Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Hagia suruh ibumu bercerai dengan bapakmu,” perintah nenek.
“Ideologi kekeluargaan dalam keluarga yang utuh berpusat pada keharmonisan, kasih sayang, dan kerjasama di antara anggota keluarga, serta kemampuan untuk saling mendukung dan menerima satu sama lain dalam suka maupun duka. Konsep ini mengutamakan berbagai nilai-nilai seperti tanggung jawab, gotong-royong, penerimaan, dan pentingnya peran ayah dan ibu dalam keluarga,” dakwahku pada nenek.
“Tapi nenek sudah malu punya menantu bapakmu!” Nenek masih pada prinsipnya.
“Lantas kenapa nenek membolehkan ibu dinikahi bapak?” selidikku.
“Bapakmu berubah menjadi aneh saat kau tiga tahun! Dulu dia tak menjengkelkan.”
“Kenapa nenek terburu-buru menikahkan ibu?”
“Karena nenek tidak mau ibumu jadi perawan tua!”
“Bukankah perawan tua itu tidak berdosa?” tanyaku menantang.
“Otakmu batu! Persis bapakmu!”
“Kalau dari awal kau tolak pinangan bapak. Aku sungguh senang, Nek! Aku tak perlu berurusan dengan setan-setan dunia. Biarlah aku diam menjadi tanah. Biarlah aku tak kenal apa itu Firdaus dan Jahannam. Biarlah aku jadi peliharaan yang dimainkan manusia. Biarpun aku jadi sapi yang diqurbankan manusia. Biarlah! Ini semua terjadi ulah nenek!” Aku yang muak meninggalkan nenek di depan rumah.
Aku di usia 10 tahun sudah merasakan jika keluargaku di ujung jurang. Di balik itu ada dua temanku yang menjadi yatim dan ibunya menikah lagi. Orang tua temanku bercerai, tetanggaku bercerai, guruku juga ikut bercerai dari pasangannya.
“Akankah orang tuaku juga akan bercerai?” Aku bermonolog dalam hati.
“Semisal bercerai ... aku ikut siapa ya ….” Air mataku mulai gerimis.
Kini usiaku 17 tahun. Orang tuaku sudah menjalani pernikahan 18 tahun. Usai berdamai dengan kenyataan pahit yang Tuhan berikan. Aku tumbuh sesuai keinginan semua orang tua di dunia. Aku mewakili sekolah untuk petandingan Innovative Science Championship (ISC). Kemudian lolos seleksi nasional dan mendapatkan beasiswa full S1 di Australia. Kabar gembira ini terdengar ke telinga semua keluarga besarku. Di sisi lain ibu dan nenek mendapatkan rezeki ke Baitullah. Bukankah terang benderang sekali kebahagiaan milik keluargaku? Sayangnya dunia itu cakra menggiling.
“Hagia … ibu runtuh. ” Pipinya menjadi peta kesedihan, dengan garis-garis air mata yang tak terhapus.
“Siapa yang menjatuhkan ibu?” tanyaku hati-hati, ibu masih tersedu.
“Hagia … apakah ibu cukup sampai di sini saja ya? Ibu telah dijodohkan oleh nenek.”
Bagaikan tsunami yang menghantam negeri.
“Ibu durhaka meninggalkan bapak tanpa syarat dari Ilahi!” kritikku, dengan badan mulai linglung.
“Karena Hagia sudah besar. Lebih baik ibu bercerai atau tetap melanjutkan pernikahan ini? Jika bercerai Hagia tidak punya keluarga utuh lagi.”
“Kasihan Barlim bu ... dia masih kecil.” Aku mulai menangis.
“Pikir terakhir dia masih kecil, ibu mau kamu yang jadi anak pertama kami,” jawab ibu.
Lagi-lagi anak pertama.
Dialog ini berlanjut sampai berjam-jam. Kemudian tangisan ibu mereda saat ada deru motor bapak di garasi. Sejak kejadian itu nuansa rumahku menjadi dingin. Sebenarnya aku setuju dengan nenek. Karena pada dasarnya aku tak menyukai bapak. Namun ibu sebagai orang tua yang baik selalu menasehatiku supaya menerima bapak di hidupku. Hidup selalu saja mendatangkan badai tanpa tanda-tanda. Tiba-tiba di rumah nenek kedatangan tamu yaitu bapaknya nenek alias buyut. Walaupun rumah kami berbeda, rumah kami tetap berhimpitan. Malamnya ibu di panggil nenek. Malam itu aku tak bisa tertidur, aku memiliki firasat pahit mengenai pilihan terburuk. Benar saja ibu masuk kamarku dan menjatuhkan badan di kasurku, sambil menangis tersedu-sedu ibu berkata, “Kata Nenek, ibu disuruh bercerai oleh buyut.”
Malam ini ibu benar-benar down, apalagi kelemahan Ibu adalah Nenek. Kali ini pikiranku benar-benar kosong.
“Ibu … sudah jam 11 malam. Jangan pikirkan ini, istirahat saja dahulu,” ucapanku.
“Hagia ... setelah dihubung-hubungkan dengan kejadian masa lalu. Ini semua tak melulu salah bapakmu. Sepertinya adik-adik nenekmu tak suka melihat ibu tambah sukses dalam karir sebagai Dosen. Mengingat anaknya Eyang Sarti yang tak lulus-lulus jua dalam fakultas yang dipegang ibu. Anaknya Eyang Pardi juga tidak keterima di Universitas yang berada di naungan ibu. Kamu juga kemarin menang ISC. Ibu kemarin baru umrah ….”
Akhirnya ibu tertidur dengan air mata yang mulai mengering di pipinya, dengan meninggalkan cerita yang belum tamat.
Namun ada yang salah dengan Buyut. Mengapa Buyut mengurusi kehidupan orang lain? Buyut biasanya bijaksana, menngingat usianya diatas 70 tahun. Aku merasakan hal-hal yang tidak beres di rumah ini. Setelah diriku merantau ada saja gebrakan di rumah. Kemudian aku ingat mungkin adik-adik Nenek menghasut Buyut, dengan mencari kesalahan Bapak yang jarang berbaur dengan orang desa. Sangking lelahnya tiba-tiba adzan shubuh sudah berkumandang.
Kali ini di rumah hanya ada aku seorang, karena orang tuaku belum cuti. Nenek, kakek di rumah sebelah. Kasihan kakek sekarang sakit-sakitan. Mungkin nenek sama seperti ibu yang sedang down.
Brrruumm! Suara motor bersahut-sahutan, terdengar dari depan rumah nenek. Ternyata ada empat adik nenek yang datang hari ini, lengkap bersama pasangannya masing-masing . Aku yang merasa tidak enak. Langsung menyusun rencana agar bisa menyusup ke rumah nenek. Aku lompat dari jendela kamar kakek, sekarang kakek tertidur pulas. Kemudian berjalan empat kaki seperti tikus yang berjalan di bawah kursi. Untung saja ada gorden pemisah antara ruang tamu dan ruang makan. Setelah berhasil duduk di balik gorden. Aku langsung menghidupkan rekaman di handphone.
“Hagia kemana? Rumahnya sepertinya kosong,” tanya Eyang Wuli.
“Mungkin sedang tidur,” imbuh nenek
“Mbak yu … dengar-dengar Hagia mau keluar negeri ya?” tanya Eyang Supri.
“Alhamdulillah … iya,” imbuh Nenek.
“Mbak yu … luar negeri iku bahaya kagem Hagia, pripun nek Hagia keculik?” cetus Eyang Pardi.
“Nek lali karo keluargane priye jal,” imbuhnya lagi.
“Mbak yu udah percaya sama Hagia … De’e wes gedhe wes dholor.” Nenek menyakinkan.
“Mbak yu jadi begini gegara si Mahes. Padahal Mahes dadi atos gegara mbojo karo Prawit,” cecar Eyang Sarti.
“Weslah kon cerai wae, nalika Prawit yo ngisin-ngisini, mosok keliling desa mesti ngenggo sarung tangan. Ngawe wong lara ati, ngelek-ngelekki keluarga besar Wibisana.”
“Mbak yu wes ngerembuk karo Hagia … jarene doso,” jawab Nenek.
“Emang kowe raisin dhuwe mantu sing raisa apa-apa? Gajine setitik. Ra dhuwe pangkat. Ra isa omong,” cecar Eyang Sarti.
“Yowis sesuk aku wae sing nyere’ke. Tak gowo lunga Hagia njuk tak suntikke bius. Banjur nyulik Mahes. Semisal Mahes moh mbojo karo Wisnu. Tak ancam Hagia tak buak ning pedalaman Dayak.”
“Banting mayitku sek Eyang,” tantangku sambil kugenggam erat handphone-ku.
Beberapa Eyangku yang sedang minum teh terbatuk.
“Kurang ngajar sampeyan! Mahes karo Prawit raisa ndindik anak.” Eyang Pardi murka.
“Yang kurang ngajar itu Eyang karena mau menghancurkan keluarga saya!” Aku membela
“Heh keluargamu ki atos banget ya … mesti gegara Prawit! Rono kon Mahes cerai karo Prawit! Kowe ra mutu bocah cangkeman.”
"Kalian ini siapa? Mengapa kalian berani-beraninya mencampuri urusan rumah saya? Lebih baik kerja! Daripada mengurus rumahku yang sudah tertata! Aku sendiri tidak pernah mengeluh atau meminta bantuan, tapi kalian malah membuat keributan di sini," kataku dengan nada yang tajam.
“Kau masih bocah sudah merepotkan!” bentak Eyang Pardi.
“Kau lebih parah! Sudah tua harusnya perbanyak ibadah bukan adu domba!”
Eyang Pardi mengamuk, tremos panas diguyur ke arahku, namun aku sigap berlari ke luar rumah. Diikuti gemuruh kaca yang berpecahan.
“Tolong!” jeritku sambil berlari.
“Tolong!”
“Tolong!”
“Tolong!”
“Tolong!”
Tintt! Ada seseorang yang mengklakson kepadaku.
“Ada apa mbak?” tanya pengemudi itu panik
“Bawa saya ke polsek,” ucapku terengah-engah
Akhirnya aku diantar sampai polsek oleh orang itu. Aku langsung masuk kantor polsek.
“Beri saya pelindungan!” teriakku mengejutkan seluruh orang disana.
“Sini, Mbak!” Aku langsung berlari ke arah polisi itu dan membimbingku untuk memasuki ruangan khusus. Dia menenangkanku, katanya aku sudah aman. Walaupun aku mendengar ada suara berisik di depan, mungkin amukan Eyang Pardi. Aku diminta cerita oleh polisi tapi tenagaku habis. Lantas aku bukakan percakapan yang kurekam tadi.
“Apakah ada luka, Mbak?” Polisi mulai mengintrogasi.
Aku menggeleng.
“Ada orang tua di rumah?”
Aku menggeleng.
“Apakah kenal siapa yang mengantarmu kesini?”
Aku menggeleng.
“Ada alasan untuk apa kau kemari?”
Aku mengangguk.
“Tolong katakan saya akan membantu permasalahannya.”
“Saya ingin seluruh eyang yang berada di rumah nenek membayar denda atas kerusakan perabotan rumah nenek dan khusus Pak Pardi dipenjara.”
“Tapi proses penuntutan lama, Mbak,” terang polisi itu.
“Semua akan saya jalani.”
Polisi menelepon orang tuaku, konon katanya nenek pingsan. Polisi melakukan penyelidikan. Memang benar kaca ruang tamu nenek pecah dan seisi ruang tamu jadi kapal pecah. Orangtuaku menjemputku, bapak menangis namun tangisan ibu lebih pilu. Seluruh Eyangku sudah tertangkap. Sekarang aku harus mengurusi pengadilan di kota. Usai semua beres keluargaku menjadi tenang. Namun hubungan kami dengan nenek membaik, kali ini nenek tidak menuntut bapak lagi. Ibu jadi lebih ceria, aku ikut bahagia. Nasib beserta sanak saudara kami jadi canggung. Apalagi dengan sepupu, walaupun kami saling tegur sapa. Tapi sudah tak sehangat dulu.
Magelang, 19 April 2025.