Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hal yang tidak pernah muncul sedikit pun di dalam pikiranku adalah menjadi seorang agen asuransi. Salah satu profesi yang terkadang masih dianggap remeh oleh segelintir orang di luar sana. Profesi yang kehadirannya tak jarang dianggap sebagai ‘pengganggu’ meski tujuan kami adalah membantu menawarkan produk untuk menunjang kehidupan mereka di masa depan.
Mereka tidak tahu, seberapa panjang dan berat perjalanan kami untuk menjadi seorang agen semacam itu. Dari mulai pelatihan teori, praktik, sampai dengan tes kelayakan hingga kami bisa memperoleh sertifikasi AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia). Prosesnya benar-benar tidak bisa dianggap remeh, karena mereka yang tidak lolos ujian tes AAJI secara langsung gagal untuk menjadi seorang agen asuransi.
Dimulai dari tanggal 11 Februari 2019, aku menjalani pelatihan di salah satu hotel yang ada di kota Bandung selama dua minggu lamanya. Setelah itu, kami mulai dibagi tim yang dipimpin oleh seorang Area Sales Manager atau biasa disingkat sebagai ASM. Satu kota terdapat satu tim dan tim Bandung saat itu dipimpin oleh seorang ASM bernama Pak Danu. Kebetulan, Pak Danu juga sempat menjadi pembimbingku saat tes praktik masa pelatihan. Beliau merupakan sosok yang ramah dan hangat, meski terkadang sedikit menyebalkan dengan candaan khasnya.
Masa OJT—On The Job Training—akhirnya dimulai. Aku menjalani proses tersebut di sepanjang bulan Maret. Sampai di bulan April, akhirnya aku resmi dinyatakan sebagai agen asuransi yang sesungguhnya. Aku ditempatkan di salah satu cabang bank negeri yang merupakan induk perusahaan dari tempatku bekerja. Sebutan untuk profesiku itu adalah Bancassurance Specialist.
Hari pertama bekerja, aku datang bersama dengan Pak Danu untuk menemui pimpinan cabang bank yang akan menjadi tempatku bekerja. Kebetulan, cabang bank tersebut begitu luas dan tidak pernah berhenti didatangi oleh para nasabah. Mangsa yang lezat untuk ditawarkan produk asuransi kami, tetapi rasanya mungkin cukup melelahkan jika hanya aku seorang diri yang melakukannya.
Akhirnya, Pak Danu memutuskan agar Dinda, teman satu angkatanku di masa pelatihan untuk menempati cabang bank yang sama. Kami senang, karena setidaknya kami punya teman sesama agen yang bisa diajak bekerja sama untuk menarik nasabah. Namun rupanya, itu semua tetap saja tidak mudah.
Target pekerjaan serta tekanan dari para petinggi terus menghantui kami. Terlebih dengan kicauan yang seolah menumbuk kami habis-habisan melalui pesan di grup WhatsApp tim agen Bandung. Setiap minggunya, para petinggi bermulut tajam ini akan memposting hasil kinerja dari para agen yang sebagian besar tentu saja hasilnya nihil. Because, menjadi agen asuransi tidaklah semudah itu, Ferguso!
Khusus untuk tim Bandung, setiap hari Jumat selalu diadakan pertemuan di Regional Office (RO) alias kantor pusat perusahaan kami. Para agen asuransi yang bertugas di setiap cabang bank kota Bandung, akan dikumpulkan di satu ruangan untuk membahas pencapaian dalam satu minggu terakhir.
Bukan. Bukan ini yang membuat kami selalu malas untuk datang ke Regional Office. Melainkan karena adanya sosok ‘Bunda’ sang Regional Base Manager (RBM) yang super duper perfeksionis. Suci namanya, alias Bunda Suci.
Beliau merupakan sosok wanita berusia sekitar 40 tahunan. Berkerudung, serta memakai kacamata yang ujungnya sedikit runcing ke atas atau biasa disebut dengan model cat eye. Ekspresi wajahnya selalu terlihat ceria, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya berhasil menohok perasaan siapapun di sekitarnya.
Beliau merupakan pemegang jabatan tertinggi di Regional Office. Beliau memimpin seluruh tim yang ada di setiap kota di Jawa Barat. Namanya sangat populer di kalangan para agen, karena sikapnya yang cerewet dan hobi mengomentari penampilan orang lain.
“Kamu itu bajunya polkadot. Masa iya kerudungnya harus pake yang bermotif juga? Lain kali harus bisa mix and match dong!” ucap Bunda Suci kepada salah seorang agen yang pada saat itu baru tiba di Regional Office.
Gadis itu tidak berkomentar. Dia hanya mengangguk paham dan membungkuk kecil sebelum pergi mencari tempat duduk di sekitar kami. Sementara mata para agen lainnya saling tatap dan bibir menahan senyum atas respon dari sikap sang bunda kesayangan Jawa Barat ini.
“Ini lagi! Kerudungnya lurusin dong! Masa miring-miring kaya gitu?” Ocehan Bunda Suci beralih kepada agen lain. Satu masalah kecil, seolah bisa merambat menjadi lebih besar.
Baik. Cukup Bunda Suci yang menjadi satu-satunya petinggi menyebalkan di perusahaan kami. Begitulah harapanku dan teman-teman tim Bandung yang pada akhirnya hanya bisa pasrah.
Sampai suatu hari, Pak Danu meminta tim Bandung untuk berkumpul di salah satu cabang bank pusat. Setelah semuanya tiba, kami diarahkan menuju ruang meeting yang ada di lantai 3. Di sana terdapat sebuah meja bundar dengan ukuran cukup besar dan kami pun duduk melingkar saling pandang. Tidak ada yang asing di antara kami, kecuali satu orang wanita berkerudung yang tiba-tiba saja hadir dan duduk di samping Pak Danu.
Wanita itu terlihat sebaya dengan Bunda Suci. Usianya sekitar 40-an dan beliau juga mengenakan kacamata. Hanya saja, ukuran tubuhnya lebih mungil jika dibandingkan dengan Bunda Suci yang memiliki perawakan tinggi besar.
Kami semua saling tatap, sekaligus bertanya-tanya. Siapakah wanita asing tersebut? Apa hubungan beliau dengan kami yang diminta berkumpul seperti ini?
“Nah, teman-teman, di sini saya mau memperkenalkan seseorang yang nantinya akan menjadi rekan kerja baru kita,” ucap Pak Danu yang mulai berdiri di tengah-tengah kami.
Wanita itu terlihat menyunggingkan senyumannya kepada kami. Entahlah, tetapi senyuman itu terlihat seperti sedang mencari simpati dari kami. Aku menatap satu per satu wajah para agen senior dan mereka sama sekali tidak membalas senyuman wanita itu. Aku mulai kebingungan, lantas bertanya kepada Dinda yang duduk di sampingku. Dia baru saja selesai berbincang dengan salah seorang agen senior yang duduk di sampingnya.
“Itu siapa sih? Kok kayanya, agen-agen senior nggak respect gitu sama beliau?” tanyaku penasaran.
Dinda menghela napas. “Barusan juga saya tanya sama Mbak Rani, katanya beliau itu mantan ASM dari Subang. Kinerjanya buruk, makanya dimutasi ke kota Bandung.”
“Lah?” Kedua mataku terbelalak. “Kalau beliau pindah ke sini, berarti kita bakal punya dua ASM dong?”
Dinda mengangguk lesu. Sementara salah seorang rekan kerja yang duduk di sampingku ikut menyahut.
“Dan dua tim pastinya!” gumamnya pelan.
Aku dan Dinda langsung fokus menatap gadis itu. Namanya Rindu. Tiga bulan lebih awal menjadi agen dibandingkan dengan aku dan Dinda.
“Maksudnya, tim Bandung bakal dipecah?” tanyaku memastikan.
Rindu tidak menjawab lagi. Dia hanya menggerakkan dagunya ke arah Pak Danu seolah memintaku untuk mendengar penuturan pria itu.
“Maaf karena keputusan ini disampaikan secara mendadak. Tapi tim Bandung sepertinya sudah kelebihan anggota dan saya tidak bisa sepenuhnya mengawasi kalian,” ucap Pak Danu yang membuat harapanku semakin luntur. “Setelah melalui banyak perbincangan dengan para petinggi, akhirnya kami memutuskan untuk memecah tim Bandung menjadi dua bagian. Tim satu akan dipimpin oleh saya, dan tim dua akan dipimpin oleh Bu Widy.”
Tatapan Pak Danu langsung beralih kepada sosok wanita tadi. Begitu pula para agen senior yang melirik sinis sosok Bu Widy tersebut.
“Silakan maju dan perkenalkan diri, Bu Widy,” ujar Pak Danu mempersilakan.
Bu Widy pun melangkahkan kakinya untuk berdiri di samping Pak Danu. Lagi-lagi senyumnya merekah lebar dengan ekspresi begitu ramah.
“Halo, anak-anak!” Bu Widy melambaikan tangannya kepada kami. “Perkenalkan, nama saya Widy. Saya pindahan dari kota Subang yang kini akan bertugas di kota Bandung. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik ya!”
Well, menurutku itu bukan sikap yang buruk. Beliau bahkan memanggil kami dengan sebutan ‘anak-anak’ seolah beliau tidak menganggap kami sebagai sosok bawahan, melainkan anak asuhnya. Namun, mengapa para agen senior masih saja memasang tampang sinis?
Setelah itu Pak Danu kembali mengambil alih. “Untuk informasi pembagian tim, akan saya kirim melalui grup WhatsApp. Dengan siapa nantinya kalian akan bergabung, itu sama saja. Karena kita semua tetap tim Bandung yang memiliki satu tujuan.”
Acara pertemuan pun berakhir. Satu per satu mulai bubar meninggalkan ruang meeting. Kami berjalan menuruni anak tangga dan melewati area banking hall, di mana para petugas Teller dan Customer Service sedang asyik berbincang seraya bersiap untuk pulang. Aku melihat Pak Danu begitu akrab dengan mereka, sampai-sampai mereka tertawa riang setelah Pak Danu melayangkan sedikit lelucon sebelum pamit pulang. Sementara kami para agen asuransi hanya bisa berjalan gugup di tengah gempuran tatapan sinis dari mereka.
Entahlah, apakah mereka benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran kami atau tidak. Tapi inilah kenyataannya. Hubungan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan seperti kami memang sedikit renggang. Itulah mengapa, aku dan seluruh rekan kerjaku merasa salut dengan sikap Pak Danu yang selalu berhasil menjalin hubungan baik dengan para Teller dan Customer Service dari induk perusahaan tersebut. Beliau cukup hebat dalam mencairkan suasana, tanpa melupakan rasa hormat kepada induk perusahaan kami.
“Kita harus punya hubungan baik sama Teller dan Customer Service di bank masing-masing. Masa bodoh sekalipun harga diri harus dipertaruhkan. Karena semakin kita baik sama mereka, mereka akan sering bantuin kita dan tentunya referral bakal jalan terus,” nasihat Pak Danu yang selalu kami dengar hampir setiap harinya.
Memang benar. Nasib kami para agen terkadang bisa bergantung terhadap referral yang diberikan oleh Teller dan Customer Service. Mereka akan merekomendasikan beberapa nasabah yang berpotensi untuk mengikuti program asuransi kami. Bahkan mereka juga bisa mengantar nasabah tersebut langsung menuju meja kerja kami. Karena pada hakikatnya, sebagian besar nasabah akan tertarik untuk ikut program asuransi setelah mendengar penuturan dari para Teller dan Customer Service yang memberi rekomendasi. Begitulah profesi kami. Terkadang masih sedikit sulit dipercaya, bahkan oleh nasabah bank dari induk perusahaan kami sendiri.
Ting!
Satu hari kemudian, ponselku berdenting seperti biasanya. Bukan hal aneh lagi bagi kami para agen yang hampir setiap harinya tidak pernah berhenti dihantui oleh pesan dari grup WhatsApp. Sebagian besar tentu saja berisi pesan ‘ancaman’ dari para petinggi yang meneror kami untuk fokus pada target atau Bunda Suci akan bertindak.
Namun, kali ini ada satu pesan yang sangat ditunggu-tunggu sejak kemarin. Pesan dari Pak Danu yang menginformasikan tentang pembagian tim Bandung melalui grup WhatsApp. Dengan antusias aku membaca isi pesan tersebut. Mataku menelusuri, mencari, dan mengamati di manakah letak nama berawalan R yaitu Reva yang kuharapkan berada di tim satu (tim Pak Danu).
Ujung bibirku tersungging mesem. Meski aku tidak tahu banyak soal apa keuntungan dan kelebihan dari sesuatu yang kuharapkan sejak tadi, tetapi menjadi bagian tim dua seolah merasa tersisihkan. Kulihat nama para agen senior dari tim Bandung berkumpul di deretan daftar tim Pak Danu. Sementara aku, Dinda, dan agen junior lainnya kini berada di antara deretan daftar tim dua alias tim Bu Widy.
Kecewa tentu iya. Bahkan aku dan Dinda sempat terdiam kaku saling tatap.
“Kita tim dua nih?” tanya Dinda dengan tatapan tak percaya.
Aku menghela napas seraya menaikkan kedua alisku bersamaan. “Seperti yang udah kamu lihat. Pak Danu bahkan cuma ambil agen senior buat masuk ke timnya.”
“Jangan-jangan bener deh...” lanjut Dinda. Tertahan sebentar sambil melotot tajam ke arahku.
“Bener apanya?” Aku menatap Dinda kebingungan.
“Itu loh, soal kinerja Bu Widy yang kata orang-orang super duper buruk dan sikapnya yang nyebelin. Bahkan, agen-agen di kota Subang juga udah banyak yang mengeluh soal sikapnya. Di sisi lain, kamu tahu sendiri kan, beliau pindah ke Bandung karena targetnya sebagai ASM di Subang nggak terpenuhi? Usut punya usut sih, kalau beliau masih nggak bisa memenuhi target sebagai ASM di Kota Bandung, beliau bakal dimutasi lagi atau lebih parahnya langsung di-cut dari perusahaan!” Dinda memperagakan gerakan pisau yang menyayat lehernya menggunakan telapak kanannya sendiri.
Aku menggeleng pelan seraya tersenyum geli. “Terus apa hubungannya sama pembagian tim kota Bandung?”
“Itu dia masalahnya, Rev!” Dinda mendekatkan wajahnya ke arahku. “Pak Danu dan Bu Widy itu sedang bersaing! Makanya, Pak Danu sengaja pilih agen senior buat jadi anggota timnya, karena beliau tahu agen-agen itu udah jago dalam memasarkan produk! Nah, dengan begitu, target dia otomatis bakal terpenuhi dong? Sedangkan Bu Widy? Bu Widy cuma punya agen-agen baru kaya kita yang masih seumur jagung, bahkan belum jago buat memasarkan produk. Secara nggak langsung, pelan-pelan posisi Bu Widy bakal tergeser sebagai ASM kota Bandung karena target anggota timnya yang masih minim! Menurut saya sih, kehadiran Bu Widy belum bisa diterima di kota Bandung. Sama kaya nasibnya waktu di kota Subang dulu!”
Setelah mendengar penuturan dari Dinda, aku semakin dibuat penasaran dengan sosok Bu Widy yang sesungguhnya. Sosok yang selalu menjadi gunjingan para agen senior kota Bandung, hingga dibenci oleh agen-agen dari kota Subang yang pernah beliau pimpin sebelumnya. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa kasihan kepadanya.
Tepat di perayaan hari Kartini pada tanggal 21 April, kami para agen beserta staf bank seperti Teller, Customer Service, hingga pimpinan cabang diwajibkan untuk mengenakan kebaya—bagi pegawai wanita—dan pakaian pangsi—bagi pegawai pria. Seperti biasa, kami para agen akan mengirim swafoto di grup WhatsApp sebagai bentuk absen setiap harinya. Foto tersebut harus menunjukkan bahwa, kami sudah berada di area bank sebagai bukti kehadiran seraya menyebutkan masing-masing cabang bank yang ditempati (Contoh: Reva – agen Bandung cabang Ahmad Yani).
Setelah mengirim swafoto, biasanya kami akan mulai bekerja dan para petinggi di grup WhatsApp pun tidak merespon apa-apa kecuali hanya melihatnya. Namun, untuk pertama kalinya, di hari Kartini ini, Bu Widy yang baru bergabung ke dalam grup WhatsApp, tiba-tiba membalas satu per satu pesan dari masing-masing foto kami. Beliau memberi komentar positif tentang pakaian adat yang kami gunakan, serta ucapan manis yang seolah memberi kami semangat untuk memulai hari.
Hal itu membuatku kembali berpikir keras. Bagaimana bisa sosok ramah seperti Bu Widy bisa dibenci oleh agen-agennya sendiri?
Sampai akhirnya, tepat pukul 9 pagi, di saat bank baru satu jam dibuka, Bu Widy datang ke cabang tempatku dan Dinda bekerja. Beliau memasuki area banking hall dengan ekspresi santai dan senyuman lebar yang tersungging di bibirnya. Awalnya, aku dan Dinda tidak menyadari bahwa sosok itu adalah Bu Widy sebelum beliau menghampiri meja kami seraya melambaikan tangannya.
“Hai! Selamat pagi!” sapanya hangat.
Aku dan Dinda langsung berdiri dari posisi duduk kami, lantas bersalaman dengan Bu Widy. Kebetulan, aku dan Dinda menggunakan satu meja kerja yang sama. Di hadapan meja kerja kami, ada dua kursi yang dikhususkan untuk nasabah. Sementara satu kursi biasanya ditempati oleh aku atau Dinda secara bergantian.
Bu Widy yang baru tiba, tentu saja kami persilakan untuk duduk di kursi utama. Sedangkan aku dan Dinda memilih untuk duduk di kursi khusus nasabah dan menghadap ke arahnya.
“Saya nggak dateng kepagian kan?” tanya Bu Widy seraya menaruh tas laptopnya di atas meja kerja kami.
“Nggak kok, Bu,” jawabku ramah. “Lagipula, bank kan udah buka dari jam delapan.”
Bu Widy pun tersenyum, lantas mulai menyalakan laptopnya dan sibuk merapikan barang-barangnya. “Kalian taruh tas di mana? Saya boleh titip nggak?”
Dinda langsung berdiri dan berjalan menuju laci yang ada di belakang kursi Bu Widy. “Taruh di sini saja, Bu,” ucapnya seraya membuka pintu laci tersebut.
Setelah itu Dinda kembali duduk di sampingku dan kami sempat beradu tatap dengan penuh ketegangan.
“Cabang di sini enak ya, luas. Kalian juga beruntung karena bisa kerja berduaan. Nggak kaya agen lain yang kerja sendirian di satu cabang,” ucap Bu Widy yang direspon oleh senyuman kikuk dari aku dan Dinda.
“Iya, Bu, alhamdulillah,” sahut Dinda. “Tadinya saya mau ditempatkan di cabang lain, tapi karena di sini luas, akhirnya Pak Danu minta saya buat stay sama Reva.”
“Kalau begitu, kalian harus rajin ya. Jangan sampai kalah sama temen-temen lain yang bekerja sendirian,” sahut Bu Widy.
Setelah itu kami terdiam selama beberapa saat. Bu Widy terlihat fokus dengan laptopnya yang membuat aku dan Dinda menjadi semakin kikuk. Kami tidak bisa berbincang, apalagi menyentuh handphone jika itu bukan soal pekerjaan.
Suasana bank pun perlahan ramai. Satu per satu nasabah mulai memenuhi area banking hall. Aku dan Dinda masih terdiam gugup, sebelum akhirnya fokus Bu Widy beralih kepada kami.
“Kok pada diam? Itu nasabahnya banyak loh!” ucap Bu Widy. “Kalian nggak mau coba samperin?”
Aku dan Dinda saling tatap, lantas kami mengangguk pelan.
“Mau, Bu,” sahutku yang langsung beranjak dari kursi dan meraih beberapa brosur asuransi yang berjejer di samping meja. Brosur tersebut ditaruh di dalam sebuah etalase berbahan kaca mika yang memiliki rak memanjang dari atas hingga ke bawah. Di sanalah brosur-brosur itu tersimpan rapi.
Dinda juga mengikutiku dan meraih beberapa lembar brosur yang sama. Sementara Bu Widy masih terduduk santai di kursi kerja.
“Ayo semangat!” ujar Bu Widy yang justru membuat kami semakin gugup.
Jujur saja, aku dan Dinda belum pernah melakukan penawaran langsung kepada nasabah yang datang ke bank, kecuali nasabah tersebut merupakan hasil referral dari Teller maupun Customer Service. Pengalaman bekerja kami yang bahkan belum sampai satu bulan, membuat kami lebih sering menawarkan produk asuransi kepada orang-orang terdekat saja.
Meski sudah mempelajari semua cara melalui teori yang didapat ketika masa pelatihan, tetapi rasa gugup dalam menghadapi nasabah secara langsung jelas masih ada. Ditambah, sosok Bu Widy yang seolah mengawasi dengan tatapan tajam dari balik meja kerja kami.
Namun, semakin lama menyadari gerak-gerik ragu dari kami, akhirnya beliau beranjak dari tempat duduknya. Beliau mengambil alih beberapa brosur dari tanganku seraya memantau kondisi area banking hall.
“Sekarang lihat saya ya. Saya akan coba datangi satu nasabah di depan sana,” ucap Bu Widy yang tak lama kemudian berjalan dengan penuh percaya diri ke arah seorang nasabah wanita.
Beliau duduk di samping nasabah tersebut seraya memberi penjelasan tentang produk asuransi perusahaan kami. Tidak begitu lama, sampai nasabah wanita itu berpamitan dan memilih untuk membawa salah satu brosur dari tangan Bu Widy.
“Belum berhasil,” ungkap Bu Widy seraya kembali menghampiri aku dan Dinda yang masih berdiri di samping meja kerja. “Tapi nggak apa-apa kok, yang penting nasabah itu udah tahu beberapa keuntungan dari program asuransi kita.”
Setelah melihat Bu Widy selesai menghampiri nasabah, aku dan Dinda pun bergantian melakukan hal yang sama. Semua perasaan gugup perlahan musnah setelah kami mencoba berhadapan langsung dengan para nasabah tersebut. Bahkan beberapa dari mereka sempat berterima kasih setelah aku mencoba menawarkan salah satu produk yang sudah disesuaikan dengan karakter masing-masing. Meskipun tidak closing, tetapi perasaanku lega seolah kewajibanku dalam mengedukasi sudah cukup terpenuhi.
Hari itu aku benar-benar belajar banyak tentang keberanian menghadapi nasabah. Waktu pun berlalu tanpa terasa, hingga kami nyaris melewatkan jam makan siang. Aku, Dinda, dan Bu Widy akhirnya pergi makan siang bersama di salah satu restoran Padang terdekat. Setelah selesai makan siang, kami kembali ke meja kerja dan Bu Widy langsung sibuk dengan laptopnya.
Aku dan Dinda sempat mengira bahwa Bu Widy akan pergi setelah jam makan siang berakhir. Namun rupanya, beliau tidak kunjung pergi meninggalkan meja kerja kami hingga waktu menunjukkan pukul tiga sore. Aku dan Dinda mulai resah. Wajar, karena meja kerja kami dikuasai seharian oleh Bu Widy. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain kembali pergi menuju banking hall untuk menawarkan produk kepada setiap nasabah yang datang. Begitu seterusnya.
Sekadar informasi, jabatan ASM memang tidak memiliki tempat kerja yang tetap. Entah itu gedung, maupun meja kerja sendiri. Setiap harinya mereka hanya sibuk berjalan dari satu cabang bank ke cabang bank lainnya yang ditempati oleh para agennya. Bisa jadi, besok atau lusa menjadi giliran anggota tim dua lainnya yang akan dikunjungi oleh Bu Widy. Itulah mengapa, beliau akan ‘menumpang’ seharian di meja kerja kami sampai bank dinyatakan tutup.
Aku kira memang begitu konsep pekerjaan para ASM sesungguhnya. Namun, menurut para Teller dan Customer Service di tempatku bekerja, seharusnya ASM tidak terlalu lama berada di meja kami. Karena itu terkesan tidak profesional, mengingat tiga orang karyawan berada di satu meja yang sama selama satu hari penuh. Mungkin itu juga yang membuat nasabah enggan untuk bertanya-tanya soal program asuransi ke meja kerja kami.
Para Teller dan Customer Service juga sempat bercerita tentang betapa mereka mengenal sosok Pak Danu yang selalu menghargai para pekerja di cabang tersebut dengan tidak berlama-lama berada di dalam cabang. Agen yang bekerja sebelum aku dan Dinda, sempat beberapa kali didatangi oleh Pak Danu, tetapi beliau tidak pernah lebih dari satu jam berada di sana. Bahkan sebelum pulang, Pak Danu selalu menyempatkan diri untuk menemui satu per satu pekerja yang ada di cabang tersebut, seperti Teller, Customer Service, pimpinan cabang, hingga Office Boy, dan Security.
Sikap Pak Danu sungguh berbanding terbalik dengan Bu Widy yang dengan santainya keluar masuk cabang kami tanpa perkiraan waktu. Padahal, bisa dibilang kami ini hanya ‘menumpang’ di cabang bank yang notabennya adalah milik induk perusahaan kami. Kami di sini hanya bertugas meraup nasabah untuk diikutsertakan ke dalam program asuransi. Maka dari itu, kami selalu dituntut untuk dapat menjaga sikap.
[Iman]: “Kira-kira, besok giliran siapa nih yang cabangnya bakal didatangi sama Bu Widy?”
[Nanda]: “Semoga bukan cabang saya deh! Hiiiy!”
[Anisa]: “Saya nggak nyangka, Bu Widy bisa-bisanya nongkrong seharian di meja kerja kalian.”
[Ella]: “Pantesan aja para senior nggak suka sama beliau. Kelakuannya agak bikin risih ya.”
Seluruh anggota tim dua mulai asyik berbincang di grup WhatsApp yang isinya tentu saja tanpa para petinggi. Sebagian besar dari mereka merasa dongkol setelah aku dan Dinda bercerita soal Bu Widy yang datang ke cabang kami.
Hal itu bahkan terus terulang setiap minggunya. Satu per satu cabang akan dikunjungi oleh Bu Widy. Parahnya, beliau masih saja bersikap tidak acuh untuk berlama-lama di cabang kami. Rekan kerjaku di tim dua mulai saling mengadu soal keberadaan Bu Widy yang menjadi bahan perbincangan para Teller dan Customer Service di setiap cabang. Mereka—para agen tim dua—menjadi risih dan merasa tidak enak atas sikap Bu Widy yang seakan-akan mengawasi kami sepanjang jam bekerja. Entah apa yang beliau lakukan, karena sejauh ini kami lebih sering melihat beliau sibuk dengan laptopnya seraya mengomeli kami soal target yang tak kunjung tercapai.
“Ini bukan soal tekanan dalam pekerjaan! Ini sudah kelewat batas!” ucapku kepada Dinda saat kami sedang duduk berdua di meja kerja.
“Saya juga bingung. Di sisi lain saya dituntut untuk mencapai target, tapi di sisi lain saya nggak dapat bantuan sedikit pun atau mininal ilmu dari Bu Widy,” sahut Dinda tak kalah geram. “Kerjaan beliau setiap kali dateng ke sini cuma main laptop di atas meja dan memantau kita pada saat menawarkan produk ke nasabah. Selebihnya, beliau ikut mempraktikan, tapi beliau sama sekali nggak memberi tips supaya kita bisa closing mudah. Wong beliau sendiri aja selalu gagal narik nasabah ke meja kita!”
“Iya. Kok bisa ya, orang kaya Bu Widy diangkat jadi ASM? Bukannya ASM itu berawal dari agen yang targetnya bagus dan selalu terpenuhi?” Aku mendadak bertanya-tanya.
Dinda hanya mengedikkan bahunya seraya mendengus sebal.
Tak lama kemudian, perhatianku teralihkan kepada sosok wanita berkerudung dan berkacamata datang menuju meja kerja kami. Aku sempat terkejut sampai tubuhku spontan berdiri dari posisiku dan diikuti oleh Dinda yang justru kebingungan.
“Ada apa?” tanya Dinda dengan nada berbisik seraya melotot tajam.
Aku menggerakkan bola mataku ke arah wanita yang kini sudah berdiri di belakang Dinda. Beliau tersenyum saat Dinda menoleh ke arahnya.
“Eh, Bunda Suci?” ucap Dinda kikuk.
Karena seluruh isi kepalaku dipenuhi oleh nama Bu Widy, aku nyaris mengira bahwa wanita yang Dinda sebut Bunda Suci itu adalah sosok ASM ‘kesayangan’ kami—Bu Widy. Ditambah paras dan penampilan mereka yang sedikit mirip jika dilihat dalam sekilas.
“S-silakan duduk, Bun.” Aku menyingkir dari tempat duduk utama untuk membiarkan Bunda Suci duduk di sana. Sementara aku dan Dinda duduk di hadapannya. Persis seperti posisi duduk setiap kali Bu Widy juga datang ke cabang kami.
“Asyik ya berduaan di cabang. Bukannya kerja, malah ngobrol-ngborol cantik kaya tadi,” ucap Bunda Suci tanpa menatap wajah kami. Beliau sibuk membenarkan posisi duduknya seraya menaruh tas miliknya yang berbahan kulit buaya di atas meja kerja kami.
Penampilan Bunda Suci juga terlihat begitu modis. Beliau mengenakan kemeja berbahan satin dengan motif bunga-bunga bernuansa oranye dan flare pants berwarna coklat tua. Tidak lupa dengan sepatu jenis pumps berwarna krem yang memiliki hak setinggi 5 cm. Di pergelangan tangannya, aku juga bisa melihat beberapa gelang emas yang saling bergemerincing setiap kali beliau melakukan pergerakan.
“Maaf, Bunda. Tadi kami baru selesai ‘dancing’ (penyebutan untuk kegiatan menawarkan produk kepada nasabah yang ada di banking hall),” ucapku, menjawab dugaan Bunda Suci yang mengira kami sedang berleha-leha. Entah mengapa, takdir selalu membawa aku dan Dinda berada di posisi semacam ini. Terlihat ketika sedang bersantai dan tidak terlihat ketika kami sedang sibuk berinteraksi dengan nasabah.
“Saya dengar, Bu Widy sering dateng ke sini ya? Ngapain aja dia? Kok kelihatannya tim dua nggak pernah closing?” tanya Bunda Suci penasaran.
Aku dan Dinda sempat saling tatap sebelum salah satu dari kami menjawab pertanyaan tersebut.
“Beliau lebih sering mengamati kami di sini, Bun. Tapi beberapa kali beliau juga pernah menyontohkan cara ‘dancing’ langsung kepada kami,” jawabku mantap.
“Terus, dia berhasil closing nggak?” tanya Bunda Suci lagi.
Aku dan Dinda tersenyum kikuk seraya menggeleng serempak.
“Halah! Kalau gitu bukan nyontohin namanya! Tapi cuma ikut coba-coba doang!” sahut Bunda Suci dengan ekspresi geram. “Nggak perlu si Widy yang nyontohin! Office Boy dan Security juga bisa kalau cuma samperin nasabah tanpa trik kaya gitu!”
Kemarahan Bunda Suci membuat aku dan Dinda hanya bisa terdiam kaku. Entah masalah apa yang sebenarnya terjadi antara Bu Widy dan Bunda Suci, tetapi aku bisa melihat jelas kebencian di balik kedua pupil mata Bunda Suci yang menajam.
“Terus gimana update aplikasi nasabah? Kalian sudah dapat akses untuk login ke sana belum?” tanya Bunda Suci memastikan.
Sejujurnya, kami sudah pernah meminta bantuan kepada Bu Widy agar kami bisa login ke dalam aplikasi tersebut, mengingat status kami masih sebagai karyawan baru. Aplikasi yang memudahkan kami untuk mencari nama-nama nasabah yang sudah disesuaikan oleh sistem perusahaan. Namun sayangnya, aku dan Dinda belum menerima informasi lebih lanjut soal akses login ke aplikasi tersebut.
“Kenapa diam?” tanya Bunda Suci yang menyadari perubahan ekspresi aku dan Dinda. “Pasti belum dapet aksesnya ya? Apa jangan-jangan belum minta?”
“Sudah kok, Bun. Bahkan sudah beberapa kali kami minta, tapi belum ada kepastian sampai sekarang,” jawab Dinda dengan segera. Aku bisa melihat pemberontakan tersembunyi di balik ekspresi tenang gadis itu.
“Emang dasar ya si Widy! ASM macam apa sih yang biarin anggota timnya kaya gini?!” Bunda Suci mulai sibuk mengutak-atik ponselnya sendiri. Namun, beberapa saat kemudian beliau terdiam dan mengalihkan pandangannya kepada aku dan Dinda.
“Udah deh, mendingan kalian aja yang tanya langsung sama si Widy! Tanya lewat grup, supaya semua orang tahu kelakuan dia!” ucap Bunda Suci yang membuat aku dan Dinda saling tatap kebingungan.
“M-maaf, Bun, apa nggak sebaiknya saya chat Bu Widy secara langsung aja ya?” saranku yang justru langsung ditolak mentah-mentah oleh Bunda Suci.
“NO! Pokoknya ketik sekarang juga di grup agen Bandung, tanya ke si Widy, kapan dia akan mengurus akses login kalian untuk aplikasi nasabah? Jangan lupa bilang juga, kalau kalian ini pengin cepat closing!” perintah Bunda Suci yang lebih terlihat seperti hendak mengadu domba aku dan Bu Widy. Pasalnya, di dalam grup tersebut terdapat para petinggi perusahaan lainnya, termasuk Bu Widy, Pak Danu, dan Bunda Suci sendiri.
Kedua tanganku sampai bergetar ketika aku mulai mengetik semua ucapan Bunda Suci yang bahkan tidak boleh tertinggal satu kata pun. Setelah pesan terkirim, kutaruh langsung ponselku di atas meja. Hingga beberapa saat kemudian, Bu Widy menghubungiku. Aku tidak berani menjawabnya, karena pada saat itu Bunda Suci sedang sibuk memberi wejangan kepada aku dan Dinda.
Lebih dari tiga kali panggilan Bu Widy kuabaikan. Beliau lantas mengirim pesan pribadi melalui WhatsApp yang muncul di bagian toolsbar ponselku.
[Bu Widy]: “Reva! Kamu ini bagaimana sih? Kenapa harus bahas soal itu di grup agen? Kan bisa langsung ngomong sama saya!”
Setelah Bunda Suci mulai sibuk dengan ponselnya, aku pun memberanikan diri untuk membalas pesan Bu Widy di bawah meja.
“Maaf, Bu. Sekarang Bunda Suci lagi berkunjung ke cabang saya. Beliau yang minta saya buat kirim pesan itu di grup. Saya nggak bisa menolak.”
Bu Widy pun tidak membalas pesanku.
Hampir satu jam lamanya, Bunda Suci akhirnya beranjak dari posisinya dan meraih kembali tasnya yang sebelumnya beliau taruh di atas meja. Beliau kembali memberi wejangan sebelum menuju ruangan pimpinan cabang dan berpamitan untuk pulang.
Sore harinya, sekitar pukul tiga sore, ponselku bergetar, menunjukkan satu panggilan masuk dari Bu Widy yang langsung aku jawab.
“Halo, Bu Widy?”
“Bunda Suci di mana? Sudah pulang belum?”
“Sudah, Bu. Kan ini sudah lebih dari tiga jam.” Aku sedikit menyindir Bu Widy yang selalu berkunjung tanpa mengingat waktu.
“Kamu habis ngobrol apa saja sama Bunda? Kenapa kamu ceroboh sekali sih?”
Aku mengerutkan dahi mendengar kata ‘ceroboh’ yang keluar dari mulut Bu Widy. “Maaf, Bu. Memangnya di mana letak kecerobohan saya ya? Saya cuma jawab pertanyaan dari Bunda Suci tanpa melebih-lebihkan sedikit pun.”
“Tapi kamu sudah menyudutkan saya, Reva! Bunda Suci sampai minta kamu kirim pesan di grup agen seolah-olah beliau mau menjelekkan nama saya di depan para petinggi!”
Aku berkoar dalam hati, “Lah, bukannya nama Bu Widy sudah jelek di mata perusahaan? Untuk apa saya capek-capek melakukan itu?”
“Sekali lagi saya minta maaf ya, Bu. Tapi saya nggak pernah menjelakkan nama Ibu di hadapan Bunda. Beliau cuma bertanya sama saya soal akses login aplikasi nasabah dan saya jawab sesuai fakta yang saya alami.”
“Reva...Reva...kamu ini lugu sekali sih! Seharusnya kamu cari alasan atau bilang sama Bunda kalau saya sedang mengusahakan akses itu untuk kamu dan Dinda. Kalau kaya gini kan, semuanya jadi kacau!”
“Loh, Bu. Kalau saya ngomong kaya gitu, berarti saya bohong dong? Mana saya tahu kalau Bu Widy selama ini sedang mengusahakan akses itu untuk kami? Bu Widy bahkan nggak pernah bahas soal akses aplikasi itu setiap kali datang ke sini.”
Beep!
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Bu Widy yang langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Kutatap layar ponselku seraya tersenyum renyah. Dinda sampai membulatkan matanya dengan ekspresi penuh tanya. Setelah itu, kuceritakan semuanya kepada Dinda yang seketika nyaris menggigit kepalan tangannya sendiri karena geram dengan sikap Bu Widy.
“Sadar nggak sih, kita baru aja diadu domba?” tanya Dinda kepadaku yang langsung mengangguk paham.
“Iya. Mereka yang punya masalah, kita yang dijadiin tameng,” ucapku santai, lantas meraih beberapa lembar brosur dan memilih untuk pergi menghampiri nasabah yang baru tiba.
Kulihat di kejauhan, Dinda langsung menundukkan kepalanya seraya mengurut dahinya yang mungkin mulai terasa pening.
Tidak pernah kusangka bahwa hari itu adalah hari terakhirku bekerja bersama Dinda. Karena keesokan harinya, Bu Widy langsung mengutus Dinda untuk pindah ke cabang lain. Aku kasihan kepada Dinda, karena dia harus menempati cabang yang lokasinya cukup jauh dari rumahnya. Kami menjadi terpisah dan hanya bisa berbincang melalui pesan WhatsApp.
Kuanggap itu adalah aksi balas dendam dari Bu Widy kepada aku dan Dinda atas kasus adu domba tersebut. Bahkan sejak saat itu, sikap Bu Widy menjadi terang-terangan kepadaku maupun Dinda. Beliau benar-benar menunjukkan kebenciannya kepada kami. Mungkin karena di sisi lain, kami juga jarang sekali closing meski sudah diberi kesempatan untuk bekerja berdua di satu cabang. Hal itulah yang pada akhirnya menjadi senjata utama Bu Widy untuk memojokkan kami.
Tak terasa waktu sudah lewat dua bulan. Hariku semakin menjenuhkan sejak Dinda tidak bekerja bersamaku. Keseharianku hanya diisi oleh kegiatan berdiam diri saat bank sedang sepi dan kembali melakukan ‘dancing’ saat bank sedang ramai. Kepribadian introverku jelas tidak membantuku untuk berbaur dengan pegawai lain, ditambah mereka adalah para pegawai dari induk perusahaan. Terkadang aku merasa minder, meski sebenarnya mereka sama sekali tidak masalah untuk bergaul denganku. Bahkan beberapa dari mereka sering sekali menyapaku dan tak segan membicarakan soal Bu Widy.
“Ibu-ibu yang sering datang ke sini itu ASM baru kamu ya?” tanya Teh Arin selaku Customer Service yang berada di satu cabang denganku. Dia menghampiri mesin fotokopi yang lokasinya kebetulan berada tepat di belakang meja kerjaku.
“Iya, Teh, hehe. Sekarang tim agen Bandung dibagi dua. Tim satu dipimpin sama Pak Danu dan tim dua dipimpin sama Bu Widy,” jawabku mantap dan tentu saja sedikit malu.
“Oh, jadi namanya Bu Widy?”
Aku mengangguk cepat.
“Agak unik ya. Beliau kelihatannya betah sekali di cabang ini, sampai seharian mengawasi kamu terus di meja kerja,” ucap Teh Arin yang membuatku semakin malu saja. “Memangnya kamu nggak risih, Rev? Kenapa nggak coba ngadu aja? Itu kan bisa menghambat konsetrasi kamu dalam bekerja loh, Rev.”
“Iya juga ya, Teh.” Aku mulai berpikir keras. Ucapan Teh Arin ada benarnya juga. Mengapa aku tidak mengadu soal sikap Bu Widy dan kebiasaannya yang nyaris menghambat konsentrasiku?
“Oh iya, Rev. Kamu masih free kan? Boleh minta bantuan buat nyusun dokumen di belakang nggak?” pinta Teh Arin setelah dia selesai memfotokopi beberapa lembar kertas di tangannya.
“Boleh, Teh. Ayo!” Dengan penuh semangat aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan bersama Teh Arin menuju ruangan belakang.
Sungguh, aku benar-benar merasa bahagia setiap kali menemukan sesuatu yang bisa kulakukan selain melamun di meja kerja atau menawarkan produk kepada nasabah yang tidak bisa diprediksi kedatangannya.
Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku merasa menjadi pekerja seutuhnya ketika sibuk menyusun beberapa dokumen sambil berbincang riang bersama Teh Arin. Bukan hanya duduk seperti patung pajangan di area banking hall yang bahkan tidak pernah dilirik sedikit pun oleh nasabah.
Namun sepertinya, takdir masih belum bisa sepenuhnya berpihak kepadaku saat Pak Radit selaku Security datang menemuiku dan menyampaikan informasi bahwa Bu Widy baru saja tiba.
Kebahagiaannku runtuh di saat itu juga. Perasaan tak enak seketika memenuhi isi hatiku saat aku beradu tatap dengan Teh Arin yang masih berusaha tersenyum di hadapanku.
“Udah, nggak apa-apa. Kamu temuin dulu aja Bu Widy sana!” perintah Teh Arin yang seolah tidak ingin membuatku merasa gugup.
“Duh, maaf ya, Teh. Nanti habis ketemu Bu Widy, saya janji deh bantuin Teteh lagi,” ucapku penuh rasa bersalah.
“Santai aja. Ini masih bisa dikerjain kapan aja kok.”
Setelah memastikan Teh Arin baik-baik saja jika ditinggal, akhirnya dengan langkah gontai aku berjalan menujua area banking hall. Di kejauhan, aku bisa melihat sosok Bu Widy sedang duduk santai di kursi singgasanaku dengan laptop kesayangannya yang diletakkan dengan apik di atas meja.
Cih, yang benar saja! Beliau pikir itu meja kerjanya?
“Hai, Reva! Habis ngapain di belakang?” sapa Bu Widy seraya tersenyum lebar ke arahku. Benar-benar terlihat santai seolah tidak ada rasa bersalah.
Sambil sedikit mendengus sebal, aku duduk di hadapannya. “Saya lagi bantuin Teteh Customer Service buat menyusun dokumen, Bu.”
“Bagus deh, berarti kamu sudah bisa berbaur sama orang-orang di bank ini,” sahut Bu Widy.
“Kalau begitu, nanti saya boleh kan, bantuin Teh Arin lagi buat nyusun dokumen di belakang? Kan lumayan Bu, saya bisa ‘PDKT’ sama dia supaya dia mau kasih referral sama saya.”
Bu Widy terlihat berpikir sejenak. “Kayanya nggak perlu deh. Besok lagi aja. Sekarang kamu di sini aja sama saya. Kita fokus belajar ‘dancing’ supaya saya nggak dianggap KERJA BUTA lagi sama Bunda Suci!” Bu Widy memberi penekanan pada kata ‘kerja buta’ seolah beliau hendak menyindirku.
Pada akhirnya aku hanya bisa menuruti keinginan beliau yang terkadang membuat kepalaku pusing. Padahal, hampir setiap hari beliau selalu berkata kepadaku supaya aku bisa berbaur dengan para pegawai bank demi menjalin hubungan baik. Namun kali ini, beliau justru memintaku untuk tetap berada di meja kerja bersamanya.
Hari itu kembali menjadi hari terpanjang yang aku lalui bersama Bu Widy. Sama seperti biasanya, beliau akan berada di meja kerjaku selama seharian penuh. Aku yang sudah merasa jengkel, bahkan dengan lantang menolak mentah-mentah ketika Bu Widy mengajakku untuk makan siang bersama. Aku terpaksa berbohong bahwa perutku sedang mual dan tidak nafsu makan.
Setiap kali Bu Widy berkunjung, waktu terasa begitu lambat. Kami yang sudah lelah melakukan kegiatan ‘dancing’ tanpa closing, akhirnya mulai terdiam di meja kerja dengan kesibukan masing-masing. Bu Widy bersama laptopnya dan aku yang tak henti-hentinya curhat kepada Dinda soal hariku yang menjenuhkan melalui pesan WhatsApp.
Setelah hampir tiga puluh menit, Bu Widy pun menyudahi aktivitasnya dan mulai fokus menatapku.
“Kalau dilihat-lihat, jerawat di wajah kamu makin banyak ya? Besar-besar lagi,” ucapnya santai.
Keterlaluan! Apa maksudnya beliau membicarakan soal jerawat di wajahku? Apakah beliau tidak sadar, bahwa jerawat-jerawat ini mulai bermunculan sejak beliau membuat hidupku stres seperti sekarang?
“Hehe, iya, Bu. Saya lagi berusaha buat obatin jerawat-jerawat ini kok,” sahutku sedikit malas.
“Iya dong, jerawat itu harus diobatin! Apalagi pekerjaan kamu kan berhubungan dengan nasabah. Kamu harus kelihatan cantik di depan mereka!”
Embusan napas keluar dari kedua lubang hidungku. Aku mencoba untuk bersabar menghadapi mulut rombengnya itu.
“Siap, Bu! Kalau perlu, nanti saya pergi ke klinik kecantikan buat perawatan!” jawabku mantap. Berharap Bu Widy puas dengan penuturanku.
“Jangan ngomong doang! Lagian perawatan itu harganya mahal. Gimana caranya kamu bisa perawatan kalau di kantor aja nggak pernah closing?”
Sial! Aku kalah telak. Ucapan Bu Widy memang ada benarnya juga. Namun, perlukah beliau memojokkan harga diriku seperti itu?
“Oh iya, satu lagi! Jangan lupa diet! Badan kamu udah kegemukan tuh! Nggak enak kalau dilihat sama nasabah,” tambah Bu Widy yang seolah terus menumbuk perasaanku habis-habisan.
Bukankah ini sudah menjurus ke arah body shamming? Lagipula sejak kapan perusahaan memiliki peraturan bahwa karyawannya tidak boleh bertubuh gemuk? Kami bahkan bukan pegawai bank yang setara dengan Teller dan Customer Service. Cukup berpenampilan rapi dan menarik, itu sudah masuk ke dalam kriteria sebagai agen asuransi.
Perbincangan toxic itu akhirnya membawaku kepada rasa insecure yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Aku mulai membenci diriku sendiri setiap kali memandang pantulan tubuhku di balik cermin. Aku sering menangis sendirian. Aku mengadu kepada kedua orang tuaku tentang kesehatan mentalku yang sepertinya mulai terganggu setiap harinya.
Ibuku yang selama ini mendukung pekerjaanku, bahkan terlihat pasrah ketika aku mulai berencana untuk mengundurkan diri. Memang terdengar payah, tetapi jika aku terus bertahan, aku khawatir keluargaku akan kehilangan anak sulungnya yang kelak mendekam di rumah sakit jiwa. Bayangkan saja, bekerja di satu meja yang sama dengan seorang atasan, tidakkah itu memukkan? Setiap detik, menit, jam, semua pergerakanku terus diawasi. Apa yang hendak aku lakukan selalu dibatasi. Beliau menguasai meja kerjaku sekaligus merenggut kebebasanku sebagai seorang karyawan.
Ada pada saatnya, ketika aku meminta izin untuk tidak masuk bekerja, Bu Widy langsung berkoar-koar. Memanas-manasi Bunda Suci yang sempat bertanya-tanya tentang keberadaanku pada saat itu. Kebetulan, hari itu bertepatan dengan hari wajib closing untuk para agen asuransi. Bunda Suci sempat marah dan menganggap bahwa aku tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaanku.
Dengan segala kerendahan diri, akhirnya aku mengalah dan meminta maaf atas ketidak hadiranku. Lagipula, pada saat itu kondisi keluargaku sedang tidak nyaman karena nenekku yang dilarikan ke rumah sakit. Tidak ada satu pun dari mereka—Bunda Suci dan Bu Widy—yang menyampaikan doa untuk kesembuhan nenekku. Mereka hanya terus membicarakan soal target, target, dan target.
Satu minggu kemudian, hal ini masih terus dibahas. Saat itu posisiku benar-benar sedang terpuruk karena nenekku baru saja meninggal dunia. Aku muak, melihat isi pesan Bunda Suci dan Bu Widy yang terus memojokkanku di dalam grup WhatsApp. Mereka seolah tidak pernah puas untuk mengulik-ngulik kesalahanku, khusunya soal target pekerjaan yang tidak pernah terlampaui.
Hatiku yang sudah semakin hancur, membawa tubuhku untuk berjongkok dan bersembunyi di bawah meja kerja. Di sana aku menangis sesenggukkan, menutup mulutku agar para nasabah yang datang di depan sana tidak sampai mendengar suara tangisanku. Sialnya, ponselku terus berdenting, memunculkan pesan-pesan toxic dari kedua ibu-ibu tak berperasaan itu.
Sesak di dada. Kondisiku yang masih berduka setelah ditinggal Nenek, membuatku akhirnya mencoba untuk sedikit lebih kuat. Kugerakkan jari-jari tanganku untuk menjelaskan semua yang terjadi, meski awalnya aku merasa tidak perlu melakukan hal semacam itu.
“Maaf, Bunda Suci, Bu Widy atas ketidaknyamanannya karena ketidak hadiran saya satu minggu yang lalu. Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, pada saat itu nenek saya dilarikan ke rumah sakit. Dan dua hari lalu, nenek saya baru saja meninggal dunia. Saya tahu, mungkin berita ini cukup mengganggu untuk kalian. Tapi sekali lagi saya mohon pengertian, agar saya diberi waktu lebih untuk dapat memenuhi target pekerjaan sesuai harapan kalian. Terima kasih.”
Tidak sampai satu menit, kedua wanita ajaib itu membaca isi pesanku di grup WhatsApp. Kutunggu mereka membalasnya, meski aku tidak berharap terlalu banyak untuk dimaafkan. Minimal, mungkin mereka akan membalas isi pesanku untuk sekadar mengucapkan bela sungkawa.
Namun, apakah yang terjadi?
Hanya rekan-rekan kerjaku dari tim dua yang berbondong-bondong mengucapkan belasungkawa kepadaku. Tidak dengan Bunda Suci dan Bu Widy. Mereka benar-benar mengabaikan berita duka yang kusampaikan terang-terangan di dalam grup tersebut.
Apakah mereka tidak punya sedikit saja rasa empati? Aku tahu mereka mungkin membenciku karena aku adalah agen yang tidak bisa diandalkan. Namun, apa masalah mereka dengan almarhumah nenekku sehingga tidak sudi mengucapkan satu kalimat belasungkawa? Aku merasa tidak habis pikir.
Lagi. Aku menangis di bawah meja. Persetan dengan segala hal tentang target pekerjaan. Aku bersumpah untuk tidak memikirkannya sedikit pun. Kutaruh ponselku ke sembarang arah dan kututup wajahku yang kacau oleh air mata. Pak Radit, Security cabang tempatku bekerja, beberapa kali berlalu-lalang di samping meja kerjaku. Namun aku tidak peduli dan sepertinya Pak Radit juga tidak berani bertanya lebih lanjut soal kondisi absurd-ku ini.
Satu bulan kemudian, setelah aku berpikir matang-matang, akhirnya aku memutuskan untuk resign. Seluruh pegawai bank seperti Teller, Customer Service, pimpinan cabang, Office Boy, dan para Security bahkan sempat terkejut atas keputusanku ini. Saran dari ibuku untuk mengejar sesuatu yang aku sukai, menjadi alasan paling kuat dalam meninggalkan pekerjaan ini.
Di hari terakhir bekerja, aku sempat berpelukan dengan Bu Widy dan meminta maaf atas sikapku yang mungkin kurang berkenan. Begitu pun dengan Bu Widy kepadaku. Kami saling meminta maaf, meski pada akhirnya ucapan Bu Widy tetap mengarah terhadap pekerjaan.
“Saya dengar, kamu masih punya nasabah yang berpotensi untuk ikut program asuransi kan?” tanya Bu Widy memastikan.
“Iya, Bu. Namanya Bu Irma. Katanya sih, dua hari lagi beliau akan menghubungi saya untuk memastikan keikutsertaannya.”
“Kalau begitu, nanti coba dialihkan saja ke rekan kamu yang masih kerja di sini. Minta dia untuk closing-in Bu Irma menggantikan kamu.”
Sungguh tidak berperasaan. Bisa-bisanya Bu Widy masih memikirkan soal target pekerjaan, alih-alih meluruskan hubungan kami yang selama ini merenggang sebelum aku pergi meninggalkan perusahaan selamanya.
Baiklah. Mungkin beliau memang tidak ada niatan untuk menjalin hubungan baik denganku ke depannya. Aku tidak peduli. Aku hanya berharap tim dua akan semakin maju meski itu sedikit meragukan, mengingat Bu Widy masih menjadi ASM-nya.
Hari demi hari setelah aku meninggalkan perusahaan, semuanya terasa begitu menenangkan. Ponselku lebih sepi, tidak ada teror pesan yang mengharuskanku untuk mengejar target closing. Yang paling utama, tidak ada lagi omelan Bunda Suci dan Bu Widy yang selalu berkolaborasi mengacaukan perasaanku dan rekan-rekan kerjaku. Entah hanya sugesti atau perasaanku saja, perlahan jerawat di wajahku memudar setelah hampir dua bulan tidak berhubungan dengan dua ibu-ibu toxic tersebut.
Sementara itu, aku justru masih sering menanyakan soal kabar rekan-rekan kerjaku di sana. Kabar yang tidak asing selalu muncul, tentang satu per satu agen tim dua yang resign mengikuti jejakku. Bahkan bukan hanya tim dua, tim satu pun mulai ikut berguguran setiap bulannya.
“Hey, Man! Gimana kabar tim agen Bandung? Masih aman?” tanyaku kepada Iman—rekan di tim dua—melalui pesan WhatsApp.
“Saya juga sudah resign seminggu yang lalu, Rev. Lagian, tim agen Bandung kan sekarang udah bersatu lagi. Nggak ada tim satu maupun tim dua.”
“Loh, kok bisa gitu? Terus gimana sama Bu Widy dan Pak Danu?”
“Mereka sudah out. Tadinya sih, mereka mau dimutasi karena agen-agen berguguran dan target para ASM semakin berkurang. Tapi sepertinya mereka menolak dan memilih untuk mengundurkam diri sebagai ASM.”
“Terus, tim agen Bandung sekarang nggak punya ASM gitu?”
“A Bagas, Rev. Dia si raja closing dari tim satu, yang sekarang diutus buat jadi ASM dadakan sampai perusahaan nemu ASM baru.”
Benar-benar perusahaan ajaib. Mereka mengeluarkan ASM dan membiarkan tim agen Bandung luntang-lantung tanpa pemimpin. Meskipun A Bagas merupakan agen andalan, tetapi rasanya cukup aneh, mendengar dia ditunjuk secara tiba-tiba untuk menggantikan dua orang ASM yang ditendang dari perusahaan. Ditambah dengan status agen yang justru masih melekat pada dirinya.
Ini terdengar seperti lelucon bukan? Kurasa tidak ada yang salah denganku setelah memutuskan untuk resign dari perusahaan tersebut. Karena faktanya, sebagian besar agen dari tim Bandung bahkan tidak mampu bertahan lebih dari satu tahun. Dengan range gaji di bawah UMR beserta tekanan yang menumbuk habis kesehatan mental, tentu saja hal itu akan dihindari oleh banyak orang.
Aku hanya bisa menghela napas, melihat orang-orang baru yang antusias menaruh beberapa dokumen lamaran di stand milik mantan perusahaanku saat acara job fair berlangsung. Kulihat brosur yang ditempel pada tiang penyangga tenda stand tersebut. Rupanya mereka sedang mencari agen asuransi setelah kehilangan hampir seluruh agen Bandung pada saat itu.
DICARI!
Bancassurance Specialist
Pria/Wanita
Lulusan D3/S1
Domisili Bandung
Usia minimal 20 tahun
Berpenampilan menarik
Melihat antusiasme dari para pelamar, seketika aku berharap agar posisi Bunda Suci digantikan oleh orang yang lebih pengertian. Percuma saja mereka menemukan sosok ASM baru yang mungkin lebih baik dari Bu Widy maupun Pak Danu sekalipun, jika sosok arogan seperti Bunda Suci masih bertahan di perusahaan.
Karena sesungguhnya, menjadi agen asuransi bukanlah perkara menahan diri dari tekanan pekerjaan saja. Dibutuhkan lingkungan kerja yang sehat dan dukungan tulus dari para petinggi di perusahaan. Sehinga dengan begitu, tingkat frustrasi yang dialami oleh para agen juga bisa sedikit berkurang dan target closing akan mudah untuk dicapai.
pusing agen dan ASMnya taou juga CS dan Kepala cabangnya. Nasabah sekarang sudah kritis dan selektif. Memang lebih baik resign drpd kerja di lingkungan yg toxic dan orang-orangnya seperti robot yg taunya cuma target