Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di rumah kami, suara tidak pernah benar-benar pergi.
Selalu ada yang berbicara, bersuara, berderak, berdesah. Bahkan di pagi buta, saat kabut masih mengendap di bawah jendela kayu, suara langkah kaki Ibu sudah lebih dulu membangunkan ayam-ayam tetangga yang cerewet. Lalu suara sendok bertemu panci, suara air mendidih, dan tentu saja, suara khas wajan tua kami yang mengeluh setiap kali disentuh api.
Aku hafal semua bunyinya. Bahkan bunyi engsel pintu kamar Ari yang selalu melenguh malas tiap ia dorong dengan kaki, juga derak kecil lantai kayu tua di sudut ruang tengah tempat Bapak biasa duduk bersandar setelah menyiram tanaman.
“Rara, bangun, Sayang. Nanti nasinya keburu dingin,” panggil Ibu pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya. Suaranya lembut, tapi selalu punya cara membangunkanku lebih ampuh daripada suara ayam jago yang terlalu percaya diri itu.
Aku menggeliat pelan, menarik selimut yang baunya mirip matahari sore hangat dan agak berdebu. Di dinding, cahaya matahari menembus sela jendela yang retaknya membentuk garis seperti sungai. Di rumah kami, bahkan retakan pun punya cerita.
Di dapur, Ibu sudah sibuk. Tangan kanannya mengaduk sayur bayam, tangan kirinya menyesap kopi hitam. Di sebelahnya, mesin jahit warisan Nenek berdiri diam, menunggu pesanan terakhir tetangga yang harus selesai sebelum sore. Ibu seperti punya banyak tangan. Tapi yang paling kusukai adalah tangan yang membelai rambutku tiap kali aku bersandar di pangkuannya.
“Lho, kenapa ayam ini lagi yang nyelonong ke kebun kita, sih?!” suara Bapak meledak dari luar, seperti biasa.
Aku menahan tawa. Pasti ayam tetangga lagi-lagi mencuri cabai Bapak. Sudah tiga hari berturut-turut kejadian itu, tapi Bapak tak pernah benar-benar marah. Ia hanya mengumpat pelan, lalu menghalau ayam itu dengan sapu lidi, seolah lebih senang dengan rutinitas itu daripada hasil kebunnya sendiri.
“Kalau ayam itu bisa baca, sudah kutulisin plang ‘dilarang mencuri’ di pagar,” gerutu Bapak sambil masuk ke rumah, kakinya menyisakan jejak tanah di lantai.
Ibu hanya mendesah kecil, “Bukan ayamnya, Pak. Pemiliknya itu yang susah diajak ngomong.”
Ari baru keluar dari kamarnya, rambutnya masih kusut. Ia duduk tanpa bicara, langsung menyendok nasi dan telur dadar dari piring.
“Pagi juga, Mas,” ucapku pura-pura manis.
Dia hanya melirikku sebentar, lalu mengacak rambutku sekenanya. Tapi aku tahu, itu cara Mas Ari bilang ia sayang.
Pagi seperti ini dengan suara, dengan tawa, dengan aroma nasi hangat dan bayam segar selalu membuatku berpikir bahwa rumah adalah tempat paling hidup di duni...