Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
0
Suka
9
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di rumah kami, suara tidak pernah benar-benar pergi.

Selalu ada yang berbicara, bersuara, berderak, berdesah. Bahkan di pagi buta, saat kabut masih mengendap di bawah jendela kayu, suara langkah kaki Ibu sudah lebih dulu membangunkan ayam-ayam tetangga yang cerewet. Lalu suara sendok bertemu panci, suara air mendidih, dan tentu saja, suara khas wajan tua kami yang mengeluh setiap kali disentuh api.

Aku hafal semua bunyinya. Bahkan bunyi engsel pintu kamar Ari yang selalu melenguh malas tiap ia dorong dengan kaki, juga derak kecil lantai kayu tua di sudut ruang tengah tempat Bapak biasa duduk bersandar setelah menyiram tanaman.

“Rara, bangun, Sayang. Nanti nasinya keburu dingin,” panggil Ibu pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya. Suaranya lembut, tapi selalu punya cara membangunkanku lebih ampuh daripada suara ayam jago yang terlalu percaya diri itu.

Aku menggeliat pelan, menarik selimut yang baunya mirip matahari sore hangat dan agak berdebu. Di dinding, cahaya matahari menembus sela jendela yang retaknya membentuk garis seperti sungai. Di rumah kami, bahkan retakan pun punya cerita.

Di dapur, Ibu sudah sibuk. Tangan kanannya mengaduk sayur bayam, tangan kirinya menyesap kopi hitam. Di sebelahnya, mesin jahit warisan Nenek berdiri diam, menunggu pesanan terakhir tetangga yang harus selesai sebelum sore. Ibu seperti punya banyak tangan. Tapi yang paling kusukai adalah tangan yang membelai rambutku tiap kali aku bersandar di pangkuannya.

“Lho, kenapa ayam ini lagi yang nyelonong ke kebun kita, sih?!” suara Bapak meledak dari luar, seperti biasa.

Aku menahan tawa. Pasti ayam tetangga lagi-lagi mencuri cabai Bapak. Sudah tiga hari berturut-turut kejadian itu, tapi Bapak tak pernah benar-benar marah. Ia hanya mengumpat pelan, lalu menghalau ayam itu dengan sapu lidi, seolah lebih senang dengan rutinitas itu daripada hasil kebunnya sendiri.

“Kalau ayam itu bisa baca, sudah kutulisin plang ‘dilarang mencuri’ di pagar,” gerutu Bapak sambil masuk ke rumah, kakinya menyisakan jejak tanah di lantai.

Ibu hanya mendesah kecil, “Bukan ayamnya, Pak. Pemiliknya itu yang susah diajak ngomong.”

Ari baru keluar dari kamarnya, rambutnya masih kusut. Ia duduk tanpa bicara, langsung menyendok nasi dan telur dadar dari piring.

“Pagi juga, Mas,” ucapku pura-pura manis.

Dia hanya melirikku sebentar, lalu mengacak rambutku sekenanya. Tapi aku tahu, itu cara Mas Ari bilang ia sayang.

Pagi seperti ini dengan suara, dengan tawa, dengan aroma nasi hangat dan bayam segar selalu membuatku berpikir bahwa rumah adalah tempat paling hidup di duni...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp1.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Seni Untuk Mengenang
Adlet Almazov
Skrip Film
Rancu (screenplay)
Aldi Cendikia Nugroho
Skrip Film
Forgotten Moon
Rifah Khodijah
Skrip Film
My Weird Boss
Diena Mzr
Flash
JANDA KAYA
Rudie Chakil
Cerpen
Bronze
Nil Desperandum
Chie Kudo
Cerpen
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
Muhamad Irfan
Novel
Membingkai Kata
rudy
Novel
Gold
Hotelicious
Bentang Pustaka
Komik
Bronze
DREAM
Esti Farida
Skrip Film
Cincin Tunggal (Script Version)
Okia Prawasti
Skrip Film
Sekolah Menjadi Ayah
Lotus Kecil
Skrip Film
TAK SEPERTI COWOK PADA UMUMNYA
Okhie vellino erianto
Novel
Mi Jowo
Bla
Komik
C'est La Vie
Yobel Renaldo Paparang
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
JIKA RUMAH ADALAH LUKA
Muhamad Irfan
Cerpen
Tak Layak
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Satu Kursi yang Kosong
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan di Meja Sebelah
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Muhamad Irfan
Cerpen
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Cerpen
Tersisa di Gaza
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Tak Terdengar
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Nyaris
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
24 Jam Yang Menghapusku
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jejak yang Hilang di Lorong 4
Muhamad Irfan