Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Tihtir
0
Suka
877
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

SUARA tihtir nyaring bertalu-talu, sumber suara terdengar dari pemukiman tebing gunung Puri. Suara itu bersambung secara estapet, diikuti irama yang sama, “tok, tok, tok, tok, tok, tok…” bunyinya semakin cepat dan menggema. Ini merupakan tanda bahaya, ditabuh oleh mereka yang sedang jaga, rupanya gunung sedang mengalami erupsi. Mengeluarkan awan panas, memuntahkan pijar serta letusan seperti kembang api yang besar. Sementara Magma meleleh menyusuri sungai Kaliwatu. Magma itu sangat encer sehingga meluber membentuk pulau-pulau kecil. Sesekali dentuman keras terdengar disertai lontaran bebatuan, pasir dan abu vulkanik. Pijar letusan layaknya semburan pompa air yang tekanannya sangat kuat, pijar itu terlempar ke udara dengan merah api yang menyala. Awan terlihat rendah dan menghalangi pandangan. “Tapi, itu bukan awan!” Ia adalah material abu yang dikeluarkan gunung serta mengikuti arah angin. Erupsi itu berlangsung secara eksposif serta efusif silih berganti. Membakar pepohonan menjadi abu, bebatuan yang menghantam akibat longsor tersebut mematahkannya, bebatuan itu dilumat habis oleh aliran magma yang melewatinya, kawanan Binatang berhamburan dari hutan, berlari kencang menuruni bukit menuju pemukiman warga yang sudah ditinggalkan.

Aku, Rusnah dan anakku bernama Raga berlari tunggang langgang. Raga menenteng kresek hitam berisi baju yang sedikit, sementara aku membopong si Bungsu Bernama Rota serta menggendong rangsel kumuh berisi pakaian, botol kaca berisi air minum, diselipkan di kedua sisi Rangsel tersebut, Rusnah menggembol beberapa peralatan dapur serta pekakas yang sekiranya dibutuhkan diperjalanan. Aku dan Rusnah Istriku memang membandel. Beberapa hari sebelumnya, diminta untuk segera meninggalkan tempat menuju tenda-tenda yang telah disediakan di desa Rungkala yang jaraknya lumayan jauh. Bukan aku dan istriku saja, ada sekitar 10 rumah yang saat itu masih berpenghuni.

“Jangan nekad tetap tinggal disini, itu artinya menantang mati.” Begitu peringatan dari Tim BASARNAS yang mengunjungiku tiga hari yang lalu.

“Iya pak, saya menyelamatkan ternak dulu.”

“Tapi segera lho, sebelum terlambat!” ujar ketua tim berambut cepak

“Iya pak, iya.” Jawabku.

Aku memang menantang maut, bagiku maut hanya soal pindah tempat saja, dari dunia menuju alam baka. Mungkin karena terbiasa dengan pengalaman berbahaya, atau biasa dengan kecewa dengan kemiskinan yang tidak juga minggat, atau tumbuh jiwa tentara “berani mati,” bisa juga terpengaruh iming-iming sorga lengkap dengan bidadarinya, seperti dalam tayangan televisi tentang hasrat seorang teroris. Meskipun demikian, nyatanya hari ini aku lari terbirit-birit, menghindari mati, takut masuk neraka, takut di alam kubur ditanyai malaikat, takut ditinggal sendiri, cerita tentang ancaman alam baka yang pedih selalu membayang, pokoknya takut.

Deru mesin kendaraan, bunyi klakson yang memekakan telinga bersautan, mereka melesat menuruni bukit. Sementara sudah tidak terdengar lagi suara tihtir. Bukan berarti sudah aman, sebaliknya si penabuh juga sedang kalut menyelamatkan diri. Tihtir itu sebagai tanda ada bahaya, Ketika ditabuh, si penabuh berarti masih hidup. “Waduh apa yang terjadi dengan si penabuh tihtir. Masih hidup atau sedang menyelamatkan diri.” gumamku dalam hati.

“Roka…ayo naik” seorang bapak berperawakan ceking, melambaikan tangan saat mobil bak terbuka melintas. Aku melambai memintanya untuk berhenti sejenak, aku menoleh ke Rusnah, belum sempat mengajak Rusnah naik mobil bak, tiba-tiba kakinya tersangkut batang kayu yang melintang, akhirnya terpelanting dan jatuh menimpa tubuhku, akupun tersungkur disamping Rusnah. Anakku selamat dalam dekapanku. Sementara Raga tak ikut jatuh, ia berhenti mematung beberapa saat.

Kami berdiri tergopoh-gopoh, tetapi mobil bak terbuka sudah melaju menuruni bukit. aku menyeka kotoran di bajuku dan Rota, begitupula dengan Rusnah yang sibuk membersihkan pakaiannya. Peluh dan keringat keluar bercucuran, udara terasa sangat panas dan pengap. Sepertinya bila dipaksa untuk terus berlari, tak akan kuat, bisa semaput. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, siapa tau ada jalan keluar. Tatapanku tertuju pada sebuah lubang gelap dan besar, tetapi tertutup oleh jaring laba-laba. Hasil kreasi laba-laba yang rumit untuk ditiru, bahkan menurut para ilmuwan belum ada yang mampu membuat jaring tersebut, karena stuktur yang pelik, terlalu banyak jaring yang saling mengikat.

Laba-laba tak hanya mampu membuat jaring tipis, ia bisa membuat empat jenis jaring. Pertama jaring yang halus, tipis seperti yang sering kita terlihat. Kedua, Jaring yang tebal, ketiga, jaring yang lengket, keempat terakhir jaring yang tidak lengket. Sementara yang ada pada lubang besar tersebut, termasuk jaring yang tebal.

“Kita kesana dulu!” Perintahku ke istri dan anakku.

“Ke Goa itu ya, waduh gelap begitu apa ga takut” Rusnah menolak halus

“Ga ada pilihan, kalau laripun ga akan kuat. Kita cari aman dulu.” Jawabku sekenanya.

Entahlah! benar atau salah keputusan itu, langkah kaki terasa sangat berat. Setelah berada di mulut Goa yang tampak gelap, segera aku menyingkap jaring laba-laba dan membersihkan tumpukan ilalang, Goa terlihat lumayan luas. Kedalamanya mencapai sekitar 4meter dari permukaan, tetapi tidak buntu, ada lubang kecil dengan diameter 20 centimeter berbentuk lingkaran. Aku mengeluarkan korek api dan membakar ilalang yang kering. Makin terlihat jelas bentuk eksotik Goa, dengan dinding yang tampak seperti material berbentuk tetesan air yang besar, melekat diatap. Sementara lubang berdiameter itu seperti tembus ke aliran sungai Kaliwatu yang dangkal. Berarti Goa ini berada diatas aliran sungai Kaliwatu.

“Hati-hati licin. Raga kamu pegangan ke Ibu” Perintahku

Raga meraih tangan Rusnah dan perlahan memasuki Goa. Sementara aku masih di depan pintu Goa dan menyerahkan Rota ke gendongan Rusnah. Suara gemuruh mulai mendekat aku segera beranjak masuk, tiba tiba “RRRRRTTT…” batu besar jatuh tepat menutupi Goa. Aku terperanjat, begitupula dengan Rusnah dan Raga. Tapi aku coba menenangkannya

“Ga apa-apa, malah aman dari Binatang Buas, semoga laharnya ga lewat sini.” Aku berkilah.

“Tapi gimana nanti pa…” Cemas Rusnah

“Sudah, kita berdoa saja!” Perintahku

Sejenak hening, aku berdoa, begitu pula dengan Rusnah yang mulutnya terlihat komat kamit, matanya sayu, penuh Lelah. Andai saja aku menuruti perintah Tim BASARNAS, mungkin kita sudah selamat di desa sebelah. Toh, ternakku juga tidak bisa dibawa.

Sekonyong-konyong terdengar dentuman keras disertai dengan getaran yang sangat hebat, Goa ikut bergoyang. Rusnah menjerit, sambil beristighfar

“Astagfirulloh…tolong ya Allah”

“Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad…” Teriakku

Sementara Raga mendekap erat tubuhku, ada takut yang menyergap. Belum selesai getaran, terlihat ada aliran lava bercampur air serta lumpur, selain itu terdapat materi batuan besar bercampur debu, lumpur dan sisa-sisa vulkanik. Cairan itu masih berwarna merah api seperti lelehan timah panas. Aku mengamatinya, rupanya lahar panas yang melintasi dibawah Goa, karena masih menyisakan warna merah api, selain itu udara panas menyengat. Jadi, lahar itu belum dingin atau bukan lahar dingin.

“Rusnah, Raga berpegangan ya, jangan sampai terpesorok ke lubang itu!” aku menunjuk lubang yang dibawahnya aliran lahar tampak lambat

“Ia, ngumpul di sini yah” Rusnah memanggilku

“Iya, sebentar” Aku merangsek, mendekati Rusnah yang beralas bebatuan datar.

Udara di dalam Goa makin panas dan pengap, aku mengambil botol kaca berisi dirangsel bagian kanan, meminumnya seteguk, lalu bergantian Rota, Raga dan Rusnah.

“Paaak, Panas…” teriak Raga

“Iya, sabar ya…” Jawabku menenangkan

Sementara itu, jeritan Rota yang mulai rewel menambah panik Rusnah, keringat bercucuran, deras. Brakkkk… tiba tiba batu besar menghantam lubang, sebagian dinding lubang retak dan jatuh. Materialnya hilang ditelan lava serta menyisakan lubang menganga lebih besar lagi. Aku mencari cara agar dapat terbebas dari jebakan Goa yang tertutup batu besar. Dari sela batu terdapat akar yang masuk, aku meraihnya dan menariknya ke dalam Goa.

“Kamu pegang ini” aku memberikan akar itu ke Rusnah

“Iya ayah” Rusnah meraihnya.

“Raga tolong ambil potongan kayu itu” Aku menunjuk potongan kayu yang ada disebelah tempat duduk Raga. Raga meraihnya dan menyerahkannya Padaku. Aku mencopot sabuk yang melekat di celana. Kepala sabuk yang terbuat dari pipihan besi. Sabuk dililitkan pada potongan kayu.

“Minum air ini, kasih Rota ma Raga juga, habiskan!” Aku menyodorkan botol kaca yang masih berisi Air minum, Rusnah meneguknya bergantian hingga habis.

“Untuk minum masih ada satu botol lagi.” Aku menunjuk botol yang terletak disamping rangsel sebelah kanan.

“Iya Ayah” Rusnah menjawab sembari menyeka keringat yang terus-menerus keluar.

Aku memukul botol kaca dengan kayu yang sudah dililit sabuk, kepala sabuk dari besi tepat mengenai botol dan mengeluarkan suara berbeda dengan kentongan, tidak sekencang kentongan. Ting, ting, ting, ting… bunyi itu menggema di dalam Goa.

“Raga, tabuh ini ya, sekencangnya!” aku menyerahkan botol dan pemukulnya ke Raga.

“Iya, Ayah.”

Ting, ting, ting...

Aku bergegas menuju mulut Goa, mendorong batu yang menutup mulut Goa, tetapi, batu itu terlalu berat, pergerakannya hanya sedikit. Aku menghela nafas sejenak, sementara Raga, mulai kelelahan. Bunyi botol tidak sekencang semula.

“Yah…panas…” Raga, menatapku sayu.

“Sebentar lagi nak, nanti ada patroli BASARNAS, semoga nanti didengar mereka.” Aku berupaya menenangkannya.

Tiba-tiba dentuman kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya, tanah bergetar hebat, retakan memanjang dan membelah tempat duduk antara Rusnah dan Raga, Secepat kilat aku meraih Raga memindahkannya ke bebatuan sebelah, braaakkk retakan itu jatuh membentur lubang, dan masuk ke gulungan lava. Untungnya aku sigap, telat berapa detik saja, nyawa Raga melayang.

Jeritan Rusnah menggema, sementara raga mematung, raut mukanya penuh takut.

“Yah aku ta…kut…” Ucap Raga terbata-bata

“Ga apa apa sayang, Bu..pindah sebelah sini, pelan-pelan kita berpegangan” aku melambaikan tangan ke Rusnah. Rusnah mendekat, retakan pun makin meluas. Aku meraih botol serta pemukulnya dari Raga dan menabuhnya Ting, ting, ting…Aku berharap ada patroli dan mereka mendengar bunyi botol ini. Ada sesal menyelinap dalam hati, kenapa aku memutuskan untuk masuk kedalam Goa ini. Mempertaruhkan nyawa anak dan istri.

“Braakkkk…” pijakan Rusnah terbelah, aku meraih tangan Rusnah, sekuat tenaga mempertahankan tubuh Rusnah yang menggelayut.

“toloooong…” Raga berteriak kencang, sementara botol dan pemukul yang aku pegang terlempar tepat sebelah Raga. Raga berteriak kencang, sembari menabuh botol dengan keras. Ia tau ada bahaya yang mengintai.

Aku tak ingin melepaskan Rusnah. Tangan Rusnah yang satunya tetap memeluk Rota dengan Erat. Aku mencintainya meski ada saja pertengkaran dengan Rusnah. Bahkan saat Rusnah ingin pergi meninggalkanku, akibat kemiskinan yang amat menyiksa. Saat itu aku hanya mampu memberinya makan 1 kali sehari, itupun seadanya. Singkong dan dedaunan yang aku dapat dari hutan, kadang buah mangga yang didapat atau apa saja untuk mengganjal perut sekeluarga. Namun, akhirnya Rusnah memilih untuk tetap bersamaku, meskipun aku tahu ia menderita bersamaku. Tapi aku tak berdaya dengan segala keadaan yang menjadi takdirku. Saat ini, ia sedang bertaruh nyawa. Aku harus bisa menyelamatkannya. Lama aku memegang erat Rusnah. Saat Rusnah mengayunkan kakinya dan mencapai bebatuan. Dentuman kembali terdengar, aku terpeleset sementara Rusnah, jatuh Bersama Rota, tercebur dan jeritannya hilang ditelan gumpalan lahar.

Aku berteriak sekencangnya, saat tubuhku tersangku di bebatuan, ingin rasanya meloncat ikut Bersama Rusnah. Tetapi Raga berteriak, membuatku mengurungkan niat untuk loncat mengejar Rusnah dan Rota.

“Rus…nah istriku…” Aku menangis sesegukan.

“Ayahhhhhhh…” Raga menangis dan teriakannya sangat kencang

               Terdengar suara riuh di luar Goa.

“Satu…dua…tiga…” Terdengar aba-aba dari luar Goa.

RRRTTTT… Batu bergeser. Braaaak…Batu berguling. Jatuh ke bawah bukit.

Dua orang, berpakaian BASARNAS datang membopong Raga. Dua orang memapahku keluar dari Goa. Aku terdiam lesu, saat berada di luar Goa. Pepohonan tumbang dan kering, tanah terlihat gersang, rumput hijau tak lagi terlihat. Memoriku dipenuhi wajah Rusnah, sesekali Rota melintasi pikiranku. Betapa pilunya hati ini, ingin aku menghakhiri hidup ini, namun Raga yang selalu membisik dalam hati, ia ingin menyelesaikan cita-cita sebagai Tentara. Meskipun, cita-cita itu seperti “jauh panggang dari api”. Aku hanya seorang Kuli.

Dari kejauhan terlihat Tim Basarnas Membopong seseorang. Beberapa orang berusaha membangunkannya. Aku hanya melihat dari kejauhan. Terlihat samar seorang bayi disampingnya. Aku teringat Rusnah. Sontak berdiri dan berlari menuju kerumunan Tim. Setelah mendekat, aku berteriak

“Rusnah istriku…Rotaaa…” Aku memeluk tubuh Rusnah dan Rota secara bergantian. Tubuh Rusnah penuh lumpur, begitu pula dengan Rota. Tiba-tiba suara tangisan bayi terdengar, aku langsung memeluk Rota. Rupanya ia masih hidup. Aku berteriak Bahagia

“Yah…” terdengar suara lirih Rusnah. Aku berteriak “Bu…jangan tinggalin aku…” Aku memeluk keduanya dengan erat.

Berselang beberapa saat, Pemuda berambut Cepak berseragam BASARNAS yang dulu pernah memerintahkan untuk mengungsi menjelaskan kronologinya, menyelamatkan Rusnah dan Rota.

“Tadi itu, kita mendengar bunyi eperti dari botol kaca ditambah teriakan, saat patroli. Nah, tim dibagi dua, yang satu menuju Goa, dan tim lainnya menuju sungai. Kita menyelamatkan kalian, sementara lainnya menyematkan ibu ini.” Sambil menunjuk ke Rusnah.

“Alhamdulillah ternyata lahar panas sudah tidak keluar lagi, jadi sisa-sisanya lahar dingin yang masih mengalir karena campuran air dan lumpur yang banyak, sementara lahar panas sudah berhenti. Jadi ibu dan anaknya terselamatkan, ini patut disyukuri. Sementara banyak korban termasuk rombongan dalam mobil bak terbuka, terkena lontaran batu besar dan terperosok kedalam aliran lahar dingin yang deras. Kami tim sedang berupaya mencari keberadaan mereka.” Ujarnya.

“Satu lagi pak, mohon untuk menolak jika diminta mengungsi, ini untuk kebaikan bersama” Ujarnya dengan tatapan yang tajam.

“Baik pa, maafkan saya!” Jawabku penuh sesal, tapi sedikit lega karena kita masih diberi ruang untuk menghirup udara di bumi ini. Sementara yang mengajaku naik mobil bak, mengalami musibah lebih buruk, karena sampai saat ini keberadaannya belum juga ditemukan.

“Terimakasih Tuhan,” gumamku.

Tok…tok…tok… tihtir kembali terdengar, tim BASARNAS mulai melanjutkan pencarian korban.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Tihtir
Ayub Wahyudin
Novel
Bronze
BATAS KEMATIAN
WAHYU SYAH PUTRA
Novel
Bronze
Lelaki Sunyi
Rida Fitria
Novel
Dear Me
Linda Agnesia
Novel
Bronze
The Rogue
IyoniAe
Novel
Gold
Angels and Demons (Republish)
Mizan Publishing
Flash
Membunuh Biang Bunuh Diri
Omius
Novel
Bronze
WAR-TEL 89
Rizal Syaiful Hidayat
Novel
Sri
Trajourney
Novel
Tsurat Abadi
Harjo S. Royani
Novel
Bronze
Innocent
ArinaAsh
Novel
Gold
Origin
Mizan Publishing
Novel
Kamar Bernapas
Imajiner
Novel
Salah Rumah
Ajis Makruf
Novel
Ada Kisah dari 98'
Awal Try Surya
Rekomendasi
Cerpen
Tihtir
Ayub Wahyudin
Novel
Bronze
Menjahit Luka
Ayub Wahyudin
Cerpen
Bronze
Lukisan Terakhir
Ayub Wahyudin
Cerpen
Secarik Tagihan Sendu
Ayub Wahyudin
Novel
Sepotong Kisah Dibalik 98
Ayub Wahyudin