Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kedua mataku terbelalak menatap sederet kata yang masuk di layar ponsel. Jantungku seolah berhenti berdetak. Sebagian jiwaku luluh lantak. Sebab aku tahu di sana ada hati yang retak, karena sosok yang ingin mereka jumpai tak nampak.
Nadia || asrama
Layl, abi dan umi km dtang nih ke asrama cpat pulang, ya
¹²'¹⁰
Km dmn?
¹²'¹²
Ya, hati yang telah kuretakkan adalah abi dan umi. Memang, dari semua teman asramaku, hanya Nadia yang tak tahu keberadaanku. Saat aku pamit pergi, dia sedang tak berada di asrama.
Napasku tertahan, darahku berdesir, bulu kudukku meremang, tubuhku terasa sulit tuk digerakkan. Aku terpaku di bangku bus umum yang terus melaju. Pandanganku menerawang. Pikiranku kalang kabut, antara sedih dan takut.
Aku takut jika pulang nanti, abi dan umi memarahiku karena bersikeras untuk pergi, tanpa peduli mereka sudah melarangku. Di sisi lain aku sedih, membayangkan abi dan umi datang ke asrama ingin menemuiku untuk meluapkan segala rindu yang terpendam selama berbulan-bulan. Namun, aku tak di sana. Orang tuaku tak berhasil mengobati rindu bersama putri tercintanya, yaitu aku.
Lamunanku buyar tatkala ponselku berdering, menampakkan nama Nadia di layar ponsel. Ragu kugeser tombol hijau, kemudian mendekatkannya ke telinga.
"Layl, kamu di mana sekarang? Cepat pulang, ya, kasihan abi dan umi kamu menunggu di sini, tanya-tanya terus," ucap Nadia, di seberang. Terdengar dari suaranya, kurasa dia sedang gelisah.
Kuhembuskan napas dalam-dalam, agar aku bisa menghilangkan rasa tegang.
"Nadia, aku mohon sama kamu. Tolong jangan beri tahu abi dan umi tentang keberadaanku sekarang."
"Emang, sekarang kamu di mana?"
"Bilang aja dulu, kalau aku sedang berlibur dengan teman kuliahku."
"Pokoknya kasih tahu, sekarang kamu di mana, Layl?"
Akalku buntu. Sekarang aku benar-benar gelisah, aku takut ketahuan. Kakiku bergetar. Bibirku pucat karena tergigit sangat kuat.
"Aku... aku, aku sedang dalam perjalanan ke Jogja," jawabku, pelan dan lirih.
"Gila! Sama siapa kamu ke sana? Pemalang ke Jogja jauh, loh," pekik Nadia, antara terkejut dan khawatir.
"Nad, plis, jangan bilang sama abi dan umiku, ya?" pintaku, dengan suara memelas, begitu juga dengan raut wajahku. Meski aku tahu bahwa Nadia takkan bisa melihat bagaimana raut wajahku sekarang.
"Okay, aku nggak bakal memberi tahu kepada mereka," balas Nadia, datar, "tapi, coba kamu pikir, Ka. Bagaimana rindunya abi dan umi sama kamu? Aku yakin, kedatangan mereka itu karena rindu kepada anaknya. Namun, ending-nya malah gagal bertemu sama anaknya."
Kepalaku tertunduk sembari terpejam. "Iya, aku paham, kok, Nad."
Terdengar suara Nadia di sana tertawa sinis. "Paham dari mana? Aku tahu, kamu pasti nggak pamit atau gak dapet izin 'kan, kalau mau pergi ke Jogja?"
"Aku udah pamit, kok, sama Bu Jannah," kilahku, kuakui bahwa kini aku tak mau disalahkan, meski aku sadar bahwa aku salah.
"Pamit ke ibu kandungmu, Layl! Ibu yang melahirkan kamu!" Suara Nadia makin meninggi, aku tahu pasti sekarang dia lagi kesal bukan main terhadapku.
Lagi-lagi kudengar suara tawa sinis Nadia di seberang sana. "Gitu katanya udah paham, mau paham dari mana? Kalau kamu sendiri nggak merindukan kedua orang tuamu? Jangankan rindu, menghargai pun tidak!"
Lidahku kelu. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku tak bisa menyangkal, karena memang aku salah. Karena memang, pernyataan itu benar adanya.
"Sekarang aku tanya sama kamu, Layl." Nadia menghembuskan napas sejenak, membuat debar jantungku tak beraturan menunggu pertanyaan yang tak mampu kutebak.
"Demi apa kamu pergi ke Jogja?"
Demi rindu... dan kenangan.... Tentunya aku hanya bisa mengucapkan dalam hati.
"Untuk siapa kamu ke sana?"
Untuk dia... yang sangat kucintai.
"Lebih cinta kepada siapa? Dia? Atau kedua orang tuamu?"
Aku tertohok mendengar pertanyaan itu. Nadia seperti cenayang yang tahu jalan pikiran dan hatiku.
Layl... kenapa kamu nggak bisa menjawab? Aku bertanya pada diri sendiri.
Aku ingin menjawab bahwa aku mencintai kedua orang tuaku, tapi hanya dia yang selalu berada dalam pikiranku. Aku ingin menjawab lebih merindukan kedua orang tuaku, nyatanya sekarang aku pergi ke Jogja tanpa pamit hanya demi dia.
Demi melerai rindu yang tiada henti bertengkar dengan ruang waktu. Hingga akhirnya, waktu pun mengalah. Memberi kesempatan kepada rindu agar menambah candu tuk bertemu.
Pandanganku nanar. Bukan penumpang ataupun jajaran kursi yang tampak di depan mataku, melainkan bayang-bayang kedua orang tuaku yang tersenyum tulus. Setulus kasih sayang mereka. Bodohnya aku yang baru menyadari. Tepat di detik ini. Selama ini hatiku telah gelap oleh cinta yang semu, mengabaikan cinta yang sudah lama terwujud.
Panggilan yang tersambung dengan Nadia akhirnya terputus. Berganti dengan notifikasi chat yang berulang kali berdering. Lagi-lagi jantungku berdebar tak beraturan seperti habis marathon. Darahku berdesir. Kedua mataku tak mengerjap sekalipun, menatap nama yang tertulis di layar ponsel.
Abi.
Jemariku bergetar membuka isi pesan chat dari abi. Pandanganku buram oleh air yang merekah dari balik kelopak mata. Di pesan itu, abi mengirim foto untukku. Sebuah kotak makan berisi tumis talas dan sambal teri.
Dalam kotak makanan ini ada masakan kesukaan Layl, tumis talas dan sambal teri 🤤 Umi yang memasak untuk kamu, karena umi rindu memasakkan untuk kamu seperti biasanya di rumah. Tapi karena sekarang Layl sudah di asrama, umi jadi tidak bisa memasakkan makanan kesukaan kamu seperti biasa ☺️
¹³'⁰⁷
Abi membawa empat kotak, karena tadi maunya makan bersama Layl di asrama. Sama Abi, umi, adik. Ternyata, Layl tidak di asrama. Layl ke Jogja 'kan?
¹³'⁰⁸
Maaf, kalau kemarin Abi tidak mengizinkanmu pergi ke Jogja. Bukan karena Abi nggak sayang atau terlalu mengekang, tapi karena Abi dan umi sangat sayang sama anak perempuan Abi yang harus dijaga
¹³'⁰⁸
Abi hanya tidak mau Layl kenapa-kenapa di perjalanan. Semoga selamat sampai tujuan, sayang.
¹³'⁰⁹
Rasa bahagia yang tadi bergejolak di hati, kini ubah oleh rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam. Mataku yang sempat berkaca-kaca pun pecah, mengalirkan air yang begitu deras, berparit di pipi.
Belum pernah aku merasakan sakit seperti ini, bahkan di saat aku pernah disakiti oleh orang yang kucintai. Rasa ini aku yang membuatnya, dan aku pula yang merasakannya.
Pandanganku menerawang ke arah jendela. Terdapat embun yang mengendap di kaca, sebab di luar sana langit sedang meluapkan kesedihannya. Jemariku tergerak untuk mengusap embun, agar jalanan di luar bisa tampak lebih jelas.
Benar apa kata orang. Jangan bersedih saat langit juga bersedih, karena saat itu kau akan terjerat masa lalu. Entah itu kenangan yang menyenangkan atau sebaliknya, dan kini yang kurasakan adalah sebaliknya.
Dulu, saat aku kecil, sering sekali melewati jalanan di luar sana bersama abi dan umi untuk pergi ke Jogja. Menemui teman-temanku yang selalu kurindu.
Saat itu, aku belum mengenal dia. Aku rindu saat itu, saat aku merasa lebih dekat dengan abi dan umi, saat aku belum merasakan luka karena cinta.
Bodohnya aku yang terus mengharapkannya, bahkan demi dia aku melukai hati kedua orang tua, hanya untuk mengulang kenangan yang nggak penting seperti ini. Rindu memang lebih kejam dari cinta, sebab rindu takkan pernah usai walau rasa telah menjadi benci. Sedangkan cinta, akan usai ketika penawar datang mengobati luka.
"Abi... Umi... Layl rindu abi dan umi, Layl ingin memeluk abi dan umi, Layl ingin menjadi kecil lagi supaya bisa seterusnya bersama abi dan umi," gumamku, di sela-sela sedu sedan.
"Layl ingin menjadi kecil lagi supaya Layl tidak mengenal dia, yang mampu mengalihkan nama abi dan umi dari hati Layl. Padahal dia sering menyakiti Layl, tak seperti abi dan umi yang selalu menyayangi dan merindukan Layl."
"Maafin, Layl...." Aku masih tenggelam dalam sedu sedan, tanpa peduli bahwa ada ibu paruh baya menggendong bayi duduk di sampingku dan memperhatikanku.
Tak lama, bayi yang digendong ibu tersebut menangis. Ibu itu pun menimangnya agar sang bayi bisa kembali terlelap dengan tenang
"Laa ilaaha illallah, muhammadur rasuulullah...."
Mendengar cara ibu itu menimang bayinya, air mataku kian deras. Dulu umi menimangku dengan lantunan kalimat tauhid seperti ibu itu. Sungguh, aku rindu saat umi menimangku di kala aku menangis. Seperti tak rela jika aku menangis.
"Umi, dulu Layl menangis karena minta permen alpenliebe." Aku menangis sambil tertawa getir, "sekarang Layl menangis karena patah hati, timang Layl kembali, Umi...."
Perutku keroncongan, tanganku mengelus perut ini dengan tangis yang kian deras saat mendengarnya.
"Layl rindu umi sama abi.... Timang Layl lagi, kayak dulu.... Layl sekarang laper, mana sendoknya yang bisa terbang kayak pesawat?" Lagi-lagi aku tertawa getir sembari mengusap air mata di pipi dengan gusar.
"Sayang... Kangen sama kakak, ya?" tanya ibu itu kepada bayinya, sedangkan sang bayi masih tetao merengek tanpa tahu alasannya.
"Tunggu, ya, sebentar lagi kita sudah sampai di ponpes kakak, nanti kita makan bersama kakak di sana."
Dadaku benar-benar sesak sekarang, hingga tulang di jemari berasa ngilu dibuatnya, tenggorokan juga ikut sakit menahan air mata yang tak terbendung lagi.
Dunia seolah sedang mengiringi segala pedihku. Dengan langit yang menangis, sosok ibu yang tiba-tiba menjelma sosok umi, juga kisah dua rindu di bus ini.
"Abi... Umi... andai Layl tidak pergi ke Jogja, mungkin saat ini kalian sedang makan sambal teri bersama Layl."
-- SELESAI --