Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Tidak Mengenal Usia
0
Suka
29
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Nek, kake pergi ke masjid dulu, sudah waktunya azan magrib." Ucap kakek pamit waktu itu.

Namun tidak seperti biasanya, ia mendengar suara istrinya. Yang justru terdengar berusaha menahan kepergiannya itu. Kata istrinya, "Gak usah! gak ada lagi pergi ke masjid." Suara itu terkesan begitu tegas seperti suara dentuman geledek di siang hari. Membuat si kakek terkesiap mendengar suara itu. Dan menoleh ke arah istrinya, penuh heran.

Terlihat olehnya, istrinya seketika menanggalkan benang rajut beserta jarumnya. Kemudian ia beranjak dari tempat duduknya. Dan berjalan cepat menghadangnya di depan pintu.

Kakek yang masih terbelangak berdiri mematung di depan pintu itu. Ia berusaha untuk tetap pergi dan mencoba meraih daun pintu. Sayangnya, istrinya lebih dulu menggamit tangannya dan menahan untuk menyentuh daun pintu itu.

"Gak usah pergi!" Tegur istrinya bernada tinggi.

Kakek yang merasa niat baiknya telah ternodai kemudia ia mencoba memberontak atas sikap istrinya.

"Nenek kenapa? Kakek harus azan nek. Ini kewajiban kakek. Sebenatar lagi sudah waktunya shalat maghrib ini." Kakek suaminya memberi pengertian.

Namun istrinya kekeh dengan pendiriannya seolah ia mempunyai alasan lain untuk melarangnya pergi ke masjid.

"Mulai detik ini. Biarin si Sadili yang azan. Gak usah pergi lagi ke masjid. Gak usah!" Istrinya masih dengan nada tingginya, melang pergi.

Kakek semakin bingung dengan sikap istrinya. Ia merasa baru kali ini, istrinya berusaha melarang dengan nada tinggi. Kalaupun istrinya itu ada melarang itu pun jika dirinya kedapatan sakit. Tapi ini, sikapnya lain dan membuat dirinya sedikit bingung, "Nenek kenapa jadi seperti ini?" Gumam kakek sambil memandang raut wajah istrinya yang terlihat kesal.

"Nek, mengajak orang untuk shalat bukannya baik..." Kakek berusaha memberikan pengertian.

"Tutup mulut kakek! Kata siapa itu buruk, hah. Kata siapa?!" Bentak istrinya.

"Mulai dari sekarang! Gak usah pergi-pergi lagi ke masjid untuk azan." Katanya.

"Shalat pun, awas! Mulai sekarang di rumah. Gak ada lagi pergi ke masjid." Lanjut istrinya sedikit mengancam lantas mengunci pintu itu. Kakek hanya terdiam seribu bahasa, menyikapi istrinya yang kesetanan, ia sangat terkejut. Bisa-bisanya! Istrinya bersikap dan bersikeras menahan dirinya untuk pergi ke masjid. "Astagfirullah, nenek." Gumam si kakek dalam hati.

"Nek...," kakek menegurnya.

"Apa? Gak ada pergi ke masjid." Ucapnya menatap tajam kakek.

"Astagfirullah. Istigfar nek!" Kake hanya bisa mengucap asma Allah.

Tapi kakek tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menghela nafas karena kunci itu telah istrinya masukkan ke dalam kutang miliknya. Dan kunci itu sekarang terselip di antara buah dadanya yang kempes. Mencoba mengambilnya hanya akan membangunkan ibu singa yang tengah lapar. Kakek hanya bisa menggelengkan kepala. Saat istrinya berlalu dari hadapnya dan kembali kepada apa yang tengah dikerjakan, merajut untuk membuat tas katanya.

Kakek itu memang sering datang ke masjid untuk azan. Itu telah menjadi suatu kebiasaan yang tidak bisa kakek itu lewatkan. karena katanya itu adalah panggilan jiwa.

Kakek itu tidak sedang membual, telinga masyarakat di tempat tinggalnya telah menjadi saksi. Bagaimana suaranya tidak pernah sepi dari pendengaran mereka. Suaranya nyaring terdengar menyadarkan bahwa waktu shalat telah tiba.

Begitu pun dengan jalan setapak dari rumahnya ke masjid yang berjarak sekitar 100 meter itu. Telah menjadi saksi bisu, bagaimana kakek itu berjalan bersama tongkat miliknya di tengah hujan tengah deras-derasnya.

Ia harus ekstra hati-hati karena jalanan itu masih tanah merah dan licin. Dan bagi seorang yang renta. Tentu! Berjalan di tengah cuaca tidak bersahabat dengan kondisi medan yang licin, bukan sesuatu hal yang mudah. Namun sepertinya, ia hanya ingin mengabdi kepada Allah Ta'ala di sisa akhirnya hidupnya.

Sungguh kakek itu tidak hanya memiliki keteguhan atas jalan pilihannya yang unik. Ia pun ternyata memiliki banyak julukkan. Para anak muda di dusunnya menyebut si kakek mirip dengan Wolverine salah satu aktor di film X-Men.

Ia, kakek itu berumur panjang sebagimana Wolverine mempunyai kemampuan memulihkan luka dengan cepat. sehingga Wolverine menua dengan sangat lambat.

Kakek seperti seorang anak manusia yang ditakuti malaikat maut. Bayangkan saja; sahabatnya, teman sebayanya, bahkan anak muridnya sewaktu di pondok, mereka semua itu. Telah pergi menghadap Allah Ta'ala dan mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia.

Tapi anehnya, kakek itu. Ia walaupun tubuhnya hanya tinggal tulang berbalut kulit yang kriput. Bahkan sekedar untuk berdiri pun kakinya gemetar dan nampak bungkung saat berdiri sama persis dengan pohon lapuk yang tinggal menunggu angin untuk tumbang.

Namun ketika ditanyai; "Usia kakek sekarang berapa?" Kakek itu menjawabnya sebagaimana anak muda yang belum mengerti makna kehidupan tapi mulutnya pandai bicara mengingat ragam peristiwa. "Seingat kakek. Kakek lahir tahun 1900." Katanya tanpa ragu.

Itu membuat anak muda generasi Z dan Alpa cukup terkejut. Mereka tanpa sadar tengah berbincang dengan generasi old yang usianya saat ini 125 tahun. Kata anak muda yang mengerti kisah para nabi, usianya sama dengan usia Nabi Isa As. Dan apakah kakek merasa bosan hidup lama di dunia ini? Anak muda bermulut lancang menanyakan demikian. Namun si kakek tidak tinggal diam, "Usia adalah rezeki dari Allah Ta'ala dan terkadang memang hidup selalu dihadapkan kepada berbagaimacam ujian.

Tapi itu adalah bunga-bunga kehidupan. Kakek tidak merasa bosan kakek menikmatinya," Jelasnya membungkam mulut anak muda tadi.

Lain halnya dengan para anak muda itu. Para orang tua di dusunnya, mereka menjuluki kakek tersebut sebagai seorang muazin. Suaranya yang khas, menjadi pengingat bagi masyarakat setempat untuk segera menghentikan aktifitas mereka. Untuk kemudian menemui Allah Ta'ala beberapa saat lamanya dalam sembahyang.

Suara azan kakek itu, sayup-sayup akan menggema ke seluruh penjuru dusun tempat tinggalnya ketika waktu petang telah tiba.

Suaranya akan menggema di saat semua orang telah kembali dari bekerja mencari nafkah, dari bermain, dan berolahraga. Maka suara kakek itu akan terdengar melantunkan azimat sebagai suatu pengingat, "Allah-u-Akbar, Allah-u-Akbar." Ia kakek itu, spesialis azan magrib katanya.

Suaranya yang khas sering diikuti oleh sebagian masyarakat. "Allahh-u-akbar." Mereka merasa terharu mendengarnya. Bahkan kedapati sering memuji kakek itu.

"Sungguh suaranya menyadarkan untuk senantiasa dekat dengan Allah Ta'ala."

Mereka terharu karena di usia rentanya, kakek itu masih senantiasa mengajak masyarakat untuk menjalin perjumpaan dengan Sang Pencipta. Apakah sembahyangnya itu akan dikerjakan di rumah kediamannya masing-masing atau di dalam sebuah masjid yang menjadi simbol rumah Allah Ta'ala. Yang terpenting bagi kakek itu, ia telah menunaikan kewajibannya mengajak masyarakat di dusunya untuk sembahyang.

Namun bagi anak muda, suara azan kakek itu. Dijadikan sebagai suatu penanda untuk berhenti bermain bola volly. Mereka tidak akan pernah berhenti memainkan si kulit bundar karena kata mereka; "Kakek kita belum terdengar azan." Dan sebelum suara azan si kakek itu menggema. Mereka tidak akan pernah berhenti meskipun langit nampak telah gelap. Dan apakah para anak muda itu mendirikan shalat? Itu diluar kendali kakek itu.

Yang pasti seluruh masyarakat di dusunnya mengenal kakek itu bernama 'Tabri'. Kata kakek itu, katanya; "Nama ini pemberian Emon. Almarhum ayah," ungkapnya. Kemudian nama itu menjadi melekat hingga usia rentanya. Dan kini, ia akrab di panggil Aki Tabri.

Banyak yang menduga bahwa nama itu adalah singkatan dari 'Tabah dan Pemberani' yang pasti. Aki Tabri merasakan bahwa ia lahir ditengah situasi sulit dan mencekam saat itu.

Aki Tabri memang tidak pernah menanyakan mengapa ia diberinama semacam itu. Namun dari apa yang Aki Tabri tuturkan, ia pernah bercerita,

'Waktu itu situasi sosial, politik, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan di negeri ini. Sedikit besar dapat menggambarkan bahwa memang benar-benar harus tabah menghadapi segalanya. Serta harus penuh dengan keberanian dalam menjalaninya. Itu karena, kakek lahir di tengah bangsa Indonesia masih belum merdeka! Tentu saja, hidup dalam ketakutan, kekhawatiran, dan kelaparan telah menjadi makanan yang membuat kakek harus tabah dan berani.'

Aki Tabri itu ternyata, ia tinggal di sebuah dusun bernama Dusun Cadas. Keberadaan dusun itu terletak di balik bukit tanah merah. Sekilas Aki Tabri pun pernah menceritakan tentang mengapa bukit itu dinamai tanah merah,

'Konon katanya; tanah itu menjadi merah karena terjadi pertumpahan darah antara prajurit kerajaan Cirebon dan prajurit kerjaan Talagamanggung. Banyak jenazah bergelimpangan di bukit itu, mereka meregang nyawa dengan kondisi tubuh tersayat benda tumpul, tubuhnya berlumuran darah karena kulitnya robek atau bahkan putus terpisah dari anggota tubuh. Sehingga dikemudian hari masyarakat setempat menamai bukit tersebut adalah tanah merah (Taneuh Bereum).'

Hidup di berbagai generasi, ia menjadi dipercaya sebagai seorang penutur yang menjembatani masa silam dengan sekarang. Sedangkan secara kebetulan rumah Aki Tabri pun memang tepat menghadap ke bukit itu.

Jika pagi tiba, dari balik bukti itu. Sinar mentari muncul secara perlahan menyorot ke rumahnya. Kemudian masuk melalui celah bilik rumah seperti hendak membangunkannya. Tapi Aki Tabri, katanya selalu bangun di saat sinar mentari belum muncul.

Ia bangun di pagi buta karena ia percaya; "Udara pagi tidak hanya menyegarkan tapi bagus untuk kesehatan." Itu mungkin satu alasan mengapa Aki Tabri berusia panjang.

Namun sore itu, semua orang di Dusun Cadas resah. Mereka tidak mendengar suara azan Aki Tabri. Mereka mengakui, telinga mereka tidak pernah alfa mendengar suara azan khas Aki Tabri di waktu petang. Tapi kali ini mereka tidak mendengarnya;

"Aneh! Aki Tabri tidak terdengar azan sore ini?"

Begitu pun dengan para pemuda yang terbiasa bermain bola volly di waktu sore itu. Mereka seakan mendadak kebingungan antara terus bermain bola volly atau menghentikannya. Suara Aki Tabri belum terdengar! Sedangkan kedua mata mereka, mulai tidak melihat dengan jelas bola volly yang bulat itu, karena memang hari sudah mulai petang.

Mereka terbiasa berhenti bermain bola volly ketika suara azan Aki Tabri menggema memenuhi gendang telinga mereka. Tapi kali ini, suara Aki Tabri luput dari pendengarannya;

"Kakek kita tidak terdengar azan sore ini?!"

Ini seperti semua orang sore itu. Mereka tengah merasakan ada sesuatu yang hilang dari sisi kehidupan mereka. Apakah itu sementara atau bahkan mungkin selamanya?! Suara itu, senantiasa terngiang dalam ingatan, suara azan Aki Tabri belum terdengar menggema. "Tapi mungkin Aki Tabri sakit." Sebagian masyarakat ada yang menduganya demikian.

Nyatanya Aki Tabri, ia tidak sakit bahkan cuaca pun cerah sore itu. Ia rupanya tertahan keinginan istrinya yang melarang pergi ke masjid. Di rumahnya yang sepetak itu, Aki Tabri terdengar bersuara;

"Ya sudah kalau aki tidak boleh pergi ke masjid. Mari shalat berjamaah di rumah," ajak Aki Tabri kepada istrinya sambil berjalan menuju ruang tempat untuk shalat.

Istrinya, ia tidak meresponnya. Ia terlihat sibuk kembali di atas kursinya dengan benang rajutnya, ia tidak segera beranjak mengambil air wudhu.

"Nek...," Aki Tabri terdengar memanggil dari dalam ruangan sepetak itu.

Istrinya masih dengan sikapnya, tidak menyahut. Tidak mungkin suara Aki Tabri tidak terdengar olehnya. Istrinya seperti tengah memendam suatu rasa.

Sebuah rasa layaknya seumpama bom waktu yang tinggal menunggu moment untuk meledak. Itu nampak dari raut wajahnya yang kusut. Kusut bukan karena sedekar keriput. Melainkan aura penuh dengan kesal, bukan juga karena hendak menstruasi. Ia sudah bertahun-tahun tidak mengalami hal itu lagi, ia seperti remaja yang tengah dirundung api cemburu.

Andai Aki Tabri mengetahui perasaannya saat ini. Istrinya, begitu ia sangat rapuh. Ia merasa dadanya mulai terasa sesak. Mungkin karena ia belum meluapkan isi hatinya yang terpendam saat ini. Dan ketika ditanyai; "Nenek kenapa gak ikut shalat maghrib berjamaah?" Tanya Aki Tabri selepas shalat.

Istrinya, ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malah ia langsung pergi berlalu dari hadapan suaminya Aki Tabri. Ia sengaja meninggalkannya seorang diri, berdiri mematung di ruang tengah. Tanpa memberikan alasan yang jelas atas bersikapnya demikian. Justru istrinya itu! Ia terlihat pergi ke arah kamar mandi. Dan beberapa saat terdengar gemrincik air seperti ia tengah berwudhu.

"Bagusan berjamaah tadi nek." Gumam Aki Tabri pelan.

Ini membuat Aki Tabri merasa heran. Biarpun begitu, Aki Tabri tidak pikun, ia menyimpan sebagian peristiwa-peristiwa masa lalu yang membuatnya berkesan.

Apakah itu tentang peristiwa kelam sewaktu terjadinya pertempuran antara pribumi dengan penjajah, atau bahkan pribumi dengan pribumi itu sendiri. Yang jelas Aki Tabri pernah bercerita kepada para pemuda Dusun Cadas katanya,

"Dulu hanya sekedar pingin makan saja susah. Pernah suatu kali makan hanya dengan umbi-umbian dan buah-buahan saja."

Itu sepenggal ingatan di masa-masa sulit yang nampaknya cukup berkesan bagi Aki Tabri biarpun itu terdengar getir. Bukan berarti! Ingatannya hanya menyimpan sisi-sisi kelam yang menciptakan sebuah traumatik tersendiri.

Melainkan, Aki Tabri pun menyimpan ingatan tentang kebahagian. Terutama ketika ia dapat melangkah ke pelaminan bersama Sunengsih yang menjadi istrinya itu.

Ingatan tentang itu, terekam dan tersimpan dengan baik dalam memori jangka panjangnya. Hanya saja berusaha menceritakkanya hanya akan membuat anak muda di Dusun Cadas tersipu malu. Dan jika Sunengsih istrinya sempat mengetahui akan hal itu. Tentu, ia akan merasa berbunga-bunga. Maka Aki Tabri berusaha menyimpannya dan menjadikannya sebagai obat pengantar untuk tidur belaka.

Aki Tabri yang telah bertahun-tahun bersama Sunengsih istrinya itu. Ia memahami betul sikap istrinya. Mengapa ia bersikap demikian, "Tapi apakah sikap demikian harus benar-benar ada di usianya yang tidak lagi muda?" Aki Tabri sedikit bermonolog dan sesekali ia tersenyum tipis.

Aki Tabri berusaha menduga sikap istriknya yang seperti itu. Mungkin, Aki Tabri mulai menyadari, "Apa karena Kokom Komalasari? Ia nampak mendekat setelah suaminya dua bulan lalu meninggal." Aki Tabri mulai memiliki prasangka ke arah situ.

Namun Aki Tabri masih belum bisa memastikan dugaannya itu. Meskipun peristiwa belakangan ini, membentuk sebuah kemungkinan-kemungkinan yang menjurus ke arah situ. Itu pun karena perbuatan Aki Tabri itu sendiri dan Aki Tabri mengakui itu. Jika itu benar adanya! Betapa sangat terkejutnya Aki Tabri. Di usianya yang sudah tua renta ini, harus berurusan kembali dengan rumitnya kehidupan asmara.

"Apa karena si Kokom yang tempo hari itu?" gumam Aki Tabri berusaha memahami sikap Sunengsih istrinya di ruang tengah seorang diri.

Sudah tiga hari berlalu sejak istrinya ada melarangnya. Aki Tabri tidak pernah lagi terdengar kembali mengumandangkan azan. Tidak juga ia datang ke masjid untuk shalat berjamaah. Sikapnya ini menuai pertanyaan tersendiri di tengah masyarakat Dusun Cadas.

Banyak masyarakat merasa kehilangan, "Aki Tabri ke mana? Suaranya tidak terdengar lagi. Apa jangan-jangan ia sakit." Ungkap masyarakat penuh simpati akan nasib Aki Tabri.

Namun jauh dari pandangan serta pendengaran mereka yang mengkhawatirkan Aki Tabri. Suara kecil dalam lubuk hati perempuan renta. Dan hanya ia yang mengetahui apa yang dirasakannya. Bahkan suaminya Aki Tabri pun sama sekali tidak mengetahuinya.

Ia jelas-jelas menaruh rasa bangga telah memiliki suami seperti Aki Tabri. Dan bisa jadi! Pada masanya, ia adalah perempuan di Dusun Cadas yang beruntung telah mendapatkan Aki Tabri. Bagaimana ingatan masa lalu tentang percakapan gadis-gadis Dusun Cadas, masih terekam jelas dalam benak perempuan renta itu.

"Banyak gadis di sini yang menyukainya dan kamu beruntung Sunengsih bisa dapetin Tabri. Ia pemuda satu-satunya di Dusun Cadas yang bisa baca tulis."

Ia, nenek Sunengsih masih mengingat itu dan ia pun merasakan betul apa yang telah dikatakan tersebut. Ketika ia telah menikah dan menjadi perempuan seutuhnya milik Aki Tabri.

Ia yang awalnya tidak mengenal huruf hijaiyah. Sejak menikah dengan Aki Tabri, ia bukan hanya pandai menyebutkan huruf hijaiyah satu persatu. Akan tetapi mampu melafalkannya dengan nada suara khas miliknya sesuai hukum ilmu tajwid. Ia menjadi pandai membaca alquran.

Bagi Sunengsih istrinya, Aki Tabri telah menjadi suami sekaligus guru baginya. Kesabaran Aki Tabri suaminya itu, begitu meresap ke dalaman jiwa Nenek Sunengsih. Dan menciptakan kesan tersendiri dalam hatinya itu.

Pernah satu kali, Aki Tabri nampak terlihat kesal. Namun ia mampu menahannya dengan sebuah senyuman. Ketika itu, nenek Sunengsih istrinya tengah berusaha mengingat huruf hijaiyah dari Alif hingga Ya. Berhubung daya ingatnya yang kurang baik, membuatnya membutuhkan waktu lama untuk mengingat.

Kira-kira hampir satu minggu lamanya untuk sekedar mengingat huruf hijaiah. Itu membuat Aki Tabri sedikit kesal bercampur lucu. Dan terkadang ia tersenyum haru sembari sedikit menyindir istrinya,

"Anak usia sembilan belas tahun bisa kalah sama Si Nur Aini yang baru enam tahun."

Tapi Sunengsih istrinya selalu ada alasan untuk membela diri, timpalnya; "Wajar saja anak usia enam tahun gak banyak yang ia pikirkan." Jawabnya mengisyaratkan bahwa ia sejak sudah menikah dengan Aki Tabri suaminya itu. Ia harus memasak untuk menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, kadang juga ikut ke ladang bersama Aki Tabri. Kesibukan itu membuat ia sulit mengingat sesuatu, tapi itu gaya ngelesnya nenek Sunengsih yang pelupa.

Moment bersama Aki Tabri telah banyak mengisi memori dalam kepala nenek Sunengsih. Berusaha melupakannya hanya akan membuatnya menderita. Nenek Sunengsih teramat mencintai Aki Tabri. Namun kali ini nenek Sunengsih diambang penderitaan yang tidak lagi ia bisa menahannya.

"Nenek mau ke mana?" Tanya Aki Tabri heran.

Nenek Sunengsih diam saja, ia sudah tiga hari ini memilih untuk diam. Aki Tabri pun sama sekali belum ada upaya untuk menanyakan atas sikapnya salama itu. Dan ini mungkin reaksi nenek Sunengsih yang seakan tidak diperhatikan.

"Nenek kenapa? Sejak nenek ngelarang pergi ke masjid sikap nenek jadi seperti ini." Aki Tabri berusaha meminta keterangan dari istrinya.

Nenek Sunengsih masih dengan diamnya. Dan ia pun terlihat semakin terburu-buru memasukkan baju ke dalam tasnya.

"Apa karena si Kokom Komalasari itu?" Tanya Aki Tabri menohok.

Nenek Sunengsih mendengar itu sejenak menghentikan tangannya dari memasukkan baju ke dalam tas. Dan tiba-tiba air mata itu mengalir dari kedua matanya.

"Kakek tega sama nenek," ucap nenek Sunengsih.

"Selama ini nenek berusaha menjaga perasaan tapi kakek malam selingkuh." Jelas nenek Sunengsih.

Aki Tabri cukup terkejut mendengar itu. Dan ia pun tersenyum tipis mendengarnya.

"Nek, waktu itu..."

"Sudahlah, nenek mau pergi ke rumah si Asep." Kata nenek Sunengsih beranjak dan pergi ke rumah anak lelakinya.

Di jalan menuju rumah anak lelakinya. Nenek Sunengsih, ia menangis sepanjang jalan. Banyak masyarakat di Dusun Cadas melihatnya dan terheran, "Itu kenapa nenek Sunengsih?"

Namun nenek Sunengsih tidak menghiraukannya. Ia tidak mempedulikan apa perkataan masyarakat di Dusun Cadas yang menemukannya menangis sambil berjalan. Yang ia pikirkan, bagaimana meredam rasa sakit dalam dadanya, atas peristiwa tiga hari sebelumnya. Ketika ia berjalan seorang diri ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib.

Memang waktu itu Aki Tabri suaminya belum terdengar azan. Hanya saja sudah lebih dulu pergi ke masjid untuk azan tentunya.

Namun Sunengsih dari kejauhan memergoki, Aki Tabri tengah duduk berdua dengan Kokom Komalasari di beranda masjid. Keduanya duduk renggang, bahkan dapat dikatakan cukup jauh.

Pada mulanya tidak terbesit curiga dalam benak Sunengsih. Ia anggap itu sesuatu hal wajar. Apalagi kondisi fisik tidak lagi muda seperti dulu. Masa iya tercipta getar hati yang bernuansa cinta. Itu sungguh tidak mungkin.

Namun selepas pulang dari masjid. Sunengsih mulai berpikiran tidak-tidak, apalagi Kokom Komalasari baru saja ditinggalkan suaminya dua bulan lalu, ia seperti merasa cemburu.

Sampai tiba puncaknya, nenek Sunengsih melarang suaminya untuk pergi ke masjid. Itu adalah titik ngilu terberat bagi Sunengsih istrinya setelah memergoki Aki Tabri bersama Kokom Komalasari ngobrol berdua di beranda masjid.

Namun setelah nenek Sunengsih bercerita kepada Asep anak lelakinya tentang itu sesampai di rumahnya. Asep anak lelakinya yang telah berumah tangga. Justru malah terpingkal-pingkal mendengarnya, "Ibu cemburu?" Tanya Asep. Ibunya Sunengsih yang telah berusia 95 tahun itu. Ia menjawabnya secara tersirat tentang perasaannya,

"Nak, perasaan itu tidak mengenal tua atau muda. Biarpun ibu sekarang sudah tua tapi perasaan dan keinginan itu tidak pernah tua. Dan kamu akan merasakannya nanti." Jelas nenek Sunengsih.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Tidak Mengenal Usia
Rafi Asamar Ahmad
Novel
Gold
Sinau Bareng Markesot (Daur VII)
Bentang Pustaka
Novel
Mencintai Setiap Luka
Hilma Hasanah
Novel
Bronze
Cinta Bersemi Dalam Do'a
Nelly Nurul Awaliyah
Novel
Gold
Mimpi Sejuta Rupiah
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Saksi Siksa Siska
hidayatullah
Novel
Kisah dari Desa
Hendra
Novel
Bronze
Bekas: Membangun Cinta di Surga
Imajinasiku
Novel
Katakan Asa
Kata Aksara
Novel
Gold
Psikologi Kebahagiaan
Noura Publishing
Novel
Gold
Hidup Itu harus Pintar Ngegas Ngerem
Noura Publishing
Skrip Film
Ka'bah Guwai Datuk
Dwi Kurnialis
Novel
Bronze
ISTIQOMAH CINTA
fitriyanti
Novel
Seribu Langkah Menggapai Surga
Alin rizkiana
Novel
Gold
Muhasabah Cinta
Falcon Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Tidak Mengenal Usia
Rafi Asamar Ahmad
Cerpen
Bronze
Memendam Rasa
Rafi Asamar Ahmad
Cerpen
Bronze
Murat
Rafi Asamar Ahmad
Cerpen
Bronze
Hampir Tidak Percaya
Rafi Asamar Ahmad
Cerpen
Bronze
Saling Mengisahkan
Rafi Asamar Ahmad
Cerpen
Bronze
Gara-gara Ayah
Rafi Asamar Ahmad
Cerpen
Bronze
Gunung Larang
Rafi Asamar Ahmad