Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Tiga Hari
2
Suka
38
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tiga tahun. Permintaanmu itu terasa seperti sembilan bilah pisau es yang menghujam jantungku secara bersamaan. Dinginnya menusuk hingga ke sumsum tulang, dan ngilunya membuatku sulit bernapas. Tiga tahun untuk membuktikan diri, menata karier, menjadi pria yang pantas mendampingimu. Aku mengerti maksudmu. Kamu ingin fondasi yang kokoh sebelum membangun istana cinta. Namun, mendengar kata "tiga tahun" dari bibirmu, duniaku seolah runtuh seketika. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhku, bukan hanya dingin fisik, tapi juga dinginnya kenyataan bahwa aku harus menahan rasa ini selama waktu yang terasa abadi.

Hari pertama setelah perpisahan sementara itu terasa bagai neraka kecil yang membeku. Setiap notifikasi di ponselku bagai tetesan air dingin yang mengenai luka terbuka, membuat perihnya semakin terasa. Setiap sudut kota yang kulalui bukan lagi tempat yang menyimpan kenangan manis, melainkan hamparan salju yang membekukan setiap kehangatan yang pernah ada di antara kita. Aku mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan, menumpuk berkas di meja hingga menjulang tinggi, menghadiri rapat demi rapat dengan pikiran yang kosong. Namun, bayang senyummu terus menghantuiku, seperti hantu di tengah badai salju yang menusuk kulit. Aroma parfummu seolah masih tertinggal di udara ruang kerjaku, menyiksa indra penciumanku dengan kenangan yang tak terhapuskan.

Hari kedua, keraguan mulai menggerogoti, seperti embun beku yang perlahan merayapi dedaunan, melumpuhkan harapan. Mampukah aku melewati tiga tahun tanpa sentuhanmu, tanpa canda tawamu yang selalu berhasil menghangatkan hariku? Aku mencoba mencari pelarian, bertemu teman-teman lama, melakukan hobi yang dulu sempat terlupakan seperti bermain gitar, namun setiap nada yang kulantunkan terasa sumbang tanpa kehadiranmu sebagai pendengar setia. Bahkan, gurauan teman-temanku pun terasa hambar, kehilangan warnanya karena tidak ada senyummu yang menimpali. Semua terasa hambar, seperti makanan beku yang kehilangan rasa. Ada kekosongan yang hanya bisa kamu isi, sebuah ruang hampa yang sedingin kutub utara.

Malam itu, aku tidak bisa memejamkan mata. Gelisah tak tertahankan merayap di sekujur tubuhku. Jemariku gatal ingin menghubungimu. Aku mengetik namamu di layar ponsel, lalu menghapusnya. Berulang kali. Aku ingin sekadar mendengar suaramu, memastikan kamu baik-baik saja, apakah kamu makan teratur, apakah kamu tidur nyenyak. Tapi janjimu terngiang di telingaku: tiga tahun. Bayanganmu terasa begitu dekat namun tak terjangkau, seperti melihat cahaya di tengah badai salju yang mustahil diraih. Aku membayangkan percakapan kita, tawa renyahmu yang selalu berhasil menghangatkan hatiku. Aku merindukan kebersamaan kita, hal-hal sederhana seperti berbagi cerita sebelum tidur atau sekadar bertukar pandang dalam diam yang penuh pengertian.

Lalu, datanglah hari ketiga. Aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Bukan lagi keraguan atau kerinduan yang membutakan, melainkan sebuah keyakinan yang membuncah, sehangat mentari pagi yang mencoba mencairkan lapisan es di hatiku. Tiga tahun terlalu lama untuk menunda apa yang kurasakan. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam penantian yang tak pasti. Aku tidak ingin menunggu menjadi "pantas" di mata dunia jika di mataku, kamulah yang paling pantas. Kamu adalah alasan mengapa aku ingin menjadi versi terbaik dari diriku.

Siang itu, dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, aku berdiri di depan pintumu. Jantungku berdebar kencang seperti genderang yang ditabuh bertalu-talu. Ekspresi terkejut bercampur bingung terpancar jelas di wajahmu saat melihatku. Tanpa basa-basi, tanpa kata-kata indah yang sudah kurangkai dalam benakku selama dua malam terakhir, aku hanya mengucapkan satu kalimat, "Maukah kamu menikah denganku?"

Keheningan menyelimuti kita, terasa begitu panjang dan membekukan. Matamu berkaca-kaca, dan aku bisa melihat berbagai emosi berkecamuk di sana. Lalu, kamu menggeleng pelan. "Aku... aku belum siap," bisikmu lirih, suaramu hampir tak terdengar di tengah keheningan. "Aku ingin fokus pada pendidikanku dulu. Aku ingin menjadi versi terbaik diriku sebelum kita melangkah lebih jauh." Kata-katamu kembali mengirimkan hawa dingin, meskipun tidak setajam sebelumnya. Lebih seperti angin sepoi-sepoi yang mengingatkanku pada dinginnya penolakan.

Kekecewaan mencubit hatiku, terasa seperti tusukan jarum yang perih. Sesak sesaat menyeruak di dada, membuatku sulit menarik napas. Namun, melihat keteguhan di matamu, tekad yang kuat untuk meraih impianmu, aku menghela napas panjang. Ada benarnya ucapanmu. Kamu berhak mengejar impianmu setinggi langit. Dan siapa aku untuk menghalanginya? Cintaku padamu seharusnya mendukungmu untuk berkembang, bukan mengekangmu.

Anehnya, di tengah kekecewaan itu, secercah syukur menyelinap masuk, seperti setetes air hangat di tengah dingin yang menusuk. Aku bersyukur pernah merasakan cinta yang begitu dalam darimu. Aku bersyukur memiliki seseorang yang begitu teguh pada prinsipnya, seseorang yang tahu apa yang diinginkannya dalam hidup.

"Baiklah," ujarku, mencoba tersenyum meski sedikit getir. Senyum yang terasa dipaksakan dan dingin. "Aku mengerti."

Namun, kemudian kamu menambahkan sesuatu yang membuat hatiku kembali berdenyut tak karuan, seperti bara api kecil yang mulai membakar sisa-sisa es di hatiku. "Tapi... bagaimana kalau kita saling memperbaiki diri? Kamu dengan caramu, aku dengan caraku. Kita tumbuh bersama, meski tidak dalam ikatan yang terburu-buru."

Kata-katamu bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, ada harapan untuk tetap terhubung denganmu, untuk melihatmu bertransformasi menjadi wanita yang semakin hebat. Di sisi lain, ada rasa sesak yang tak bisa kutepis. Memperbaiki diri? Bukankah aku selalu berusaha melakukannya? Bahkan tanpa kehadiranmu, aku akan terus berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Mengapa harus ada embel-embel menunggu? Rasa dingin keraguan kembali menyelimuti, bertanya-tanya apakah ini hanya cara halus untuk menolakku.

Kerinduan kembali menyeruak, kali ini bercampur dengan sedikit rasa frustrasi, seperti menggigil hebat di tengah malam tanpa selimut. Jari-jariku kembali menari di layar ponsel, mengetikkan namamu lalu menghapusnya. Godaan untuk sekadar menyapa, menanyakan kabarmu, begitu kuat, seperti keinginan untuk mencari kehangatan di tengah badai salju. Malam-malam sunyi terasa semakin panjang tanpa suaramu, seperti malam tanpa bintang yang terasa kelam dan dingin.

Aku mencoba mengalihkan diri, mencari kesibukan. Namun, bayangmu tetap hadir. Di setiap lagu yang kudengar, liriknya seolah bercerita tentang kita. Di setiap aroma kopi yang tercium, aku teringat pagi-pagi kita yang hangat. Di setiap sudut kota yang kulalui, aku menemukan jejakmu, seperti jejak kaki di salju yang mengingatkanku pada perjalanan yang pernah kita lalui bersama. Menahan diri untuk tidak menghubungimu adalah peperangan batin yang melelahkan, seperti berusaha tetap hangat di tengah badai yang tak kunjung reda.

Apakah kamu tidak cemburu saat aku mungkin berinteraksi dengan wanita lain? Apakah kamu tidak memikirkanku sama sekali selama fokus pada studimu, ataukah hanya aku yang benar-benar tergila-gila padamu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, seperti angin dingin yang berhembus kencang, menerbangkan semua logika yang coba kurangkai.

Bukankah ketika kutanya apakah kamu rindu, jawabmu adalah rindu sangat? Apakah sekarang kau justru membenciku karena lamaranku yang tiba-tiba? Aku berharap, sangat berharap, bahwa aku tidak menjadi beban untukmu, bahwa keputusanku ini tidak membuatmu semakin menjauh. Ketidakpastian ini menyiksa, seperti berjalan di atas es tipis yang bisa pecah kapan saja.

Meskipun perasaanku sangat dalam, aku juga tidak ingin membuatmu terluka atau merasa tertekan. Maafkan aku karena salah mengartikan "memperjuangkanmu tiga tahun". Aku malah langsung datang melamarmu dalam tiga hari. Begitulah, seandainya kamu tahu, betapa aku sangat menginginkanmu. Keinginan itu membara, seperti api yang mencoba melawan dinginnya kenyataan.

Mungkin, di balik kata-katamu tentang saling memperbaiki diri, tersimpan sebuah keraguan yang belum terucap. Mungkin ada ketakutan untuk melangkah terlalu jauh ke dalam hubungan ini, atau mungkin juga ada pertimbangan lain tentang masa depan yang belum sepenuhnya kamu yakini. Setiap kemungkinan itu bagai serpihan es yang menusuk relung hatiku, menciptakan rasa tidak nyaman yang sulit diabaikan.

Aku mencoba memahami posisimu, meskipun sulit rasanya menerima kenyataan ini. Mungkin benar, kita berdua perlu waktu untuk tumbuh secara individu, mengejar mimpi dan cita-cita masing-masing, sebelum benar-benar siap untuk membangun masa depan bersama. Pemikiran itu seperti setitik cahaya redup di tengah kegelapan, memberikan sedikit harapan meski terasa jauh.

Namun, di sisi lain, aku juga tidak bisa membohongi perasaanku. Cinta ini hadir begitu kuat dan tiba-tiba, hingga rasanya sulit untuk diukur dengan hitungan waktu atau logika. Seperti badai salju yang datang tanpa permisi, cinta ini telah mengubah lanskap hatiku sepenuhnya. Aku merasa telah menemukan seseorang yang selama ini kucari, dan melepaskanmu terasa seperti kehilangan sebagian dari diriku.

Aku akan mencoba menghormati keputusanmu, meskipun setiap detiknya terasa berat bagaikan memanggul beban yang tak terlihat. Aku akan memberikanmu ruang dan waktu yang kamu butuhkan untuk meraih impianmu, sambil terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, bukan untuk membuktikan apa pun padamu, melainkan untuk diriku sendiri. Ini adalah ujian yang sesungguhnya, ujian tentang kesabaran dan kepercayaan pada takdir, sebuah penantian yang terasa membekukan.

Lalu, sebuah pemikiran muncul, menenangkan gejolak di hatiku, seperti secangkir cokelat panas di hari yang dingin. Kata orang, jika seseorang ditakdirkan untukmu, semesta akan punya cara untuk mempertemukanmu kembali, tidak peduli seberapa jauh jarak atau berapa lama waktu yang memisahkan.

Aku akan membiarkanmu bebas. Bukan karena rasa cintaku berkurang, justru sebaliknya. Aku ingin membuktikan bahwa jika kamu memang ditakdirkan untukku, jalan kita pasti akan bertemu lagi, di waktu yang tepat, ketika kita berdua sudah menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing. Aku akan fokus pada perbaikan diriku, bukan untuk menjadi "pantas" di matamu, melainkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk diriku sendiri. Dan jika suatu hari nanti takdir membawa kita kembali, aku yakin, cinta kita akan bersemi lebih indah dan lebih kuat dari sebelumnya. Sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah percaya dan membiarkan waktu yang menjawab, menunggu datangnya musim semi setelah dinginnya musim salju.

-Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Senja, Fajar, dan Mega
Yeni Rahmawati
Cerpen
Kita yang Terlambat Menyadari
shirley
Cerpen
Tiga Hari
Ron Nee Soo
Novel
Gold
Memeluk Masa Lalu
Bentang Pustaka
Novel
kisah cinta anak muda yang sederhana
Noboti
Komik
This is Classic Love Story
Drawshocker
Skrip Film
Jembatan Cinta
Kelana Kaheswara
Cerpen
Bronze
Aku Cinta Kau dan Agama Ku (1)
Faisal Susandi
Flash
One Happy Day
Mahia Kata
Novel
Bronze
Mahar 25 Tahun
Bai Ruindra
Cerpen
Dua Matahari
zain zuha
Flash
Just a Moment With You
Nimas K. Manggalih
Cerpen
Bronze
Kamu dan Takdir
Ilfina Azka Najah
Novel
Dari ANRES untuk SHENA
Devi Jum'atika
Skrip Film
Bright Your Future and Love Script
Sweet September
Rekomendasi
Cerpen
Tiga Hari
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Dua Tahun Lagi
Ron Nee Soo
Cerpen
Nyanyian Malam
Ron Nee Soo
Cerpen
Ironi Kotak Amal Sekolah
Ron Nee Soo
Cerpen
Talang Sawah dan Lagu Mangu
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sukma Artis Figuran
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Ekspektasi
Ron Nee Soo
Cerpen
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Surat dari Jakarta
Ron Nee Soo
Cerpen
Bayang
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Beban di Pundak Pak Darmawan
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Warna Cinta di Buku Saku
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Ketika Musik Box Berhenti Bernyanyi
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Rahma, Warnaku Abadi
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Setiap satu sendok bumbu kacang adalah satu kesempatan yang hilang
Ron Nee Soo