Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Fajar mulai merekah di ufuk Makkah, memancarkan cahaya lembut yang berangsur-angsur mengusir gelapnya malam. Di dalam sebuah rumah sederhana, seorang lelaki berkulit sawo matang tampak mulai terjaga. Perlahan, kelopak matanya yang tebal terbuka, memperlihatkan bola mata besar dengan semburat kemerah-merahan yang lembut. Dia menghela napas panjang, menarik kesadaran kembali ke dalam tubuhnya, lalu menyibakkan mantel hijau dari Hadramaut yang semalam setia menghangatkan raganya.
Diiringi kelembutan fajar, lelaki tampan dengan janggut lebat itu menangkupkan kedua tangan, memanjatkan doa syukur. Bait-bait doa terucap penuh ketulusan, doa yang diajarkan oleh sosok yang begitu ia hormati. Sosok istimewa yang bukan sekadar seorang nabi, melainkan juga sepupunya sendiri, tempatnya berlindung, panutannya sejak usia belia.
Di sanalah, di dipan kayu milik sepupunya, ia menghabiskan malam penuh kegelisahan, tertutup oleh mantel yang sama – mantel sang sepupu yang tegar, yang tak pernah lelah melindungi dan merawatnya. Fajar terus menyingsing, perlahan memunculkan guratan baru di wajahnya. Namun, ketenangan yang ia rasakan makin dalam, karena ia tahu, dirinya berada dalam dekapan doa dan kasih yang tak akan pernah lekang.
***
“Tidurlah di atas tempat tidurku.”
Ucapan sepupu itu masih terngiang jelas di benaknya, seperti alunan melodi yang tak akan pernah terlupakan. Saat malam tiba, sepupu meminta dirinya menggantikan posisinya di pembaringan, sebuah permintaan yang tampak sederhana. Namun, di balik kata-kata itu tersimpan kecemasan yang mendalam. Hatinya bergetar, gelisah menghadapi situasi yang mencekam.
Ia tahu, merebahkan tubuh di tempat tidur bukanlah soal kenyamanan semata. Tidur di sana adalah pilihan penuh risiko. Nyawanya kini menjadi taruhannya. Saat gelap menutupi langit, ancaman mengintai di sekeliling, dan dia merasakan ketegangan menyelimuti suasana. Keadaan sungguh genting. Sang sepupu, yang selama ini menjadi panutan dan pelindungnya, tengah menghadapi bahaya yang mengancam.
Ia menatap dipan kayu itu dengan penuh rasa takut. Setiap detik terasa lambat, seolah waktu enggan berlalu. Di dalam hatinya, ada pergulatan antara rasa takut dan rasa sayang. Dia tak ingin meninggalkan sepupunya dalam bahaya, tapi ia juga tak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam situasi yang bisa merenggut nyawanya. Dalam kebimbangan, ia tahu bahwa keputusan ini bukan hanya tentang tempat tidur, melainkan tentang keberanian dan pengorbanan demi orang yang ia cintai.
Dengan tekad yang membara, ia memutuskan untuk melangkah. Merentangkan selimut yang hangat dan lembut, dia berbaring di atas pembaringan, meski hatinya tetap waspada. Setiap desah napas menjadi saksi bisu akan keberanian yang terpendam. Dalam kegelapan malam, dia berdoa agar segala sesuatu baik-baik saja, berharap agar sepupunya dapat melindungi dirinya, seperti ia telah melindungi sang sepupu selama ini.
Di luar rumah, sebelas orang pemuka Quraisy berkumpul, merencanakan sebuah makar jahat. Mereka hendak menyerang seorang lelaki yang dijuluki Al Amin oleh kaumnya, sosok yang dikenal sebagai orang yang paling terpercaya. Dengan wajah tegang dan mata penuh niat busuk, mereka mengepung rumah tersebut. Di tangan mereka terhunus pedang tajam, bersiap untuk menerobos masuk dan menghabisi Sang Nabi.
Di dalam rumah, ketegangan terasa mencekam. Dia, yang harus menggantikan posisi sepupunya, merasakan beban yang sangat berat. Ini bukanlah tugas yang menyenangkan; ini adalah panggilan mulia yang menuntut keberanian dan keteguhan hati. Dengan segala yang dipertaruhkan, dia tahu bahwa saat ini adalah saat-saat genting.
Dalam sekejap, pikirannya melayang pada sepupunya, sosok yang telah merawat dan melindunginya selama ini. Betapa beraninya sepupunya, memilih untuk menghadapi bahaya demi keselamatan orang lain. Kini, giliran dia untuk mengambil langkah serupa. Dia merasa terpilih untuk menjalani tugas ini, sebuah kehormatan yang datang bersama dengan tanggung jawab yang sangat besar.
Dengan napas dalam-dalam, dia menenangkan diri. Dalam hati, dia berdoa memohon perlindungan. Dia harus berani menghadapi kenyataan yang akan datang, meskipun ia tahu bahwa di luar sana, para pemuka Quraisy sudah siap untuk menyerbu. Momen ini akan menjadi penentu, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk semua yang percaya kepada Sang Nabi. Keberanian yang dia tunjukkan bukan hanya untuk menyelamatkan sepupunya, tetapi juga untuk menjaga kebenaran dan harapan yang ada di tengah kegelapan.
***
Sang sepupu bukanlah sosok biasa. Dia adalah lelaki istimewa, yang keberadaannya telah dinubuatkan oleh para nabi sejak zaman purba. Muhammad, Sang Nabi, hadir dengan kulit bersih dan wajah berseri, bak purnama yang indah menerangi malam yang gelap. Dalam saat-saat genting ini, sosok yang berani mengambil alih posisi Sang Nabi di pembaringan adalah Ali.
Ali, yang dikenal sebagai putra ‘Abdu Manaf dan lebih akrab disapa dengan kunyah Abi Thalib, adalah salah satu lelaki paling berani yang pernah ada. Ayahnya, seorang paman kandung yang sangat menyayangi Muhammad, telah membesarkannya dalam kasih sayang dan ajaran yang luhur.
Ali lahir di dalam Kabah, di hari Jumat yang penuh berkah, pada tanggal 13 Rajab, sekitar tahun 600 Masehi. Bayangkan betapa istimewanya kelahirannya, di tempat suci yang menjadi lambang keagungan dan kehormatan bagi umat Islam. Dari rahim ibunya, Fathimah binti Asad bin Hasyim, dia lahir sebagai tanda harapan dan keberanian.
Sejak kecil, Ali sudah menunjukkan keberanian yang luar biasa, melindungi dan mendukung sepupunya, Muhammad, yang kelak akan menjadi pemimpin umat manusia. Ali tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi ajaran moral dan spiritual, menjadikannya seorang pemuda yang bukan hanya kuat fisik, tetapi juga memiliki hati yang penuh kasih dan keberanian.
Sekarang, di tengah kegelapan malam yang penuh ancaman, Ali tahu bahwa tanggung jawabnya sangat besar. Dia bersiap untuk menghadapi risiko demi melindungi sepupunya, Sang Nabi, dan memastikan bahwa cahaya kebenaran tetap bersinar di tengah gelapnya kezaliman. Keberaniannya bukan hanya sebuah tindakan fisik, tetapi juga sebuah pengabdian yang tulus kepada kebenaran dan cinta yang mendalam kepada keluarganya.
***
Ali sangat memahami betapa pedihnya perjuangan sepupunya, Muhammad. Sejak wahyu Tuhan pertama kali turun kepada Sang Nabi, perjalanan dakwahnya dimulai, baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Penindasan yang dihadapi Sang Nabi dan para pengikutnya seolah tak ada habisnya, seperti gelombang yang terus menerpa tanpa henti.
Saat itu, Ali yang masih belia menyaksikan segala penderitaan dengan penuh perhatian. Meski usianya baru sekitar sepuluh tahun, hatinya sudah terisi dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Ketika Sang Nabi membacakan ayat-ayat Tuhan, Ali terpesona. Setiap kata yang diucapkan Muhammad bagaikan aliran sungai yang mengalir lembut, menggugah nuraninya dan membuka cakrawala baru dalam pikirannya.
Wahyu yang begitu indah itu memberikan harapan dan cahaya dalam kegelapan. Dalam momen-momen itu, Ali merasakan sebuah panggilan dari dalam jiwanya, mengundangnya untuk ikut serta dalam cahaya mulia yang dibawa oleh sepupunya. Ajaran yang diajarkan bukanlah sekadar norma atau aturan, tetapi sebuah pemurnian penyembahan kepada Tuhan, yang mengajak umat untuk kembali kepada ajaran bapak moyangnya, Ibrahim Khalilullah.
Cahaya iman yang dibawa Sang Nabi seolah menghidupkan semangat dalam diri Ali. Dia merasa terikat dengan misi suci ini, seperti benih yang tumbuh subur di tanah yang subur. Ali tahu bahwa perjuangan ini bukanlah perjalanan yang mudah. Namun, di dalam hatinya, dia yakin bahwa setiap langkah yang diambil untuk menyebarkan kebenaran adalah sebuah langkah menuju keabadian.
Di saat-saat sulit, Ali berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu mendukung Sang Nabi, berjuang bersama meskipun banyak rintangan yang menghadang. Keberanian dan keteguhan hatinya adalah buktinya, bahwa meski masih muda, dia siap menghadapi apa pun demi kebenaran dan keyakinan yang dia pegang teguh. Dia ingin menjadi bagian dari sejarah, bersama Sang Nabi, menegakkan cahaya dalam kegelapan.
***
Ali, yang masih berada di bawah asuhan Sang Nabi, tengah bergumul dengan sebuah keputusan besar. Dalam hatinya, dia ingin meminta izin kepada ayahnya sebelum mengambil langkah ini. Namun, saat pikirannya berkelana, ada suara tegas yang muncul, membisikkan keyakinan dalam hatinya.
“Allah telah menciptakanku tanpa perlu berunding dengan ayahku. Lantas, untuk apa aku harus meminta izin lebih dahulu untuk menyembah-Nya?”
Dengan semangat membara, Ali menyadari bahwa keyakinan kepada Tuhan adalah panggilan yang tak bisa ditunda. Dia tidak bisa menunggu lagi. Tanpa ragu dan tanpa perlu meminta izin lebih dulu kepada sang Ayah, Ali memeluk Islam dengan sepenuh hati.
Dia menjadi orang pertama yang menerima ajaran Islam dari kalangan anak muda, sebuah langkah berani yang membawa perubahan. Dalam kepalanya, gambaran masa depan yang cerah dan penuh harapan mulai terbentuk. Ali merasa terikat dengan ajaran yang indah ini, ajaran yang mengajak untuk kembali kepada Tuhan dan menegakkan kebenaran.
Keputusan Ali bukan sekadar tentang diri sendiri, tetapi tentang perjalanan spiritual yang akan mengubah hidupnya selamanya. Dia tahu bahwa langkah ini akan membawanya ke dalam komunitas yang penuh dengan pengorbanan dan perjuangan, tetapi di dalam hatinya, ada keyakinan yang tak tergoyahkan. Dia ingin menjadi bagian dari sejarah, bersama Sang Nabi, menegakkan agama yang akan menjadi cahaya bagi umat manusia.
Dalam momen itu, Ali merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dia telah menemukan tempatnya, dan bersama dengan keyakinannya, dia siap untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Keberanian yang ditunjukkannya menjadi teladan bagi generasi-generasi berikutnya, bahwa iman kepada Allah adalah jalan yang harus diperjuangkan tanpa ragu.
***
Ali, lelaki berusia 23 tahun dengan perawakan yang pendek, baru saja beranjak dari tempat tidurnya. Dalam suasana yang tenang, dia tidak menyadari bahwa di luar rumah, para pemuka Quraisy sudah bersiap untuk menyerangnya. Seperti serigala lapar yang mengincar mangsanya, mereka langsung menyergapnya begitu ia melangkah keluar. Namun, meski berada dalam situasi yang mengancam, Ali tetap tenang. Dia tahu tentang siasat busuk mereka melalui pesan yang disampaikan oleh Sang Nabi.
"Aku tidak tahu," jawab Ali dengan suara tenang, berusaha menahan ketegangan saat pedang teracung di hadapannya, mengancam nyawanya. Ketika para pemuka Quraisy bertanya tentang keberadaan Sang Mustafa, dia merasa berat untuk mengkhianati sepupunya.
Para pemuka Quraisy tidak berhenti mengintimidasi. Mereka memukulinya berkali-kali. Namun, Ali tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Dalam kepedihan yang ia rasakan, hatinya dipenuhi dengan harapan dan iman. Dia teringat malam yang penuh makna sebelum semua ini terjadi, malam yang akan terukir dalam sejarah hidupnya. Malam itu bertepatan dengan tanggal 27 Safar tahun ke-14 kenabian, saat Sang Nabi memberikan arahan padanya sebelum meninggalkannya sendirian.
“Berselimutlah dengan mantelku yang berwarna hijau ini, berasal dari Hadhramaut,” ucap Sang Nabi sambil menyerahkan mantel itu dengan lembut. Raut gelisah terlihat di wajah Ali saat mendengar perintah itu. Namun, Sang Nabi menenangkan hatinya. “Sesungguhnya, engkau akan aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan.”
Mendengar kata-kata tersebut, tiba-tiba rasa tenang menyusup ke sanubarinya. Ali yakin, bahwa Allah akan menjaga dan melindunginya dari segala ancaman. Dia tahu, meskipun fisiknya terpojok, jiwanya tak akan pernah runtuh. Dalam hati, dia berdoa, menguatkan diri dan memohon perlindungan.
Dengan keyakinan baru, Ali mengambil napas dalam-dalam, menantang keberanian yang ada dalam dirinya. Dia tidak hanya bertarung untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebenaran dan untuk sepupunya yang dicintainya. Dalam kepedihan dan ancaman, dia menemukan kekuatan, dan dengan mantel hijau yang melindungi tubuhnya, dia siap menghadapi apa pun yang akan datang, dengan harapan bahwa keberanian dan keteguhannya akan menjadi cahaya bagi masa depan.
***
Ali perlahan naik ke tempat tidurnya, merasakan ketenangan yang mengejutkan dalam situasi yang mencekam. Sementara itu, Sang Nabi, dengan langkah mantap, berjalan keluar dari rumah yang tengah dikepung oleh musuh-musuhnya. Di luar, suasana malam terasa tegang. Namun, hati Sang Nabi dipenuhi ketenangan yang luar biasa. Dengan sigap, beliau mengambil segenggam pasir dan mengangkatnya ke udara, seolah ingin memberi sinyal kepada Allah.
Dengan kekuasaan-Nya, Allah telah membutakan penglihatan para musuh, sehingga mereka tak menyadari kepergian Sang Nabi dari hadapan mereka. Dalam sebuah momen yang penuh mukjizat, Sang Nabi menaburkan pasir itu ke arah kepala setiap musuh yang mengepung, membuat mereka terperangah, bingung, dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara pemilik dipan itu, Ali, sudah pergi jauh dari rumahnya. Dalam kegelapan malam, ia melangkah menuju rumah sahabatnya, Abu Bakar, untuk bersiap meninggalkan negeri kelahirannya. Yatsrib, tempat yang telah ditentukan oleh Allah untuk hijrah, menanti di ujung perjalanan.
Di sisi lain, konspirasi yang telah dirancang di Darun Nadwah, di rumah milik Qushai bin Kilab, tak berjalan sesuai rencana. Para pemuka Quraisy yang berambisi untuk menghabisi Sang Mustafa kini merasa terjebak dalam kebodohan mereka sendiri. Usaha mereka untuk menghabisi Sang Nabi gagal total, sementara mereka masih terperangkap dalam kebingungan.
Mereka, yang tak mengetahui bahwa Sang Nabi telah berhasil melarikan diri, kini beralih fokus kepada Ali. Dengan marah, mereka memukulinya dan menyeretnya ke dekat Ka'bah, tempat suci yang seharusnya menjadi lambang kedamaian. Di sana, mereka terus menganiaya Ali, berharap agar dia mau membuka suara dan memberitahu keberadaan sepupunya.
Namun, tak sepatah kata pun keluar dari mulut Ali. Meskipun tubuhnya terluka, semangatnya tak bisa dihancurkan. Dia tahu bahwa kata-kata yang diucapkan bisa membahayakan Sang Nabi. Dalam keheningan dan kesakitan, Ali tetap berpegang pada janji dan keyakinannya.
Dengan keteguhan hati, Ali memilih untuk diam, meski teraniaya. Dia memikirkan misi suci yang telah dibawa oleh Sang Nabi, serta harapan akan masa depan yang lebih baik. Keteguhan hatinya menjadi cahaya dalam gelapnya malam, membuktikan bahwa iman dan keberanian dapat mengatasi segala ancaman. Di tengah segala penderitaan, Ali mengingat ajaran Sang Nabi, berjanji untuk tetap setia dan melindungi kebenaran, berapa pun harga yang harus dibayarnya.
****