. Ia menatap wajah ayahnya yang tampak rapuh, dan bayangan masa lalu mulai muncul di benaknya. Wajah penuh kasih sayang dari seorang ayah yang dulu selalu memberi nasihat, bekerja keras untuk keluarga, dan memberikan segalanya agar anak-anaknya tidak kekurangan.

Namun, semua itu berubah. Pertengkaran yang terjadi lebih dari satu dekade lalu, saat Rangga memutuskan untuk meninggalkan rumah, masih menghantui pikirannya. Keputusan untuk pergi, tanpa memberi kesempatan pada keluarganya untuk memahami mengapa, adalah keputusan yang kini terasa sangat egois.

Ia menutup matanya sejenak, membiarkan kenangan itu datang.

"Ayah," suaranya pelan, hampir berbisik. "Aku tahu aku salah. Aku tidak pernah memberi kesempatan pada kita untuk bicara."

Sari masuk ke kamar, membawa nampan dengan secangkir teh hangat. Melihat Rangga duduk di samping ayahnya, sebuah perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ia ingin marah pada Rangga, ingin menuntut penjelasan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa lelah. Lelah dengan semua yang sudah terjadi, lelah dengan sakit hati yang terlalu lama dibiarkan, dan lelah dengan ketegangan yang ada di antara mereka.

"Teh," Sari berkata, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. "Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh."

Rangga mengangguk, namun matanya tetap terfokus pada ayahnya. "Bagaimana keadaan ayah, Bu? Dokter bilang apa?"

Sari menarik napas panjang. "Dokter sudah bilang, ayah tidak punya banyak waktu lagi. Kita hanya bisa berharap sekarang," jawabnya pelan, suaranya penuh keputusasaan.

Rangga merasakan perasaan cemas menggerogoti dadanya. Ia tahu, waktu yang ia miliki sangat terbatas. Ia juga tahu bahwa ada banyak hal yang harus diselesaikan sebelum semuanya terlambat. Terlebih lagi, ia masih merasa bahwa ada banyak perasaan yang belum ia ungkapkan, tidak hanya kepada ayahnya, tetapi juga kepada ibunya.

"Kenapa kau datang setelah semuanya terlambat?" Sari bertanya, tanpa menatap langsung pada Rangga. Suaranya penuh luka. "Kenapa tidak dulu, waktu kami membutuhkanmu? Ayahmu yang dulu selalu berharap kau akan kembali. Dan kini, kau datang... di saat-saat terakhirnya."

Rangga terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar dalam hatinya. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana, Bu. Aku merasa bingung... dan terlalu lama aku menutup mata."

Sari duduk di kursi lain, wajahnya yang lelah tampak semakin tua. "Kami semua terluka, Rangga. Tapi kau... kau tidak bisa hanya datang untuk menyesal setelah segalanya terjadi."

Ada keheningan yang panjang. Rangga ingin mengatakan banyak hal, namun kata-kata terasa terhalang. Ia ingin meminta maaf, tetapi rasanya tidak cukup hanya dengan kata-kata. Ia tahu ada luka yang jauh lebih dalam, luka yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh.

Kemudian, suara ayahnya terdengar, lemah namun penuh kekuatan. "Rangga... anakku..." Suaranya yang serak itu memecah keheningan yang berat.

Rangga terkejut, kemudian segera mendekat ke ranjang ayahnya. "Ayah... ayah masih bisa mendengarkan?" tanya Rangga dengan penuh haru.

Pak Surya membuka matanya perlahan. Wajahnya tampak sangat lelah, namun ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Aku tahu kau akan kembali, Nak. Aku hanya ingin melihatmu sekali lagi, sebelum aku pergi."

Rangga merasa tenggorokannya tercekat. Air matanya tiba-tiba menggenang, namun ia berusaha keras untuk menahannya. "Maafkan aku, Ayah. Aku sudah lama sekali meninggalkan kalian."

Sari yang berada di samping mereka menundukkan kepala, mencoba menahan tangisnya. Sebagai seorang ibu, ia merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi, ia marah karena anaknya pergi begitu saja, tapi di sisi lain, ia juga ingin melihat mereka berdua kembali dekat.

Pak Surya menggenggam tangan Rangga dengan sisa kekuatannya. "Aku tahu... hidup ini penuh pilihan. Dan kita tidak bisa mengubah masa lalu. Yang penting sekarang, kau ada di sini. Itu sudah cukup."

Rangga menundukkan kepalanya, mencoba menahan semua perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "Aku akan tetap di sini, Ayah. Aku janji, aku akan ada untuk kalian."

Malam itu, setelah berjam-jam di sisi ayahnya, Rangga dan Sari duduk bersama di ruang tamu. Ada banyak hal yang tidak terucap, banyak kata yang tertahan. Namun, ada satu hal yang Rangga tahu—ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Semua yang terjadi sudah terjadi, dan ia harus menerima kenyataan itu.

"Kenapa kau pergi, Rangga?" Sari bertanya, suara nyaris tak terdengar.

Rangga menatap ibunya, wajahnya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya merasa... saat itu aku harus pergi. Aku merasa seperti terjebak dalam rumah ini. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku. Aku merasa seperti dunia ini tidak memberi ruang untukku."

Sari menghela napas panjang. "Kita semua terjebak dalam dunia kita masing-masing. Tapi keluarga, Rangga... keluarga adalah tempat di mana kita bisa kembali."

Rangga merasa ada sesuatu yang mulai membuka dalam dirinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin ada harapan bagi hubungan mereka, meskipun tidak mudah.

Pagi hari berikutnya, Rangga terbangun lebih awal dari yang ia kira. Udara segar dari luar jendela yang terbuka sedikit menyusup ke dalam kamar. Ia mendengarkan suara burung yang bernyanyi riang di luar, seolah tidak peduli dengan segala kesedihan yang terjadi di dalam rumah itu.

Pagi itu terasa sangat berbeda, lebih sunyi. Rangga memutuskan untuk berjalan ke halaman belakang rumah, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama ayahnya. Rumah itu, yang sudah lama tidak ia singgahi, kini terasa asing. Setiap sudutnya membawa kenangan, namun kenangan itu terasa kabur, seolah hilang dalam gelapnya waktu.

Sambil berjalan, Rangga menatap tanah yang dipenuhi bunga yang dulu sering mereka tanam bersama. Wajah ayahnya tiba-tiba terbayang di pikirannya. "Dulu, Ayah selalu mengajarkan tentang pentingnya bekerja keras, tentang bagaimana mencintai tanah ini," pikir Rangga.

Langkahnya berhenti di depan pohon besar yang ada di halaman belakang. Pohon itu adalah saksi bisu dari banyak peristiwa penting dalam hidupnya. Di bawah pohon itu, Rangga dan ayahnya dulu sering berbicara tentang kehidupan, tentang mimpi, dan tentang masa depan. Rangga ingat betul bagaimana mereka berdua sering duduk di sana, dengan ayahnya yang penuh kebijaksanaan, memberi nasihat tanpa lelah. Namun, saat ia memilih pergi, pohon itu tetap berdiri tegak, seolah tak terpengaruh oleh apapun.

Di sisi lain, Sari yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, melihat Rangga dari jendela dapur. Ia masih tidak bisa memaafkan apa yang terjadi, meskipun ia tahu Rangga merasa bersalah. Selama bertahun-tahun, hidupnya berputar di sekitar anak-anaknya dan suaminya. Dan kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa masa lalu mereka tidak bisa diperbaiki begitu saja.

Namun, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ia tidak boleh terus menyimpan amarah. Anak laki-lakinya sudah kembali, dan meskipun terlambat, masih ada waktu untuk memperbaiki hubungan itu.

Beberapa menit kemudian, Rangga kembali ke dalam rumah dan duduk di meja makan. Sari sudah menyiapkan sarapan, namun mereka berdua hanya duduk diam, tidak ada percakapan yang mengalir seperti dulu. Suasana tegang masih terasa di udara.

"Aku... aku ingin berbicara, Bu," kata Rangga akhirnya, memecah keheningan yang sudah berlangsung terlalu lama.

Sari menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba menilai apakah Rangga benar-benar serius. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya pelan, masih sedikit skeptis.

Rangga menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Aku tahu, Bu. Aku sudah terlalu lama menghindar. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat itu. Aku merasa sangat bingung, dan itu membuatku membuat keputusan bodoh—keputusan untuk pergi begitu saja, meninggalkan kalian semua."

Sari menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. "Kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Kau pergi begitu saja tanpa memberi tahu kami kenapa. Aku... aku merasa sangat kehilangan, Rangga. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang."

Rangga merasakan perasaan sesak di dadanya. Ia tahu ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia ingin memberikan penjelasan, ingin memberikan sedikit kelegaan bagi ibunya. "Aku tahu, Bu. Aku salah. Aku tidak pernah tahu betapa dalamnya luka yang aku tinggalkan."

Sari menghela napas, lalu menatap anak laki-lakinya dengan penuh perasaan. "Luka itu mungkin akan sulit sembuh, Rangga. Tapi, aku tidak ingin kita terus menyimpan amarah ini. Aku ingin kita mulai dari sini. Dari sekarang."

Rangga menatap ibu yang telah merawatnya sejak kecil, dengan penuh rasa haru. "Aku janji, Bu. Aku akan ada untuk kalian. Aku tidak akan pergi lagi."

Sari mengangguk, meskipun wajahnya masih dipenuhi kesedihan. "Aku harap begitu, Rangga."

Saat mereka berbicara, Pak Surya yang masih terbaring di tempat tidur mendengarkan percakapan itu dari balik pintu kamar. Meskipun ia tidak bisa berbicara banyak, ia merasa lega mendengar anaknya dan istrinya akhirnya berbicara, meskipun dalam keadaan yang sangat berbeda dari dulu.

Pak Surya menutup matanya dan menghela napas perlahan. Ia tidak berharap banyak, tetapi ia tahu satu hal—pada akhirnya, mereka semua akan menemukan jalan kembali ke satu sama lain. Waktu mungkin terbatas, namun ia berharap ada sesuatu yang bisa diperbaiki sebelum semuanya berakhir.

---

Di luar, hujan mulai turun dengan deras, membawa angin yang dingin. Rangga berdiri di depan jendela, melihat tetesan air yang mengalir di kaca. Ia merasa ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang baru saja dimulai.

Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak kenangan pahit yang harus dihadapi, dan tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berakhir bahagia. Tapi satu hal yang pasti, Rangga tidak akan lagi berlari dari kenyataan. Ia harus menghadapi masa lalu, dan mulai menulis bab baru dalam hidupnya, bersama orang-orang yang masih mencintainya.

Sementara itu, Sari duduk di ruang tamu, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Ia ingin percaya bahwa segalanya bisa diperbaiki. Tapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan.

Malam itu, setelah seharian mencoba berbicara, menjalin ulang benang-benang yang pernah putus, Rangga duduk sendirian di kamar lamanya. Kamar itu masih terasa asing meski dindingnya penuh foto-foto masa kecil. Sebuah poster band lawas masih tergantung di sisi lemari, dan meja belajar kayu tua menyimpan goresan-goresan nama yang ia ukir diam-diam semasa SMA.

Namun kini, kamar itu menjadi ruang untuk berpikir. Ia duduk memandangi langit-langit, mencoba menata kepingan-kepingan kenangan dan penyesalan. Ayahnya sakit, ibunya lelah, dan ia... masih terlalu banyak diam. Rangga tahu bahwa pulang bukan sekadar kembali secara fisik, tapi juga belajar menanggalkan gengsi, merajut hubungan yang tak sempat selesai.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersadar.

“Mas?” suara Indira, adik bungsunya, terdengar lembut.

“Masuk aja,” jawab Rangga.

Indira melangkah masuk, membawa dua cangkir teh panas. “Ibu udah tidur. Mas lapar?”

Rangga menggeleng. “Nggak. Cuma lagi mikir.”

“Mas mikir apa?”

“Semua ini. Rasanya kayak aku datang terlalu telat.”

Indira duduk di lantai, menyandarkan punggung ke ranjang. “Mungkin iya. Tapi kalau Mas nggak datang sama sekali, lebih telat lagi.”

Mereka diam beberapa saat. Lalu Indira menatap kakaknya dengan sorot mata yang sama seperti Sari—tajam tapi penuh kasih.

“Waktu Ayah mulai sakit, aku berharap banget Mas pulang. Tapi lama-lama, aku berhenti berharap. Bukan karena aku nggak sayang Mas, tapi karena aku capek berharap sama orang yang selalu hilang.”

Kata-kata Indira menampar pelan. Rangga mengangguk, menerima.

“Aku ngerti. Dan aku nggak akan janji muluk-muluk. Tapi aku bener-bener mau berubah sekarang.”

Indira tersenyum kecil. “Pelan-pelan aja. Yang penting jangan hilang lagi.”

---

Keesokan harinya, Rangga menemani ibunya ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Pak Surya tampak lebih tenang, meski tubuhnya makin kurus. Dokter tak banyak bicara, tapi sorot mata mereka sudah cukup bicara.

Dalam perjalanan pulang, Sari memandangi jalanan dari balik jendela mobil.

“Rangga,” katanya tiba-tiba.

“Iya, Bu?”

“Ayahmu pernah bilang, dia pengen lihat kita semua duduk bareng di satu meja. Makan bareng. Kayak dulu. Cuma itu.”

Rangga menggenggam setir lebih erat. “Kita bisa lakuin itu, Bu.”

Sari menatap anak sulungnya. “Tapi kalau nanti beliau pergi… Masih mau tinggal?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, lebih berat dari hujan semalam.

Rangga tak langsung menjawab. Ia memikirkan pekerjaannya di kota, rutinitas yang selama ini ia jalani demi menghindari rumah ini. Tapi ia juga memikirkan Indira, ibunya, dan ayah yang kini menunggu akhir.

“Aku belum tahu, Bu. Tapi yang jelas, selama Ayah masih di sini, aku juga akan tetap di sini.”

Sari mengangguk perlahan, dan untuk pertama kalinya, ekspresi wajahnya melunak.

---

Malam itu, mereka makan malam bersama. Makanan sederhana: tempe goreng, sayur bening, dan ikan asin. Tapi rasanya jauh lebih hangat dari jamuan mana pun. Pak Surya yang hanya bisa makan sedikit, duduk bersama mereka, menggenggam tangan Sari erat-erat. Indira sesekali bercanda, dan Rangga—untuk pertama kalinya dalam belasan tahun—tertawa lepas di meja makan.

Bukan karena semua luka telah sembuh. Tapi karena mereka akhirnya saling memandang, saling mendengar, dan tidak lagi menghindar.

---

Beberapa hari kemudian, Rangga duduk di bawah pohon besar di halaman belakang, tempat kenangan masa kecilnya tersimpan. Ia membuka buku catatan lama—buku yang dulu dipakainya untuk menulis cerita, puisi, dan impian.

Dengan pena di tangan, ia menulis:

"Mungkin kita tidak bisa mengulang waktu. Tapi kita bisa memulihkan arah. Dan rumah, sesakit apa pun kenangannya, akan tetap menjadi titik kembali. Selalu."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Rumah Tak Berpintu dan Jendela
Setiawan Saputra
Skrip Film
Seraphine
Gabriella Gunatyas
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Novel
Bronze
Menunggu Bulan *Novel*
Herman Sim
Novel
Mencari Pesan
Setiawan Saputra
Skrip Film
DAFTAR HITAM
Wulan Witriyanti
Cerpen
Bronze
Meja Makan
Susanti
Novel
Justin si pemalu
Adhemahesa
Novel
Ini SMK bukan SMA
Yayak
Skrip Film
A Better Day
Arum Gandasari NK
Cerpen
Sihir
9inestories
Novel
Gold
Turtles All The Way Down
Mizan Publishing
Novel
PENCARIAN...
M U Y
Novel
Pilihan Peran
Heri Prabowo
Skrip Film
MANIPU(LUV)ION
Lady Mia Hasneni
Rekomendasi
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Novel
Kanvas Hati
Penulis N
Cerpen
Pembisik di Atap
Penulis N
Cerpen
Dukun Dadakan dari Depok
Penulis N
Cerpen
Senja & Luka
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Flash
Jendela di Rumah Sebelah
Penulis N
Flash
Kampung Suka Salah
Penulis N
Flash
SATU MALAM UNTUK BERTINDAK
Penulis N
Flash
Sepotong Senja di Halte Lama
Penulis N
Cerpen
Lorong 47
Penulis N
Cerpen
Delta
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Flash
Kopi Terakhir di Stasiun 12
Penulis N