Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rara menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Kursor berkedip-kedip di dokumen skripsi yang masih setengah jadi, seolah mengejek usahanya yang terasa sia-sia. Sudah berjam-jam ia duduk di depan meja belajar, tetapi tidak satu pun kata yang berhasil ia tulis. Deadline semakin dekat, dan tekanan dari dosen pembimbing serta harapan keluarganya membuatnya merasa seperti terhimpit.
Dia menghela napas panjang, menutup laptopnya dengan kasar. Kepalanya pusing, dan dadanya terasa sesak. "Aku tidak bisa lagi," bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tidak terdengar.
Rara mengambil jaketnya dan memutuskan untuk keluar sejenak. Udara sore yang dingin menyambutnya saat ia melangkah keluar dari kos-kosannya. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin menjauh dari segala tekanan yang menghantuinya.
Kakinya akhirnya membawanya ke sebuah halte bus kecil yang terletak di ujung jalan. Halte itu terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang menunggu dengan wajah lelah. Rara duduk di bangku paling ujung, menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan berlalu-lalang.
Pikirannya masih dipenuhi oleh kegelisahan. "Apa gunanya semua ini? Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan benar," gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, seorang pria tua dengan baju lusuh dan tas besar berisi barang bekas duduk di sebelahnya. Rara melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin diganggu.
Tapi pria tua itu tersenyum ramah. "Sore, Nona. Lagi banyak pikiran, ya?"
Rara terkejut, tetapi ia tidak bisa mengabaikan keramahan itu. "Iya, Pak. Sedang ada masalah," jawabnya singkat.
Pria tua itu mengangguk, seolah mengerti. "Nama saya Joko. Kalau tidak keberatan, boleh saya duduk di sini?"
Rara mengangguk pelan. Mungkin, percakapan kecil ini bisa mengalihkan pikirannya sejenak.
_____
Rara duduk diam, menatap jalanan yang ramai. Suara klakson dan deru mesin kendaraan memenuhi udara, tetapi pikirannya masih terasa berat. Pak Joko, pria tua di sebelahnya, membuka tas besar berisi barang bekas dan mengeluarkan botol air minum. Ia menyeruputnya perlahan, lalu menatap Rara dengan mata yang penuh kehangatan.
"Masalahnya besar ya, Nona?" tanya Pak Joko, suaranya lembut tetapi penuh perhatian.
Rara menghela napas. "Iya, Pak. Skripsi saya tidak kunjung selesai, dan saya merasa seperti tidak bisa melakukan apa pun dengan benar."
Pak Joko mengangguk, seolah mengerti. "Skripsi itu seperti apa, ya? Dulu saya tidak sempat sekolah tinggi, jadi tidak paham betul."
Rara tersenyum kecil. "Skripsi itu semacam tugas akhir untuk lulus kuliah, Pak. Tapi saya merasa tidak mampu menyelesaikannya."
Pak Joko terdiam sejenak, lalu berkata, "Dulu, waktu saya masih muda, saya juga punya masalah besar. Saya kehilangan pekerjaan, dan keluarga saya kelaparan. Tapi saya tidak boleh menyerah, karena saya punya tanggung jawab."
Rara menatap Pak Joko, penasaran. "Lalu, bagaimana Pak Joko menghadapinya?"
"Dengan bersyukur," jawab Pak Joko sederhana. "Saya selalu ingat, selama masih bisa bernapas, masih ada harapan. Saya mulai mengumpulkan barang bekas, sedikit demi sedikit. Sekarang, saya bisa menghidupi keluarga saya, meski tidak banyak."
Rara terdiam, merenungkan kata-kata Pak Joko. "Tapi, Pak Joko tidak pernah merasa lelah atau putus asa?"
"Pernah, Nona. Tapi saya selalu ingat, hidup ini seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang penting, kita tidak berhenti berusaha."
Rara menatap Pak Joko, matanya mulai berkaca-kaca. "Saya... saya tidak tahu harus mulai dari mana lagi, Pak."
Pak Joko tersenyum. "Mulailah dari hal kecil. Apa yang bisa kamu lakukan hari ini? Tidak perlu langsung sempurna, yang penting kamu mencoba."
_____
Rara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak Joko. Udara sore yang dingin terasa lebih menyejukkan, seolah membawa ketenangan dalam pikirannya yang sebelumnya kacau.
"Mulai dari hal kecil..." gumam Rara pelan, seolah mencoba memahami maknanya.
Pak Joko mengangguk. "Iya, Nona. Tidak perlu langsung sempurna. Yang penting, kamu mencoba. Saya dulu juga begitu. Mulai dari mengumpulkan botol bekas satu per satu, sampai akhirnya bisa seperti ini."
Rara menatap Pak Joko, matanya penuh rasa kagum. "Tapi, Pak Joko tidak pernah merasa malu atau rendah diri?"
Pak Joko tertawa kecil. "Malu? Kenapa harus malu? Saya bekerja keras untuk keluarga saya. Tidak ada yang perlu dipermalukan dari itu. Justru, saya bangga bisa mandiri dan tidak merepotkan orang lain."
Rara tersenyum, merasa terinspirasi oleh ketegaran Pak Joko. "Saya rasa, saya terlalu fokus pada hal-hal besar sampai lupa menghargai hal kecil yang sudah saya capai."
"Betul, Nona. Kadang-kadang, kita terlalu sibuk memikirkan masa depan sampai lupa bersyukur untuk hari ini," kata Pak Joko dengan bijak.
Rara mengangguk, merasa beban di pundaknya perlahan terangkat. "Terima kasih, Pak Joko. Saya merasa lebih tenang sekarang."
Pak Joko tersenyum. "Sama-sama, Nona. Ingat, hidup ini seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang penting, kita tidak berhenti berusaha."
Rara menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Ia merasa seperti menemukan semangat baru yang selama ini hilang. "Saya akan mencoba, Pak. Mulai dari hal kecil, seperti yang Pak Joko bilang."
_____
Setelah percakapan dengan Pak Joko, Rara merasa lebih tenang dan termotivasi. Ia memutuskan untuk pulang dan menghadapi tantangannya dengan semangat baru. Saat ia berdiri untuk pergi, ia menoleh ke Pak Joko.
"Terima kasih banyak, Pak Joko. Saya tidak akan lupakan nasihat Anda," kata Rara dengan tulus.
Pak Joko tersenyum. "Sama-sama, Nona. Semoga kamu sukses dengan skripsimu."
Rara mengangguk dan berjalan meninggalkan halte bus. Langkahnya terasa lebih ringan, dan pikirannya lebih jernih. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu keras pada dirinya sendiri.
Rara duduk di depan laptopnya lagi, tetapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Ia membuka dokumen skripsinya dan mulai mengetik. Kali ini, kata-kata mengalir dengan lancar. Ia ingat nasihat Pak Joko: "Mulailah dari hal kecil."
Ia tidak lagi memikirkan kesempurnaan. Ia hanya fokus pada apa yang bisa ia lakukan hari ini. Setiap kali merasa lelah atau ragu, ia mengingat ketegaran Pak Joko dan semangatnya yang tidak pernah padam.
Beberapa minggu kemudian
Rara kembali ke halte bus itu, berharap bisa bertemu Pak Joko lagi untuk berterima kasih. Namun, pria tua itu tidak terlihat. Ia bertanya pada penjaga halte, tetapi mereka tidak mengenal siapa Pak Joko.
"Pemulung tua? Saya tidak pernah melihatnya di sini," kata penjaga halte itu.
Rara terdiam, merasa heran. Apakah pertemuan itu hanya kebetulan, atau mungkin Pak Joko adalah sosok yang diutus untuk memberinya semangat?
Ia tersenyum sendiri, menyadari bahwa siapa pun Pak Joko sebenarnya, pertemuan itu telah mengubah hidupnya. Ia kini lebih bersyukur, lebih sabar, dan lebih menghargai setiap langkah kecil dalam perjalanannya.
_____
Rara duduk di ruang sidang kampus, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, para dosen pembimbing duduk dengan ekspresi serius, memeriksa presentasi skripsinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengingat nasihat Pak Joko: "Mulailah dari hal kecil."
Dengan percaya diri, Rara memulai presentasinya. Kali ini, ia tidak merasa terbebani oleh kesempurnaan. Ia hanya fokus pada apa yang bisa ia sampaikan dengan baik.
Setelah presentasi selesai, para dosen memberikan apresiasi. "Kerja bagus, Rara. Skripsimu sangat matang dan mendalam," puji salah satu dosen.
Rara tersenyum lebar, merasa lega dan bangga. Ia menyadari bahwa semua usahanya selama ini tidak sia-sia.
Di Halte Bus
Setelah sidang skripsi, Rara kembali ke halte bus itu. Ia duduk di bangku yang sama, menatap jalanan yang ramai. Kali ini, ia tidak merasa gelisah. Sebaliknya, ia merasa damai dan bersyukur.
Ia mengeluarkan secangkir kopi dari tasnya dan menyeruputnya perlahan. Aroma kopi yang hangat mengingatkannya pada percakapannya dengan Pak Joko.
"Terima kasih, Pak Joko," bisik Rara pelan. "Aku tidak akan pernah lupakan nasihatmu."
Tiba-tiba, seorang anak kecil mendekatinya. "Kakak, ini ada surat untukmu," kata anak itu, memberikan selembar kertas.
Rara terkejut. Ia membuka kertas itu dan membaca tulisan di dalamnya:
"Hidup ini seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang penting, kita tidak berhenti berusaha. Teruslah bersyukur, dan jangan lupa untuk membantu orang lain seperti kamu telah dibantu."
Rara tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu siapa yang mengirim surat ini, tetapi ia merasa seperti Pak Joko masih mengawasinya dari jauh.