Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi tak selama memberi sebuah kehangatan yang sama. Sama dengan waktu yang tak pernah terulang kembali. Pagi ini, aku seolah-olah menemukan tanda tanya perihal jodoh. Ya jodoh, tak seindah dan semudah membalikkan tangan. Pertanyaan yang entah kapan bisa aku jawab dengan mudah, entah besok, sekarang, maupuan masa depan. Tepatnya aku masih mencari alasan tersebut, jika masih ditanya kembali. Akh, sudahlah. Gumamku pada waktu itu. Kali ini bilik lorong tempat kerjaku, pikiran tersebut masih mengantui realita dan mimpi akan jodoh. Pikiranku masih tenggelam mengenai obrolan bersama ibuku minggu lalu. Semakin berat pikiran tersebut membuatku untuk bertanya dengan dalih permasalahn tersebut reda dan menemukan solusinya. Akh, kebetulan sahabatku masuk, coel ah.
Ya, namanya Ai, umurnya 24 tahun. Meskipun jarak umurku dengan Ai lumayan tetapi Ai sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri. Lantas aku datang ke meja Ai untuk menceritakan semua masalah tesebut, khusunya kejadian ibuku tiba-tiba bertanya mengenai jodoh.
“Dek, perempuan itu makin tua makin susah jodohnya. Mau kamu jadi perawan tua?”, tanya ibuku sambil memotong buah-buahan.
Suasana berubah tiba-tiba. “Kok gitu bu ngomongnya?”, jawabku.
“Loh kamu itu kan sudah 26 tahun umurnya, sampai kapan mau sendiri?”, ibuku masih sama memasang raut muka kecut sembari memotong buah.
“Nana kan ada kegiatan, Bu. Banyak lagi”, balasku kepada ibu yang tadi terus mencari cara supaya aku cepat-cepat menikah.
“Halah.. Kegiatan apa? Justru Karena kamu sibuk sendiri dengan karir dan kuliah mu, Laki-laki jadi minder”. Ibuku semakin menjadi-jadi mengenai alasanku tersebut, tapi akh sudahlah dipikir sambil jalan aja.
“Seperti itu Ai, akh pokoknya lagi pusing nih aku”, menjelaskan panjang lebar kepada Ai mengenai permasalahanku dengan ibu.
“Ya.. Ibunya Nana ada benarnya juga sih. Mungkin udah waktunya untuk Nana mikirin jodoh”, dengan percakapan yang serius Ai kepadaku, tak lupa kopi susu yang menemani obrolan kita pada pagi itu.
“Iya… tapi selama ini bukan berarti aku enggak mikirin”, balasku sambil dengan bercanda, seolah- olah terlihat santai tapi hati tertekan.
“Ya tapi dimata ibunya Nana, keliatannya Nana enggak mikirin”, celetuk Ai dengan tiba-tiba membuatku takut, hal tersebut membuatku kembali tenggelam. Tapi, namanya jodoh dan ini masih pagi pikirku obrolan ini jagan dibaut terlalu serius, sesekali aku bercanda kepada Ai.
“Ih! Ai juga keliatan kayak enggak mikiirin jodoh”, spontan aku balas itu kepada Ai.
“Ya, Ai kan baru 24 umurnya”, Ai membalas pertanyaanku dengan mudah.
“Iya, aku 26. Cuman beda dua tahun”, sambil melirik kembali raut muka Ai.
Tiba-tiba si kampret Ridho datang, entah tidak ada angin dan salam Ridho begitu saja membalas percakapanku bersama Ai sambil meletakkan tas di meja kerjanyanya dan menarik kursi tersebut didekat kita.
“Nah itu Na. 1 tahun buat kalian perempuan itu jaraknya lumayan jauh”, dengan enteng si Ridho membalas celetukan itu kepadaku.
Tiba-tiba dengan cepat si Ridho juga melontarkan berbagai macam pertanyaan, salah satunya Ridho menyuruhkan mencoba melihat kejadian berulang kembali. “Coba kamu ingat-ingat 5 tahun terkhir kamu ulang tahun”.
Aku mencoba mengingat kembali kejadian dimana aku sedang ulang tahun.
“Selamat mengingat hari lahir, Nak! Udah kamu pikirin kuliahmu dulu. Karirmu dulu, jodoh belum penting wing baru 22 tahun!”.
“Iya Bu, makasih”.
“Yuk potong”
Tiba-tiba aku melihat kejadian yang sama di umurku yang menginjak 26 tahun ini.
“Nak, ibu khawatir. Kamu ini sudah 26 tahun.. Sampai kapan kamu harus ngejar karir dan kuliahmu. Kan kamu sudah s2. Gak ada habisnya itu, Nak!”
“Tapi, bu”, tiba-tiba ibuku menaikkan nadanya kepadaku.
“Jangan di potong! Ibumu ini sudah tua, harusnya sudah momong cucu”, sambil berkaca-kaca melihatku.
“Tapi ibu sendiri yang bilang..”
“Astagfirullahaladzim.. Kamu kok malah nyalahin ibu”
“Sedih.. Ibu sedih..”
“Kan? Ngelamun mulu, Na!!” Ridho seperti biasa mengagetkanku.
“Kamu 25 kapan?”, celetukku kepada Ai.
“Akhi tahun ini”, sambil menikmati donat bertabur keju di atas meja kantor.
“Siap-siap deh”. Aku seolah-olah menakuti Ai.
Eh tanpa di sengaja Ridho dari tadi memperhatikan terus gerak-gerik Ai dan inipun menjadikan Ai sedikit curiga kepada Ridho
“Kenapa, Dho?”, tanya Ai kepada Ridho.
“Enggak apa apa… Kalo kalian ngerasa seret jodoh, kenapa gak sama aku aja? Mapan udah, ganteng, iya!”, sambil cengingis kepadaku dan Ai.
“Apaan sih?”, Ai sedikit ilffill kepada Ridho.
“Ya apalagi yang dicari? Ganteng loh aku ini”, Ridho sedikit flexing kepada Ai.
“Kalo ada Asma, dibully kamu Dho”, andalan Ai ketika sudah terjebak dengan Ridho.
Seperti sifat Ridho yang aneh muncul kembali, kali ini targetnya dalah Ai. Dengan gombalan maut, Ridho menggoda Ai. “Ai, bapak kamu Thomas Alfa Edison ya?”.
“Aduh, males.. Receh deh pasti”, Ai sudah capek mendengar gombalan Ridho di kantor tiap hari.
“Tanya “kenapa” gitu?”, celetuk Ridho kepada Ai.
“Iya, kenapa?”, aku kebetulan iseng dengan menjawab pertanyaan Ridho kepada Ai.
Eh Ridhonya ngambek seperti anak kecil, “Ai dong yang tanya”.
“Iya Dho, kenapa?”, sambil meninggikan nadanya.
“Soalnya kamu seperti gravitasi yang menarik hatiku!”, Ridho cengar-cengir sendiri.
“Dho, kalo gombalan yang tadi itu rujukannya teori gravitasi, harusnya Isac Newton, bukan Alfa Edison!”, Nana celetuk kepada Ridho sambil tersenyum lebar keheranan.
“Pantesan Na kamu ga nikah-nikah”, Ridho menyindir Nana kembali.
“Eh. Eh. Eh.. Bang Ky tuh”, Ai tiba-tiba berbicara mengenai Kya yang merupakan sosok yang aku idamkan selama ini.
“Assalamu’alaikum”.
“Waalaikumsalam”, balasku dengan Ridho dan Ai kepada bang Ky.
“Kenapa itu mukan bang?”, tanya Ridho.
“Habis ngecewain orang tuaa lagi aku, Dho”, sambil merujuk raut muka yang berantakan. Padahal situasi masih pagi dan sepertinya bang Ky kehilangan motivasinya.
“Maksudnya?”, tanya Ridho lagi.
“Iya, habis nolak perjodohan yang udah mereka atur”, balas bang Ky.
“Eh.. Mirip sama masalah Nana”, Ai tiba-tiba menyampaikan itu kepada bang Ky.
“Iya kah?”, tanya bang Ky kepada Ai.
“Kenapa ditolak Bang?”, Ridho kembali bertanya kepada bang Ky.
“Belum ada ketertarikan Dho”, sambil menyerut kopi susu diatas meja kantor bang Ky.
“Lo, kan diniatkan ibadah Bang? Ketertarikan dan cinta bisa belakangan, bukannya?”, sambil polos Ai bertanya begitu kepada bang Ky.
“Ya nikah emang ibadah, cuman aku ga mau nikah sembarangan aja, maksudnya aku takut kalau nanti aku nikah tanpa rasa tertarik, terus muncul orang yang bikin aku tertarik , kan kasihan istriku nanti”, balas bang Ky kepada Ai dengan serius.
“Tinggal poligami bang”, Ridho membalas dengan nada bercanda ke bang Ky.
“Ridho Ih”, Ai geram kepada Ridho.
“Enggak gitu juga Dho”, balas bang Ky.
“Karna cowo ya bang? Jadi ga takut telat nikah!”, tiba-tiba aku berceletuk itu kepada bang Ky.
“Emang ada ya namanya telat nikah?”, tanya bang Ky kepada semuanya termasuk aku.
“Nikah itu ibadah menurut kesiapan lahir batin, gak ada kata telat, ga ada nikah terlalu cepat”, penjelasan bang Ky yang singkat dan padat menimbulkan sebuah tanda tanya kembali kepada Ai.
“Tapi kan umur ada batasnya, Bang?”, tanya Ai.
“Iya. Kalau gitu persiapkan diri. Kalau nanti ada seorang yang baik datang kamu siap! Nikah”, menjelaskan kepada Ai perihal jodoh, lalu dengan tiba-tiba bang Ky dipanggil direktur menuju ruangannya. Tidak hanya bang Ky, tetapi Ridho juga meninggalkan kursinya untuk membahas project bersama kliennya diluar kantor.
“ Duluan ya, gw mau cabut ketemu klien”, ucap Ridho kepadaku dan Ai.
“Assalamu’alaikum”.
“Waalaikumsalam”, ucapku bersama Ai.
“Laper nih, Nana mau pesen makan gak?”, Ai mencoba memanggilku yang masih dari tadi terjebak dalam sebuh tanda tanya, namun kini tanda tanya tersebut sudah menemukan kembali jawabannya.
“Na??”, Ai sambil menggoyangkan badanku.
“Ai, kayaknya.. Aku jatuh cinta sama bang Ky”.