Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit pagi itu kelabu, seperti perasaan Rama. Ia berdiri di depan loket stasiun dengan tas selempang kecil dan dompet setengah kosong. Di balik kaca, petugas berseragam biru menatapnya dengan senyum tipis. “Mau ke mana, Mas?”
Pertanyaan sederhana itu justru membuat Rama terdiam. Mau ke mana? Ia bahkan tak tahu sedang ke mana dalam hidupnya. Umurnya tiga puluh satu, belum menikah, pekerjaannya baru saja hilang karena PHK sepihak, dan satu-satunya orang yang selalu ia andalkan—ibunya—meninggal tiga bulan lalu. Rumah terasa hampa. Dunia makin asing.
“Mas?” ulang petugas.
Rama mengangkat pandangan, lalu berkata, “Kereta selanjutnya ke mana?”
Petugas menoleh ke layar. “Ada kereta ekonomi ke Purwokerto. Lima belas menit lagi berangkat.”
“Berapa?”
“Delapan puluh lima ribu.”
Rama mengangguk dan menyerahkan uang. Ia tak punya alasan memilih kota itu—dan justru itulah alasannya. Ia butuh pergi. Bukan untuk liburan, bukan untuk mencari pekerjaan. Ia hanya ingin menjauh dari dirinya yang sekarang. Yang lelah, bingung, dan tidak tahu harus menjadi siapa lagi.
Saat kereta meluncur pelan meninggalkan peron, Rama menatap ke luar jendela. Pepohonan dan bangunan kota yang biasa ia lewati tampak seperti dunia orang lain. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendiri. Tapi anehnya, ada sedikit rasa lega di dada.
“Mungkin, di kota baru, aku bisa mulai lagi,” bisiknya.
Seorang pria tua di sampingnya menoleh. “Apa kamu lari dari sesuatu, Nak?”
Rama kaget, lalu tersenyum tipis. “Entah. Mungkin aku lari dari semuanya. Termasuk diriku sendiri.”
Pria itu tertawa kecil. “Hati-hati. Kadang yang kita kejar justru ada di tempat kita tinggalkan.”
Rama tidak membalas. Ia memejamkan mata, membiarkan suara kereta yang menggesek rel menjadi musik pengantar mimpinya yang belum selesai.
Purwokerto menyambut Rama dengan langit yang masih kelabu, tapi lebih ramah dari langit Jakarta. Udara pagi menusuk pelan saat ia menjejakkan kaki di peron. Tak ada tujuan, tak ada peta. Hanya langkah ringan dan isi kepala yang masih penuh.
Ia keluar stasiun dan duduk di bangku taman kecil di seberang jalan. Sesekali memperhatikan orang berlalu-lalang: ibu-ibu membawa sayur, anak muda mengobrol sambil tertawa, bapak tua menyapu trotoar. Semua tampak begitu... hidup. Dan ia merasa seperti penonton dari dunia yang sudah tak menyertainya lagi.
“Mas, mau ngopi?” suara perempuan menyapa.
Rama menoleh. Di dekat taman, ada warung kopi kaki lima dengan tenda biru. Perempuannya muda, mungkin seusia dia, mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans pudar.
Ia mengangguk. “Boleh.”
Ia duduk di kursi plastik, dan perempuan itu menyuguhkan kopi tubruk dalam gelas bening. “Baru dari luar kota ya?”
Rama tersenyum samar. “Iya. Cuma lewat.”
Perempuan itu duduk di bangku sebelahnya. “Nama saya Lintang. Biasanya orang datang ke sini ada urusan, atau ada yang dikejar. Mas kelihatan kayak orang yang baru kabur.”
Rama tertawa pelan. “Saya bahkan nggak tahu saya ke sini buat apa.”
Lintang tidak menanggapi dengan heran. “Saya ngerti. Kadang hidup memang perlu dijeda. Saya juga pernah gitu, Mas. Dua tahun lalu saya ke sini cuma buat ‘menenangkan diri’ seminggu. Eh, malah betah.”
Rama menatapnya. “Dari mana sebelumnya?”
“Dari Bandung. Kerja di agensi iklan. Sibuk, stres, terus kena burnout. Datang ke sini karena nemu penginapan murah, malah akhirnya buka warung kopi sendiri.”
“Mau aja ninggalin semuanya?”
Lintang mengangkat bahu. “Karena yang saya tinggalkan bukan mimpi. Tapi luka. Dan di sini, saya belajar pelan-pelan sembuh.”
Perkataan itu mengendap dalam kepala Rama.
Lintang berdiri. “Kalau Mas butuh tempat menginap, saya kenal satu rumah kos yang murah dan bersih. Gak jauh dari sini.”
Rama tidak tahu kenapa ia mengangguk. Mungkin karena ia merasa, dalam semua yang tak ia rencanakan hari ini, percakapan dengan Lintang adalah satu hal yang terasa... tepat.
Rumah kos yang Lintang tunjukkan sederhana tapi nyaman. Dindingnya berwarna hijau pucat, dengan taman kecil yang sering dipenuhi suara jangkrik tiap malam. Pemiliknya seorang janda paruh baya bernama Bu Minah yang murah senyum dan suka memasakkan teh manis setiap pagi.
Hari-hari Rama pun berlalu tanpa target. Bangun pagi, jalan kaki keliling kota, mampir ke warung Lintang, membaca buku bekas dari kios pojokan, atau sekadar duduk di taman. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia punya waktu tanpa tekanan. Dulu hidupnya penuh to-do-list, tenggat waktu, dan notifikasi. Kini, ia belajar mendengarkan dirinya sendiri yang selama ini terabaikan.
Lintang sering menemaninya. Mereka bicara soal banyak hal—tentang hidup, kehilangan, luka, dan harapan. Kadang diam saja, tapi diam yang tidak canggung. Seperti dua orang yang tidak berusaha mengisi kekosongan, tapi menerima bahwa kekosongan itu ada dan tak selalu harus ditutupi.
Suatu sore, Rama dan Lintang duduk di tangga tepi aliran Sungai Serayu. Lintang membawa dua kotak nasi bungkus dan teh hangat dalam termos. Angin mengibaskan rambutnya yang dikuncir.
“Kamu pernah ngerasa gagal banget, sampai nggak tahu kenapa kamu dilahirkan?” tanya Rama pelan.
Lintang mengangguk. “Pernah. Tapi sekarang aku belajar kalau kegagalan itu bukan akhir, cuma belokan. Mungkin kamu cuma salah jalur. Bukan salah hidup.”
Rama menggenggam gelas teh di tangannya. “Aku bahkan gak tahu jalurku ke mana sekarang.”
“Kadang kita nggak butuh jalur dulu. Kita cuma perlu diam, lihat sekitar, lalu pelan-pelan jalan lagi. Gak usah buru-buru.”
Keheningan menyusul. Hanya suara air dan angin yang mengisi jeda. Tapi dalam hati Rama, ada sesuatu yang mulai berubah. Mungkin bukan pencerahan, tapi semacam kelegaan—bahwa tak apa-apa tersesat, selama kita mau terus berjalan.
Esok paginya, Rama membantu Bu Minah menyapu halaman. Lalu ia mulai membantu warung Lintang. Awalnya hanya sekadar membantu bersih-bersih, tapi lama-lama ikut meracik kopi dan melayani pelanggan. Sesuatu yang sederhana, tapi membuatnya merasa... ada.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia tertawa tanpa beban. Bukan karena lelucon, tapi karena ia merasa hidup.
Hari ke-21 di Purwokerto datang tanpa isyarat. Hanya aroma kopi pagi dan suara Bu Minah yang memanggil dari dapur. Rama bangun dengan perasaan yang tak asing—tapi kini lebih ringan. Ia sudah tak lagi menghitung hari, tak lagi menunggu alasan untuk bangun dari tempat tidur. Ada ritme yang ia temukan, pelan tapi tetap mengalir.
Suatu sore, Lintang duduk di sampingnya di warung. Pelanggan mulai sepi, senja memantul di meja kayu.
“Kamu kelihatan lebih damai sekarang,” kata Lintang.
Rama menoleh dan mengangguk. “Aku rasa aku mulai bisa berdamai, bukan sama dunia… tapi sama diriku sendiri.”
Lintang menatapnya lama. “Kamu mau balik ke Jakarta?”
Rama terdiam. Pertanyaan itu sudah lama menggantung di benaknya. “Aku gak tahu. Mungkin iya, mungkin enggak. Tapi kalaupun aku balik… aku nggak akan jadi orang yang sama.”
Lintang tersenyum. “Berarti tiket sekali jalan itu bukan tentang pergi. Tapi tentang berubah.”
Rama mengangguk. Kalimat itu seperti kunci yang membuka pintu-pintu dalam dirinya.
Beberapa hari kemudian, ia memutuskan kembali ke Jakarta. Tapi bukan karena kalah. Ia kembali bukan untuk menyambung rutinitas lama, tapi untuk mengakhiri bab yang tertunda dan memulai yang baru. Dengan hati yang lebih jernih dan arah yang lebih tenang.
Sebelum naik kereta, ia memeluk Bu Minah, lalu Lintang. “Terima kasih sudah jadi bagian dari perjalananku.”
Lintang menatapnya. “Jangan lupa, pulang itu bukan selalu soal tempat. Tapi soal menjadi versi terbaik dari diri sendiri.”
Rama masuk ke kereta dengan perasaan utuh. Ia bukan lagi orang yang sama seperti tiga minggu lalu. Ia telah bertemu dengan dirinya sendiri, dalam kota kecil yang tak pernah ia rencanakan.
Dan di jendela kereta, bayangannya tersenyum kembali padanya. Bukan sebagai pengingat luka, tapi sebagai tanda bahwa ia sudah pulang—ke diri yang sesungguhnya.