Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
TIGA LUKA TARI,
1
Suka
904
Dibaca


Langit di atas rumah tua itu kelabu. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang merambat dari halaman kecil ke dalam ruang tamu yang dipenuhi debu kenangan. Nirna berdiri di depan lemari jati, membuka perlahan laci paling bawah yang berderit. Di dalamnya, tersimpan tumpukan foto lama, kertas yang sudah menguning, dan sepucuk surat yang dilipat dengan rapi.

Rumah peninggalan Ibu tak lagi seramai dulu. Ayah telah lama pergi, menikah lagi setelah Ibu meninggal. Kakaknya, Ratih, kini tinggal di luar kota bersama keluarga kecilnya. Tapi setiap tahun, di bulan Desember seperti ini, mereka berdua akan kembali ke rumah tua itu. Bukan untuk bersedih, melainkan untuk mengingat—dan diam-diam meminta maaf kepada masa lalu yang tak bisa mereka ubah.

“Ini foto Ibu pas baru mulai ngajar, Na,” kata Ratih sambil mengelap bingkai kayu yang warnanya sudah pudar. Di dalamnya, tergambar seorang perempuan muda dengan kerudung coklat muda, tersenyum lebar di tengah-tengah kerumunan anak-anak sekolah dasar.

Nirna mengangguk pelan. Suaranya serak, “Waktu itu, belum ada bangku. Anak-anak duduk di tikar bekas sumbangan warga.”

Mereka duduk di lantai ruang tengah, di antara kardus-kardus penuh barang kenangan. Tidak ada yang benar-benar terburu-buru untuk membereskan semua itu. Mereka seperti tahu, yang berat bukan tangannya, tapi hatinya.

“Dulu aku marah,” ujar Nirna tiba-tiba. “Marah kenapa kita dititipkan ke Tante Rima. Marah kenapa Ibu harus berjualan gorengan. Tapi sekarang aku paham. Ibu tahu Ayah tak mampu.”

Ratih menatap adiknya, lalu tersenyum pahit. “Dan Ibu tidak pernah berkata sepatah kata pun soal itu. Padahal kalau dia mau, bisa saja dia menyalahkan siapa pun.”

Hening mengendap.

Di luar, angin meniup perlahan dedaunan kering. Di dalam, dua anak perempuan yang kini sudah jadi perempuan dewasa duduk menghadap jendela, menatap ke luar, seolah sedang menunggu sosok yang tak akan pernah kembali—tapi juga tak pernah benar-benar pergi.

“Dia tidak pernah meninggikan suara,” kata Nirna lirih. “Tapi suaranya terdengar paling keras dalam hidup kita.”

Ratih memejamkan mata. “Dan mungkin dalam hidup banyak orang lain juga.”

Lalu, tanpa perlu saling menyuruh, mereka mulai membuka kembali bundelan-bundelan kertas tua di hadapan mereka. Tulisan tangan Ibu mereka yang rapi, catatan kecil tentang murid-muridnya, bahkan sketsa denah sekolah yang dulu pernah dibangunnya dari nol—semua menjadi pintu ke masa lalu. Masa lalu seorang perempuan yang tidak dikenal dunia, tapi dikenang begitu dalam oleh orang-orang yang disentuh hatinya.

Malam pun turun pelan. Di dalam rumah tua itu, suara hujan kembali mengetuk genteng. Tapi di hati dua anak perempuan itu, suara lain yang lebih dalam bergema—suara seorang ibu yang tidak pernah marah, tapi diamnya membentuk keberanian yang utuh.

***

Desa Rumaung, 1980

Tari menuruni tangga kayu dari bus ekonomi dengan langkah ringan. Udara kampungnya yang harum sawah dan tanah basah menyambutnya seperti pelukan lama yang nyaris dilupakan. Di punggungnya tergantung ransel tua berisi pakaian seadanya, dan di dadanya, tergantung cita-cita sederhana: menjadi guru yang tak hanya mengajar, tapi juga mendengarkan.

Awan, suaminya, menjemput dengan sepeda motor pinjaman. Di sepanjang jalan pulang ke rumah orang tuanya, mereka tak banyak bicara. Tapi ketika melintasi lahan kosong dekat masjid, Tari menunjuk ke tanah itu sambil berkata, “Kita bisa mulai dari sini, Wan. Kita dirikan sekolah. Biar kecil, asal jadi cahaya.”

Itulah awal dari segalanya. Bersama tiga sahabatnya di kampung—Retno, guru perempuan yang tegas dan pintar menjalin relasi; Agus, sepupu Rangga yang lihai dengan laporan dan strategi; dan Rangga, si idealis yang selalu menyebut dirinya "penyuluh masa depan anak desa"—mereka menyulap rumah kosong di pinggir kampung menjadi ruang kelas pertama SD Islam Al-Huda.

Tari menjadi guru kelas satu. Ia mengajar membaca dengan potongan kardus, menulis dengan arang sisa dapur, dan berhitung dengan batu-batu kecil. Murid pertama mereka hanya tujuh orang, dan lima di antaranya datang karena ibunya kenal dengan orang tua Tari.

Tapi dari ruang sempit itu, pelan-pelan cahaya tumbuh.

Tari punya cara sendiri untuk membuat anak-anak betah. Ia tidak pernah memarahi mereka karena lupa membawa pensil, tapi akan duduk di samping mereka dan bertanya kenapa. Ia tidak pernah membentak murid yang menangis, tapi akan memeluknya dan berkata, “Kalau kamu tidak bisa menjelaskan tangismu, tidak apa-apa. Aku bisa menunggu sampai kamu siap.”

Anak-anak menyayanginya. Mereka datang ke sekolah lebih awal hanya untuk duduk di dekat Tari dan mendengarkan dongeng. Beberapa orang tua bahkan berkata, “Anak saya lebih menurut sama Bu Tari daripada ibunya sendiri.”

Namun, seiring sekolah mulai tumbuh, bibit-bibit perselisihan perlahan muncul.

Awan, yang menjadi kepala sekolah, mulai merasa dirinya punya peran terbesar karena modal dan kemampuannya berbicara di depan umum. Ia kerap menyisipkan komentar seperti, “Kalau bukan karena saya, sekolah ini tidak akan punya relasi ke mana-mana.”

Agus mulai lebih sering sibuk di ruang administrasi, menyusun laporan dan anggaran yang kadang tak sesuai dengan kenyataan. Ketika Tari bertanya mengapa dana beli papan tulis tidak sampai ke kelasnya, Agus menjawab dengan cengiran, “Bisa jadi angkanya terselip, Tar. Wajar itu.”

Retno perlahan menjalin hubungan dekat dengan pihak kelurahan. Ia sering pergi tanpa izin, membawa proposal atas nama sekolah, dan kembali dengan senyum bangga. “Untuk kemajuan sekolah kita, Tar,” katanya. Tapi Tari merasa langkah-langkah itu tak selalu jujur.

Rangga tetap idealis, tapi semakin sering membandingkan caranya mengajar dengan guru lain. Ia berkata, “Saya tidak mau cuma jadi pengasuh anak-anak. Saya ingin mereka jadi pemikir. Makanya metode saya beda.”

Di tengah dinamika itu, Tari tetap berjalan di jalur sunyinya. Ia datang pagi-pagi, menyapu ruang kelas sendiri, menyambut murid dengan senyum dan sapaan hangat. Ia tak pernah menuntut lebih. “Ibu tidak ingin dipuji karena bisa mengajar. Ibu ingin dikenang karena membuat anak-anak merasa aman,” katanya suatu hari kepada Ratih, anak pertamanya yang masih balita.

Suatu malam, ketika mereka duduk di beranda kecil sambil menatap langit, Awan berkata dengan nada datar, “Tari, kadang aku bingung. Kamu tidak mau ikut campur pada rencana ekspansi sekolah kita... apa kamu tidak peduli pada sekolah kita?”

Tari tersenyum tipis. “Justru karena aku peduli. Aku takut kalau aku ikut campur, nanti aku ikut berebut. Lebih baik aku di sini, jadi tempat pulang.”

Awan tak membalas.

Malam itu, Tari tahu, cahaya yang ia tanam sedang tumbuh, tapi juga dikelilingi bayang-bayang. Dan kelak, saat semua cahaya itu menyilaukan, mungkin justru dirinya yang akan dibayangi.

***

Tahun 1989, langit kampung tampak cerah, tetapi udara di ruang rapat kecil SD Islam Al-Huda terasa pengap. Suasana yang semula hangat di antara empat sahabat dan satu keluarga itu perlahan berubah menjadi ruang penuh jeda dan pandangan yang tidak lagi jernih.

Sekolah mereka kini sudah memiliki lebih dari seratus siswa. Bangunan utamanya telah berdiri permanen berkat bantuan dari yayasan pusat di kota kabupaten. Bantuan itu datang lewat proposal yang disusun oleh Retno dan Agus—dan sejak saat itu, arah angin dalam sekolah pun berubah.

Tari mulai merasakan bahwa suaranya tidak lagi menjadi bagian dari keputusan. Ia tidak lagi dilibatkan dalam rapat penting, tidak diundang dalam pembicaraan rencana pengembangan, bahkan ruang kelas tempatnya mengajar pun perlahan dipindah ke ruang paling ujung, dekat kamar mandi.

Sore itu, Tari dipanggil ke ruangan kepala sekolah oleh pengurus yayasan baru yang berasal dari kota. Di sana sudah ada Retno dan Agus duduk dengan senyum yang terasa tidak utuh. Awan berdiri di dekat jendela, wajahnya kaku, mata tidak menatap siapa-siapa.

“Bu Tari,” kata salah satu pengurus yayasan, “kami menghargai pengabdian Ibu selama ini. Namun untuk keberlangsungan sekolah ini, kami membutuhkan struktur yang lebih profesional. Oleh karena itu, kami ingin menyarankan agar Ibu mengambil peran di luar struktur pengajaran. Mungkin sebagai pembina eksternal.”

Tari memandang satu per satu wajah di ruangan itu. Tak ada yang berani menatap balik kecuali pengurus itu sendiri.

Retno menambahkan dengan suara yang berusaha terdengar manis, “Tar, ini bukan soal pribadi. Ini hanya soal efisiensi. Kamu tetap bagian dari kami. Tapi… mungkin sudah saatnya kamu istirahat sejenak. Fokus ke keluarga.”

Awan, yang sejak tadi diam, akhirnya berkata lirih, “Tar… kalau kamu ingin bertahan, kita bisa diskusikan. Tapi jangan dulu bereaksi keras. Kita jaga nama baik bersama.”

Tari menghela napas panjang. Ia tidak menangis. Ia tidak marah. Ia hanya berdiri perlahan dan berkata, “Aku tidak sedang meminta untuk dihormati. Tapi aku juga tidak sudi diperlakukan seperti bayang-bayang. Sekolah ini kita bangun bersama, bukan untuk dijual kepada yang paling lihai mengatur kata.”

Ia melangkah keluar dengan tenang, meninggalkan ruangan yang dahulu pernah penuh harapan dan tawa. Sejak hari itu, Tari tidak kembali mengajar di sekolah yang ia dirikan.

Beberapa hari kemudian, di rumah sederhana mereka, Tari duduk di emperan rumah sambil melipat kertas minyak berisi gorengan. Ratih, anak perempuannya yang berusia lima tahun, duduk di sebelah, membantu membungkus tempe mendoan.

“Ibu, kenapa Ibu sekarang jualan gorengan?” tanya Ratih polos.

Tari tersenyum. “Karena orang yang jujur harus tetap bekerja, meskipun tempat kerjanya dirampas.”

“Apa Ibu sedih?”

Tari menggeleng pelan. “Sedih itu wajar. Tapi ibu memilih menjaga harga diri kita. Ibu tidak akan mengemis ke tempat yang tidak menginginkan ibu.”

Gorengan itu dijual keliling kampung setiap pagi dan sore. Kadang laku, kadang tidak. Tapi Tari tidak pernah berhenti. Ia tetap bangun pagi, tetap menulis rencana pelajaran walau tak lagi ada kelas untuknya. Di balik senyap dan perih itu, Tari menanam benih baru: keberanian untuk tetap bermartabat.

***

Tahun 1993. Hujan turun nyaris setiap sore, menyisakan lumpur di halaman rumah Tari. Rumah itu berdiri di tanah warisan yang telah ia rawat bersama Awan sejak awal pernikahan. Tidak luas, tetapi cukup untuk tumbuhnya mimpi dan semangkuk harapan.

Namun pada suatu siang yang lembab, kabar tak menyenangkan datang dari seorang tetangga, Bu Romlah. Perempuan sepuh yang tinggal di sebelah Rumah Tari dengan membawa selembar dokumen.

“Itu batas tanah, Bu Tari. Setahu saya, pohon jambu itu sudah masuk halaman saya sejak dulu. Mungkin saja dulu hanya disepakati lisan, tapi sekarang harus jelas. Apalagi anak saya mau bangun rumah di sana,” ujar Bu Romlah sambil menunjuk pohon jambu yang berdiri di pojok halaman rumah Tari.

Tari tidak langsung menanggapi. Ia melihat pohon itu—saksi bisu banyak permainan Ratih kecil, tempat ia sering menjemur baju, dan tempat Awan dulu pernah memasang ayunan dari tambang bekas.

“Seingat saya, batas itu sudah jelas sejak rumah ini berdiri,” jawab Tari tenang.

Namun Bu Romlah tak surut. “Kalau tidak percaya, bisa ke RT. Saya siap bawa ke kantor desa.”

Maka dimulailah perseteruan yang tak diinginkan. Surat-menyurat mulai keluar. Beberapa warga ikut bersuara. Ada yang diam-diam mendukung Tari, tapi lebih banyak yang memilih menjauh. Konon, anak Bu Romlah kini bekerja dekat dengan staf kelurahan. Nama mereka lebih diperhitungkan.

Tari sempat mengajak Awan bicara panjang malam itu. Namun suaminya hanya berkata, “Kalau memang tidak terlalu luas, mungkin kita bisa mengalah. Lagi pula kita bukan orang kaya.”

Tari menunduk. Bukan soal luas tanah itu. Bukan pula tentang harga. Tapi tentang hak. Tentang bagaimana orang-orang baik bisa dipaksa diam oleh yang lebih lantang.

Ayah Tari adalah satu-satunya yang berdiri bersamanya. Lelaki tua itu datang dari rumahnya, membawa surat tanah yang ia tulis tangan sendiri puluhan tahun lalu.

“Bapak tidak banyak punya harta,” katanya, “tapi Bapak tahu betul batas tanah itu. Selama Bapak masih hidup, tidak akan Bapak biarkan tanah kalian dirampas seperti ini.”

Namun suara tua tidak lagi didengar seperti dahulu. Proses mediasi di desa hanya menghasilkan keputusan yang tak berpihak: garis batas ditarik ulang, dan sebagian halaman  Tari harus dilepas.

Suatu malam, Tari duduk di dapur, menyalakan tungku kecil untuk merebus air jahe. Ratih yang kini duduk di kelas dua SD duduk di dekat pintu, membaca buku.

“Bu,” kata Ratih tiba-tiba, “kenapa orang jahat bisa menang?”

Tari terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena tidak semua orang berani bilang bahwa yang jahat itu jahat.”

Ia mengelus kepala Ratih pelan. “Tapi bukan berarti kita harus jadi jahat agar bisa kuat.”

Hari itu, beberapa papan pembatas baru dipasang. Garis-garis baru dilukis di tanah, menandai bagian yang bukan lagi milik mereka.

Namun Tari tetap menyiram tanaman seperti biasa. Menjemur baju seperti biasa. Dan menggoreng tempe seperti biasa. Ia tidak bersuara. Tapi dunia tahu: ia sedang berduka dalam diam.

***

Waktu terus bergulir. Tahun 1995 datang dengan wajah baru di kantor desa. Pak Lukman, lurah yang baru dilantik, dikenal ramah dan murah senyum. Ia datang dengan gagasan besar tentang pembangunan: pelebaran jalan kampung, saluran air, dan renovasi pos ronda. Masyarakat menyambutnya dengan antusias, terlebih mereka yang sudah lama merasa kampung ini tertinggal.

Namun antusiasme itu tidak sampai ke rumah Tari.

Pada suatu pagi, dua perangkat desa datang membawa surat pemberitahuan. Tanah bagian depan rumah Tari akan digunakan untuk pelebaran jalan. Tidak seluruhnya, hanya sekitar dua meter dari batas pagar. Tapi itu berarti pohon mangga harus ditebang, pagar batu harus digeser, dan tempat duduk panjang—tempat Ratih sering bermain—harus diratakan.

“Tanah ini milik Ibu secara sah,” kata salah satu petugas sambil menunjuk gambar pada peta. “Namun demi kepentingan umum, kami harap Ibu dapat mengikhlaskan tanpa kompensasi.”

Tari membaca surat itu dalam diam. Matanya menyapu halaman yang selama ini menjadi naungan, menjadi batas antara rumah dan dunia luar. Setiap lekuk tanah, setiap batu dan semak, mengandung kenangan.

“Apakah tidak ada musyawarah lebih dahulu?” tanyanya pelan.

“Sudah ada. Rapat desa minggu lalu. Kami umumkan lewat masjid dan papan informasi,” jawab petugas itu. “Sebagian warga sudah menyetujui.”

Namun Tari tidak pernah merasa diajak bicara.

Malam itu, Tari berbicara pada Awan dan Rima. Ia berharap setidaknya ada suara dari keluarga sendiri yang menguatkannya. Tapi Awan hanya menarik napas panjang.

“Kalau semua warga mendukung, dan itu demi kampung juga… apa gunanya kita melawan? Lagi pula, kita tidak rugi terlalu banyak,” ucapnya, sambil menghindari tatapan Tari.

Rima, yang duduk di seberangnya, pun tak mampu bicara banyak. “Maaf, Kak. Aku juga bingung. Kalau menolak, takut nanti dicap tidak mau mendukung pembangunan,” katanya pelan.

Ayah dan Ibu Tari, yang tinggal tak jauh dari rumah itu, bahkan menyarankan untuk mengalah saja. “Daripada ribut, lebih baik kita jaga kedamaian. Nanti kalau jadi omongan orang, capek sendiri,” kata sang Ibu.

Tari menatap sekeliling. Ia merasa seperti satu-satunya orang yang masih berdiri di tengah lapangan, sementara semua telah memilih berlindung.

Beberapa hari kemudian, rombongan dari desa datang dengan alat ukur. Di depan rumah Tari, mereka mulai menandai batas jalan baru. Tanpa upacara, tanpa kata maaf, hanya garis kapur putih di atas tanah yang selama ini ia rawat.

Tari berdiri di teras. Tidak ada air mata, tidak ada teriakan. Hanya suaranya yang terdengar sayup, nyaris seperti gumaman kepada angin.

“Kalau marah bisa menyelamatkan tanah ini,” katanya lirih, “sudah dari dulu aku menjerit.”

Tapi ia tahu, jeritan tak selalu berarti perjuangan. Kadang diam adalah jalan sunyi yang lebih dalam.

Malam itu, ia menuliskan sesuatu di halaman belakang buku resepnya. Satu kalimat pendek yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang paham betul siapa Tari sebenarnya:

"Tanah boleh digeser, tapi bukan hati. Rumah boleh direnggut, tapi bukan martabat.”

***

November, 1996

Musim hujan datang lebih awal tahun itu. Langit sering kelabu, dan udara membawa aroma tanah basah yang sejuk namun mencemaskan. Di tengah hari-hari yang dingin dan lembap, Tari mulai merasakan nyeri samar di sisi kanan perutnya. Awalnya ia abaikan. Ia pikir hanya kelelahan pasca melahirkan Nirna yang saat itu baru berusia dua bulan.

Namun rasa nyeri itu tak juga hilang. Kadang menjalar hingga ke punggung, kadang membuatnya sulit bangun dari duduk. Suatu malam, setelah menyusui Nirna, Tari pingsan di dapur. Awan panik dan membawanya ke rumah sakit daerah.

Pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan. Hasilnya tidak datang dalam satu malam. Namun ketika dokter akhirnya memanggil Awan ke ruang konsultasi, suasana tak lagi sama.

“Kanker hati stadium lanjut,” kata dokter itu tenang, seolah mencoba membungkus kenyataan pahit dengan nada netral. “Kami akan berusaha memberikan pengobatan terbaik, tapi harus siap secara mental. Prosesnya panjang dan berat.”

Awan terduduk lemas. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Ia menatap istrinya dari balik kaca ruang rawat, melihat sosok yang selama ini tampak kuat, kini tampak rapuh di balik tirai putih.

 

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari rumah sakit. Tari menjalani kemoterapi, transfusi, dan berbagai terapi suportif. Rambutnya mulai rontok, kulitnya pucat, tubuhnya menyusut. Namun dalam setiap lawatan Ratih ke ranjang ibunya, Tari selalu tersenyum. “Ibu tidak apa-apa,” katanya, sambil menyelipkan jari kecil Ratih di sela-sela jarinya.

Nirna masih bayi. Belum bisa bicara. Tapi setiap kali dibawa ke pelukan ibunya, ia selalu tertawa kecil. Seakan tahu bahwa waktu mereka bersama tidak akan panjang.

Suatu sore, rumah sakit keliru memberikan resep. Obat yang diberikan menyebabkan komplikasi. Tari sempat tidak sadarkan diri selama dua hari. Pihak rumah sakit berdalih itu hanya efek samping yang tidak terduga, namun Awan tahu ada kesalahan. Ia marah, tapi tidak punya keberanian atau cukup ilmu untuk menuntut. Ia hanya bisa menangis di luar ruang ICU, memegang botol infus kosong, dan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu menjaga Tari dengan layak.

Ketika Tari sadar, ia memanggil Awan dan berkata pelan, “Aku tahu kamu takut. Tapi jangan lari. Hadapilah ini bersamaku. Kalau tidak untukku, setidaknya untuk anak-anak kita.”

Awan mengangguk, tapi sorot matanya menunjukkan luka yang tak bisa ia sembunyikan. Dalam hatinya, ia telah menyusun rencana yang tak pernah ia katakan: jika Tari benar-benar pergi, ia akan menyerah. Ia tahu, ia bukan ayah yang cukup kuat.

Beberapa minggu kemudian, Tari meminta pulang. “Aku ingin melihat halaman rumah sekali lagi,” katanya. Para perawat setuju, dengan catatan ia tetap diawasi. Maka ia dibaringkan di kasur lipat, dibawa dengan ambulans ke rumah kecil yang dulu ia pertahankan dengan seluruh hidupnya.

Pohon jambu telah tiada. Pagar telah digeser. Tapi semilir angin tetap sama, dan suara azan dari surau kecil masih terdengar seperti biasa. Di teras, Ratih duduk diam sambil menggambar di atas papan tulis kecil. Nirna digendong oleh Rima, yang kini lebih banyak tinggal untuk membantu mengurus rumah.

Malam itu, Tari menulis surat wasiat. Tangannya gemetar, tapi pikirannya jernih. Ia menulis kepada Ratih dan Nirna, meminta mereka tumbuh sebagai anak yang jujur, sederhana, dan tidak menyimpan dendam. Kepada Rima, ia berpesan agar melanjutkan peran ibu jika kelak Awan tidak sanggup.

Dan kepada Awan, hanya satu kalimat ia tuliskan,

"Maafkan aku jika tak cukup lama menemani, tapi aku selalu percaya, kamu bisa menjadi lebih dari yang kamu pikirkan."

Agustus, 1997. Tari menghembuskan napas terakhir di pangkuan ayahnya. Dalam diam. Tanpa keluhan. Tanpa tangisan. Seperti air yang kembali ke laut—tanpa suara, tapi membawa arus yang takkan pernah berhenti.

***

Desa Rumaung, 2023

Langit sore berwarna jingga, cahayanya merambat pelan lewat kisi-kisi jendela rumah tua itu. Debu-debu halus menari di udara, melayang di antara bayang-bayang temaram yang menggantung di ruang tamu. Di atas meja rotan yang sudah mulai rapuh, tersusun rapi beberapa album foto. Sampulnya telah pudar, sebagian ujungnya mengelupas. Namun kenangan di dalamnya tetap utuh.

Nirna duduk bersila di lantai, menyusuri lembar demi lembar album foto dengan tangan hati-hati. Di sampingnya, Ratih menatap kosong ke arah taman kecil yang mulai ditumbuhi semak liar. Rumah ini dulu ramai. Kini hanya sesekali disinggahi.

“Di foto ini, ibu terlihat sangat bahagia, ya,” ucap Nirna, menunjukkan foto hitam-putih Tari berdiri di depan papan tulis, dikelilingi anak-anak kecil yang tersenyum.

Ratih mengangguk pelan. “Mungkin masa paling bahagia untuk ibu adalah profesinya sebagai guru. Makanya kamu mengikuti jejak ibu juga, kan. Menjadi seorang guru.”

Hening sejenak. Lalu Nirna berkata pelan, “Kadang aku merasa tidak benar-benar mengenalnya. Waktu Ibu pergi, aku masih bayi. Tapi semakin aku tahu ceritanya, semakin aku mengerti kenapa hidup kita seperti ini.”

Ratih menoleh, menatap adiknya yang kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Di matanya, ada sorot yang sama seperti almarhumah ibu mereka: lembut, namun tak bisa dipatahkan.

“Kita mungkin hidup tanpa Ibu cukup lama,” ujar Ratih, “tapi sebenarnya kita tumbuh dengan jejak-jejak yang ia tanam. Di tiap keputusan yang kita buat, tiap rasa sabar yang kita pelajari, aku rasa itu semua karena Ibu pernah ada.”

Mereka kembali diam. Di halaman, angin sore mengayun pelan daun-daun kering. Waktu berjalan, tapi ada hal-hal yang tak pernah pergi.

Ratih berdiri, berjalan menuju rak kayu tua dan mengambil sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, tersimpan surat wasiat yang pernah ditulis Tari bertahun-tahun lalu. Kertasnya mulai rapuh, tinta mulai pudar. Tapi pesan di dalamnya tetap jelas.

“Aku pernah menyalahkan banyak hal,” ucap Ratih lirih. “Menyalahkan Ayah, menyalahkan Rima, bahkan menyalahkan diriku sendiri. Kenapa waktu itu aku hanya diam saat Ibu diperlakukan tidak adil.”

Ia menarik napas panjang, menahan gelombang emosi yang mendesak di dada.

“Dulu, keluarga kita punya banyak ketakutan,” lanjutnya. “Bahkan untuk membela keluarganya sendiri, masih penuh keraguan. Seperti keraguan Tante Rima ketika melihat kakaknya banyak dilukai oleh orang-orang. Ia sedih melihat kakaknya, tapi ia belum punya keberanian seperti sekarang.”

Nirna menatap kakaknya dalam diam. Ada luka lama yang perlahan mengering, tetapi bekasnya akan tetap tinggal. Namun justru dari bekas itulah mereka belajar tumbuh.

“Ibu tak pernah meninggikan suara,” ucap Nirna, seperti mengulang kalimat yang ia dengar sejak kecil, “tapi suaranya terdengar paling keras dalam hidup kita semua.”

Ratih tersenyum kecil. “Dan itu cukup. Lebih dari cukup.”

 

Matahari tenggelam perlahan. Foto-foto itu dikembalikan ke tempatnya. Surat disimpan kembali. Rumah kembali sunyi, namun bukan sunyi yang kosong—melainkan sunyi yang penuh dengan kenangan yang tak pernah hilang.

Di beranda, angin sore membawa harum tanah basah. Seperti dulu. Seperti saat Tari masih hidup. Suaranya memang telah lama tak terdengar, tapi cara hidupnya terus berbicara. Lewat dua anak yang kini tumbuh dengan kekuatan yang sama sunyinya. Tapi tak kalah mengakar.

 

TAMAT

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
TIGA LUKA TARI,
Indira Raina
Cerpen
Menulis Haiku
Rafael Yanuar
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Cerpen
Bronze
panana paapa nanaada panapapana
Marhaeny Benedikta Tinggogoy
Cerpen
Kontrakan Sakinah
Tini
Cerpen
Bronze
Aku Dan Ariadne
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Rencana Lain
Munkhayati
Cerpen
Insta Story Harga Mati
Ryan Esa
Cerpen
Copper Miss
Ratna Arifian
Cerpen
Bronze
Akar Tumbuh
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
Astrophile
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Toko Masa Depan
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Uang Saku
Muhammad Azmi Fahreza
Cerpen
Bronze
Semesta Cinta Sheila
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
Seni Olah Rasa
Wahyu Sandralukita Sari
Rekomendasi
Cerpen
TIGA LUKA TARI,
Indira Raina
Novel
12 Tahun, Tentang Asa Dan Rasa
Indira Raina
Novel
Kenangan Di Balik Kabut
Indira Raina
Cerpen
Bronze
Memoar Sebuah Rasa
Indira Raina