Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
0
Suka
10
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di rumah kami, suara tidak pernah benar-benar pergi.

Selalu ada yang berbicara, bersuara, berderak, berdesah. Bahkan di pagi buta, saat kabut masih mengendap di bawah jendela kayu, suara langkah kaki Ibu sudah lebih dulu membangunkan ayam-ayam tetangga yang cerewet. Lalu suara sendok bertemu panci, suara air mendidih, dan tentu saja, suara khas wajan tua kami yang mengeluh setiap kali disentuh api.

Aku hafal semua bunyinya. Bahkan bunyi engsel pintu kamar Ari yang selalu melenguh malas tiap ia dorong dengan kaki, juga derak kecil lantai kayu tua di sudut ruang tengah tempat Bapak biasa duduk bersandar setelah menyiram tanaman.

“Rara, bangun, Sayang. Nanti nasinya keburu dingin,” panggil Ibu pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya. Suaranya lembut, tapi selalu punya cara membangunkanku lebih ampuh daripada suara ayam jago yang terlalu percaya diri itu.

Aku menggeliat pelan, menarik selimut yang baunya mirip matahari sore hangat dan agak berdebu. Di dinding, cahaya matahari menembus sela jendela yang retaknya membentuk garis seperti sungai. Di rumah kami, bahkan retakan pun punya cerita.

Di dapur, Ibu sudah sibuk. Tangan kanannya mengaduk sayur bayam, tangan kirinya menyesap kopi hitam. Di sebelahnya, mesin jahit warisan Nenek berdiri diam, menunggu pesanan terakhir tetangga yang harus selesai sebelum sore. Ibu seperti punya banyak tangan. Tapi yang paling kusukai adalah tangan yang membelai rambutku tiap kali aku bersandar di pangkuannya.

“Lho, kenapa ayam ini lagi yang nyelonong ke kebun kita, sih?!” suara Bapak meledak dari luar, seperti biasa.

Aku menahan tawa. Pasti ayam tetangga lagi-lagi mencuri cabai Bapak. Sudah tiga hari berturut-turut kejadian itu, tapi Bapak tak pernah benar-benar marah. Ia hanya mengumpat pelan, lalu menghalau ayam itu dengan sapu lidi, seolah lebih senang dengan rutinitas itu daripada hasil kebunnya sendiri.

“Kalau ayam itu bisa baca, sudah kutulisin plang ‘dilarang mencuri’ di pagar,” gerutu Bapak sambil masuk ke rumah, kakinya menyisakan jejak tanah di lantai.

Ibu hanya mendesah kecil, “Bukan ayamnya, Pak. Pemiliknya itu yang susah diajak ngomong.”

Ari baru keluar dari kamarnya, rambutnya masih kusut. Ia duduk tanpa bicara, langsung menyendok nasi dan telur dadar dari piring.

“Pagi juga, Mas,” ucapku pura-pura manis.

Dia hanya melirikku sebentar, lalu mengacak rambutku sekenanya. Tapi aku tahu, itu cara Mas Ari bilang ia sayang.

Pagi seperti ini dengan suara, dengan tawa, dengan aroma nasi hangat dan bayam segar selalu membuatku berpikir bahwa rumah adalah tempat paling hidup di duni...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp1.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Nil Desperandum
Chie Kudo
Cerpen
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
Muhamad Irfan
Novel
Bronze
Lukisan Jiwa Raga
DAMAIZANNE
Novel
Bronze
Tikus-Tikus Dalam Otakku
Rifan Nazhip
Novel
Wanita Lain
Erliani Kadoang
Novel
Bronze
Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku
Raida Hasan
Komik
100 Stories to Tell
achaa
Komik
bintang
happySyndrom
Cerpen
Bronze
Best Friend Forever
nooraya
Skrip Film
It's Not Easy to be A Single Dad
Amalina septiani
Skrip Film
Tentang Kinara
Monalisa Azkar
Cerpen
Semuanya Telah Pergi
Amanda Chrysilla
Cerpen
Tragically Yours
Reni Refita
Novel
Dia Pergi
Dina Ivandrea
Skrip Film
Singgah tak Sungguh
Oktaviona Bunga Asmara
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
Tersisa di Gaza
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
JIKA RUMAH ADALAH LUKA
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Satu Kursi yang Kosong
Muhamad Irfan
Cerpen
BISU
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Nyaris
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
24 Jam Yang Menghapusku
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Muhamad Irfan
Cerpen
Tak Layak
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Terlambat
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan di Meja Sebelah
Muhamad Irfan
Cerpen
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan