Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
TIORA 1986
1
Suka
18
Dibaca

Sorot lampu panggung menabrak wajah Tiora Belva, memantulkan kilaunya di gaun putih rancangan tangannya sendiri. Tepuk tangan pecah memenuhi aula besar di Beijing Fashion Awards. Kamera berputar, blitz menyala, dan pengumuman pun menggema:

> “Pemenang Desainer Muda Terbaik tahun ini — Tiora Belva!”

Ia berdiri dari kursi paling depan, senyumnya tipis tapi mantap. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena gugup — tapi karena akhirnya, semua kerja keras dan begadang berbulan-bulan terbayar. Jalan menuju panggung seolah melambat. Orang-orang berdiri memberi selamat, dan di layar besar terpampang tulisan: “Belva Handmade, a tribute to timeless fashion.”

Namun langkahnya terhenti sesaat. Di pojok ruangan, di balik tirai belakang panggung, tergantung selembar kain lusuh berwarna gading.

Tulisannya samar:

> “Belva Handmade — 1986.”

Ia berhenti. Jantungnya berdebar aneh, seolah kain itu sedang memanggil. Tangannya spontan menyentuh ujungnya, halus tapi dingin.

Dan detik berikutnya, dunia terbalik.

Suara tepuk tangan berganti jadi ringkikan kuda, cahaya panggung jadi redup, udara berubah jadi lembab. Lantai marmer tempatnya berdiri berubah jadi tanah basah penuh serpihan kain.

> “Belva! Cepat bangun, utangmu di rumah judi belum dibayar!”

Ia menoleh. Seorang perempuan tua berambut kusut berdiri di depan pintu, matanya garang.

Belva panik — tubuhnya berat, bajunya compang-camping, tangannya penuh bekas luka jarum. Ia melihat ke cermin tua di dinding — pantulan dirinya bukan lagi desainer muda sukses, tapi perempuan berwajah keras dengan rambut acak dan mata sayu.

> “Apa… ini?” gumamnya pelan.

Pintu terbuka keras. Seorang pria masuk dengan wajah lelah — Hansen, tubuhnya tegap tapi matanya kosong.

> “Belva, jangan main judi lagi. Kita sudah hampir kehilangan semuanya. Pabrik hampir tutup.”

“Pabrik?” Belva menelan ludah.

“Aku—aku gak ngerti…”

Di pojok ruangan, seorang bocah kecil menatap dengan ketakutan.

> “Ibu… jangan marah lagi, ya?” katanya lirih.

Belva membeku. Hatinya bergetar aneh saat mendengar panggilan itu. Ibu? Ia menatap bocah itu lama, seolah mencari ingatan yang tak dimilikinya.

Tapi sebelum sempat bertanya, suara dari luar rumah terdengar.

> “Kak Belva!”

Sally masuk — cantik, rapi, senyumnya manis. Tapi matanya tajam.

> “Kak, aku baru bantu Hansen di pabrik. Kau gak apa-apa? Wajahmu pucat.”

Belva menatapnya bingung. Nama itu… Sally. Dalam pikirannya, seolah ada gema dari masa lain — asisten magangnya dulu, gadis yang selalu menirukan desainnya diam-diam.

Dan sekarang, gadis itu berdiri di depannya, memanggilnya kakak.

Udara terasa makin dingin. Dunia ini bukan lagi 2025. Ia baru sadar — jam di dinding berhenti di angka 1986.

Malam pertama di rumah itu jadi neraka.

Belva duduk di lantai tanah, dikelilingi bau tembakau, kain lembab, dan suara tikus di langit-langit. Setiap kali ia merem, bayangan panggung megah dan pialanya muncul lagi di kepala — lalu hilang begitu ia buka mata dan sadar, ini bukan mimpinya.

Anak kecil itu—Liang—tidur di sudut ruangan, meringkuk dengan selimut tipis. Wajahnya polos, tapi di bawah matanya ada bekas lebam. Hati Belva mencelos. Apa selama ini... ibu kandungnya yang nyakitin dia?

Ia menarik napas panjang.

“Oke, ini pasti mimpi panjang yang aneh. Aku cuma harus bertahan sampai bangun,” gumamnya.

Tapi jam terus berdetak, dan fajar benar-benar datang.

Pagi harinya, Hansen sudah menyiapkan air di ember. Otot lengannya tegang, tapi caranya menatap Belva lembut.

> “Kamu gak perlu ke pasar hari ini, istirahat aja. Aku sama Sally bisa urus pesanan.”

Belva melongo.

“Sally? Dia ikut bantu juga?”

> “Iya. Belva Handmade cuma punya sedikit pelanggan, tapi Sally rajin bantu promosi. Berkat dia, kita masih bisa bayar utang.”

Kalimat itu bikin perut Belva terasa dingin. Jadi di dunia ini… Sally itu “penyelamat” versi publik? Ironi banget, karena di masa depan, gadis itu terkenal suka nyolong desain orang lain.

Siangnya, Belva mulai keliling pabrik kecil di belakang rumah. Mesin jahitnya tua, berkarat, tapi masih hidup. Kain-kain bekas bertumpuk di meja, pola-pola berantakan. Nalurinya sebagai desainer mulai bangun.

> “Kalau dijahit ulang, potongannya bisa lebih efisien,” gumamnya sambil memegang kain lusuh.

> “Kau ngomong apa?” tanya Sally yang muncul tiba-tiba.

Belva tersentak.

“E… cuma mikir keras.”

Sally tersenyum, tapi sinis. “Kak Belva yang kukenal gak pernah mikir soal kerjaan. Biasanya udah duduk di meja judi jam segini.”

Belva kaku. Tatapan Sally tajam, seolah menembus kulitnya.

> “Orang bisa berubah,” katanya pelan.

Sally menyipit. “Kalau berubah karena apa, ya?”

Malamnya, Belva melihat Hansen duduk di teras, minum teh dari cangkir retak. Cahaya lampu minyak menerpa wajahnya, bikin gurat lelah di pipinya makin jelas. Tapi ada sesuatu di matanya — ketenangan yang nyaris bikin Belva lupa bernapas.

> “Aku tahu kau berusaha, Belva,” katanya tiba-tiba.

>“Meskipun semua orang bilang kau udah gak bisa diselamatin… aku masih percaya.”

Belva terdiam. Ia ingin bilang: Aku bukan Belva yang kau kenal. Tapi bibirnya kelu.

Sebagai gantinya, ia menatap langit malam dan berbisik dalam hati:

> “Kalau memang aku dikirim ke masa ini… mungkin ini kesempatan buat menebus kesalahan orang yang tubuhnya kupinjam.”

Dari dalam rumah, suara kecil terdengar. Liang mengigau dalam tidurnya. Belva masuk pelan, menyelimuti anak itu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya — ia membelai kepala seorang anak dengan lembut.

> “Maaf ya… Ibu baru belajar jadi manusia yang bener.”

Pagi itu, cahaya matahari masuk dari celah jendela bambu, menimpa meja jahit yang penuh debu.

Belva berdiri di sana, dengan rambut disanggul asal tapi mata tajam seperti waktu ia masih jadi desainer modern. Di depannya ada tumpukan kain sisa yang biasa dibuang—tapi di tangannya, semua terlihat punya peluang.

> “Kalau pola ini diubah sedikit… bisa jadi gaun musim semi,” gumamnya.

Hansen yang baru pulang dari pasar berhenti di ambang pintu, nyengir kecil.

> “Aku gak tahu kau bisa ngomong tentang pola sekarang. Dulu kau marah kalau aku minta bantu potong kain.”

Belva menoleh dan cuma senyum. “Dulu aku terlalu sibuk ngurus hal gak penting.”

Hari-hari berikutnya berubah drastis.

Belva mulai ajarin para penjahit pabrik tentang pola baru. Ia ubah warna kain yang biasanya pucat jadi lebih berani: merah bata, biru tua, hijau zaitun. Gaya yang belum pernah ada di desa itu.

Desainnya disukai pelanggan kota. Dalam dua minggu, pesanan naik dua kali lipat. Hansen sampai harus beli mesin jahit tambahan.

Tapi perubahan itu juga menarik perhatian satu orang: Sally.

Ia berdiri di pojok pabrik, pura-pura bantu, padahal matanya terus mengawasi.

> “Kak Belva, sejak kapan kau bisa jahit sepandai itu?” tanyanya manis.

Belva mengangkat bahu.

“Mungkin karena aku mulai serius.”

> “Atau mungkin… karena kau bukan Kak Belva yang asli?” balas Sally dengan senyum dingin.

Belva terdiam. Ada hawa aneh di antara mereka. Sally menatapnya seperti predator yang baru mencium bau darah.

Suatu sore, Sally datang ke rumah tetangga dan pura-pura berbisik.

> “Kalian gak heran? Belva yang dulu tukang judi sekarang tiba-tiba pintar jahit? Pasti ada yang bantuin dari dunia lain.”

Desa kecil itu cepat terbakar gosip. Orang-orang mulai berbisik di belakang punggung Belva. Beberapa pelanggan bahkan batal pesan.

Hansen mendengar kabar itu. Ia pulang ke rumah dengan wajah muram.

> “Kau dengar gosip itu?” tanyanya pelan.

“Dengar,” jawab Belva tenang.

“Aku tahu itu gak benar. Tapi kenapa orang-orang berubah pikiran secepat itu?”

Belva menatap tangannya yang kapalan karena menjahit. “Karena mereka cuma lihat masa lalu, bukan apa yang bisa berubah.”

Hansen menatapnya lama. “Aku percaya kau bisa berubah. Tapi... kadang aku takut, kau bukan lagi Belva-ku.”

Kalimat itu nyayat lebih tajam dari jarum. Tapi Belva cuma senyum kecil. “Mungkin kau akan suka Belva yang baru.”

Beberapa hari kemudian, Hansen kembali dari kota membawa kabar besar: toko kain ternama tertarik kerja sama dengan pabrik mereka.

Belva nyaris menangis bahagia. Ia tahu ini titik balik keluarga mereka.

Tapi di balik tirai kamar, Sally mendengar semua dan menggertakkan gigi.

> “Kau pikir kau bisa ambil semuanya dariku lagi, Kak?” gumamnya.

“Kau yang baru ini bakal kuungkap. Kau lihat saja.”

Dan malam itu, di bawah cahaya bulan, Sally mulai rencananya — mencari cara buat buktikan bahwa Belva yang sekarang “bukan manusia biasa”.

Malam itu, udara terasa berat. Langit diselimuti awan tebal, dan suara mesin jahit berhenti untuk pertama kalinya dalam seminggu. Belva duduk sendirian di pabrik, menatap hasil kerja tangannya—gaun sutra biru laut dengan renda halus di pinggir. Karya itu pesanan dari toko besar di kota, pesanan yang bisa mengubah nasib mereka selamanya.

Tapi dari jendela, sepasang mata mengintai dalam gelap. Sally.

Ia menggenggam botol minyak tanah, wajahnya tegang.

> “Kau pikir aku akan diam lihat kau ambil semuanya? Kakak atau bukan, kau cuma penyusup.”

Tangannya gemetar, tapi api di matanya menyala. Ia menumpahkan minyak ke tumpukan kain di sudut ruangan.

Namun sebelum sempat menyalakan korek, suara kecil terdengar di belakangnya.

> “Bibi Sally… jangan bakar pabrik Ayah.”

Sally menoleh. Liang berdiri di sana, memeluk boneka lusuh. Matanya besar dan ketakutan.

Anak itu—yang dulu selalu takut pada ibunya—kini berdiri berani. Ia telah berubah sejak “Belva baru” hadir.

> “Ibu sekarang baik. Jangan sakiti Ibu…” ucapnya lirih.

Sally membeku. Lidahnya kelu. Hansen tiba-tiba datang, menepuk bahunya keras.

> “Apa yang kau lakukan, Sally!?”

Korek terjatuh. Api kecil menyambar lantai, tapi cepat dipadamkan Hansen.

Dalam kekacauan itu, Belva berlari ke arah Liang, memeluk anak itu erat.

> “Kamu gak apa-apa, Nak? Maaf Ibu dulu jahat.”

Liang menangis di dadanya.

“Ibu sekarang baik. Aku sayang Ibu.”

Hansen berdiri di depan mereka, menatap Belva lama—mata mereka bertemu, dan seolah waktu berhenti.

Ia sadar: ini bukan Belva yang dulu. Tapi entah kenapa, justru wanita ini yang membuat rumah mereka kembali hangat.

Hari berganti. Gosip di desa hilang setelah Hansen melindungi nama istrinya. Sally pergi dari rumah, membawa rasa malu dan amarah yang belum padam.

Belva tetap menjahit, tetap tersenyum, tapi di dadanya mulai tumbuh rasa takut lain—rasa bahwa waktunya di dunia ini hampir habis.

Malam itu, mereka bertiga makan malam sederhana. Hansen menyendokkan sup sambil tersenyum.

> “Aneh ya, dulu aku pengen menyerah. Tapi sekarang rasanya aku pengen hidup seribu tahun lagi begini.”

Belva menatap mereka—Hansen dan Liang—lalu menghapus air mata diam-diam.

> “Kalau suatu hari aku gak di sini lagi, kalian harus tetap bahagia ya.”

Hansen tertawa kecil.

“Kau bicara seolah mau pergi jauh.”

“Kadang… hidup memang begitu,” jawabnya pelan.

Ketika malam makin larut, langit kembali bergemuruh. Suara hujan turun, seperti malam pertama kali ia datang ke dunia ini. Lampu minyak bergoyang, dan Belva merasakan cahaya itu menariknya lagi—hangat, tapi tak terelakkan.

Ia berlari ke arah Hansen, memeluknya sekuat tenaga.

> “Terima kasih udah ajarin aku arti cinta,” bisiknya.

Hansen menatapnya heran.

“Belva…?”

Tubuhnya bergetar, lalu lenyap seperti kabut tertiup angin. Hanya tersisa sepotong kain biru di lantai—bertuliskan halus di sudutnya:

> “Belva Handmade – 1986.”

Tiora terbangun di ruang desainnya. Tangannya masih menggenggam kain itu, air mata menetes di pipinya. Dunia modern terasa hampa tanpa tawa Hansen dan Liang. Tapi di label kecil kain itu, ada tambahan tulisan halus yang belum pernah ia lihat:

> “Untukmu, yang mengubah hidupku — Hansen Lurr.”

Ia tersenyum. Mungkin cinta memang gak kenal waktu.

Beberapa bulan kemudian, di pameran kain antik Shanghai, Tiora menatap kain biru serupa di stan kecil bertuliskan “Produk Lurr 1986”.

> “Kain ini…” gumamnya.

> “Indah, ya?” suara pria di sampingnya membuatnya menoleh.

Pria itu berwajah hangat, dengan garis senyum yang begitu familiar.

“Saya Hansen,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Pemilik toko ini.”

Tiora nyaris tak bisa bernapas. Ia tersenyum pelan, menyalami tangannya.

> “Saya Tiora. Desainer dari Beijing.”

> “Senang bertemu lagi—eh, bertemu, maksud saya,” ucap Hansen kikuk.

Mereka tertawa kecil.

Di luar, hujan kembali turun, membasahi atap Shanghai sore itu.

Tiora menatap kain di tangannya, lalu pada Hansen.

> “Lucu ya, kadang waktu cuma butuh satu benang untuk menjahit dua hati.”

Hansen menatapnya, tersenyum.

> “Dan kali ini, aku gak akan biarkan benang itu putus lagi.”

Mereka berdiri di antara cahaya lampu dan aroma teh hangat—dua jiwa dari dua masa, akhirnya bersatu.

Dan dari kejauhan, seperti bisikan lembut masa lalu, terdengar suara mesin jahit berirama pelan.

— Tamat —

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Islah Cinta
Falcon Publishing
Novel
Titik Nol
David Daniel
Cerpen
TIORA 1986
Klein Ma
Novel
Kisah Zaheera dan Tuan Milyader
Vie Rabbani
Cerpen
Bronze
30 Hari Menuju Cinta
Shinta Larasati Hardjono
Novel
Bronze
INEFFABLE
Delana Siwarka
Novel
Bronze
Remaja 26
A.Ariny Syahidah
Flash
Bronze
Kalau Air Bisa Bernyanyi untukmu...
Shabrina Farha Nisa
Cerpen
Bronze
Semua Akan Pret Pada Waktunya
Nuel Lubis
Novel
Secangkir Matcha
imagivine
Novel
Bronze
Senja Mengukir Cerita
Rian Heryana
Flash
Potret di Ujung Senja
Uwiyma
Novel
Pengantin Palsu Ceo Arogan
YOSSYTA S
Cerpen
SEKUTU
Echana
Novel
Bronze
2in1 Love : Ketika 2 Jiwa dalam 1 Cinta Bertemu
Rini Nur Hidayah
Rekomendasi
Cerpen
TIORA 1986
Klein Ma
Cerpen
TAN MALAKA
Klein Ma